Hukum Meninggalkan Masjid Saat atau Setelah Adzan

💢💢💢💢💢💢💢💢

❓ PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum Ust, adakah larangan meninggalkan masjid/pekarangannya saat sudah adzan. JazaakAllaahu khairan (+62 812-8318-xxxx)

💡 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Keluar meninggalkan masjid saat adzan atau setelah adzan adalah diharamkan, kecuali ada sebab syar’i.

Dalilnya:

عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Abu Sya’tsa’, katanya;

“Ketika kami tengah duduk-duudk di masjid bersama Abu Hurairah, dan ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, seseorang berdiri meninggalkan masjid sambil berjalan. Abu Hurairah terus mengawasinya hingga laki-laki keluar dari amsjid. Abu Hurairah lalu berkata; “Orang ini telah membangkang kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.”

(HR. Muslim no. 655)

Hadits lain:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَلَا يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ

Rasulullah ﷺ memerintahkan kami, jika kalian sedang di masjid lalu diserukan adzan shalat janganlah keluar sampai dia shalat.

(HR. Ahmad no. 10946, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan Shahih)

Kapan di bolehkan keluar?

Imam At Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan dalam sunannya:

وَعَلَى هَذَا الْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ ، أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَ الْأَذَانِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ ، أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Para ulama dari kalangan sahabat nabi mengamalkan hadits ini, bahwa janganlah seseorang keluar dari masjid setelah adzan kecuali ada uzur, atau karena urusan yang mengharuskan dia melakukannya. (selesai)

Syaikh Muhammad Shahih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

ومن الأعذار المبيحة للخروج : أن يخرج ليتوضأ إذا كان محل الوضوء خارج المسجد ، أو يخرج بنية العودة ، كما لو خرج ليوقظ أهله مثلا ثم يعود ، وكذلك الخروج للصلاة في مسجد آخر إذا علم أنه سيدرك الجماعة فيه

Di antara uzur dibolehkan keluar dari masjid:

– Keluar utk berwudhu jika tempat wudhu di luar

– Keluar untuk kembali lagi, misal keluar untuk membangunkan keluarganya lalu kembali lagi

– Keluar untuk shalat di masjid lain jika dia tahu dia akan mendapatkan jamaah

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 116955)

Dalam Ghayatul Muntaha, salah satu kitab standar madzhab Hambali disebutkan:

وحرم خروج من مسجد بعد أذان , وقبل صلاةٍ بلا عذر , أو نية رجوع … ويتجه جواز الخروج لو خرج بعد الأذان لكن ليصلي جماعة بمسجد آخر ، لا سيما مع فضل إمامه

Diharamkan keluar dari masjid setelah adzan, sebelum shalat, jika tanpa uzur, atau tanpa niat untuk kembali.. Boleh keluar dari masjid setelah adzan jika ingin shalat di masjid lain apalagi bersama imam yg lebih utama.

(Ghayatul Muntaha, 1/304)

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌵🌷🌿🌻🌸🍃🌺

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berdebat Dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Berdebat dalam Islam tidak terlarang jika untuk menyampaikan kebenaran Islam atau menarik orang tersesat untuk kembali ke jalan Islam yang lurus. Hal itu sdh terjadi sejak masa para nabi terdahulu hingga Rasulullah ﷺ
sendiri dan para salafush shalih.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

(QS. An-Nahl, Ayat 125)

Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam berdebat dengan Namrudz dan kaumnya.

Allah Ta’ala berfirman :

وَحَآجَّهُۥ قَوۡمُهُۥۚ قَالَ أَتُحَٰٓجُّوٓنِّي فِي ٱللَّهِ وَقَدۡ هَدَىٰنِۚ وَلَآ أَخَافُ مَا تُشۡرِكُونَ بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَشَآءَ رَبِّي شَيۡـٔٗاۚ وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيۡءٍ عِلۡمًاۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ

Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?

(QS. Surat Al-An’am, Ayat 80)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berdebat melawan Khawarij atas permintaan Ali, bahkan Ali Radhiallahu ‘Anhu pun akhirnya mendebat mereka..

Imam Asy Syafi’i berdebat dengan Inkar Sunnah.. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Ada pun perdebatan yang dilarang adalah perdebatan sesama muslim untuk memenangkan hawa nafsunya, semata-mata emosi, jago-jagoan, untuk menang-menangan, tidak memakai adab berdebat, sehingga memunculkan permusuhan …

Atau perdebatan dalam urusan yang tidak penting dan menumbuhkan amal, hanya untuk hura-hura intelektual.

Inilah yang sangat dibenci Allah Ta’ala:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang paling keras (gemar) dalam berbantah-bantahan”.

(HR. Bukhadi no. 2457)

Ma’ruf Al Karkhi Rahimahullah berkata:

إذا أراد بعبد خيرا فتح عليه باب العمل و أغلق عليه باب الجدل و إذا أراد بعبد شرا أغلق عليه باب العمل و فتح عليه باب الجدل

Jika seorang hamba dikehendaki kebaikan maka dibukakan untuknya pintu untuk beramal dan ditutupkan untuknya pintu perdebatan. Jika seorang hamba dikehendaki keburukan maka ditutup untuknya pintu amal dan dibukankan untuknya pintu perdebatan.

(Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman no. 1832)

Imam Al Auza’i Rahimahullah mengatakan:

«بلغني أن الله عز وجل إذا أراد بقوم شرا ألزمهم الجدل ومنعهم العمل»

Telah sampai kepadaku bahwasanya jika Allah Ta’ala kehendaki keburukan atas sebuah kaum, maka diliputi kepada mereka perdebatan, dan tercegah bagi mereka amal perbuatan.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jaami’ Bayan Al ‘Ilm wa Fadhlih, 2/933)

Inilah perdebatan yang membuat lemah umat Islam..

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.

(QS. Al-Anfal, Ayat 46)

Model seperti inilah perdebatan yang mesti dijauhi.

Demikian. Wallahu A’lam

🌸🌿🌷🌻🌺🌴🌵🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Mengucapkan Salam Duluan Kepada Non Muslim?

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dalam masalah memulai salam kepada non muslim, memang ada dasar yang melarangnya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi

bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)

Hadits ini tegas melarang kita memulai salam kepada non muslim. Lalu, apa makna larangan ini? Haramkah, makruh, atau …. ?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:

“Segolongan ulama berpendapat bolehnya memulai salam kepada mereka, pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah, Abu Muhairiz, dan ini salah satu pendapat sahabat-sahabat kami seperti yang diceritakan Al Mawardi tetapi dia mengatakan ucapan salamnya adalah “Assalamu ‘Alaika” bukan “’Alaikum.” Kelompok ini beralasan dengan hadits-hadits yang masih umum tentang perintah untuk menyebarkan salam. INI ADALAH ALASAN YANG BATIL, karena hadits tersebut masih umum dan telah dikhususkan oleh oleh hadits “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani”.

Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berpendapat dimakruhkan memulai salam kepada mereka, bukan haram. Pendapat ini lemah juga, sebab larangan menunjukkan haram. Maka, yang benar adalah HARAMnya memulai salam kepada mereka. Al Qadhi menceritakan dari segolongan ulama bahwa dibolehkan memulai salam jika ada daruat, ada kebutuhan, dan ada sebab. Ini adalah pendapat Alqamah, An Nakha’i, dan Al Auza’i, dia berkata: “Jika engkau mengucapkan salam maka orang-orang shalih pernah melakukan, jika engkau tidak mengucapkan maka orang-orang shalih juga ada yang meninggalkannya.”

(Al Minhaj Syarh Shahih, 14/145)

Pembahasan Imam An Nawawi menunjukkan pendapat yang mengharamkan adalah pendapat yang kuat, sesuai dengan hadits ini. Menurutnya, lafaz larangan menunjukkan haram. Pengharaman ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ ابْتِدَاءِ الْمُسْلِمِ لِلْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ بِالسَّلَامِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَصْلُ النَّهْيِ وَحَمْلُهُ عَلَى الْكَرَاهَةِ خِلَافُ أَصْلِهِ وَعَلَيْهِ حَمَلَهُ الْأَقَلُّ. وَإِلَى التَّحْرِيمِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَذَهَبَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ إلَى جَوَازِ الِابْتِدَاءِ لَهُمْ بِالسَّلَامِ وَهُوَ وَجْهٌ لِبَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ إلَّا أَنَّهُ قَالَ الْمَازِرِيُّ إنَّهُ يُقَالُ: السَّلَامُ عَلَيْك بِالْإِفْرَادِ، وَلَا يُقَالُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، وَاحْتَجَّ لَهُمْ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا} [البقرة: 83] وَأَحَادِيثُ الْأَمْرِ بِإِفْشَاءِ السَّلَامِ. وَالْجَوَابُ أَنَّ هَذِهِ الْعُمُومَاتِ مَخْصُوصَةٌ بِحَدِيثِ الْبَابِ وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا

“Pada hadits ini terdapat dalil haramnya seorang muslim memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, karena itu merupakan hukum asal dari larangan. Ada yang mengartikan makruh dan itu menyelisihi hukum asalnya, yang memahami seperti ini lebih sedikit. Sedangkan pengharaman adalah pendapat mayoritas salaf dan khalaf. Segoloangan ada yang membolekan di antaranya Ibnu Abbas, juga satu golongan Syafi’iyah hanya saja Al Maziri mengatakan ucapan salamnya adalah: “Assalamu ‘Alaika” dalam bentuk tunggal, bukan “Assalamu ‘Alaikum.” Alasan mereka membolehkan adalah keumuman ayat: “Berkatalah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al Baqarah: 83) dan hadits-hadits yang memerintahkan menyebarkan salam. Jawaban utk alasan mereka adalah, dalil-dalil ini masih umum dan sudah dikhususkan oleh hadits yang kita bahas dalam bab ini, dan ini (pengharaman memulai salam) berlaku jika kafir dzimmi tesebut seorang diri.”

(Subulus Salam, 2/499)

Larangan ini adalah larangan salam Islam, ada pun memulai sapaan biasa seperti “hai”, “mari pak”…tidak apa-apa. Sebab ini bukan salam.

Lalu, Bagaimana Jika Perkumpulan Yang Bercampur Muslim dan Non Muslim?

Untuk yang seperti ini boleh saja memulai salam,

dengan niat sebagai salam buat yang muslim.

Dalilnya, dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا، عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ، وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ الخَزْرَجِ، وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الأَوْثَانِ وَاليَهُودِ، وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَفِي المَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَلَمَّا غَشِيَتِ المَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ، خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: لاَ تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ، فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ، وَقَرَأَ عَلَيْهِمُ القُرْآنَ

“Bahwa Nabi ﷺ mengendarai keledai yang pelananya bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar. Beliau kemudian berjalan melewati majelis yang di dalamnya bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan kepulkan kami dengan debu.” Kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi ﷺ mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al Qur’an kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 6254)

Imam An nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَيَجُوزُ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ عَلَى جَمْعٍ فِيهِمْ مُسْلِمُونَ وَكُفَّارٌ أَوْ مُسْلِمٌ وَكُفَّارٌ وَيَقْصِدُ الْمُسْلِمِينَ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ

“Dibolehkan memulai salam kepada kumpulan yang di dalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir, atau seorang muslim dan kumpulan kaum kafir, dengan maksud untuk kaum muslimin, berdasarkan hadits sebelumnya bahwa Nabi ﷺ. pernah salam kepada majelis yang bercampur atara muslimin dan musyrikin.”

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/145)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا وَأَمَّا إذَا كَانَ مَعَهُ مُسْلِمٌ جَازَ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ يَنْوِي بِهِ الْمُسْلِمَ لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَالْمُسْلِمِينَ

Larangan ini (memulai salam) jika kafir dzimmi seorang diri, sedangkan jika bersamanya ada seorang muslim maka boleh memulai salam dengan niat untuk si muslim. Karena telah shahih bahwa Nabi ﷺ. mengucapkan salam majelis yang bercampur antara musyrikin dan muslimin.

(Subulussalam, 2/499)

Kesimpulan:

– Tidak boleh memulai ucapan salam kepada mereka, tapi dibolehkan sekedar sapaan.

– Boleh mengucapkan salam saat mereka berkumpul dengan umat Islam, bahkan walau hanya ada satu orang Islam.

Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam

📙📘📗📕📒📔📓📙

✍ Farid Nu’man Hasan

Kitab Suci Sebelum Nabi Muhammad SAW

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Umat Islam kan mengimani kitab-kitab yang terdahulu. Saya bingung apa yang dimaksud kitab zabur, taurat dan injil? Sementara injil itu ada banyak/lebih dari satu, jadi injil yang mana? Kalau ustad merujuk ke salah satu injil, pertanyaannya kenapa umat nasrani tidak merujuk yang satu itu, tapi kalau mengimani wahyu-wahyu yang terdahulu saya paham. Kecuali taurat, injil, zabur seperti Al Qur’an hanya satu.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Kita mengimani Al Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil, secara khusus.. juga kitab lainnya yang tidak disebut namanya yang Allah wahyukan kepada Rasul lainnya secara umum. Sebab ini adalah tuntutan iman, rukun iman ketiga.

Ada pun yang zaman sekarang. Baik Taurat, Zabur, dan Injil, kita meyakini sudah terjadi perubahan, bahkan itu diakui oleh sarjana Barat sendiri bahwa kitab suci yang masih belum berubah hanya Al Qur’an.

Nasrani hari ini mereka tidak menamakan kitab suci mereka Injil, mereka menamakan dengan Bible, atau Al Kitab. Di dalamnya ada perjanjian baru, perjanjian lama (Taurat), dan Mazmur (Zabur), semua dipakai oleh mereka.

Yang seperti ini bukanlah yang kita imani, sebab sudah terjadi perubahan yg sangat banyak. Perkataan para rasul, Paulus, dan murid-murid Yesus, .. kita ingkari ini. Sebab merupakan dusta atas nama Allah Ta’ala.

Sehingga iman kita di zaman ini hanya kepada Al Qur’an saja, tidak yg lainnya. Atau iman kepada kitab-kitab yang masih asli jika ada, faktanya sudah tidak ada.

Wallahu a’lam

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌵🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top