Hukum Sholat Menggunakan Celana Panjang

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Bisa jadi pihak yang melarang karena mengambil hukumnya dari hadits berikut:

وَنَهَى أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ رِدَاءٌ

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang seorang laki-laki shalat memakai celana panjang dan tanpa ridaa’ (selimut, selendang).
(HR. Al Hakim, Al Mustadrak no. 914)

Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Disepakati Imam adz Dzahabi. (Al Mustadrak, no. 914) Sementara Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: tidak bisa dijadikan hujjah karena dhaif. (At Tanwir Asy Syarh Al Jaami’ ash Shaghiir, 10/600). Imam Al Munawi juga mengatakan dhaif. (At Taisir bisyarhi Al Jaami’ ash Shaghiir, 2/476)

Sehingga larangan shalat dengan memakai celana panjang tidaklah kuat. Anggaplah jika hadits ini disepakati keshahihannya, maka maksud larangan tersebut adalah jika celana panjang tersebut terlalu ketat, pendek, dan menampakkan auratnya. Hal ini dijelaskan oleh Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah berikut:

فالظاهر أنه إذا كان قصيرا لا يَسْتر عورته، فأما إذا كان طويلاً وصلى فيه بدون الرداء، فصلاته جائزة، إلا أنها تكره

Yang benar, hal itu jika celana tersebut pendek dan tidak menutup auratnya, ada pun jika panjang dan dia shalat tanpa ridaa’ (selimut), maka shalatnya boleh, hanya saja itu dimakruhkan. (Syarh Sunan Abi Daud, 3/167)

Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan bahwa larangan ini jika celana panjang tersebut ketat:

لأن السراويل بمفرده يصف الأعضاء ولا يتجافى عن البدن والنهي للتنزيه عند الشافعية

Karena, memakai sirwal (celana panjang) saja, akan menggambarkan anggota badan dan tidak menjauhkan (bahan pakaian) dari badan. Menurut Syafi’iyyah larangan tersebut bernilai tanzih (mendekati boleh tapi lebih baik jangan). (Faidhul Qadir, 6/342)

Imam an Nawawi Rahimahullah berkata:

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

Seandainya menutup warna kulit dan menutup bagian dalam seperti lutut, betis, dan lainnya, maka shalatnya tetap sah karena adanya penutup. Ad Darimi dan pengarang Al Bayan menceritakan adanya satu pendapat yang mengatakan tidak sah jika mencitrakan bagian dalam. Ini pendapat jelas salahnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/170)

Sementara Imam Muhammad Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah mengatakan seandainya pakaian itu bersentuhan dengan kulit pun tidak apa-apa, sebab itu hal yang sulit dihindari selonggar apa pun pakaian atau celana panjang:

ولا يضر التصاقه وتشكله

Tidak masalah jka pakaian itu melekat dan membentuk badan. (Ad Durrul Mukhtar, Hal. 58)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإن كان يستر لونها ويصف الخِلْقَة جازت الصلاة ، لأن هذا لا يمكن التحرز منه

Jika pakaian tersebut sudah menutup aurat dan menutup bentuk fisik maka shalatnya boleh, sebab hal itu tidak mungkin dihindari. (Al Mughni, 2/287)

Kesimpulan, tidak mengapa memakai celana panjang, selama tetap menutup aurat, dan tidak ketat. Namun, memakai sarung (izaar) atau gamis lebih utama. Yg biasa dilakukan di negeri kita adalah kain sarung. Masalah pakaian hendaknya seseorang mengikuti kebiasaan yg baik di negerinya.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Imam Ibnu Taimiyah Mengoreksi Penguasa yang Keliru

💢💢💢💢💢💢💢💢

Beliau adalah ulama khalaf (belakangan) yang dianggap mewarisi jalan ulama salaf (terdahulu). Di antara kebaikan yang bisa dipetik dari perjalanan hidupnya adalah keberaniannya mengkoreksi penguasa yang jelas-jelas salahnya

Imam Al Bazaar Rahimahullah bercerita tentang aksi heroik Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

ولما ظهر السلطان بن غازان على دمشق المحروسة جاءه ملك االكرج وبذله له أموالا كثيرة جزيلة على أن يمكنه من الفتك بالمسلمين من أهل دمشق. فوصل الخبر الى الشيخ فقام من فوره وشجع المسلمين ورغبهم في الشجاعة ووعدهم على قيامهم بالنصر والظفر والأمن وزوال الخوف. فانتدب منهم رجال من وجوههم، وكبرائهم، وذوي الأحلام منهم، فخرجوا معه إلى حضرة السلطان غازان، فلما رآهم السلطان قال: من هؤلاء؟ فقيل هم رؤساء دمشق، فأذن لهم فحضروا بين يديه، فتقدم الشيخ رحمه الله أولًا، فلما أن رآه أوقع الله له في قلبه هيبةً عظيمة، حتى أدناه وأجلسه، وأخذ الشيخ في الكلام معه أولًا في عكس رأيه عن تسليط المخذول ملك الكرج على المسلمين، وضمن له أموالًا وأخبره بحرمة دماء المسلمين، وذكَّره ووعظه فأجابه إلى ذلك طائعًا، وحقنت بسببه دماء المسلمين وحميت ذراريهم وصِين حريمهم

“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untuk menyerang kaum musimin Damaskus.

Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. LALU BANGKITLAH PARA PEMUDA, ORANG ORANG TUA, DAN PARA PEMBESAR MEREKA MENUJU SULTAN GHAZAN.

Ketika Sultan melihat mereka, dia bertanya: “Siapa mereka?” Maka dijawab: “Mereka adalah tokoh-tokoh Damaskus.” Sultan mengizinkan mereka dan berdiri dihadapannya. Lalu pertama-tama majulah Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah, tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.

Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus dengan imbalan harta. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah muslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”

📚 Imam Al Bazaar, Al A’lam Al ‘Aliyah, Hal. 67

Pelajaran dan hikmah:

– Menasihati pemimpin yang keliru dan kekeliruannya merugikan kehidupan kaum muslimin, adalah kewajiban bagi yang mampu melaksanakannya

– Menasihatinya secara terbuka dan bersama-sama, merupakan salah satu cara yang pernah ditempuh para salaf dan ‘alim rabbani umat ini. Itu bukan pemberontakan, apalagi Khawarij.

– Hal ini dilakukan jika memang mampu, efektif, dan mendatangkan maslahat dan menekan madharat

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwaamith Thariq

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdoa dengan kalimat buatan sendiri

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

📌 Tidak mengapa seseorang berdoa dengan susunan kalimat yang dia buat sendiri sesuai kebutuhan dan keadaannya, selama doa tersebut tidak mengandung pelanggaran syariat

📌 Atau bolehnya menggunakan doa yang disusun orang-orang shalih atau ulama, sejak masa sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya sampai zaman ini

📌 Itu istilahnya doa ghairul ma’tsur. Namun semua ulama sepakat doa ma’tsur yaitu yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah adalah lebih utama

📌 Namun, tidak dibenarkan pula secara ghuluw (berlebihan) menyalahkan dan membid’ahkan doa dengan kalimat susunan sendiri atau susunan para ulama, sebagaimana pembid’ahan terhadap doa Rabithah-nya Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah.

📌 Bahkan kebolehan ini juga berlaku di dalam shalat. Sebagai mana hadits tentang berdoa setelah usai shalawat di saat tasyahud :

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو

Lalu ia memilih doa yang paling ia sukai kemudian berdoa dengannya. (HR. Bukhari no. 791)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

ويُستَحَبُّ الدعاءُ بعد ذلك وله أن يدعو بما شاء من أمر الدنيا والآخرة، وأمور الآخرة أفضل،

Disukai baginya untuk berdoa setelah itu, dengan doa apa pun yang dia kehendaki baik urusan dunia dan akhirat, dan urusan akhirat lebih utama.

(Raudhatuth Thalibin, 1/256)

📌 Contoh-contoh dalam hal ini sangat banyak, di antaranya:

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengatakan:

وإني لأدعو للشافعي منذ أربعين سنة في صلاتي

“Dalam shalat saya, sejak 40 tahun yang lalu saya berdoa untuk Asy Syafi’i.”

(Imam Al Baihaqi, Manaqib Asy Syafi’i, 1/54)

Doa untuk Imam asy Syafi’i, jelas ini buatan Imam Ahmad bin Hambal sendiri, tidak ada redaksi dalam ayat dan hadits. Inilah adab murid kepada guru. Imam Ahmad merutinkannya selama 40 tahun doa tersebut . Apakah ini bid’ah? Tentu tidak.

📌 Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ: سَأَلْتُ مُجَاهِدًا، فَقُلْتُ: أَرَأَيْتَ دُعَاءَ أَحَدِنَا يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ اسْمِي فِي السُّعَدَاءِ، فَأَثْبِتْهُ فِيهِمْ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَشْقِيَاءِ فَامْحُهُ مِنْهُمْ، وَاجْعَلْهُ بِالسُّعَدَاءِ، فَقَالَ: «حَسَنٌ»

Dari Manshur, “Aku bertanya kepada Mujahid, tentang seorang yang berdoa: “Ya Allah, jika namaku bersama orang berbahagia maka tetapkanlah namaku bersama mereka. Seandainya bersama orang-orang sengsara maka hapuslah namaku dari mereka, dan jadikanlah namaku bersama orang-orang berbahagia.” Beliau menjawab: “BAGUS”.

(Jaami’ul Bayaan, 13/564)

Doa di atas jelas bukan dari Al Quran dan As Sunnah, tapi susunan dari manusia biasa. Tapi, doa tersebut dipuji oleh salah satu imam besar, murid Ibnu Abbas, yaitu Imam Mujahid Rahimahullah. Jelas ini bukan bid’ah.

📌 Salah seorang shalih masa salaf, Malik bin Dinar Rahimahullah, Beliau berdoa dengan doa yang unik:

اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ فِي بَطْنِهَا جَارِيَةٌ فَأَبْدِلْهَا غُلَامًا فَإِنَّكَ تَمْحُو مَا تَشَاءُ وَتُثْبِتُ وَعِنْدَكَ أُمُّ الْكِتَابِ

Ya Allah jika di perut wanita hamil itu adalah bayi perempuan maka gantilah menjadi bayi laki-laki, karena Engkau Maha Kuasa menghapus apa yang Kau kehendaki dan menetapkan apa yang Kau kehendaki, karena dalam kuasaMulah Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)

(Imam al Qurthubi, Jaami’ Liahkamil Quran, 9/330)

Nah, semua ini – dan masih banyak lagi- adalah doa-doa ghairul ma’tsur. Tidak satu pun para imam kaum muslimin membid’ahkannya. Tentunya doa-doa seperti ini tidak berbeda kedudukannya dengan doa-doa susunan ulama lainnya seperti doa Rabithah, atau doa lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Tawadhu Itu…

💢💢💢💢💢💢💢💢

– Tawadhu’ itu ketika kita tidak merasa tinggi

– Tidak merasa kaya

– Tidak merasa berilmu

– Tidak merasa hebat

– Tidak merasa “ngustadz”

– Tidak usah ngebos

– Tidak usah sesak nafas saat manusia tidak mengenal kita

– Tidak perlu repot menunjukkan kita ini siapa

– Tidak perlu marah saat manusia hanya memanggil kita Pa, Bu, Sdr, dibanding posisi, gelar akademik, dan kedudukan kita

– Tidak bersedih saat tidak ada pujian dan tepuk tangan

– Tawadhu’ itu kita mau bersama orang susah

– menyapa lebih dulu orang yang dijumpai, tidak jual mahal untuk memulai salam

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

إن من التواضع أن تبدأ بالسلام كلَّ من لقيت

Sesungguhnya diantara bentuk tawadhu (rendah hati) adalah Anda memulai salam kepada setiap orang yang Anda jumpai. (Jawaahir min Aqwaal As Salaf No. 193)

– mau mendengarkan nasihat dr orang yg lebih muda, pendidikannya lebih rendah, dan dia bukan siapa-siapa

– Lalu, ikhlaslah atas itu semua, Allah Ta’ala yang akan muliakan ..

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

Tidaklah seseorang tawadhu’ ikhlas karena Allah melainkan Allah akan mengangkat kedudukannya. (HR. Muslim no. 2588)

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top