💢💢💢💢💢💢💢
📨 PERTANYAAN:
Assalamulaikum wr.wb.
Semoga Ustadz Farid sekeluarga senantiasa dalam keadaan sehat. Ustadz, Ini ada pertanyaan terkait dengan kondisi terkini di Turki. Terlepas dari “kebahagiaan” kita semua dari proses pengembalian Haghia Sophia menjadi masjid, apakah ada penjelasan yang bisa kita ambil baik dari Al Qur’an ataupun Sunnah terkait pengalihan fungsi rumah2 ibadah umat Agama lain atau bangunan apapun milik mereka baik pada saat perang maupun pasca perang. Jazakallahu khair. (+62 811-8202-xxx)
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim..
Mengubah tempat ibadah agama lain menjadi masjid, baik karena sudah tidak berfungsi, atau karena pembebasan, atau karena dibeli, adalah dibolehkan. Dengan syarat simbol-simbol agama mereka sudah dilenyapkan, minimal ditutup, dan juga perubahan itu bermaslahat bagi kaum muslimin.
Hal itu sudah terjadi sejak masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Imam an Nasa’i dalam Sunannya, menulis sebuah Bab: Ittikhadzul biya’i masaajid – menjadikan Gereja sebagai masjid.
Berikut ini haditsnya:
أَخْبَرَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ خَرَجْنَا وَفْدًا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ وَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّ بِأَرْضِنَا بِيعَةً لَنَا فَاسْتَوْهَبْنَاهُ مِنْ فَضْلِ طَهُورِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَتَمَضْمَضَ ثُمَّ صَبَّهُ فِي إِدَاوَةٍ وَأَمَرَنَا فَقَالَ اخْرُجُوا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوا بِيعَتَكُمْ وَانْضَحُوا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوهَا مَسْجِدًا قُلْنَا إِنَّ الْبَلَدَ بَعِيدٌ وَالْحَرَّ شَدِيدٌ وَالْمَاءَ يَنْشُفُ فَقَالَ مُدُّوهُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَزِيدُهُ إِلَّا طِيبًا فَخَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا بَلَدَنَا فَكَسَرْنَا بِيعَتَنَا ثُمَّ نَضَحْنَا مَكَانَهَا وَاتَّخَذْنَاهَا مَسْجِدًا فَنَادَيْنَا فِيهِ بِالْأَذَانِ قَالَ وَالرَّاهِبُ رَجُلٌ مِنْ طَيِّئٍ فَلَمَّا سَمِعَ الْأَذَانَ قَالَ دَعْوَةُ حَقٍّ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ تَلْعَةً مِنْ تِلَاعِنَا فَلَمْ نَرَهُ بَعْدُ
Telah mengabarkan kepada kami [Hunnad bin As-Sariy] dari [Mulazim] dia berkata; telah menceritakan kepadaku [‘Abdullah bin Badr] dari [Qais bin Thalaq] dari Bapaknya [Thalaq bin ‘Ali] dia berkata;
“Kami datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagai utusan, lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bahwa di daerah kami ada bi’ah (gereja) milik kita, maka aku hendak meminta sisa air bersucinya. Beliaupun meminta air lalu berwudhu dan berkumur, kemudian menuangkan air ke dalam ember dan menyuruh kami untuk mengambilnya. Beliau lalu bersabda, `Keluarlah (pulanglah) kalian. Bila telah sampai ke negeri kalian, maka hancurkan gereja itu dan siramlah Puing-puingnya dengan air ini, lalu jadikanlah sebagai masjid’. Kami berkata, “Negeri kami jauh dan sangat panas sekali, sedangkan air ini akan mengering’. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda. ‘Perbanyaklah airnya. Air ini tidak akan menambah apa-apa kecuali kebaikan’. Kamipun keluar hingga ke negeri kami, lalu kami menghancurkan kuil itu dan menyiramkan air tersebut ke puing-puing bangunannya. Kemudian kami jadikan sebagai masjid dan kami mengumandangkan adzan.” la berkata lagi, “Pendetanya adalah laki-laki dari Thayyi’. Ketika mendengar adzan, ia berkata, `Ini dakwah yang hak’. Kemudian ia pergi ke tempat yang tinggi yang ada di daerah kami, dan kami tidak pernah melihatnya lagi setelah itu.”
(HR. An Nasa’i no. 701. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban)
Kata Bi’ah – بيعة bermakna ma’bad an nashara (tempat ibadah kaum Nasrani). (Imam Ali Al Qari, Mirqah Al Mafatih, 2/602)
Maksud dari “hancurkan gereja itu” adalah:
أي: غيروا محرابها وحولوه إلى الكعبة
Ubahlah bentuk mihrabnya dan arahkan ke ka’bah. (Imam Al Baidhawi, Tuhfatul Abrar, 1/259)
Jadi, bukan meratakannya dengan tanah dan dibangun bangunan baru, tapi bangunan yang sudah ada cukup direnovasi saja.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:
نعم يجوز شراؤها وجعلها مسجداً وتجب إزالة الصلبان والصور المعلقة والمنقوشة فيها ، وكل ما يشعر بأنها كنيسة ، ولا نعلم مانعاً يمنع من ذلك
Ya, boleh membeli gereja dan menjadikannya sebagai masjid. Wajib menghilangkan salibnya, lukisan, dan ukiran yang terkait dengan itu, dan semua dekorasi yang mencitrakan itu adalah gereja. Kami tidak ketahui adanya larangan dalam hal ini. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 2194)
Dalam sejarah, ketika kaum muslimin telah membebaskan sebuah negeri dan negeri itu telah menjadi muslim, maka gereja dihancurkan. Ada pun bagi yang mayoritas masih non muslim, maka tidak dibenarkan menghancurkan gereja. Inilah dua kondisi yang membedakannya.
Banyak orang yang nyinyir dengan kebijakan mengubah Ayasophia menjadi masjid, padahal itu sudah terjadi sejak tahun 1453M, karena mereka tidak memahami perbedaannya. Mereka berdalil dgn kasus-kasus pembiaran gereja yang dilakulan dalam beberapa peristiwa sejarah lainnya, tanpa melihat sisi perbedaannya.
Imam Ibnul Qayyim menceritakan tentang Khalifah Umar bin Abdil Aziz seperti yang diceritakan Imam Ahmad Rahimahullah:
أَنَّهُ أَمَرَ بِهَدْمِ الْكَنَائِسِ، فَإِنَّهَا الَّتِي أُحْدِثَتْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ قَدْ حَصَلَ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهَا مَوْجُودَةٌ فِي بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ
Umar bin Abdil Aziz memerintahkan perobohan gereja, dan itu yang ada di negeri-negeri Islam, sesungguhnya ijma’ telah melahirkan hal itu, bahwa adanya gereja-gereja itu di negeri kaum muslimin tidak ada yang mengingkari.
Imam Ibnul Qayyim juga berkata:
إِنَّ الْإِمَامَ يَفْعَلُ فِي ذَلِكَ مَا هُوَ الْأَصْلَحُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ كَانَ أَخْذُهَا مِنْهُمْ أَوْ إِزَالَتُهَا هُوَ الْمَصْلَحَةَ – لِكَثْرَةِ الْكَنَائِسِ أَوْ حَاجَةِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى بَعْضِهَا وَقِلَّةِ أَهْلِ الذِّمَّةِ – فَلَهُ أَخْذُهَا أَوْ إِزَالَتُهَا بِحَسَبِ الْمَصْلَحَةِ، وَإِنْ كَانَ تَرْكُهَا أَصْلَحَ – لِكَثْرَتِهِمْ وَحَاجَتِهِمْ إِلَيْهَا وَغِنَى الْمُسْلِمِينَ عَنْهَا – تَرَكَهَا
Seorang pemimpin melakukan itu (menghancurkan gereja) berdasarkan kemaslahatan kaum muslimin, seandainya mengambil gereja dari mereka atau menghilangkannya membawa maslahat -krn gereja terlalu banyak sementara kafir dzimmi minoritas sedangkan kaum muslimin membutuhkannya- maka hendaknya pemimpin itu mengambil alih atau menghilangkannya, sejauh maslahat yang ada. Jika seandainya membiarkan gereka itu lebih bermaslahat – karena penduduk kaum Nasrani banyak dan mereka membutuhkannya, dan kaum muslimin pun sudah cukup- maka biarkan saja gereja itu.
(Ahkam Ahlidz Dzimmah, 3/1200)
Demikian. Wallahu a’lam
🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁
✍ Farid Nu’man Hasan