Tata Cara Mandi Janabah/Mandi Besar/Mandi Wajib

Bagaimana tata cara mandi wajib atau mandi janabah atau mandi besar? Simak penjelasannya pada artikel di bawah ini!


Cara Mandi Wajib:

1. Niat

Niat ini sangat penting karena posisinya sebagai pembeda antara mandi biasa untuk bersih-bersih dan kesegaran tubuh, atau mandi janabah.[1] Mayoritas ulama mengatakan niat adalah fardhu (wajib) saat wudhu, tanpa niat mandi janabah tidak sah, sebagaimana ditegaskan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), berdasarkan hadits “amal itu berdaskan niat”. Ada pun Hanafiyah mengatakan sunnah.[2] Menurut Syaikh Abdul Wabah Khalaf, bagi Hambaliyah niat itu syarat sahnya mandi, bukan fardhu.[3] Semua ulama sepakat niat itu di hati, dan itu sudah cukup.[4] Ada pun melafazkan niat itu bukan syarat sahnya, namun itu sunnah menurut mayoritas ulama kecuali Malikiyah.[5]

2. Tasmiyah (Membaca Bismillah)

Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan bahwa hal ini sunnah berdasarkan hadits-hadits tentang tentang itu. Pada dasarnya haditsnya dhaif, tapi jika dikumpulkan semua jalurnya hadits tersebut menjadi kuat. Mengawali dengan bismillah adalah hal yang baik dan pada dasarnya dianjurkan dalam mengawali kebaikan apa pun.[6] Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang mengatakan makruh dan tidak disyariatkan, dan Hambaliyah yang mengatakan wajib.[7]

3. Cuci tangan sebanyak tiga kali

Ini dilakukan diawal sebelum mandi dan disepakati kesunnahannya oleh semua ulama.[8] Ini berdasarkan hadits Maimunah Radhiallahu ‘Anha: “Aku letakkan air untuk mandi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi, Beliau mencuci tangannya dua atau tiga kali ..” [9] Juga hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau bercerita: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak mandi janabah Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya sebelum memasukkan tangannya ke bejana…” [10]

4. Mencuci kemaluan (cebok)

Hal ini berdasarkan hadits Maimunah sebelumnya: “Lalu Beliau memenuhi tangan kirinya dengan air dan mencuci kemaluannya.” [11] Bagi Hanafiyah ini adalah sunnah, Malikiyah mengatakan mandub (anjuran), sementara Syafi’iyah dan Hambaliyah mengatakan ini adalah sempurnanya mandi janabah.[12]

5. Wudhu seperti wudhu shalat

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Lalu Beliau wudhu sebagaimana wudhunya shalat.” [13] Mayorutas ahli fiqih mengatakan wudhu ini sunnah secara tuntas. Tapi, mereka berbeda pendapat tentang apakah mencuci kaki wudhu diakhirkan diakhir mandi, ataukah saat akhir wudhu. Menurut Hanafiyah, dan yang lebih shahih dari Syafi’iyah, serta yang resmi dari Hambaliyah, kaki dicuci berbarengan dengan wudhu tersebut, tidak diakhirkan diakhir mandi. Ada pun salah satu pendapat Hanafiyah dan pendapat resmi Malikiyah hendaknya mencuci kaki diakhirkan.[14]

6. Meratakan air ke seluruh tubuh, rambut dan bulu tubuh, dan kulit

Ini adalah wajib dan disepakati semua ulama, [15] tanpa hal ini maka mandi janabah tidak sah. Seperti sela jari jemari tangan dan kaki, lekukan tubuh, dan rambut sampai akarnya. Hal ini berdasarkan lanjutan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas: “Kemudian Beliau memasukkan tangannya ke air, lalu jari jemarinya membersihkan dan menyelah rambutnya sampai dasarnya, lalu mengguyur kepalanya dengan air sepenuh dua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu mengguyurkan air ke seluruh kulit tubuhnya.”

7. Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian kanan

Ini disepakati kesunnahannya.[16] Hal ini berdasarkan hadits Asyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai dalam hal apa pun memulainya dari kanan, seperti menyisir, memakai sendal, bersuci, dan lainnya.[17]

8. Saat mengguyur memulai dari tubuh bagian atas

Ini juga sunnah menurut Syafi’iyah, dan Malikiyah mengatakan anjuran.[18] Mulai dari kepala, leher, bahu, dada, perut, terus sampai kaki.

9. Mengulang tiga kali pada masing-masing bagian

Ini juga sunnah menurut umumnya madzhab, baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah. Sedangkan Malikiyah mengatakan mandub (anjuran). [19] Istilah mandub, sunnah, nafilah, mustahab, dan tathawwu’, adalah sama saja menurut Syafi’iyyah dan Hambaliyah.

Beberapa Catatan Terkait Cara Mandi Wajib:

– Dalam mandi wajib, ada cara minimalis yaitu sekadar niat dan meratakan air keseluruh tubuh, kulit, dan bulu badan. Ini sudah ijza (cukup dan sah). Lalu cara sempurna yaitu menjalankan wajib, sunnah-sunnah, dan adab-adabnya.[20]

– Memakai sampo (keramas) bukanlah syarat, rukun, atau wajib, dalam mandi. Tapi, itu penyempurna saja, sebagai pembersih. Tidak dipakai tidak masalah. Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan memakai as Sidr (daun bidara) sebagai pembersih saat mandi, “Hendaknya kalian mengambil air buat mandi, daun Sidr, dan bersuci sebaik-baiknya, tuangkan air ke kepalanya, lalu gosok kuat-kuat sampai ke dasar rambutnya.” [21]

– Khusus buat wanita, mandi karena junub (yaitu sebab jima’ dan mimpi basah) tidak mesti membuka ikatan atau kepang rambutnya, yang penting bisa dipastikan air sampai ke bagian dasar rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Wahai Rasul, aku ini wanita yang mengikat rambut begitu kuat, apakah mesti dibuka saat mandi janabah?” Beliau bersabda: “Tidak, cukuplah bagimu menuangkan air di atas kepalamu tiga kali, lalu siramkan air di atas tubuhmu, maka kamu pun suci.” [22] Ini adalah pendapat umumnya ulama, bahwa ikat atau gulungan rambut tidak mesti dibuka saat mandi janabah.[23] Ada pun mandi karena nifas dan haid, wajib dibuka menurut mayoritas ulama sebagaimana hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas. Sebagian mengatakan tidak wajib, tapi sunnah saja. Perbedaan ini karena kondisi junub lebih sering dibanding haid dan nifas. Tentunya akan berat bagi wanita jika membuka ikatan rambutnya dan membasahinya terlalu sering.

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Cara dan Sebab Tayammum

Cara Mandi Wajib Menurut Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi Rahimahullah menjelaskan:

ان يقول : بسم الله ناويا رفع حدث الأكبر باغتساله, ثم يغسل كفيه ثلاثا, ثم يستنجى فيغسل ما بفرجيه و ما حولهما من أذى ثم يتوضأ وضوءه الأصغر, الا رجليه فان له ان يغسلهما مع وضوءه, و له ان يؤخرهما الى الفراغ من غسله, ثم يغمس كفيه فى الماء فخلل بهما اصول شعر رأسه ثم يغسل رأسه نع أذنيه ثلاث مرات بثلاث غرفات, ثم يفيض الماء على شقه الأيمن يغسله بذلك من اعلاه الى أسفله, ثم الايسر كذلك متتبعا أثناء الغسل الأماكن الخفية كالسرة, و تحت الابطين, و الركبتين و نحوها, ذلك لقول عائشة رضي الله عنها: ( كان رسول الله ﷺ إذا آراد ان يغتسل من الجنابة بدأ فغسل يديه قبل ان يدخلهما فى الإناء ثم غسل فرجه, و يتوضأ وضوءه للصلاة, ثم يشرب شعره الماء ثم يحثى رأسه ثلاث حثيات ثم يفيض الماء على سائر جسده. (رواه الترمذى صححه)

Hendaknya membaca bismillah

berniat dalam rangka menghilangkan hadats besar dengan mandinya itu,

lalu mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali,

lalu beristinja (cebok) dan membersihkan kemaluan dan duburnya dan bagian sekitarnya dari kotoran,

lalu dia berwudhu kecil kecuali bagian kakinya,

sebab bagian kaki akan dibasuh nanti bersama wudhunya dan mengakhirkannya sampai selesai mandinya,

lalu mencelupkan kedua telapak tangannya ke air,

lalu dengan kedua tangannya itu dia menyelah-nyelah rambut sampai akarnya,

lalu menyiramkan kepalanya bersama kedua telinganya sebanyak tiga kali siraman,

lalu mengguyurkan air ke tubuh sebelah kanan dimulai dari bagian atas lalu ke bawah,

lalu menyiramkan bagian kiri sama persis dengan cara menyiram bagian kanan,

kemudian dia mesti memperhatikan bagian-bagian tersembunyi seperti pusar, dalam ketiak, balik lutut, dan bagian tersembunyi lainnya.

Hal ini sebagaimana perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

“Dahulu Rasulullah ﷺ jika hendak mandi janabah, memulainya dengan mencuci kedua tangannya sebelum memasukannya ke bejana, lalu mencuci kemaluannya, lalu dia wudhu seperti wudhu-nya shalat, lalu membasahi rambutnya dengan air, lalu menyiramkan kepalanya tiga kali, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya. (HR. At Tirmidzi, dia menyatakan shahih)

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 140. Cet. 4. 2012M/1433H. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah Al Munawwarah


Foot notes:

[1] Imam Ibnu Rajab, Jami’ al ‘ulum wa al hikam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2019), hal. 11

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hal. 207

[3] Syaikh Abdul Wabah Khalaf, Al Fiqhu ‘ala al Madzahib al Arba’ah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2014), hal. 105

[4] Imam Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfah al Muhtaj (Mesir: Maktabah at Tijariyah al Kubra, 1983), juz. 2, hal. 12

[5] Syaikh Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al Fikr), juz. 1, hal. 163

[6] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Beirut: Dar al Kitab al Arabi, 1977), Juz. 1, hal. 45

[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 43, hal. 357-358

[8] Ibid, juz. 31, hal. 213

[9] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Ghusl Marrah Wahidah (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 257

[10] Ibid, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl, no hadits. 248

[11] Imam al Bukhari, loc. cit.

[12] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 31, hal. 213

[13] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Ghusl, Bab al Wudhu Qabla al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 248

[14] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hal. 214

[15] Ibid, juz. 31, hal. 207

[16] Al Mausu’ah, loc cit.

[17] Imam al Bukhari, Jami’ ash Shahih, Kitab al Wudhu, Bab at Tayammun fi al Wudhu wa al Ghusl (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no hadits. 168

[18] Al Mausu’ah, op cit. Juz. 31, hal. 215

[19] Ibid

[20] Ibid, juz. 31, hal. 217

[21] Imam Muslim, Jami’ ash Shahih, Kitab al Haidh, Bab Istihbab Isti’mal al Mughtasilah min al Haidh Firshah min Miski fi Maudhi’ ad Dam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2010), no. 332

[22] Ibid, Bab Hukmi Dhafair al Mughtasilah, no. 330

[23] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (Kuwait: Wizarah al Awqaf wa al Syu’un al Islamiyah), juz. 26, hal. 106

✍ Farid Nu’man Hasan

Dunia yang Menggiurkan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Kesenangan Dunia Itu Sangat Menggoda

📌 Dunia diambil dari kata Danaa yang artinya dekat

📌 Itu menunjukkan nikmat dunia yang tidak lama dan cepat hilang ..

📌 Nikmatnya makanan lezat hanya di lidah, begitu pula manisnya madu ..

📌 Jika masuk ke kerongkongan tidak beda antara empedu dan gula

📌 Nikmatnya rekreasi hanya saat dalam persiapan dan perjalanan

📌 Jika sudah sampai di tempat tujuan, berapa lama bisa bertahan .. pasti lahir rasa bosan dan ingin pulang

📌 Begitu juga pada kenikmatan-kenikmatan lainnya ..

📌 Tapi .., walau singkat dan cepat hilang, godaan kenikmatan dunia sangat menggiurkan …

📌 Banyak sudah yang menjadi korbannya, baik laki perempuan, tokoh dan awam, orang shalih dan orang jahat ..

📌 Begitulah dunia .. bagaikan wanita cantik jelita yang menggoda mata laki-laki dan tidak jemu memandangnya, yang menjanjikan kenikmatan dan keabadian .. padahal itu semu ..

📌 Tapi dibalik itu ada kesengsaraan panjang menantinya ..

Benar kata Abu Bakar Ash Shidiq Radhiallahu ‘Anhu:

لا خير فى خير بعده نار و لا شر فى شر بعده الجنة

“Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang setelahnya ternyata neraka. Tidak ada keburukan pada keburukan yang setelahnya ternyata surga.”

📌 Maka, jangan sia-siakan dunia dengan kesenangannya tapi perbanyaklah investasi bekal akhirat

📌 Lihatlah salafush shalih ..

Imam Al Hakim meriwayatkan dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, dia bercerita:

كُنَّا مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَدَعَا بِشَرَابٍ فَأُتِيَ بِمَاءٍ وَعَسَلٍ فَلَمَّا أَدْنَاهُ مِنْ فِيهِ بَكَى وَبَكَى حَتَّى أَبْكَى أَصْحَابَهُ فَسَكَتُوا وَمَا سَكَتَ، ثُمَّ عَادَ فَبَكَى حَتَّى ظَنُّوا أَنَّهُمْ لَنْ يَقْدِرُوا عَلَى مَسْأَلَتِهِ، قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ عَيْنَيْهِ فَقَالُوا: يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْكَاكَ؟ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُهُ يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ شَيْئًا وَلَمْ أَرَ مَعَهُ أَحَدًا فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الَّذِي تَدْفَعُ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: «هَذِهِ الدُّنْيَا مُثِّلَتْ لِي فَقُلْتُ لَهَا إِلَيْكِ عَنِّي ثُمَّ رَجَعَتْ فَقَالَتْ إِنْ أَفْلَتَّ مِنِّي فَلَنْ يَنْفَلِتَ مِنِّي مَنْ بَعْدَكَ

Suatu ketika Abu Bakar meminta diambilkan air minum karena haus, maka diambilkan untuknya semangkuk air yang telah dicampur madu.

Ketika bibirnya sudah menyentuh tepi mangkuk, menangislah Beliau. Para sahabat disekitarnya terharu melihat pemandangan itu, mereka pun turut menangis. Sejenak tangis mereka reda, saat tangis Abu Bakar reda, tetapi Abu Bakar kembali menangis. Mereka menyangka tidak akan bisa menanyakannya.

Saat Abu Bakar mengusap kedua matanya, mereka berkata kepada Abu Bakar …

“Wahai Abu Bakar, khalifah Rasulullah, mengapa Anda menangis?”

Abu Bakar menjawab:

“Pernah suatu saat aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau nampak sedang menghalau sesuatu dari dirinya, padahal aku tidak melihat siapa pun.

Maka aku bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa yang Anda halau?”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

“Sesungguhnya dunia ini tampak bersolek di hadapanku, maka aku berkata padanya, enyahlah kau dariku, enyahlah!”

Lalu dunia kembali lagi dan berkata, “Kalaulah engkau dapat lolos dariku, tetapi orang-orang setelah engkau sama sekali tidak akan lolos dari godaanku.”

Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan, Abu Bakar berkata:

فَشَقَّ عَلَيَّ وَخَشِيتُ أَنْ أَكُونَ قَدْ خَالَفْتُ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَحِقَتْنِي الدُّنْيَا

“Maka dunia mendekatiku, aku takut telah menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dunia berhasil menangkapku.”

(Imam Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 7856, katanya: isnadnya shahih, Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 10039, Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 44, Al Haitsami berkata ttg sanad Al Bazzar: dalam sanadnya terdapat Abdul Wahid bin Zaid, mayoritas mengatakan dia dhaif, Ibnu Hibban mengatakan terpercaya. Dia mengatakan haditsnya bisa diambil jika perawi sebelum dan sesudah dia adalah org yang terpercaya. Ada pun perawi lain semunya terpercaya. (Majma’ Az Zawaid, 10/254), Imam Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya’, 6/164)*

Suatu malam Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, berkunjung ke rumah Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu, terjadi dialog di antara mereka:

فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَتَذْكُرُ حَدِيثًا حَدَّثَنَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: أَيُّ حَدِيثٍ؟ قَالَ: «لِيَكُنْ بَلَاغُ أَحَدِكُمْ مِنَ الدُّنْيَا كَزَادِ الرَّاكِبِ» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَاذَا فَعَلْنَا بَعْدَهُ يَا عُمَرُ؟ قَالَ: فَمَا زَالَا يَتَجَاوَبَانِ بِالْبُكَاءِ حَتَّى أَضْحَيَا

Abu Darda berkata: “Apakah kau ingat sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ kepada kita?”
Umar bertanya: “Hadits yang mana?”

Abu Darda berkata: “Hendaknya bekal kalian di dunia seperti bekal seorang penunggang (musafir).”

Umar menjawab: “Ya.”
Abu Darda berkata: “Sekarang, apa yang kita lakukan setelah Rasulullah wafat wahai Umar?”
Maka, mereka berdua menangis sampai pagi hari. (Abu Zaid Umar bin Syubbah, Tarikh Al Madinah, 3/835)

Bahkan, Imam Asy Syafi’iy begitu khawatir minum air yang dingin khawatir jatuh pada kecintaan kepada dunia .. Beliau berkata:

والله لو علمت أن الماء البارد يثلم من مروءتي شيئا ما شربت إلا حارا ً 

Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa air dingin dapat melipat kewibawaanku sedikit saja, niscaya aku hanya meminum air panas saja. (Jawaahir min Aqwaal As Salaf No. 37)

Ya Allah Jadikanlah Dunia di tangan kami .. Bukan di hati kami .. amiin

🌷🌺🌴☘🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Penyebab Tergelincirnya Kaum Wanita ke Dalam Dosa

▪▫▪▫▪▫▪▫

Berikut ini sebab-sebab kenapa wanita tergelincir ke lumpur dosa bahkan ke neraka.

1⃣ Mengolok-olok wanita lain

Dalam perkumpulan kaum wanita, baik ibu-ibu, atau remaja putri, sering kali mengolok-olok wanita lain menjadi makanan sehari-hari. Objeknya pembicaraannya biasanya adalah penampilan wanita tersebut, keadaan anaknya, keadaan suaminya, dan sebagainya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).

(QS. Al-Hujurat, Ayat 11)

Ayat di atas menggunakan kata Laa Yaskhar (jangan mengolok), kata dasarnya sakhira-yaskharu, yg bermakna mengolok, menghina, mengejek, mencibir.

Pada kalimat pertama larangan mengolok-olok secara umum, lalu secara khusus untuk kaum wanita. Kenapa wanita dikhususkan? Imam Al Qurthubiy Rahimahullah menjelaskan:

أفرد النساء بالذكر لأن السخرية منهن أكثر

Disebutkan kaum wanita secara menyendiri, karena ejekan dari mereka lebih banyak. (Tafsir Al Qurthubiy, 16/326)

Imam Al Qurthubiy Rahimahullah menyampaikan beberapa riwayat yang disebut menjadi sebab turunnya ayat ini:

– Tentang Ummu Salamah Radhiyallahu Anha

Saat Ummu Salamah memakai pakaian putih sampai menjulur bagian belakangnya ke tanah, lalu Aisyah Radhiyallahu Anha berkata kepada Hafshah Radhiyallahu Anha:

انظري! ما تجر خلفها كأنه لسان كلب

“Lihat tuh, bagian belakangnya nyengser, kaya lidah anjing.”

Sementara Anas bin Malik dan Ibnu Zaid menceritakan, para wanita menghina Ummu Salamah dengan sebutan “pendek.”

Imam Al Qurthubiy Rahimahullah mengatakan:

وقيل: نزلت في عائشة، أشارت بيدها إلى أمu سلمة، يا نبي الله إنها لقصيرة

Disebutkan, bahwa ayat ini turun tentang Aisyah, ketika dia mengisyaratkan tangannya ke Ummu Salamah; “Wahai Nabiyallah, wanita ini benar-benar pendek.”

– Tentang Shafiyyah, diejek “wanita Yahudi anak dari Yahudi.”

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah Radhiyallahu’Anha mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:

يا رسول الله، إن النساء يعيرنني، ويقلن لي يا يهودية بنت يهوديين! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:] هلا قلت إن أبي هارون وإن عمي موسى وإن زوجي محمد [. فأنزل الله هذه الآي

Wahai Rasulullah, kaum wanita telah menghinaku, mereka memanggilku: “Wahai wanita Yahudi anak dari orang-orang Yahudi.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kamu jawab saja, ayahku Harun, pamanku Musa, suamiku Muhammad.” (Lalu Turunlah ayat tersebut).

(Tafsir Al Qurthubiy, Ibid)

Kita lihat, istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bisa mengalami, hanya saja mereka hidup di madrasah kenabian, di masa wahyu masih turun, sehingga ada “rem pakem” yang bisa menahan mereka dan segera mereka menyadari kesalahannya.

Ada pun saat ini, sering kali ejekan, olok-olok, meluncur begitu saja tidak terkendali. Jika dinasihati, justru melakukan perlawanan, kecuali yang Allah Ta’ala rahmati dan bisa berubah dan sadar atas kesalahannya.

💢💢💢💢💢💢💢💢

2⃣ Menyakiti/Mengganggu Tetangga Dengan Lisannya

Salah satu sebab tergelincirnya kaum wanita adalah kurang menjaga lisan terhadap tetangganya. Selalu saja ada “objek” yang dibicarakan tentang mereka. Baik yang disukai atau tidak, yang positif atau negatif. Sehingga membuat tetangganya tidak nyaman dan terganggu oleh perbuatannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu:

قيل للنبى – صلى الله عليه وسلم – إن فلانة تقوم الليل وتصوم النهار وتفعل وتفعل الخيرات وتتصدق وتؤذى جيرانها بلسانها فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لا خير فيها هى من أهل النار قيل وفلانة تصلى المكتوبة وتتصدق من الأثوار من الأقط ولا تؤذى أحد فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – هى من أهل الجنة

Dikatakan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:

“Si Fulanah (wanita), rajin shalat malam, shaum di siang hari, banyak melakukan kebajikan dan bersedekah, tapi mulutnya suka mengganggu tetangganya.”

Nabi menjawab: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.”

Dikatakan lagi: “Sementara, Si Fulanah dia hanya shalat wajib, bersedekah, tapi tidak pernah menyakiti siapa pun.”

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam menjawab: “Dia termasuk penduduk surga.”

(HR. Bukhari, Adabul Mufrad no. 119, Al Hakim, 4/116, Ahmad, 2/440)

Dalam hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.”

(HR. Muslim no. 73)

Dari Abu Musa Al Asy’ariy Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Muslim yang bagaimana yang paling utama?”

Beliau menjawab: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.”

(HR. At Tirmidzi no. 2627, kata Imam At Tirmidzi: Hasan Shahih)

Bagaimana mungkin seorang muslim menyakiti saudara seorang muslim, apalagi itu tetangganya sendiri, kepada hewan saja kita dilarang menyakiti?

Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

والله ما يحل لك أن تؤذي كلباً ولا خنزيراً بغير حق، فكيف تؤذي مسلما؟

Demi Allah, tidak halal bagimu menyakiti anjing dan babi dengan tanpa alasan yang benar, lalu bagaimana kau bisa menyakiti seorang muslim?

(Durar min Aqwaal Aimmah As Salaf)

3⃣ Memakai Parfum Di Luar Rumah

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Perempuan mana pun yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium wanginya  maka perempuan tersebut adalah zaaniyah (wanita pezina).”

(HR. An Nasa’i no. 5126, hasan)

Tidak semua minyak wangi terlarang bagi wanita. Mereka dibolehkan memakainya di rumah saat bersama keluarganya sendiri apalagi dihadapan suaminya, bahkan itu menjadi ibadah jika dalam rangka menyenangkan suami.

Bagaimana saat di luar rumah? Mereka dibolehkan dgn parfum khafiy (samar) aromanya, aromanya kalem, tapi nyata warnanya. Itulah parfum wanita dalam Islam.

Para ulama menjelaskan:

وَيُسَنُّ لِلْمَرْأَةِ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا بِمَا يَظْهَرُ لَوْنُهُ وَيَخْفَى رِيحُهُ، لِخَبَرٍ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طِيبُ الرِّجَال مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا خَفِيَ رِيحُهُ وَظَهَرَ لَوْنُهُ وَلأَِنَّهَا مَمْنُوعَةٌ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا

Disunnahkan bagi wanita di saat tidak dirumahnya memakai yang nampak warnanya dan khafiy (tersembunyi/samar) aromanya, berdasarkan hadits riwayat At Tirmidzi, An Nasa’iy, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:

“Parfumnya laki-laki adalah yang tercium aromanya dan tersembunyi warnanya, sedangkan parfum wanita adalah yang nampak warnanya dan khafiy aromanya, sebab wanita terlarang memakainya di luar rumahnya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/174)

Paling mendekati maksud “Nampak warnanya dan tersembunyi aromanya” seperti pewarna tangan (khidhab, hena) ..

Ada pun jika memakainya dgn parfum yg bisa tercium menyengat kaum laki-laki maka itulah yang terlarang.

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

(أيما امرأة استعطرت) أي استعملت العطر أي الطيب يعني ما يظهر ريحه منه (ثم خرجت) من بيتها (فمرت على قوم) من الأجانب (ليجدوا ريحها) أي بقصد ذلك (فهي زانية) أي كالزانية في حصول الإثم

Wanita mana pun yang memakai minyak wangi, yaitu yang tercium aromanya lalu dia keluar dari rumahnya dan melewati sekelompok ajnabiy (bukan mahram) agar mereka mencium aromanya maka dia wanita pezina yaitu mendapat dosa yg semisal zina.

(Faidhul Qadir, 3/147)

Ada pun bagi wanita yang bau badannya menyengat, maka dia bisa bersihkan diri sebaik-baiknya, kurangi makan dengan bumbu yang aromanya tajam, serta memakai bedak ketiak yang meredam bau badan saja, bukan dengan aroma yang menyengat.

4⃣ Menyambung Rambutnya

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

“Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya (seperti wig, konde, dan sanggul), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari no. 5590 Muslim no. 2123)

Dari Asma’ Radhiallahu ‘Anha dia berkata:

سَأَلَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي أَصَابَتْهَا الْحَصْبَةُ فَامَّرَقَ شَعَرُهَا وَإِنِّي زَوَّجْتُهَا أَفَأَصِلُ فِيهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمَوْصُولَةَ

“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari no. 5597)

Imam Abu Daud Rahimahullah menjelaskan:

وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِي تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِ النِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا …

“Tafsir dari Al Washilah adalah wanita penyambungkan rambut dengan rambut wanita lain, dan Al Mustawshilah adalah wanita yang menjadi objeknya (yang disambung rambutnya)…

(Lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170. Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi no. 14611, Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)

Menyambung rambut seperti memakai wig, konde, dan sejenisnya adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Asy Syaukani Rahimahullah berikut ini:

والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم

“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’lim, 6/328. Maktabah Al Misykah)

Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم الْوَصْل ، وَلَعْن الْوَاصِلَة وَالْمُسْتَوْصِلَة مُطْلَقًا ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِر الْمُخْتَار

“Hadits-Hadits ini dengan jelas mengharamkan secara mutlak menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang yang disambung rambutnya, dan inilah yang benar lagi menjadi pendapat pilihan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236)

Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya, Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya, atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur, baik rambut, kuku atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik

untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.

📌 Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/66)

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian bahan wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykat)

Apa yang dikatakan oleh Al Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur.

5⃣ Mencukur atau mencabut rambut alis

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ

“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita yg yang mencukur alis dan yang dicukur alisnya, pembuat tato dan yang bertato,  kecuali karena berobat.”

(HR. Abu Daud no. 4170, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan, Fathul Bari,  10/376. Darul Fikr. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih, lihatShahih At Targhib wat Tarhib, No. 2101)

Imam Abu Daud Rahimahullah menjelaskan:

وَالنَّامِصَةُ الَّتِي تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تُرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا ..

An Namishah adalah wanita pencukur alis mata sampai tipis, dan Al Mutanammishah adalah wanita yang dicukur alisnya.

(Lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170.    Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi no. 14611, Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri,Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)

Sebagaimana yang lain, maka An Namishah(pencukur alis) dan Al Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga haram dan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.

Dalam Fathul Bari disebutkan oleh Al Hafizh:

قال الطبري: لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها بزيادة أو نقص التماس الحسن لا للزوج ولا لغيره

“Berkata Imam Ath Thabari: Tidak boleh bagi wanita merubah sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk   suami dan tidak juga untuk selain suami.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr. Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri,Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari ini tidak memberikan pengecualian, bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala.

Namun,  pandangan ini ditanggapi oleh Imam An Nawawi sebagai berikut:

وَهَذَا الْفِعْل حَرَام إِلَّا إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَة أَوْ شَوَارِب ، فَلَا تَحْرُم إِزَالَتهَا ، بَلْ يُسْتَحَبّ عِنْدنَا . وَقَالَ اِبْن جَرِير : لَا يَجُوز حَلْق لِحْيَتهَا وَلَا عَنْفَقَتهَا وَلَا شَارِبهَا ، وَلَا تَغْيِير شَيْء مِنْ خِلْقَتهَا بِزِيَادَةِ وَلَا نَقْص . وَمَذْهَبنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ اِسْتِحْبَاب إِزَالَة اللِّحْيَة وَالشَّارِب وَالْعَنْفَقَة ، وَأَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ فِي الْحَوَاجِب وَمَا فِي أَطْرَاف الْوَجْه

“Perbuatan ini (mencukur alis dan  tukang cukurnya)  adalah haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram menghilangkannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya  larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang tidak lazim dan tidak normal.  Sebab, wanita diciptakan Allah Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala, melainkan menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka, pendapat yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat yang lebih kuat.

Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang lebih hati-hati adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram. Sebagaimana seorang penjudi  berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah judinya menjadi halal.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Sebab-Sebab Bolehnya Mufaraqah (Berpisah/Keluar) Dari Shalat Jama’ah

▪▫▪▫▪▫▪▫

Bismillahirrahmanirrahim ..

Pada dasarnya tidak boleh berpisah dengan imam, sebab Rasulullah ﷺ berabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا

Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika di sujud maka sujudlah, dan jika dia shalat berdiri maka berdirilah. (HR. Bukhari no. 378)

Tapi, ada kondisi atau sebab, dibolehkannya ma’mum berpisah dengan imam dan dia melanjutkan sendiri.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإن أحرم مأموما ثم نوى مفارقة الإمام وإتمامها منفردا لعذر جاز

Jika ma’mum sudah takbiratul ihram, lalu dia berniat mufaraqah (berpisah) dengan imam dan melanjutkan shalat sendiri karena adanya ‘UZUR, maka itu BOLEH. (Al Mughni, 2/171)

Bahkan, sebagian ulama menyatakan tetap sah shalatnya walau Mufaraqah-nya tanpa uzur.

Imam Husein Al Mahalliy Asy Syafi’iy Rahimahullah mengatakan:

ولو نوى المأموم مفارقة الإمام بلا عذر لم تبطل صلاته عند الشافعي، وأحمد

Seandainya ma’mum berniat memisahkan diri dari imam tanpa adanya ‘uzur, maka shalatnya tidak batal menurut Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. (Mazid An Nimah, Hal. 136)

Apakah ‘uzur yang dimaksud?, Misal: Imam terlalu lama sedangkan ma’mum ada suatu keperluan atau sudah lemah, atau sebab lain yang memang ma’mum mengalami kesulitan, sehingga dia mesti berpisah.

Dari Jabir bin Abdillah Al Anshariy Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

اقْبَلَ رَجُلٌ بِنَاضِحَيْنِ وَقَدْ جَنَحَ اللَّيْلُ فَوَافَقَ مُعَاذًا يُصَلِّي فَتَرَكَ نَاضِحَهُ وَأَقْبَلَ إِلَى مُعَاذٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ أَوْ النِّسَاءِ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ وَبَلَغَهُ أَنَّ مُعَاذًا نَالَ مِنْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَا إِلَيْهِ مُعَاذًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَلَوْلَا صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ

“Seorang laki-laki datang dengan membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita. Laki-laki itu kemudian tinggalkan untanya dan ikut shalat bersama Mu’adz. Dalam shalatnya Mu’adz membaca surah Al Baqarah atau surah An Nisaa’, sehingga laki-laki tersebut meninggalkan Mu’adz. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Mu’adz mengecam tindakannya. Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Nabi ﷺ dan mengadukan persoalannya kepada beliau. Nabi ﷺ lalu bersabda: “Wahai Mu’adz, apakah kamu membuat fitnah?” Atau kata Beliau: “Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? -Beliau ulangi perkataannya tersebut hingga tiga kali- “Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’? Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah atau orang yang punya keperluan.” (HR. Bukhari no. 705)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan tentang kisah di atas:

وَلَمْ يَأْمُرْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الرَّجُلَ بِالْإِعَادَةِ، وَلَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ فِعْلَهُ، وَالْأَعْذَارُ الَّتِي يَخْرُجُ لِأَجْلِهَا، مِثْلُ الْمَشَقَّةِ بِتَطْوِيلِ الْإِمَامِ، أَوْ الْمَرَضِ، أَوْ خَشْيَةِ غَلَبَةِ النُّعَاسِ، أَوْ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلَاتَهُ، أَوْ خَوْفِ فَوَاتِ مَالٍ أَوْ تَلَفِهِ، أَوْ فَوْتِ رُفْقَتِهِ، أَوْ مَنْ يَخْرُجُ مِنْ الصَّفِّ لَا يَجِدُ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ، وَأَشْبَاهُ هَذَا

Nabi ﷺ tidak memerintahkan laki-laki itu mengulangi shalatnya, dan tidak pula mengingkari perbuatannya. Ada pun berbagai ‘uzur yang menyebabkan bolehnya keluar dari jamaah adalah seperti rasa berat krn terlalu panjangnya bacaan imam, atau sakit, atau khawatir dikuasai oleh rasa kantuk, atau hal yang dapat merusak shalatnya, atau takut hartanya hilang atau rusak, atau ketinggalan teman seperjalanan, atau orang yang masuk shaf tapi tidak ada orang lain yang menemaninya, dan

lainnya yang semisal itu. (Al Mughniy, 2/171)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:

يجوز لمن دخل الصلاة مع الامام أن يخرج منها بنية المفارقة ويتمها وحده ذا أطال الامام الصلاة
ويلحق بهذه الصورة حدوث مرض أو خوف ضياع مال أو تلفه أو فوات رفقة أو حصول غلبة نوم، ونحو ذلك

Dibolehkan bagi yang shalat bersama imam, dia keluar jamaah dengan niat memisahkan diri dan menyempurnakannya seorang diri, karena imam begitu panjang shalatnya. Begitu pula jika terjadi berbagai kondisi lainnya, seperti sakit, atau khawatir kehilangan harta, atau kehancurannya, atau ketinggalan teman, atau ngantuk berat, dan semisalnya. (Fiqhus Sunnah, 1/238)

Bahkan dalam madzhab Syafi’iy, dibolehkan mufaraqah jika imam meninggalkan sunnah seperti imam yang tidak tasyahud awal dan tidak berqunut (dalam shalat subuh). Mereka mufaraqah lalu menjalankan sunah itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/245)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top