Mengqadha Shalat Sunah Qabliyah Shubuh atau Shalat Sunah Fajar

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, jika dtang k mesjid org sudah iqamah, kn jdi tdak bsa mngerjakan shlat tahyat mesjid dan qabliyah, jdi ap kh bleh di krjekn stelah shalat ustadz

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Shalat sunah fajar boleh diqadha, yakni dilakukan setelah subuh baik matahari telah terbit atau belum. Hal ini berdasarkan hadits berikut (sebenarnya masih ada beberapa hadits lainnya, namun saya sebut dua saja):

Hadits Pertama:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar, maka shalatlah keduanya (sunah fajar dan subuh) sampai tebitnya matahari.” (HR. At Tirmidzi No. 423)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

وقد روي عن ابن عمر أنه فعله والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق

Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia melakukannya. Sebagian ulama telah mengamalkan hadits ini dan inilah pendapat Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, penjelasan hadits No. 423)

Imam Asy Syaukani menulis dalam Nailul Authar sebagai berikut:

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَاهُمَا مَعَ الْفَرِيضَةِ لَمَّا نَامَ عَنْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

“Telah tsabit (kuat) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengqadha keduanya (shalat sunah fajar) bersama shalat wajib (subuh) ketika ketiduran saat fajar dalam sebuah perjalanan.”

Tentang hadits Imam At Tirmidzi di atas, Imam As Syaukani berkata:

وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ فِعْلِهِمَا بَعْد صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Pada hadits ini tidaklah menunjukkan larangan untuk melaksanakan dua rakaat tersebut setelah shalat subuh.” (Nailul Authar, 3/25)

Hadits Kedua:

Hadits yang paling jelas tentang qadha shalat sunah fajar adalah riwayat tentang Qais bin Umar bahwa beliau shalat subuh di masjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri lagi untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewatinya dan bertanya:

مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

“Shalat apa ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (HR. Ahmad No. 23761, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 4016, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul Ummal No. 22032, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkat: Berkata Al Iraqi: sanadnya hasan. (Fiqhus Sunnah, 1/187). Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: hadits ini mursal (terputus sanadnya pada generasi sahabat), namun semua perawinya tsiqaat. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 23761)

Beliau melanjutkan:

وظاهر الاحاديث أنها تقضى قبل طلوع الشمس وبعد طلوعها، سواء كان فواتها لعذر أو لغير عذر وسواء فاتت وحدها أو مع الصبح

“Secara zhahir, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha shalat sunah fajar bisa dilakukan sebelum terbit matahari atau setelahnya. Sama saja, baik terlambatnya karena adanya udzur atau selain udzur, dan sama pula baik yang luput itu shalat sunah fajar saja, atau juga shalat subuhnya sekaligus. (Fiqhus Sunnah, 1/187) Sekian. Wallahu Alam

Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

وقال ابن الملك: سكوته يدل على قضاء سنة الصبح بعد فرضه لمن لم يصلها قبله. وبه قال الشافعي – انتهى. وكذا قال الشيخ حسين بن محمود الزيداني في المفاتيح حاشية المصابيح، والشيخ علي بن صلاح الدين في منهل الينابيع شرح المصابيح، والعلامة الزيني في شرح المصابيح

Berkata Ibnu Al Malik: Diamnya nabi menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah subuh setelah ditunaikan kewajiban subuhnya, bagi siapa saja yang belum melakukannya sebelumnya. Ini adalah pendapat Asy Syafi’i.

Selesai. Demikian juga pendapat Syaikh Husein bin Mahmud Az Zaidani dalam kitab Al Mafatih Hasyiah Al Mashabih, Syaikh Ali bin Shalahuddin dalam kitab Manhal Al Yanabi Syarh Al Mashabih, dan juga Al Allamah Az Zaini dalam Syarh Al Mashabih. (Mirah Al Mafatih, 3/465).

Wallahu Alam

🍃🌻🌾🌸🌺☘🌷🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Doa Saat Sedang Galau dan Sedih

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa dikala menghadapi berbagai kesusahan:

ِ يَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“LAA ILAAHA ILLALLAHUL ‘AZHIIM AL HALIIM LAA ILAAHA ILLALLAH RABBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM (Tiada Ilah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Penyantun. Tiada ilah selain Allah, Tuhan langit dan bumi serta Tuhan arasy yang mulia.”

📚 HR. Al Bukhari No. 5869, 5870, 6879, Muslim No. 4909

☘🌷🌺🌴🌻🌸🍃🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Memakai Sandal Hanya Sebelah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Apa hukumnya di dalam Islam memakai sandal sebelah? Dan apa pula hukumnya dalam Islam memakai sandal yang berbeda warna, ukuran maupun bentuk???

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:

Ada dua pertanyaan, kami akan jawab satu persatu.

📌Pertanyaan Pertama, memakai sandal sebelah saja, bolehkah?

Ini mungkin pernah kita lihat ketika seseorang kehilangan sandalnya sebelah, akhirnya dari pada dia nyeker (telanjang kaki) dia tetap mengenakan sandalnya walau sebelah saja.
Sehingga kita lihat dia akan jalan terpincang, tidak seimbang, dan juga tidak enak dilihat, bahkan berkurangnya wibawa.

Perbuatan tersebut adalah terlarang, berdasarkan riwayat berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَمْشِي أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ لِيُحْفِهِمَا جَمِيعًا أَوْ لِيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا

Janganlah kalian berjalan dengan memakai satu sandal, hendaknya dia melepaskan keduanya, atau memakai keduanya. (HR. Bukhari No. 5856 dan Muslim No. 2097)

Dalam riwayat lain Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا انْقَطَعَ شِسْعُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْشِ فِي الْأُخْرَى حَتَّى يُصْلِحَهَا

Jika tali sandal kalian putus maka janganlah dia berjalan dengan sandal yang satunya sampai dia memperbaiki dulu sandalnya (yang putus) itu. (HR. Muslim No. 2098)

Bagaimanakah nilai larangan ini? Secara zhahir larangan menunjukkan haram, tetapi apakah demikian? Ataukah makruh, atau larangan adab saja?

Imam Muslim memaknainya sebagai perkara yang dimakruhkan saja. Beliau membuat Bab dalam kitab Shahih-nya:

بَاب اسْتِحْبَابِ لُبْسِ النَّعْلِ فِي الْيُمْنَى أَوَّلًا وَالْخَلْعِ مِنْ الْيُسْرَى أَوَّلًا وَكَرَاهَةِ الْمَشْيِ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ

Bab disukainya memakai sandal pertama kalinya kanan dulu dan ketika melepaskannya kiri dulu dan dimakruhkan berjalan dengan satu sandal.

Begitu pula Imam An Nawawi Rahimahullah, beliau berkata:

يكره المشى فى نعل واحدة أو خف واحد أومداس واحد لا لعذر ودليله هذه الأحاديث التى ذكرها مسلم

Dimakruhkan berjalan dengan satu sandal aja, atau satu selop, atau satu sepatu, tidak apa-apa jika karena ‘udzur. Dalilnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/75).

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa telah terjadi ijma’ bahwa memakai kedua sandal adalah hal yang disukai (sunah), bukan kewajiban. (Ibid)

Kemakruhannya juga dikatakan Imam Al Munawi. (At Taisir, 1/163, 2/921), juga Imam Az Zarqani. (Syarh Al Muwaththa’, 4/363), juga Al Abhari dan lainnya. (Imam Ibnul Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 9/127).

Sementara Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menyebutnya sebagai larangan bernilai adab dan pendidikan saja, bukan larangan haram. Beliau menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa hal ini bukan haram, dan jumhur mengatakan bahwa pelakunya bukan pembangkang jika dia tahu adanya larangan, sedangkan menurut golongan Ahli Zhahir pelakunya adalah pembangkang jika dia tahu larangannya. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 8/312).

Beliau juga berkata:

ونهيه صلى الله عليه وسلم عن المشي في نعل واحدة نهي أدب لا نهي تحريم

Larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang berjalan dengan satu sandal adalah larangan bernilai adab, bukan larangan pengharaman. (At Tamhid, 18/178)

Sementara Imam Al Baghawi (Syarhus Sunnah, 12/78) meriwayatkan tentang rukhshah (keringanan) untuk memakai satu sandal. Dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berjalan dengan satu sandal, dan riwayat ini diriwayatkan oleh At Tsauri dan lainnya dari Abdurrahman, dan dimarfu’kan oleh Laits dari Abdurrahman, namun yang benar adalah riwayat ini mauquf (hanya sampai sahabat).

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Beliau memakai satu sandal ketika melewati tengah jalan. Abdullah bin Dinar mengatakan: “Aku melihat Ibnu Umar berjalan dengan satu sandal.” Dan Ibnu Sirrin berpendapat hal itu tidak apa-apa.” (selesai dari Imam Al Baghawi)

Diriwayatkan dari Waki’, dari Sufyan, dari Abdullah bin Dinar, katanya:

انقطع شسع نعل عبد الله بن عمر فمشى أذرعًا فى نعل واحدة

Tali sandal Abdullah bin Umar putus, lalu dia berjalan dengan cepat-cepat memakai satu sandal. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 9/127)

Kenapa dilarang? Para ulama seperti Imam Al Baihaqi, Imam An Nawawi, Imam Al Khathabi, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam As Suyuthi, dan lainnya menyebutkan beberapa alasan hikmah pelarangan ini, yakni:

– Menyerupai cara jalannya syetan

– Menghilangkan keseimbangan ketika berjalan sehingga tidak enak dilihat

– Menurunkan wibawa

– Membuatnya menjadi pusat perhatian karena apa yang dipakainya

– Membahayakan dirinya sendiri, baik bisa terjatuh, atau menjadi tidak terlindung dari duri dan semisalnya. (Lihat semuanya dalam Al Minhaj, 14/71, Fathul Bari, 1/309, At Taisir, 1/163, Syarh As Suyuthi ‘Ala Muslim, 5/140, Syarh As Suyuthi ‘Ala An Nasa’i, 8/217, dll)

Selesai pertanyaan pertama.

📌Pertanyaan kedua, bolehkah memakai sandal yang berbeda warna dan ukuran?

Tidak ada larangan dalam hal ini, baik dalam Al Quran dan As Sunnah, hanya saja hal tersebut bisa saja melanggar kepantasan yang terjadi di masyarakat. Selain juga bisa membahayakan pemakainya, dan dirinya menjadi perhatian orang lain. Tentunya hal ini bukan perilaku yang baik juga, maka sebaiknya dihindari. Tetapi, jika memiliki alasan yang benar tentu tidak apa-apa memakainya, apalagi jika tidak ada pilihan sandal lainnya.

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
Wallahu A’lam.

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Aturan Pembagian Hewan Kurban

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum.afwan ustadz ana msh blm faham tentang pembagian qurban.dtmpt ana ad sistem patungan satu ekor sapi unt 7 0rang.setelah dipotong dagingnya pun dibagi 7. Misal satu ekor sapi dagingnya 70 kg.dbg 7 jd perorang dpt 10 kg.nanti yg dpt 10 kg dbg 1/3 .jd yg qur an hany mengambil 1/3 (krg lbh 3kg) unt dmakan dan disimpan. sisanya dibagikan/dsedekahkn k kaum krabat/tetangga masing2.Ini bagaimana ustadz .. apakah sdh sesuai kententuan dlm berqurban.Jazaakallah khairan

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah ..

Tidak ada pembagian yang lugas dan rinci dalam Al Quran dan As Sunnah mengenai hal ini, kecuali yang tertera dalam Al Quran yaitu untuk shahibul qurban dan faqir miskin.

Ada pun tentang berapa bagiannya, apakah 1/3, 1/2, dan lainnya adalah ijtihadiyah saja dari para ulama. Ini bisa disesuaikan sesuai kebiasaan yang lama berlangsung di sebuah negeri.

Pemilik hewan kurban (shahihul qurban) berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.” (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🌺🌴🌻🌾🌸☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top