Sekilas Biografi Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)

Para ahli telah berbeda pendapat tentang nama asli Abu Dzar dengan perbedaan yang banyak. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:

أبو ذر الغفاري. اختلف في اسمه اختلافاً كثيراً، فقيل: جندَب بن جنادة، وهو أَكثر وأَصح ما قيل فيه. وقيل: برير بن عبد الله، وبُرَير بن جنادة، وبريرة بن عِشرِقة، وقيل: جندَب بن عبد الله، وقيل: جندب بن سَكن. والمشهور جُندَب بن جنادة بن قيس بن عمرو بن مليل بن صَعَير بن حَرَامِ بن غِفَار. وقيل: جندَب بن جنادة بن سفيان ابن عبيد بن حَرَام بن غفار بن مليل بن ضَمرة بن بكر بن عبد مناة بن كنانة بن خزيمة بن مدرِكَةَ الغفاري. وأمه رملة بنت الوقيعة. من بني غِفَار أَيضاً

Abu Dzar Al Ghifari. Banyak perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Jundub bin Junadah, itulah yang paling banyak dan paling benar dalam hal ini. Ada yang mengatakan: Barir bin Abdullah, Burair bin Junadah, Barirah bin ‘Isyriqah. Ada juga yang mengatakan: Jundab bin Abdullah. Dikatakan pula: Jundub bin Sakan. Yang terkenal adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin ‘Amru bin Malil bin Sha’air bin Haram bin Ghifar. Ada yang mengatakan: Jundab bin Junadah bin Sufyan bin ‘ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah Al Ghifari. Ibunya adalah Ramlah binti Al Waqi’ah, juga dari Bani Ghifar. (Ibid, Hal. 1169) Ada pula yang menyebutnya Yazid bin Junadah.

Beliau adalah seorang yang tinggi dan besar, jenggotrnya lebat.

Di antara keutamaan Abu Dzar adalah beliau termasuk generasi awal Islam, ada yang menyebutnya sebagai orang keempat, ada juga yang menyebut orang kelima yang masuk Islam. Tentang kisah keislaman Beliau, Imam Al Bukhari telah menceritakannya dalam riwayat yang sangat panjang dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Manaqib Bab Islamu Abi Dzar Al Ghifari Radhiallahu ’Anhu No hadits. 3861. Juga Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Kitab Fadhail Ash Shahabah Bab Min Fadhail Abi Dzar Radhiallahu ‘Anhu No hadits. 2473, 2474.

Ketika beliau masuk Islam, Beliau langsung kembali ke kaumnya untuk mendakwahi mereka seperti yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan. Beliau ikut hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengiringinya, dan berjihad bersamanya di Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun menurut Abu Daud dia tertinggal saat perang Badar.

Imam Adz Dzahabi menceritakan bahwa Abu Dzar seorang pemimpinnya para zahid (orang yang zuhud), jujur, berilmu dan mengamalkan ilmunya, tidak takut celaan orang yang mencelanya dalam menjalankan ajaran Allah Ta’ala, dan ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis pada zaman Umar.

Ali Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

وعى أَبو ذر علماً عجز الناس عنه، ثم أَوكى عليه فلم يخرِج منه شيئاً

Abu Dzar telah mengumpulkan ilmu yang membuat manusia merasa lemah darinya, kemudian dia mengikatnya lalu dia tidak melepaskannya sedikit pun. (Ibid, Hal. 1170)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

أَبُو ذَرٍّ يَمْشِي فِي الْأَرْضِ بِزُهْدِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام

Abu Dzar berjalan di muka bumi dengan kezuhudan Isa bin Maryam ‘Alaihissalam. (Sunan At Tirmidzi No. 3802, Usadul Ghabah, Hal. 190, Jami’ Al Ushul No. 6593)

Yahya bin Aktsam bermimpin dalam tidurnya, bahwa Abu Dzar telah diampuni Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga.

Dia wafat tahun 32 H. As Siraj mengatakan dalam Tarikh-nya, bahwa Abu Dzar wafat setelah usai menunaikan haji, pada hari Jumat, di Ar Rabdzah. Keponakannya menceritakan bahwa saat itu usiannya 83 tahun. Ibnu Mas’ud termasuk yang menyolatkannya.

Tentang wafatnya Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa akan ada seorang di antara sahabat yang wafat sendirian di padang pasir, yang mayatnya akan ditemukan oleh rombongan orang beriman yang lewat. Ternyata Beliau wafat seorang diri di padang pasir, dan dite

mukan oleh rombongan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menangis melihat kondisi sulit yang dihadapi Abu Dzar, baik hidup dan wafatnya. Ia teringat dengan ucapan Nabi ketika perang Tabuk tentang Abu Dzar:

يرحم الله أبا ذر، يمشي وحده ويموت وحده ويحشر وحده

Semoga Allah merahmati Abu Dzar, dia berjalan seorang diri, dia akan mati seorang diri, dan dikumpulkan juga seorang diri.

Semoga Allah Ta’ala merahmati Abu Dzar dan memasukannya ke dalam surga firdaus yang tinggi dan mulia. Amiin.

(Selengkapnya lihat Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, 1/810. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, hal. 190-191, dan hal. 1169-1170. Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 2/46-78)

☘🌷🌺🌴🌻🍃🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Mencaci Maki Ulama dan Da’i dengan Alasan Al Jarh wat Ta’dil

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian orang ada yang punya hobi unik. Membongkar aib, mencela, dan memaki para ulama, da’i, dan muballigh, seakan itu amal shalih tertinggi dan seolah untuk itu mereka dilahirkan. Mereka melakukan legitimasi dengan berdalih bahwa itu termasuk ghibah yang diperbolehkan sebagaimana yang dirinci oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Riyadhushshalihin. Padahal para ulama, da’i, dan muballigh yang mereka cela itu tidak memenuhi syarat sedikit pun untuk dighibahi tapi dengan takalluf (maksain) perbuatan ini menjadi halal baginya.

Alasan lain, mereka anggap yang mereka lakukan adalah menilai manusia dengan kaidah dan prinsip al jarh wat ta’dil, yaitu prinsip yang dipakai para imam hadits untuk meneliti kelayakan seorang perawi hadits dalam membawa hadits, berita, dan riwayat. Ketika seorang ulama, da’i, dan muballigh, memiliki kesalahan –dan pastinya setiap manusia punya salah- mereka anggap itu adalah jarh (kritik-cacat) padanya yang membuatnya tidak boleh lagi didengar kajiannya, perkataannya, bukunya, dan apa pun yang berasal darinya, walau pun ada manusia lain memujinya (ta’dil). Mereka anggap, cacat yang ada pada da’i ini lebih dipertimbangkan dibanding pujian manusia baginya, apalagi jika pujian tersebut masih umum sementara pencacatan tentangnya lebih rinci dan banyak. Istilahnya al jarh al mufassar muqaddamun ‘alat ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih didahulukan dibanding pujian yang masih umum.

Apakah bisa dibenarkan apa yang mereka lakukan ini? Yakni menggunakan kaidah Al Jarh wat Ta’dil untuk menilai para ulama, da’i, dan muballigh zaman ini, yang dengan itu mereka bisa diambil ilmunya atau tidak. Akhirnya, mereka menolak ilmu dari ulama mana pun, hanya mau menerima dari golongannya saja, dengan alasan bahwa yang lainnya tidak selamat dari jarh. Lucunya, pihak yang melakukan jarh (ahlut tajrih) juga di jarh oleh yang lainnya.

Mereka tolak para ulama dan du’at seperti Al Banna, Quthb bersaudara, Sayyid Sabiq, Al Qaradhawi, Salman Al ‘Audah, ‘Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, Mutawalli Asy Sya’rawi, Abdul Hamid Kisyk, Abul A’la Al Maududi, Abul Hasan An Nadwi, Jasim Al Muhalhil, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ahmad Ar Rasyid, Taufiq Al Wa’i, Abdurrahman Abdul Khaliq, Sulaiman Asyqar, dan sebagainya, apalagi sekadar ulama nusantara –NU, Muhammadiyah, Persis, Dll- yang dianggap tidak ada ulama di Indonesia, karena dianggap bukan ulama bagi mereka, dan sudah di jarh oleh masyayikh mereka. Si fulan begini, si fulan begitu, ustadz anu begini, ustadz anu begitu ….., dan seterusnya, hanya mau memuji dan mendengar ulama, da’i, ustadz, muballigh dari kelompoknya saja. Sangat fanatik dengan kelompoknya. Anehnya, sesama masyayikh mereka pun juga saling jarh, saling tabdi’ (membid’ahkan), tafsiq (memfasikan), dan sebagainya. Padahal di antara syarat seseorang boleh melakukan jarh adalah dia sendiri tidak terkena jarh, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ajaj Al Khatib dalam Ushulul Hadits-nya. Lebih parah lagi jika yang men-jarh adalah orang awam, bukan ulama tapi begitu jumawa men-jarh para ulama.

Sungguh jika gaya berpikir mereka dipakai, niscaya tidak ada satu pun di muka bumi ini baik ulama, da’i, ustadz, dan muballigh yang selamat dan kita bisa ambil ilmunya. Sebab, adakah manusia yang sama sekali tidak punya kesalahan, ketergelinciran, dan lalai? Maka, yang mereka lakukan bukanlah al jarh wat ta’dil tetapi ghibah (gunjing), namimah (adi domba), dan sibaabul muslim (mencela muslim), kesemuanya ini buruk dan berdosa.

Oleh karena itu, ada baiknya kita perhatikan komentar para ulama tentang orang-orang yang menyalahgunakan kaidah Al Jar wat Ta’dil untuk mencela para da’i dan ulama.

📌Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani berkata:

“Besar sekali bedanya antara Ilmu Al Jarh wat Ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’i, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan Al Jarh wat Ta’dil yang terjadi sekarang ini.” (Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani, An Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh, Hlm. 34. Cet. 1, 1993M-1414H, Dar Al Humaidhi, Riyadh)

📌 Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah menyatakan itu bukan al jarh wat ta’dil tapi ghibah dan namimah:

سماحة الشيخ من هم علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ؟

الجواب :
والله ما نعلم أحداً من علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ، علماء الجرح والتعديل في المقابر الآن ، ولكن كلامهم موجود في كتبهم كتب الجرح والتعديل والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وماهو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل

Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al jarh wat ta’dil pada masa kita sekarang ini?

Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al jarh wat ta’dil pada saat ini. Sekarang ini para ulama al jarh wat ta’dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al jarh wat ta’dil. Al jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan al jarh wat ta’dil.

(Lihathttp://www.almanhaj.com/vb/showthread.php?t=1471&page=8&p=34223#post34223)

📌 Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi ditanya:

هل يوجد في هذا الزمان علماء جرح وتعديل وهل يوجد تفريق بينهم ؟

الشيخ :
علم الجرح والتعديل إنتهى ، لإنه دوّنت الآن الكتب والأحاديث في الصحاح والسنن والمسانيد والمعاجم …. فلا يوجد جرح وتعديل ، والجرح والتعديل للمحدثيين إنتهى

Apakah ada di zaman ini ulama jarh wa ta’dil dan apakah ada perbedaan di antara mereka?

Syaikh menjawab: “Ilmu al jarh wat ta’dil sudah selesai, sebab ilmu tersebut saat ini sudah terlembagakan dalam buku-buku dan hadits-hadits baik dalam shahih, sunan, musnad dam mu’jam. Maka, tidak ada lagi jarh wa ta’dil, dan al jarh wat ta’dil adalah haknya para ahli hadits. Selesai.” (Ibid)

📌 Syaikh Abdullah Al Ghudyaan Hafizhahullah ditanya:

السائل : يا شيخ هل هذا صحيح هناك من يقول أنه يوجد علماء الجرح و التعديل في هذا الزمان ! ، فهل هذا صحيح ؟
الشيخ : والله يا أخي علم الجرح والتعديل موجود في الكتب

.السائل : في وقتنا هذا هل يوجد ؟

الشيخ : لا ، علم الجرح والتعديل عن علماء الحديث الذين نقلوا لنا الأحاديث بالأسانيد موجود في كتب الجرح والتعديل فما نحتاج إلى أحد الحين

السائل : يا شيخ هناك من يقول أن الدكتور ربيع بن هادي المدخلي حامل لواء الجرح والتعديل ؟!!
الشيخ : لا ، أنا لو يصادفني في الطريق ما عرفته يمكن ، ما عليّ من أحد

Penanya: Wahai Syaikh, apakah benar ada pihak yang mengatakan ada ulama jarh wa ta’dil di zaman ini, apakah ini benar?

Syaikh: Demi Allah ya akhi, ilmu al jarh wat ta’dil ada dalam kitab-kitab.

Penanya: Di zaman kita adakah?

Syaikh: “Tidak ada, ilmu al jarh wat ta’dil itu tentang ulama hadits yang menukilkan hadits kepada kita beserta sanad-sanadnya, adanya dalam kitab-kitab al jarh wat ta’dil, jadi saat ini kita tak lagi membutuhkan seorang pun (karena ilmu tersebut sudah selesai, pen).”

Penanya: “Syaikh, ada yang bilang bahwa Dr. Rabi’ Al Madkhali adalah pembawa bendera Al Jarh wat Ta’dil?”

Syaikh: “Tidak, seandainya dia ketemu saya di jalan mungkin saya tidak mengenalnya, saya tidak ada masalah dengan seorang pun.” ((Lihat https://www.youtube.com/watch?v=3GY10B9B_ec, menit ke 01:45-02:35)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌷🌿🌳🍁🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Muslimah Setor Hafalan Al Quran ke Laki-Laki Bukan Mahramnya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustad,
Bagaimana jika akhwat menyetorkan hafalan Al-Qur’an dan tahsin dgn yg bukan muhrimnya? dgn Via telfon atau secara langsung..

Jazakalloh.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah..

Pada prinsipnya tidak apa-apa, sebab suara wanita bukanlah aurat menurut mayoritas ulama, kecuali menurut Imam Abu Hanifah. Tapi, jika sudah sampai memancing syahwat laki2 atau fitnah lainnya, maka itu terlarang.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة

Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran, disebabkan khawatir lahirnya fitnah. (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 1/665)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga memfatwakan demikian, bolehnya wanita membaca Al Quran dan didengarkan laki-laki yang bukan mahram, asalkan aman dari fitnah.

Namun demikian, jalan terbaik dan paling aman adalah sebaiknya kepada guru muslimah juga.

Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum, Tata Cara, dan Doa Sholat Jenazah

▪▫▪▫▪▫▪▫

I. Hukumnya

Shalat jenazah termasuk fardhu kifayah.

Syaikh Abdurrahman Al Jaziriy Rahimahullah mengatakan:

هي فرض كفاية على الأحياء، فإذا قام بها البعض ولو واحدا سقطت عن الباقين، فلا يكلفون بها، ولكن ينفرد بثوابها من قام بها منهم

Itu adalah fardhu kifayah atas yang hidup, seandainya sudah dilakukan sebagian orang walau hanya satu orang saja maka gugur kewajiban atas yg lainnya, mereka tidak dibebankannya. Tetapi, pahalanya hanya bagi seorang diri yang shalat di antara mereka.

(Al Fiqhu ‘alal Madzahib Al Arba’ah, 1/478)

Sebagian ulama, yaitu sebagian Malikiyah, mengatakan “sunnah kifayah”, sebagaimana keterangan berikut:

ذهب جمهور الفقهاء إلى أن الصلاةعلى الجنازة فرض على الكفاية، واختلف فيه قول المالكية فقال ابن عبد الحكم: فرض على الكفاية وهو قول سحنون، وعليه الأكثر وشهره الفاكهاني، وقال أصبغ: سنة على الكفاية

Mayoritas ahli fiqih mengatakan shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Ada pendapat dari Malikiyah yang menyelisihinya. Ibnu Abdil Hakam mengatakan: “Fardhu kifayah, ini adalah perkataan Sahnun dan ini dianut oleh mayoritas dan ditenarkan oleh Al Fakihaniy. Asbagh berkata: Sunnah Kifayah.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/17-18)

II. Syarat-Syaratnya

Syarat sahnya shalat jenazah sama dengan shalat lainnya, kecuali masalah waktu.

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

يشترط لصحة صلاة الجنازة ما يشترط لبقية الصلوات من الطهارة الحقيقية بدنا وثوبا ومكانا، والحكمية، وستر العورة، واستقبال القبلة، والنية، سوى الوقت

Disyaratkan bagi keabsahan shalat jenazah syarat yang sama sebagaimana shalat lainnya, yaitu: suci secara hakiki baik badan, pakaian, dan tempat, dan suci secara hukmiyah (bebas dari hadats kecil dan besar), menutup aurat, menghadap kiblat, niat, kecuali masalah waktu. (Al Mausu’ah, 16/18)

Syarat lainnya yg sudah pasti adalah mayit harus muslim, Allah Ta’ala berfirman tentang mayit munafiq:

ولا تصل على أحد منهم مات أبدا

Janganlah engkau shalatkan atas mereka yang mati selamanya.(QS. At Taubah: 84)

III. Rukun-Rukun

Syaikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al Kaaf mengatakan dalam kitabnya Al Ahamm, bahwa rukun shalat jenazah ada TUJUH:

1. Niat, berdasarkan hadits: Innamal a’malu bin niyyat – sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.

Wajib meniatkan shalat untuk mayit, walau dengan bahasa umum, tidak wajin dengan penjelasan rinci. Cukup dia mengatakan “Saya shalat untuk mayit ini”, atau “untuk zaid”, atau “untuk mayit yg ada di mihrab”.

2. Empat kali takbir, yaitu termasuk juga takbiratul ihram. Seandainya ditambah menjadi lima maka itu tidak mengapa karena itu adalah dzikir, namun jika imam takbir yang kelima, maka makmum tidak usah mengikutinya.

3. Berdiri bagi yg mampu, karena itu fardhu kifayah, namun boleh duduk bagi yg lemah

4. Membaca Al Fatihah, boleh dilakukan setelah takbir pertama, atau kedua, atau ketiga atau keempat. Tidak harus setelah takbir pertama.

5. Shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam, setelah takbir kedua. Minimal “Alluhumma Shalli ‘Ala Muhammad”.

Disunnahkan menggabungkan salam ke dalam shalawat, hamdalah sebelumnya, juga doa untuk kaum mu’minin setelahnya.

6. Berdoa untuk mayit setelah takbir ketiga. Syaratnya adalah doa yg spesifik buat mayit, tidak cukup dgn doa yang umum, demikian juga doa untuk kedua orang tua menurut Imam Ibnu Hajar. (Macam-macam doanya akan kami lampirkan diseri yang ketiga)

Disunnahkan pula berdoa setelah takbir keempat:

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ واغفر لنا و له

Allahumma laa Tahrimnaa ajrahu walaa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa walahu

“Ya Allah, janganlah Engkau hilangkan pahalanya dan janganlah engkau fitnah kami setelahnya dan ampunilah kami dan dia.”

Lalu bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam.

7. Salam pertama, ada pun salam kedua adalah sunnah. Disunnahkan tambahan “wa Barakatuh” menurut Imam Ibnu Hajar.

(Demikian uraian Syaikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al Kaaf dalam kitab Al Ahamm fi Fiqhi Thalibil ‘Ilmi, Hal. 212-215)

Apa yg tertera di atas adalah rukun shalat jenazah dalam konteks madzhab Syafi’iy, yang umumnya dianut kaum muslimin Indonesia.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah juga menyebutkan hal mirip dengan di atas walau dgn penjelasan yg lebih banyak dalam beberapa hal. (Lihat Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/306-308)

Dalam madzhab yang lain rukun shalat jenazah lebih sedikit, misalnya Hanafiyah hanya takbir yang empat dan berdiri.

Sementara Malikiyah ada lima: 1. niat, 2. empat takbir, 3. doa diantara mereka, ada pun setelah takbir empat berdoa silahkan dan tidak berdoa juga tidak apa, 4. Salam yang pertama dgn suara yg cukup di dengar, 5. Berdiri bagi yg mampu.

Sementara Hambaliyah: 1. Berdiri bagi yg mampu, 2. Empat takbir, 3. membaca Al Fatihah untuk selain makmum, shalawat kepada nabi, dan doa buat mayit. 4. Salam, 5. Tertib berurut.

(Lihat dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/18)

IV. Beberapa Doa

Berikut ini adalah doa-doa yang bisa dibaca setelah takbir ketiga, di antaranya:

PERTAMA.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam penah menshalati jenazah kemudian beliau mengucapkan: ALLAAHUMMAGHFIR LIHAYYINAA WA MAYYITINA, WA SHAGHIIRINAA WA KABIIRINAA WA DZAKARINAA WA UNTSAANAA, WA SYAHIDINAA WA GHAAIBINAA. ALLAAHUMMA, MAN AHYAITAHU MINNAA FA AHYIHI ‘ALAL IIMAAN WA MAN TAWAFFAITAHU MINNAA FATAWAFFAHU ‘ALAL ISLAAM. ALLAHUMMA LAA TAHRIMAN AJRAHU WA LAA TUDHILLANAA BA’DAHU (ya Allah, ampunilah orang-orang yang masih hidup diantara kami, dan yang telah mati, anak kecil dan yang dewasa kami, laki-laki kami dan wanita kami, orang-orang yang hadir diantara kami dan yang tidak hadir. Ya Allah, siapapun diantara kami yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah di atas keimanan dan siapapun diantara kami yang Engkau wafatkan maka wafatkanlah dalam keadaan beragama Islam, ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari mendapatkan pahalanya dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah kematiannya!”

(HR. Abu Daud no. 3201, Ahmad no. 8809. Shahih, seperti dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh al Albaniy)

KEDUA.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i ia berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca do’a dalam shalat jenazah: “ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA’FU ‘ANHU WA ‘AAFIHI WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI’ MUDKHALAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARADI WA NAQQIHI MINAL KHATHAAYAA KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADLU MINAD DANASI WA ABDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARIHI WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHI WA QIHI ‘ADZABAL QOBRI WA ‘ADZABAN NAARI.” (“Ya Allah, Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, maafkanlah dia dan selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka”)

(HR. Muslim no. 963)

Doa-doa ini boleh diambil yang kita mampu atau hapal membacanya tidak wajib semuanya.

V. Apakah Boleh Shalat Jenazah Seorang Diri?

Ya, demikianlah menurut mayoritas ulama. Berjamaah bukanlah syarat sahnya shalat jenazah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ونص الحنفية والشافعية والحنابلة على أن الجماعة ليست شرطا لصحة الصلاة علىالجنازة وإنما هي سنة. وقال المالكية: من شرط صحتها الجماعة كصلاة الجمعة، فإن صلي عليها بغير إمام أعيدت الصلاة ما لم يفت ذلك

Perkataan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), bahwa berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat jenazah. Itu sunnah saja.

Ada pun Malikiyah mengatakan berjamaah adalah syarat sahnya, seperti shalat Jumat. Siapa hang shalat tidak bersama imam hendaknya dia ulangi selama belum kehilangan momennya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/18)

Bersambung …

Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top