Penghasilan Tukang Bekam, Kotor?

▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz.. Bagaimana profesi bekam. Karena saat ini ada pendapat yang mengatakan bahwa hasil dari bekam itu khobits (jelek).. Mohon penjelasannya … Syukron (Ferdi)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah wal Hamdulillah ..

Tentang upah dari profesi membekam (hijaamah), ada beberapa hadits Nabi ﷺ yang mencelanya, dan ada pula yang membolehkannya. Sehingga wajar para ulama berbeda pendapat terhadap kebolehan mengambil upah dari berbekam.

Berikut ini kami paparkan hadits-hadits yang membolehkannya:

1. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu ditanya tentang upah dari berbekam, beliau menjawab:

احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ

“Rasulullah ﷺ pernah berbekam dan yang membekam beliau adalah Abu Thaibah, lantas beliau memerintahkan (keluarganya) supaya memberikan kepada Abu Thaibah dua sha’ makanan, dan beliau menganjurkan kepada tuannya supaya dia (tuannya) meringankan tugas yang dibebankan kepada Abu Thaibah.”

(HR. Muslim no. 1577, At Tirmidzi no. 1278)

Imam Muslim Rahimahullah membuat Bab tentang hadits ini: Bab Hilli Ujrati Al Hijaamah (Bab Halalnya Upah Dari Berbekam). Artinya, menurut Imam Muslim upah dari membekam orang adalah halal.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah memberikan komentar:

وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ فِي كَسْبِ الْحَجَّامِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ

Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka, memberikan keringanan terhadap pencaharian dari berbekam dan ini pendapat Imam Asy Syafi’iy.

(Sunan At Tirmidzi no. 1278)

Artinya, pembolehan mencari nafkah dengan berbekam merupakan pendapat sebagian sahabat Nabi ﷺ dan juga Imam Asy Syafi’iy.

2. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, katanya:

احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الَّذِي حَجَمَهُ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ

Nabi ﷺ berbekam dan dia memberikan upah kepada yang membekamnya, seandainya itu haram tentu tidak akan dia memberikan upahnya.

(HR. Bukhari no. 2103)

Dalam lafaz yang lain:

احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَ كَرَاهِيَةً لَمْ يُعْطِهِ

Nabi ﷺ berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekamnya, seandainya dia tahu itu makruh niscaya dia tidak akan mengupahnya.

(HR. Bukhari no. 2278)

Imam Bukhari dalam Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Kitab Al Ijaarah (Sewa Jasa), Bab Kharaj Al Hajjaam (Pendapatan Tukang Bekam). Maka, keterangan menunjukkan mengupah tukang bekam sebagai akad ijarah adalah boleh, dan Nabi ﷺ sendiri yang melakukannya.

Demikian, di antara hadits yang membolehkan mengambil upah bekam.

Berikut ini hadits-hadits yang mencela upah bekam

1. Dari Raafi’ bin Khadij Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ

“Sejelek-jelek usaha adalah usaha pelacuran, jaul beli anjing dan usaha tukang bekam.”

(HR. Muslim no. 2931)

2. Dari Raafi’ bin Khadij Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:

ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

Hasil penjualan anjing itu khabits (buruk/kotor), upah pelacur itu khabits, dan upah tukang bekam itu khabits.

(HR. Muslim no. 2932)

Uniknya, Imam Muslim membuat Bab tentang dua hadits dibatas berbunyi:

بَابُ تَحْرِيمِ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَالنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ السِّنَّوْرِ

“Bab Haramnya hasil penjualan Anjing, Upah Dukun, Pelacuran, dan larangan jual kucing”

Beliau tidak menyebut larangan upah berbekam! Kenapa? Sebab larangan terhadap Anjing, pelacuran, dukun, dan kucing juga tertera dalam hadits lain. Sementara berbekam, yang tertera dalam hadits lain justru pembolehan mengambil upah darinya. Maka, penjudulan Bab ini menunjukkan memang Imam Muslim tegas membolehkannya.

📌Pendapat Para Ulama

Semua hadits di atas Shahih, lalu bagaimana memahaminya?

1. Sebagian ulama ada yang berpendapat hadits-hadits tentang larangan berbekam telah MANSUKH (dihapus).

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah berkata:

فذهب بعض أهل العلم إلى أن أحاديث النهي منسوخة

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits-hadits pelarangan tersebut telah MANSUKH.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 7756)

Imam Malik Rahimahullah berkata tentang upah bekam:

ولا أرى به بأسا

Aku berpendapat tidak apa-apa.

(Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 7/299)

Pembolehan juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, serta Imam Al Laits bin Sa’ad. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah, ibid)

2. Mayoritas ulama mengkompromikan semua dalil yang ada bahwa kesimpulannya upah berbekam itu tidak haram, tapi makruh.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah berkata:

وذهب الجمهور إلى الجمع بين الأحاديث وحمل النهي على الكراهة. ‏

Mayoritas ulama berpendapat dengan mengkompromikan hadits-hadits yang ada dan memaknai larangan tersebut dengan MAKRUH. (Ibid)

Ada pun makna khabits (buruk), tidak selalu bermakna haram. Sebab Nabi ﷺ menyebut bawang merah dan bawang putih dengan khabitsatain (dua hal yang buruk). (HR. Muslim), tapi keduanya dibolehkan dimakan, makruhnya jika mendatangkan bau yang tidak sedap apalagi saat di masjid.

Sementara dari Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah, tidak ada perkataan jelas darinya tentang ini.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah memberikan komentar:

وليس عن أحمد نص في تحريم ‏كسب الحجام ولا الاستئجار عليها وإنما قال: نحن نعطيه كما أعطى النبي صلى الله عليه ‏وسلم ونقول له كما قال النبي صلى الله عليه وسلم لما سئل عن أكله نهاه وقال اعلفه ‏الناضح والرقيق”

Tidak ada perkataan HARAM dari Imam Ahmad tentang penghasilan berbekam, dan tidak pula bayar jasa untuknya. Yang dia katakan adalah kami memberikan sebagaimana Nabi ﷺ juga memberikan, dan kami berkata kepada tukang bekam sebagaimana perkataan Nabi ﷺ ketika ditanya memakan hasilnya, Nabi ﷺ melarangnya dan bersabda: Berikan kepada tukang siram dan budak.

(Al Mughni, 5/399)

Jadi, dari empat imam madzhab: yang membolehkan adalah Iman Asy Syafi’iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, sedangkan Imam Ahmad tidak tegas sikapnya.

Lalu, manakah yang kuat? Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah berkata:

وبناء على ذلك نقول: من احتاج إلى هذا العمل فلا حرج عليه في أخذ الأجرة والمشارطة ‏عليها، ومن لم يحتج له وفعل ذلك إعانة للمسلمين كان مثاباً مأجوراً فقد عد بعض أهل ‏العلم من الشافعية عمل الحجامة من فروض الكفايات، فإن أعطي شيئاً فله أخذه . والله ‏أعلم

Beranjak dari ini, maka kami katakan bahwa siapa yang membutuhkan pekerjaan ini maka tidak masalah baginya mengambil upah dan memasang tarif, ada pun bagi yang tidak membutuhkannya dan dia lakukan untuk menolong kaum muslimin maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala, dan sebagian SYAFI’IYAH mengkategorikan berbekam merupakan di antara fardhu kifayah, dan jika dia diberikan sesuatu maka dia boleh mengambilnya. Wallahu a’lam

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 7756)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Kriteria Bid’ah

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum.. afwan mau tanya ustadz.. tentang kaedah bid’ah… (+62 831-4008-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

📌 Secara bahasa (lughatan/Etimologis) bid’ah adalah Ma uhditsa ‘ala ghairi mitsal as sabiq (Sesuatu yang diciptakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya). (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, Hal. 29. Al Maktabah Asy Syarqiyah)

Tertulis dalam Lisanul ‘Arab:

وفلان بِدْعٍ في هذا الأَمر أَي أَوّل لم يَسْبِقْه أَحد

“Fulan melakukan bid’ah dalam urusan ini artinya orang pertama yang mengerjakan yang belum ada seorang pun mendahuluinya.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)

📌 Secara istilah syariat (terminologis) bid’ah adalah:

الحَدَثُ في الدين بعدَ الإِكْمَالِ، أو ما اسْتُحْدِثَ بعد النبيِّ، صلى الله عليه وسلم، من الأَهْواءِ والأَعْمالِ

“Hal yang baru dalam agama setelah kesempurnaannya, atau apa-apa yang baru diada-adakan setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang berasal dari hawa nafsu dan perbuatan.” (Syaikh Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, 2/252. Mawqi’ Al Warraq)

📚 Jadi, bid’ah menurut syariat adalah ajaran dan amalan baru dalam peribadatan yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bertentangan dasar-dasar agama baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Inilah bid’ah sesat yang dimaksud oleh hadits nabi: Kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ

“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)

Kapankah Perbuatan Disebut bid’ah?

Tidak dibenarkan memvonis bid’ah dan sesat terhadap sebuah pemahaman atau perbuatan, tanpa pertimbangan yang matang. Maka, penting kiranya diketahui kapankah sebuah perbuatan layak disebut bid’ah. Yaitu:

1. Amalan tersebut tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.

2. Amalan tersebut tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’, baik secara rinci (tafshili) atau global (ijmali), baik dalam bentuk perintah, contoh, dan taqrir.

3. Amalan tersebut telah diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari ajaran agama yang mesti dijalankan.

Jika semua keadaan ini telah terpenuhi oleh sebuah amalan, maka tidak syak lagi bahwa amalan itu adalah bid’ah yang terlarang.

Tetapi, para ulama berbeda pendapat atau berbeda sikap tentang amalan yang tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, namun secara global amalan tersebut ada dalam Al Quran baik tersurat atau tersirat, atau As Sunnah. Apakah hal itu sudah masuk bid’ah?

Contohnya adalah membaca Shadaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al Quran. Bacaan Shadaqallahul ‘Azhim setelah tilawah memang tidak pernah ada pada masa Rasulullah ﷺ, dan tidak pula masa para sahabat. Tetapi, para ulama yang membolehkannya berdalil dari beberapa ayat, yakni Ali Imran (3): 95, dan Al Ahzab (33): 22). Seperti Imam Hasan Al Bashri, Imam Hakim, Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah umumnya.

Sementara, sebagian ulama Hambaliyah ada yang membid’ahkannya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Makan Cacing, Bolehkah?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Mohon penjelasannya Ustadz, memakan cacing dalam kondisi bagaimana kita diperbolehkan?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Memakan cacing, jumhur ulama melarang. Seperti Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hambaliyah.

Sesuai ayat:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.

(QS. Al-A’raf: 157)

Cacing, terlepas di dalamnya mengandung protein, adalah bertentangan tabiat jiwa manusia. Umumnya manusia jijik melihatnya. Oleh karena itu dia masuk Al Khabaaits – yg buruk, shgga terlarang untuk dimakan.

Sedangkan Imam Malik Rahimahullah, tidak mengharamkan karena tidak ada ayat dan hadits yang lugas mengharamkannya. Sedangkan jijik itu sifatnya relatif.

Lalu, bagaimana ketika cacing itu sedikit dan tercampur dengan makanan lain yg halal? Sebagian ulama ada yang membolehkan dan itu dimaafkan.

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya:

الدود الذي يكون داخل التمر هل يجوز أكله ويكون له حكم التمر ؟

Apakah boleh makan cacing yang ada di dalam kurma, apakah dia menjadi hukumnya seperti makan kurma?

Beliau menjawab:

يعفى عنه , يعفى عنه , لأنه تابع للتمر فيعفى عنه . نعم

Itu dimaafkan, dimaafkan, karena cacing mengikuti kurma. Maka itu dimaafkan. Ya. (Selesai)

Ada pun jika cacing untuk obat, dan wujudnya sdh tidak lagi berbentuk cacing .. seperti dalam obat penurun panas ver**t, atau penyegar cap kaki **, maka jika memang tidak ada pilihan lain, silahkan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Bacaan Tasyahud Awal, Apakah Sampai Shalawat atau Hanya sampai Syahadat?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Afwan ustdaz ana mau tanya apakah sama bacaan saat tasyahud awal dengan tasyahud akhir
Syukron (+62 822-6038-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Bacaan dalam tasyahud awal, ada dua pendapat para ulama.

Pertama. Menurut sebagian ulama tidak berhenti hanya sampai syahadat tapi juga sampai membaca shalawat..

Inilah pendapat Imam Asy Syafi’iy, bahkan menurut Imam Asy Syafi’iy wajib sujud sahwi bagi yang hanya sampai membaca syahadat saja.

Tertulis dalam Al Umm-nya Imam Asy Syafi’iy:

والتشهد والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول في كل صلاة غير الصبح تشهدان : تشهد أول وتشهد آخر ، إن ترك التشهد الأول والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول ساهيا لا إعادة عليه ، وعليه سجدتا السهو لتركه

Membaca syahadat dan shalawat kepada Nabi ﷺ di dalam tasyahud awal di tiap shalat kecuali shalat subuh. Tasyahud ada dua yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir. Jika meninggalkan bacaan shalawat pada tasyahud awal karena lupa maka tidak wajib mengulang shalat tapi wajib baginya sujud SAHWI dua kali karena meninggalkannya. (Al Umm, 1/228)

Beberapa ulama juga mengatakan disyariatkan bershalawat, seperti Imam Ibnu Hazm. (Al Muhalla, 2/302)

Juga pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. ( Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 11/201) dan Syaikh Al Albani. ( Shifat Shalat Nabi ﷺ, Hal. Hal. 145)

Kedua. Bacaan pada tasyahud awal cukup pada bacaan dua kalimat syahadat saja. Ini pendapat MAYORITAS ulama.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

يرى جمهور الفقهاء أنّ المصلّي لا يزيد على التّشهّد في القعدة الأولى بالصّلاة على النّبيّ صلى الله عليه وسلم وبهذا قال النّخعيّ والثّوريّ وإسحاق

Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang shalat tidaklah pada duduk tasyahud awalnya menambahkan bacaan shalawat kepada Nabi ﷺ, dengan inilah An Nakha’iy, Ats Tsauriy, dan Ishaq berpendapat. ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/39)

Ini juga dianut oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, kata beliau:

لا يستحب أن تصلي على النبي صلى الله عليه وسلم في التشهد الأول ، وهذا ظاهر السنة ، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعلِّم ابن مسعود وابن عباس إلا هذا التشهد فقط ، وقال ابن مسعود : ( كنا نقول قبل أن يفرض علينا التشهد ) وذكر التشهد الأول فقط ، ولم يذكر الصلاة على النبي صلى الله عليه; وسلم في التشهد الأول ، فلو كان سنة لكان الرسول عليه الصلاة والسلام يعلمهم إياه في التشهد

Tidak disunahkan bershalawat kepada Nabi ﷺ di tasyahud awal, inilah yang benar dalam Sunnah, sebab Nabi ﷺ tidak pernah mengajarkan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas kecuali bacaan tasyahud yang seperti ini saja.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Dulu, sebelum diwajibkan tasyahud kepada kami, kami membaca ..”, lalu dia membaca bacaan tasyahud awal saja, tanpa menyebutkan adanya shalawat. Seandainya itu Sunnah, niscaya Nabi ﷺ mengajarkan shalawat tersebut kepada mereka. (Syarhul Mumti’, 3/225)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top