Guru Ngaji (TPQ/TPA), Apakah Berhak Mendapatkan Zakat?

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Tanya ustadz: Apakah pengajar TPQ dan pengisi pengajian rutin jamaah dan khotib jum’at berhak menerima zakat fitrah, dengan dasar mereka sbg salah satu 8 asnaf yaitu fiisabilllah?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Ya, itu memang salah satu pendapat di antara dua pendapat ulama. Menurut mereka, semua bentuk kebaikan dan syiar Islam adalah makna fisabilillah. Makna fisabilillah tidak hanya terbatas pada mujahidin.

Imam ar Razi Rahimahullah menjelaskan:

واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله: وفي سبيل الله لا يوجب القصر على كل الغزاة، فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد، لأن قوله: وفي سبيل الله عام في الكل

Ketahuilah bahwa secara zahir lafaz firmanNya: “dan fi sabilillah” tidaklah mesti dibatasi hanya pada semua bentuk perang, karena makna inilah Al Qaffal meriwayatkan dalam Tafsir-nya dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka membolehkan menyerahkan zakat untuk semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat, membangun bangunan yang kokoh, memakmurkan masjid, karena makna firmanNya: “dan fi sabilillah” adalah umum pada segala hal. (Imam Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 16/87. Cet. 3, 1420H. Ihya’ut Turats Al ‘Arabi, Beirut)

Syaikh Yusuf al Qaradhawi Hafizhahullah berkata dalam salah satu fatwa di website resminya:

لقد فصلت الحديث في كتابي عن مصرف “في سبيل الله” وآراء المذاهب والعلماء في تفسيره وتحديد مدلوله، من المتقدمين والمتأخرين، ولا ريب أن منهم من حمل “سبيل الله” على معناه اللغوي العام، الذي يشمل كل طريق موصل إلى مرضاة الله؛ وعلى هذا يدخل في مضمونه كل عمل من أعمال القرب أو الخيرات

Saya telah jelaskan secara rinci hadits itu dalam buku saya tentang fisabilillah, serta bagaimana berbagai pendapat madzhab dan ulama dalam tafsirnya tentang batasan dan maknanya baik ulama terdahulu dan belakangan. Tidak ragu lagi, bahwa di antara mereka ada yang memaknai “sabilillah” itu dengan makna bahasanya yang lebih umum melingkupi semua jalan untuk mencapai ridha Allah. Oleh karena itu, kata ini mencakup di dalamnya seluruh aktivitas pendekatan diri kepada Allah dan berbagai kebaikan. (selesai)

Oleh karenanya, semua bentuk upaya memperjuangkan agama Allah Ta’ala, meninggikan kedudukannya, dan memperluas syiarnya, seperti membangun masjid, mencetak kitab-kitab para ulama, membendung Kristenisasi, membangun pesantren, membuat Islamic Center, membangun media Islam, menggaji para ulama, ustadz dan da’i, dan yang lainnya semisalnya, itu termasuk makna “fi sabilillah”.

Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berikut ini:

ومن جملة سبيل الله الصرف في العلماء الذين يقومون بمصالح المسلمين الدينية فإن لهم في مال الله نصيبا سواء كانوا أغنياء أو فقراء بل الصرف في هذه الجهة من أهم الأمور لأن العلماء ورثة الأنبياء وحملة الدين وبهم تحفظ بيضة الإسلام وشريعة سيد الأنام وقد كان علماء الصحابة يأخذون من العطاء ما يقوم بما يحتاجون إليه

Dan di antara keumuman makna “fi sabilillah” adalah menyerahkan zakat kepada para ulama yang memperjuangkan kemaslahatan agama kaum muslimin, karena sesungguhnya mereka punya hak terhadap harta dari Allah, sama saja apakah mereka kaya atau faqir, bahkan memberikan zakat kepada bagian ini termasuk perkara yang paling penting karena para ulama adalah pewaris para nabi, pengusung agama, merekalah yang menjaga kemurnian agama Islam dan syariat sayyidul anam (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Dahulu para sahabat nabi mengambil dari pemberian zakat untuk memenuhi apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka. (Ar Raudhah An Nadiyah, 1/207)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Bal’am bin Ba’ura, Ulama Pemburu Dunia

💢💢💢💢💢💢💢💢

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.

(QS. Al-A’raf, Ayat 176)

Ayat ini menceritakan seorang ulama Bani Israil di masa Nabi Musa ‘Alaihissalam. Dia memiliki kelebihan berupa doa yang terkabul. Dia adalah Bal’ am bin Baa’ura.

Abu al Mu’tamar bercerita dari ayahnya tentang ayat ini, bahwa dulu ada seseorg bernama Bal’am, dan dia diberikan kenabian dan kelebihan doa yang terkabul. (Tafsir ath Thabari, 13/262)

Namun ilmu yang dimilikinya, dikalahkan oleh syahwat dunianya. Dia lebih condong kepada dunia bahkan menjual akhiratnya untuk dunianya.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:

كان بني إسرائيل بلعام بن باعر أوتي كتابا، فأخلد إلى شهوات الأرض ولذتِها وأموالها، لم ينتفع بما جاء به الكتاب

Dahulu Bani Israil ada Bal’am bin Baa’ur yang telah diberikan kitab, namun dia lebih condong kepada syahwat dunia baik kenikmatannya dan kekayaannya, sehingga apa yang ada pada kitab tersebut tidak membawa manfaat baginya. (Ibid, 13/269-270)

Imam Ibnul Mubarak, mengutip nasihat yang bagus dari Imam Sufyan ats Tsauri:

تعوذوا بالله من فتنةِ العابد الجاهل ، وفتنة العالم الفاجر ، فإنَّ فتنتهما فتنةٌ لكلِّ مفتون

Berlindunglah kepada Allah dari fitnah Ahli Ibadah yg bodoh, dan fitnahnya ulama pendosa, karena keduanya adalah fitnah yang berlaku atas setiap orang-orang yang terkena fitnah.

(Imam Ibnul Mubarak, Az Zuhd war Raqaiq, 2/18)

Inilah ulama suu’, ulama pemburu dunia, yg menjadikan ilmu dan posisinya sebagai alat tawar mencapai ambisinya.

Allah Ta’ala menggambarkan ulama seperti ini bagaikan seekor anjing yang lidahnya senantiasa menjulur, baik dihalau atau dibiarkan, lidahnya tetap menjulur. Itulah gambaran saking ganasnya terhadap syahwat dunia, ilmu agamanya pun dipakai untuk menjilat penguasa untuk memperoleh dunia. Bahkan dia mengubah hukum agama, mengoloknya, dan menjual beli fatwa.

Tentunya tipologi Bal’am, bukan hanya di zaman Bani Israil dahulu. Dia ada di setiap masa dan tempat. Tugas kita bukanlah menunjuk-nunjuk siapa Bal’am zaman ini, biarlah itu menjadi evaluasi bagi masing-masing ulama. Tugas kita adalah membina diri, mewaspadai jiwa, menekan nafsu dunia, agar tidak menambah Bal’am-Bal’am baru di abad ini.

Wallahul Muwaffiq

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌻🌷🌸🌿🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Wanita Haid Tidak Boleh Berpuasa adalah IJMA’

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Keyakinan bahwa wanita haid tidak boleh puasa, shalat, jima’, adalah hal yang aksiomatik dalam Islam.

📌 Namun, belakangan ada orang-orang liberal yang ingin menabrak ijma’ ini, dengan alasan ijtihad masih terbuka, padahal mrka bukan mujtahid.

📌 Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

فصل : في تحريم الإفتاء والحكم في دين الله بما يخالف النصوص، وسقوط الاجتهاد والتقليد عند ظهور النص وذكر إجماع العلماء على ذلك

Fasal tentang haramnya berfatwa dan menentukan hukum dalam agama Allah dengan hal yang menyelisihi nash (dalil), dan gugurnya ijtihad dan taklid disaat jelasnya dalil dan adanya ijma’ ulama atas hal itu. (I’lamul Muwaqi’in, 2/199)

📌 Entah, mungkin ingin viral atau apa. Mirip pepatah Arab:

بل زمزم فتعرف

Kencingilah zam zam niscaya Anda akan terkenal

📌 Jilbab mereka katakan tidak wajib, tapi haid malah boleh puasa. Ini kegilaan maksimal yang mereka lakukan.

📌 Alasan mereka adalah SUCI bukan syarat sahnya puasa. Ini lagu lama, dan sudah dibantah hampir 10 abad lalu oleh Imam al Haramain.

Imam an Nawawi mengatakan:

قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَكَوْنُ الصَّوْمِ لَا يَصِحُّ مِنْهَا لَا يُدْرَكُ مَعْنَاهُ فَإِنَّ الطَّهَارَةَ لَيْسَتْ مَشْرُوطَةً فِيهَا

Berkata Imam al Haramain, bahwa kenyataan adanya dalil tidak sahnya puasa wanita yg haid menunjukkan bahwa perkataan: “SUCI bukanlah syarat puasa”, adalah alasan yg tidak ada artinya. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 2/354)

📌 Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

وأجمعوا أَن الْحَائِض تقضي مَا أفطرت فِي حَيْضهَا

Mereka (para ulama) telah ijma’ bahwa orang haid wajib qadha sebanyak puasa yang ditinggalkan karena haid. (Maratibul Ijma’, hal. 42)

Imam an Nawawi mengatakan:

أجمعت الأمة على تحريم الصوم على الحائض والنفساء، وعلى أنه لا يصح صومها، ويستدل من السنة على تحريم صومها

Umat telah ijma’ (konsensus) HARAMNYA PUASA bagi wanita haid dan nifas, dan tidak sah puasanya, dan dalil pengharamannya terdapat dalam sunnah. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 2/354)

📌 Ada pun dalil As Sunnah, Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Kami haid di zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kami diperintahkan QADHA PUASA, Tapi tidak diperintahkan qadha shalat. (HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, dll)

📌 Dalam hadits Bukhari:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ» قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata, “Itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 304)

📌 Kedudukan As Sunnah dan Ijma’ sebagai sumber hukum Islam telah disepakati semua madzhab fiqih.

📌Al Imam Al Hafizh Al Khathib Al Baghdadi berkata:

“Ijma’ ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya”. (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)

📌 Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma’, dan bagi penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, yakni dalam firmanNya:

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa (4): 115)

Dalam hadits:

إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَة

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi No. 2255, Shahih, Shahihul Jami’ No 1848)

📌 Dan, orang-orang yang mengingkari ijma’ adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:

“Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para munkirul ijma (pengingkar ijma’) merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🌴🌵🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Ketika Sedang Makan Sahur Terdengar Adzan Subuh, Apa yang Harus Dilakukan?

💢💢💢💢💢💢

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Para ulama mengatakan jika sedang makan sahur lalu terdengar adzan, maka hendaknya makan dihentikan, tidak boleh dilanjutkan. Begitu pula yang di mulut, hendaknya dibuang.

Dalilnya adalah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Bilal biasa melakukan adzan di malam hari (adzan maghrib), maka Rasulullah ﷺ berkata: “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar”.

(HR. Bukhari no. 1816)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

ويباح للصائم، أن يأكل، ويشرب، ويجامع، حتى يطلع الفجر، فإذا طلع الفجر، وفي فمه طعام، وجب عليه أن يلفظه، أو كان مجامعا وجب عليه أن ينزع. فإن لفظ أو نزع، صح صومه، وإن ابتلع ما في فمه من طعام، مختارا، أو استدام الجماع، أفطر

Dibolehkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, minum, dan jima’, sampai terbitnya fajar.

Jika fajar sudah terbit dan dimulutnya ada makanan, maka wajib baginya membuangnya, atau dia sedang jima’ wajib baginya mencabutnya. Maka, jika sudah dibuang atau dicabut maka sah puasanya. Tapi, jika makanan tersebut ditekan juga atau jima’nya diteruskan maka puasanya batal.

(Fiqhus Sunnah, 1/464)

Dalam Qararat Majma’ Fiqhiy, disebutkan:

من المعلوم أن وقت الصوم يبدأ من طلوع الفجر الصادق وهو وقت أذان الفجر للصلاة،قال الله سبحانه وتعالى: { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ } سورة البقرة الآية 187. فإذا طلع الفجر الصادق فحينئذ يحرم الطعام والشراب على الصائم. ومن المعروف أنه يؤذن للفجر بأذانين فالأذان الأول لا يدخل به وقت صلاة الفجر ويجوز لمن أراد الصيام أن يأكل ويشرب وأما الأذان الثاني فبه يدخل وقت صلاة الفجر وعنده يحرم الأكل والشرب على الصائم ويدل على ذلك ما ورد في الحديث عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال:(إن بلالاً يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم وكان رجلاً أعمى لا ينادي حتى يقال له: أصبحت أصبحت) رواه البخاري ومسلم. وبناءً على ما تقدم فبمجرد أن يؤذن لصلاة الفجر فلا يجوز الأكل ولا الشرب لأن وقت الصيام قد بدأ هذا إذا كان المؤذن يؤذن عند طلوع الفجر الصادق وبما أن المؤذنين في بلادنا يعتمدون على التوقيت المعروف وهو توقيت صحيح أعدته لجنة من أهل العلم الشرعي ومن مختصين في علم الفلك وممن لديهم خبرة ومعرفة في التوقيت فيجب الالتزام به

Telah diketahui bahwa waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq, yaitu saat adzan subuh untuk shalat. Allah ﷻ berfirman: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Maka, jika telah terbit fajar shadiq, saat itulah diharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan telah diketahui bahwa adzan subuh itu dua kali. Adzan pertama belum masuk waku shalat subuh, sehingga dibolehkan bagi yang hendak puasa untuk makan dan minum. Ada pun adzan kedua, itulah waktunya shalat subuh dan di situlah diharamkan makan dan minum bagi yang hendak berpuasa. Hal ini ditunjukkan oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan masih malam hari maka makan dan minumlah sampai adzannya Ibnu Ummi Maktum.” Dia adalah seorang laki-laki buta yang tidak akan adzan samai dikatakan kepadanya: “Sudah subuh, sudah subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).

(Al Majma’ Al Fiqhiy Al Islamiy, 2/224)

Dari penjelasan ini, maka adzan yang menunjukkan untuk shalat subuh membuat orang yang hendak berpuasa tidak boleh makan dan minum, sebab waktu puasa telah dimulai. Dimulainya adalah disaat mu’adzin mengumandangkan adzan di saat terbitnya fajar shadiq.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

وذهب الجمهور إلى امتناع السحور بطلوع الفجر, وهو قول الأئمة الأربعة, وعامة فقهاء الأمصار, وروي معناه عن عمر وابن عباس رضي الله عنهم

Mayoritas ulama menyatakan larangan sahur disaat terbitnya fajar, inilah pendapat imam yang empat dan seluruh ulama di penjuru negeri. Telah diriwayatkan makna seperti itu dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum.
(Syarh Sunan Abi Daud, 6/341)

Imam an Nawawi mengatakan:

ذكرنا أن من طلع الفجر وفي فيه (فمه) طعام فليلفظه ويتم صومه , فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه , وهذا لا خلاف فيه

Kami telah menyebutkan bahwa siapa yang mengalami terbitnya fajar (subuh), dan di mulutnya ada makanan hendaknya dia membuangnya dan dia lanjutkan puasanya. Jika dia telan setelah dia tahu sudah fajar, maka batal puasanya. Dan ini TIDAK ADA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/333)

BAGAIMANA JIKA AZANNYA KECEPATAN DARI WAKTUNYA?

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (sahurnya).”

(HR. Abu Daud no. 2350, hadits hasan)

Hadits ini bukan bermakna bolehnya makan sahur ketika azan subuh. Tapi, para ulama menjelaskan kemungkinannya karena itu azan yang dikumandangkan kecepatan sebelum masuk subuh.

Imam an Nawawi menjelaskan:

وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أنه ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر

Hadits ini jika shahih, maknanya menurut umumnya ulana adalah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tahu azan tersebut dikumandangkan sebelum terbitnya fajar dan minumnya pun menjelang fajar. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/333)

Penjelasan lainnya, itu adalah azan pertama, bukan azan subuh saat fajar shadiq.

Imam an Nawawi mengatakan:

ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ) خبراً عن النداء الأول

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya” menunjukkan berita bahwa itu azan pertama. (Ibid)

Kesimpulan:

Terbitnya fajar shadiq, yang ditandai Adzan subuh untuk shalat adalah batas akhir sahur. Jika masih makan atau minum maka wajib hentikan, bagi yang berkehendak puasa di hari itu.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌷🌸🌿🍀🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top