Berhutang Untuk Haji atau Umrah

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, Berhutang untuk haji jika tanpa riba, dan yakin bisa membayarnya, dan tidak menumpuk hutang yang sudah ada, serta tidak menyulitkan keluarga, tidak apa-apa.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melarang berhutang bagi seseorang untuk haji, karena khawatir menyusahkan orang tersebut.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ ” لَمْ يَحُجَّ أَيَسْتَقْرِضُ لِلْحَجِّ؟ قَالَ: «لَا»

Dari Abdullah bin Abi Aufa, sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau berkata:

“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Nabi bersabda: “Tidak.”

(HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, Hal. 109, Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, no. 9172)

Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini:

ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل

“Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” (Al Umm, 2/127)

Tidak wajib bukan berarti tidak boleh, boleh saja dia berhutang jika mampu bayar dan pinjaman non riba. Larangan di atas karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ingin menyusahkan umatnya.

Imam Khatib asy Syarbini asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

إنما يجوز الاقتراض لمن علم من نفسه القدرة على الوفاء إلا أن يعلم المقرض أنه عاجز عن الوفاء

Bolehnya berhutang adalah bagi yang tahu bahwa dirinya bisa membayarnya, kecuali orang yang berhutang tahu bahwa dia tidak mampu membayarnya. (Mughni al Muhtaj, 3/30)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Kepala Daerah Seorang Wanita

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Kepemimpinan kaum wanita terhadap kaum laki-laki, termasuk tema hangat di beberapa dekade. Beberapa negeri muslim sudah pernah dipimpin wanita termasuk di Indonesia. Apalagi kepemimpinan ditingkat bukan negara seperti provinsi, kabupaten, dan kota, sudah begitu banyak.

Jelas hal ini memunculkan perdebatan dikalangan umat Islam sendiri. Tapi, mereka sepakat bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam rumah tangga dan Imamul A’zham seperti khalifah.

Hal ini berdasarkan ayat:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Laki-laki (suami) itu qawwam (pemimpin, pelindung) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.

(QS. An-Nisa’, Ayat 34)

Juga hadits:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Tidak pernah beruntung kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan kepada kaum wanita. (HR. Bukhari no. 7099)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan tentang syarat Imamul A’zham, sebagai berikut:

فصل : في شرط الإمام الأعظم و بيان طرق الإمامة

شرط الإمام كونه مسلما مكلفا حرا ذكرا قرشيا مجتهدا شجاعا ذا رأي وسمع وبصر ونطق

Fasal tentang syarat Imamul A’zham dan penjelasan tentang metode kepemimpinan.

Syarat seorang pemimpin adalah muslim, mukallaf (baligh), merdeka (bukan budak), laki-laki, Quraisy, mampu berijtihad, pemberani, memiliki pandangan, pendengaran, penglihatan, dan bisa berbicara. (Minhajuth Thalibin, Hal. 282)

Mereka berselisih pendapat tentang kepemimpinan wanita pada selain Khalifah dan rumah tangga, seperti gubernur, bupati, dll. Mayoritas ulama mengatakan tetap terlarang berdasarkan keumuman surat An Nisa ayat 34 dan hadits di atas. Serta qiyas aulawi, yaitu jika wanita bukan pemimpin di tingkat rumah tangga maka apalagi kepemimpinan di atas itu.

Sementara, ada pula ulama yang menyatakan bolehnya wanita sebagai pemimpin selain khalifah. Seperti Imam Ibnu Hazm Azh Zhahiri Rahimahullah, Beliau menilai larangan tersebut hanya berlaku buat Imamul A’zham.

Beliau berkata:

فَإِنْ قِيلَ: قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إلَى امْرَأَةٍ» . قُلْنَا: إنَّمَا قَالَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْأَمْرِ الْعَامِّ الَّذِي هُوَ الْخِلَافَةُ. بُرْهَانُ ذَلِكَ -: قَوْلُهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -: «الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى مَالِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا»

Jika dikatakan: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Tidak beruntung kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan kepada kaum wanita.” Kami jawab: “Ini adalah tentang kepemimpinan umum, yaitu khilafah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Wanita adalah pemimpin atas harta suaminya dan dia akan diminta tanggungjawabnya atas kepemimpinannya itu.”

(Al Muhalla, 8/528)

Ini juga menjadi pendapat Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah, bahwa wanita boleh menjadi hakim (pemimpin) secara mutlak.

Berikut ini kutipan dari Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah:

وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوا فِي اشْتِرَاطِ الذُّكُورَةِ، فَقَالَ الْجُمْهُورُ: هِيَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْحُكْمِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ قَاضِيًا فِي الْأَمْوَالِ، قَالَ الطَّبَرِيُّ: يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ حَاكِمًا عَلَى الْإِطْلَاقِ فِي كُلِّ شَيْءٍ

Demikian juga para ulama berbeda pendapat tentang syarat “laki-laki”. Menurut mayoritas ulama, itu adalah syarat sahnya pemerintahan. Abu Hanifah mengatakan: “Wanita boleh menjadi qadhi (hakim) dalam sengketa harta (perdata). Sementara Ath Thabari mengatakan wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam hal apa pun.

(Bidayatul Mujtahid, Hal. 989)

Kata “hakim” di situ adalah bermakna hakim dalam sengketa manusia, walau juga bisa bermakna penguasa, gubernur, pemimpin, kepala, ketua, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab kamus.

Alasan lain pihak yang membolehkan, krn dulu Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu pernah mengangkat wanita sebagai ketua atau koordinator pasar baik Mekkah dan Madinah. Padahal saat itu kaum laki-laki banyak yang mampu dan termasuk sahabat nabi senior pun masih hidup seperti Utsman, Ali, dan lainnya. Wanita ini masih di bawah komando Khalifah Umar. Sebagaimana gubernur, bupati, dan Wali kota, juga masih dibawah komando Presiden. Namun otonomi daerah saat ini membuat mereka lebih leluasa.

Di tambah lagi realitas saat ini, sistem kepemimpinan dianggap tdk absolut kekuasaan satu orang penguasa, tapi lebih pada team work. Inilah alasan yg juga disampaikan oleh para ulama yang membolehkan.

Ulama zaman ini yang menyetujui pendapat ini adalah Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan para ulama Al Azhar. Tentu pembolehan ini terikat syarat yaitu wanita tersebut tetap komitmen dengan adab-adab Islam baik dalam pakaian dan pergaulan dengan lawan jenis, serta tidak melupakan tugasnya sebagai istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya.

Ala kulli haal, jika masih ada laki-laki yang yang layak, shalih, cakap, amanah, berilmu, dan punya kapasitas, tentu itu yang lebih utama dipilih dan diangkat dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat (khurujan minal khilaf). Tapi, jika tidak ada, maka itu berita duka cita bagi kaum laki-laki, ke mana mereka?

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Talqin di Kubur

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz.. Apakah kisah Rasulullah berbicara kpd mayat org kafir yg dimasukkam ke sumur badar stlg selesainya perang badar bisa dijadikan dasar hukum utk talqin mayit stlh pemakaman?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama berbeda pendapat dalam hal talqin setelah di kubur.

– Sebagian mengatakan sunnah seperti Syafi’iyah dan sebagian Hambaliyah,

– sebagian mengatakan tidak ada syariatnya seperti Hanafiyah, dan makruh menurut Malikiyah.

– Sementara sebagian Hambaliyah mengatakan boleh, bukan sunnah, seperti Imam Ibnu Taimiyah

– dan sebagian sahabat nabi ada yang melakukannya seperti Abu Umamah dan Watsilah bin al Asqa Radhiallahu ‘Anhuma

📌 Pihak yang mengatakan boleh dan sunnah, melandaskan pada beberapa hadits berikut:

Pertama. Hadits anjuran membaca Al Quran setelah mayit di kubur

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa sallam bersabda, “Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah ditunda, segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan ayat terakhir Surat Al Baqarah di dekat kakinya”.

(HR. At Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 13613, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman No. 9294. Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, imam pakar hadits dizamannya menyatakan bahwa status hadits di atas adalah HASAN. (Fathul Bari, 3/184). Penghasanan ini juga diikuti oleh: Imam Badruddin Al ‘Ainiy. (‘Umdatul Qari, 12/382). Imam Ash Shan’ani (Subulussalam, 2/106). Syaikh Az Zurqani (Syarh Az Zurqaniy, 2/127). Sementara Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, mengisyaratkan kedhaifannya karena ada perawi bernama Yahya bin Abdillah Al Baabilutty, dia dhaif. (Majma ‘Az Zawaid, 3/44). Juga didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya.

Kedua. Hadits anjuran dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah selesai menguburkan mayit untuk berkata yang baik-baik dan memohonkan ampun.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ»

Dari ‘Utsman bin ‘Affan katanya: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika selesai menguburkan mayit dia akan berdiri di sisi kuburnya, dan berkata: “Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian, dan doakan dia untuk tegar (at Tatsbit), karena dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud no. 3221. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani, namun dihasankan oleh Syaikh Syuaib al Arnauth)

Ketiga, perilaku para sahabat Anshar yang membaca Al Quran setelah mayit di kubur.

Imam Amir Asy Sya’bi Rahimahullah menceritakan tentang para sahabat Anshar:

كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن

Orang-orang Anshar (para sahabat) jika ada yang wafat si antara mereka, mereka berkumpul di kubur mayit tersebut, dan mereka membaca Al Quran di sisinya. (Imam Abu Bakar Al Khalal, Al Qira’ah ‘Indal Qubur, no. 7)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menerangkan hadits “laqqinuu mautaakum laa ilaha illallah”:

واستدل الشافعي بظاهر الحديث على أن التلقين بعد الدفن

Imam Asy Syafi’i berdalil dengan zahirnya hadits, bahwa talqin dilakukan setelah penguburan. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/36)

Imam Al Munawi Rahimahullah juga menjelaskan:

أما التلقين بعد الموت وهو في القبر فقيل يفعل لغير نبي وعليه أصحابنا الشافعية ونسب إلى أهل السنة والجماعة

Ada pun talqin setelah kematian, yaitu di kubur, dikatakan bahwa hal itu dilakukan untuk mayit selain Nabi ﷺ, itulah pendapat sahabat-sahabat kami Syafi’iyah, dan menyandarkan hal

itu sebagai pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (Faidhul Qadir, 5/281)

Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:

فاستحبو التلقين بعد الموت وبعد الدفن، وقد ألف فيه الحافظ السخاوي مؤلفاً نفيساً

Mereka (para imam) menyunnahkan talqin setelah kematian dan setelah penguburan, Al Hafizh As Sakhawi telah membuat buku berharga tentang hal ini. (Dalilul Falihin, 6/392)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang membolehkan, berikut ini kami kutipkan dua fatwa Beliau ketika ditanya tentang hukum talqin setelah mayit dikubur:

أجاب: هذا التلقين المذكور قد نقل عن طائفة من الصحابة: أنهم أمروا به، كأبي أمامة الباهلي، وغيره، وروي فيه حديث عن النبي – صلى الله عليه وسلم – لكنه مما لا يحكم بصحته؛ ولم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك، فلهذا قال الإمام أحمد وغيره من العلماء: إن هذا التلقين لا بأس به، فرخصوا فيه، ولم يأمروا به. واستحبه طائفة من أصحاب الشافعي، وأحمد، وكرهه طائفة من العلماء من أصحاب مالك، وغيرهم. والذي في السنن «عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: أنه كان يقوم على قبر الرجل من أصحابه إذا دفن، ويقول: سلوا له التثبيت، فإنه الآن يسأل» ، وقد ثبت في الصحيحين أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: «لقنوا أمواتكم لا إله إلا الله» . فتلقين المحتضر سنة، مأمور بها. وقد ثبت أن المقبور يسأل، ويمتحن، وأنه يؤمر بالدعاء له؛ فلهذا قيل: إن التلقين ينفعه، فإن الميت يسمع النداء. كما ثبت في الصحيح «عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: إنه ليسمع قرع نعالهم» وأنه قال: «ما أنتم بأسمع لما أقول منهم» ، وأنه أمرنا بالسلام على الموتى. فقال: «ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله روحه حتى يرد عليه السلام» . والله أعلم

Beliau menjawab: “Talqin seperti itu telah dinukilkan dari segolongan para sahabat bahwa mereka memerintahkan hal ini, seperti Abu Umamah Al Bahili dan selainnya. Dan, diriwayatkan hadits dari Nabi ﷺ tetapi tidak bisa dihukumi shahih, dan perbuatan ini tidak dilakukan banyak sahabat nabi. Oleh karena itu Imam Ahmad dan selainnya dari kalangan ulama mengatakan bahwa talqin seperti ini tidak apa-apa, mereka memberikan keringanan padanya namun tidak memerintahkannya. Ada pun sekelompok Syafi’iyah menyunnahkannya, juga pengikut Ahmad (Hambaliyah), tetapi dimakruhkan oleh segolongan ulama Malikiyah dan lainnya.

Tertulis dalam kitab-kitab sunah, dari Nabi ﷺ bahwa Beliau berdiri di sisi kubur seorang sahabatnya saat dia dimasukan ke kubur, dan Beliau bersabda: “Berdoalah untuknya keteguhan, karena dia sedang ditanya sekarang.” Telah shahih dalam Shahihain bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Talqinkan orang yang sedang menghadapi kematian di antara kamu dengan La Ilaha Illallah.” Maka, talqin ketika menghadapi kematian adalah sunah, dan diperintahkan. Telah shahih bahwa seorang yang dikubur akan ditanya dan mengalami ujian, dan dianjurkan untuk mendoakannya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa talqin itu bermanfaat baginya, karena mayit mendengarkan panggilan. Sebagaimana hadits shahih: “Sesungguhnya mayit mendengar suara sandal kalian.” Dan hadits lain: “Tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan diband ing mereka.” Serta perintah nabi kepada kita untuk mengucapkan salam kepada mereka. Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seorang laki-laki yang dia kenal, lalu dia ucapkan salam, melainkan Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga dia menjawab salamnya.” Wallah A’lam. (Al Fatawa Al Kubra, 3/24)

Demikian penjelasan Imam Ibnu Taimiyah mengenai alasan bolehnya talqin setelah dikubur, dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’, dan pengikutnya.

Dalam fatwanya yang lain Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

الجواب: تلقينه بعد موته ليس واجبا، بالإجماع. ولا كان من عمل المسلمين المشهور بينهم على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – وخلفائه. بل ذلك مأثور عن طائفة من الصحابة؛ كأبي أمامة، وواثلة بن الأسقع. فمن الأئمة من رخص فيه كالإمام أحمد، وقد استحبه طائفة من أصحابه، وأصحاب الشافعي. ومن العلماء من يكرهه لاعتقاده أنه بدعة. فالأقوال فيه ثلاثة: الاستحباب، والكراهة، والإباحة، وهذا أعدل الأقوال. فأما المستحب الذي أمر به وحض عليه النبي – صلى الله عليه وسلم – فهو الدعاء للميت. وأما القراءة على القبر فكرهها أبو حنيفة، ومالك، وأحمد في إحدى الروايتين. ولم يكن يكرهها في الأخ

رى. وإنما رخص فيها لأنه بلغه أن ابن عمر أوصى أن يقرأ عند قبره بفواتح البقرة، وخواتيمها. وروي عن بعض الصحابة قراءة سورة البقرة. فالقراءة عند الدفن مأثورة في الجملة، وأما بعد ذلك فلم ينقل فيه أثر. والله أعلم.

Jawaban: Talqin setelah mati bukanlah kewajiban berdasarkan ijma’. Dan itu juga bukan perbuatan kaum muslimin pada masa Nabi ﷺ dan para khalifahnya, tetapi itu ma’tsur dari segolongan sahabat seperti Abu Umamah dan Watsilah bin Al Asqa’. Di antara para imam yang memberikan keringanan masalah ini seperti Imam Ahmad, segolongan sahabat menyunnahkannya, juga para pengikut Asy Syafi’i. Di antara ulama yeng memakruhkan meyakini itu adalah bid’ah. Jadi, pendapat dalam hal ini ada tiga: SUNAH, MAKRUH, DAN MUBAH, DAN INILAH (YANG MUBAH) PENDAPAT HANG PALING LURUS.

Ada pun yang yang sunah, yang dianjurkan oleh Nabi ﷺ adalah berdoa bagi mayit, sedangkan membaca Al Quran di kubur dimakruhkan oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam salah satu di antara dua riwayat darinya, dan dia tidak memakruhkan pada riwayat yang lainnya.

Beliau memberikan keringanan hal ini lantaran telah sampai kepadanya bahwa Ibnu Umar mewasiatkan agar membaca di sisi kuburnya awal surat Al Baqarah dan bagian akhirnya. Juga diriwayatkan dari sebagian sahabat nabi ﷺ membaca surat Al Baqarah. Maka, membaca Al Quran adalah ma’tsur (memiliki dasar) secara umum, ada pun setelah kelar di kubur tidak ada atsar-nya. Wallahu A’lam. (Ibid, 3/25)

📌 Sedangkan pihak yang menyatakan tidak adanya talqin setelah penguburan menganggap hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan talqin, tapi mendoakan, dan memohon ampunan, dan sekedar membaca Al Quran. Bukan talqin yang artinya membimbing bacaan, mendikte, dan mengingatkan.

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menerangkan:

وأصحابنا أولوه بمعنى: لقنوا من قرب إلى الموت لا إله إلا الله، لأن تلقين الميت لا يفيد

Sahabat-sahabat (Hanafiyah) kami mentakwil dengan makna: talqinkanlah oleh kalian orang yang mendekati kematian dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, karena talqin buat mayit tidak bermanfaat. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/36)

Imam Al Munawi Rahimahullah juga menjelaskan:

وقيل لا يلقن وعليه أبو حنيفة تمسكا بأن السعيد لا يحتاج إليه والشقي لا ينفعه

Dikatakan, bahwa tidak ada talqin untuk yang sudah di kubur, inilah pendapat Abu Hanifah berdasarkan bahwa jika mayit ini bahagia maka dia tidak membutuhkannya, jika dia sengsara maka itu pun tidak bermanfaat baginya. (Faidhul Qadir, 5/281)

Imam Abul Hasan Al Mubarkafuri mengatakan:

وفي الحديث دليل على مشروعية الاستغفار للميت عند الفراغ من دفنه، وسؤال التثبيت له، وأن دعاء الأحياء ينفع الأموات، وليس فيه دلالة على التلقين عند الدفن كما هو المعتاد في الشافعية، وليس فيه حديث مرفوع صحيح، وأما ما روي في ذلك من حديث أبي أما مة فهو ضعيف لا يقوم به حجة، عزاه الهيثمي للطبراني، وقال: فيه جماعة لم أعرفهم. وأما قوله – صلى الله عليه وسلم -: ((لقنوا موتاكم لا إله إلا الله)) ، فالمراد عند الموت لا عند دفن المبت.

Dalam hadits ini merupakan dalil disyariatkannya memohonkan ampunan bagi mayit setelah selesai penguburan dan memohonkan tatsbit (peneguhan ketika ditanya oleh malaikat, pen) untuknya, dan bahwasanya doa orang hidup itu bermanfaat buat orang mati, tapi ini bukan dalil pembolehan talqin setelah dikubur sebagaimana kebiasaan golongan Syafi’iyah. Serta tidak ada pula hadits marfu’ shahih tentang itu. Ada pun hadits dari Abu Umamah adalah dhaif (lemah), dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Haitsami menguatkan riwayat Ath Thabarani dan mengatakan: “Dalam riwayat ini terdapat golongan manusia yang aku tidak kenal.” Ada pun hadits –talqinkan mautaakum laa ilaha illallaah, artinya ketika meghadapi kematian, bukan setelah mati. (Mir’ah Al Mafatih, 1/229)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Amplop Kondangan Sama Dengan Hutang?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, tentang amplop undangan yang diberi nama seolah-olah itu hutang yang harus dikembalikan yang sama jumlahnya pada saat kita yang memberi amplop mengadakan hajatan!

📬 JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillahirrahmanirrahim…

Tidak demikian, hutang piutang itu jika sama-sama diketahui oleh kedua pihak dan diakadkan untuk hutang piutang.

Hutang atau pinjaman adalah:

دَفْعُ مالٍ إرفاقاً لمن ينتفع به ويردّ بدله‏

Menyerahkan harta secara rela/mufakat kepada orang yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikan penggantinya.

Rukunnya ada tiga, menurut mayoritas ulama yakni:

الصيغة: وهي الإيجاب والقبول

العاقدان: وهما المقرض والمقترض

المعقود عليه، وهو المال المقرض

1. Kalimat ijab qabul
2. Ada dua orang yang berakad, yaitu yang memberikan hutang dan peneriman hutang
3. Ada barang atau harta yang dihutangkan.

Kemudian syarat hutang piutang adalah :

أن يكون معلوم القدر والوصف عند القرض – كيلاً أو وزنًا أو عددًا – ليتمكن من رد بدله

Hendaknya diketahui kadar dan sifatnya ketika dipinjamkan, baik berat, timbangan, dan jumlah, untuk bisa dikembalikan secara baik.

Dari rukun dan syaratnya saja sudah tidak terpenuhi.

Pemberian angpau yang diamplop atau kado (yang tertutup) sudah tidak sesuai syarat hutang piutang yang harus jelas takaran, jumlahnya, sejak awal.

Jadi angpau itu adalah hadiah, bukan hutang. Itu tradisi yang baik (al ‘Urf ash Shahih) yang tidak bertentangan dengan agama. Sebagai bentuk ekspresi ikut berbahagianya tamu sebagaimana tuan rumah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top