Rukun Wudhu Hanya Membasuh Muka dan Tangan Saja?

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

https://youtu.be/QnO9bZwDjxc

Assalamu’alaikum ustadz mau bertanya Apakah benar pendapat ustadz ” sunnah ” berikut
yg mengatakan rukun wudhu, cuma 2 yaitu membasuh wajah dan tangan saja, sedangkan kepala dan kaki hanya sunnah muakkadah saja. Adakah ulama yg berpendapat demikian? (+62 856-7176-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Hadaahullah, semoga Allah memberinya petunjuk .. apa yang dikatakannya keliru.

Wudhu memiliki sejumlah rukun, yang jika tidak dijalankan salah satunya maka tidak sah wudhu tersebut.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

للوضوء فرائض وأركان تتركب منها حقيقته، إذا تخلف فرض منها لا يتحقق ولا يعتد به شرعا

Wudhu memiliki sejumlah rukun dan kewajiban yang hakikatnya mesti dijalankan, jika kewajiban ini tidak dijalankan maka wudhu tersebut tidaklah terealisasi menurut syariat. (Fiqhus Sunnah, 1/42)

Apa sajakah itu? Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah melanjutkan:

1. Niat
2. Mencuci wajah sekali
3. Mencuci kedua tangan sampai kedua siku
4. Membasuh kepala
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib (berurut)

(Detilnya lihat Fiqhus Sunnah, 1/42-44)

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, disebutkan bahwa yang DISEPAKATI KEWAJIBANNYA dalam WUDHU ada empat:

1. Mencuci muka (wajah)
2. Mencuci kedua tangan sampai siku
3. Membasuh Kepala
4. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki.

(Al Mausu’ah, 43/332 – 351)

Ada pun niat NIAT, bersambung (muwaalah), tertib (tartiib), menggosok (ad dalku), diperselisihkan wajib atau Sunnah.

(Ibid, 43/354-357)

Rukun wudhu kadang disebut fardhu-nya wudhu, sebagaimana penjelasan berikut:

المراد بفروض الوُضُوء هنا أركانُ الوُضُوء.
وبهذا نعرف أن العُلماء ـ رحمهم الله ـ قد ينوِّعون العبارات، ويجعلون الفروضَ أركاناً، والأركان فروضاً

Yang dimaksud fardhu-nya wudhu adalah rukun-rukunnya. Dari sini kita mengetahui bahwa para ulama Rahimahumullah telah menyebut dengan beragam istilah. Mereka menjadikan fardhu dengan sebutan rukun, dan rukun adalah fardhu.

(Syarhul Mumti’, 1/183)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Pro Kontra Marawis di Dalam Masjid

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz. Apa hukumnya marawis atau rebana di mushollah/masjid ? (+62 812-1361-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Ada dua pandangan ulama ..

1. Pihak yg membolehkan.

Dalilnya, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bersabda Rasulullah :

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “

(HR. At Tirmidzi No. 1089, katanya: hasan gharib. Ad Dailami No. 335)

Sebagian ulama mendhaifkannya lantaran kedhaifan yang parah dari salah satu perawinya: ‘Isa bin Maimun, mereka seperti Imam Ibnul Jauzi yang berkata: dhaif Jiddan – sangat lemah. (Al ‘Ilal Mutanahiyah, 2/627, No. 1034), Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanaduhu dhaif – sanadnya lemah. (Fathul Bari, 9/226). Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 966)

Ulama lain mengatakan hadits ini hasan, bahkan shahih karena memiliki penguat dari riwayat lainnya. Imam At Tirmidzi menyebutnya hasan gharib. (Sunan At Tirmidzi No. 1089), Imam As Sakhawi mengatakan: “Hadits ini hasan, maka riwayat dari At Tirmidzi kalau pun dhaif, dia memiliki penguat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 125)

Imam Al ‘Ajluni menjelaskan dengan panjang:

“ … tetapi hadits ini memiliki berbagai syawahid (penguat), yang membuatnya menjadi hasan lighairih, bahkan shahih, … (Kasyful Khafa, 1/145)

Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah berkata:

عقد النكاح بالمسجد مظهر من مظاهر إعلانه وكذلك ضرب الدف عليه ، وذلك أمر مشروع ، وأقل درجاته أنه مباح ، وقيل سنة

Akad nikah di masjid adalah salah satu manifestasi dari mensyiarkan pernikahan, begitu pula memukul rebana padanya, ini adalah perkara yang disyariatkan, minimal ini mubah, bahkan dikatakan ini Sunnah. (Fatawa Al Azhar, 9/444)

2. Terlarang main rebana (apalagi musik lainnya), di masjid, dan itu termasuk kemungkaran besar.

Imam As Suyuthi Rahimahullah – seorang ulama madzhab Syafi’i- mengatakan:

ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.

“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus, bawang putih, bawang merah, menyenandungkan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.”

(Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Al Munawi Rahimahullah – seorang ulama Asy Syafi’iyyah lainnya- mengoreksi pihak yang membolehkan:

ليس المراد أنه يضرب به فيه بل خارجه والمأمور بجعله فيه مجرد العقد فحسب وقد أفاد الخبر حل ضرب الدف في العرس ومثله

Maksud memukul rebana ini bukanlah di dalam masjid tapi di luarnya. Ada pun kata perintah melakukan di dalam masjid adalah khusus pada akad nikah saja, oleh karena itu hadits ini dijadikan dalil bolehnya memukul rebana saat pesta pernikahan.

(Faidhul Qadir, 2/14)

Demikian ….

Jalan tengahnya, sebaiknya latihan marawisnya dilakukan bukan di ruang utama masjid, tapi di aula, sekretariat, parkiran, atau bagian ruangan lain yg sejak pendirian tidak diperuntukkan sebagai tempat shalat. Semakin luar dan jauh tentu semakin Afdha dan tidak ada perdebatan. Keluar dari perdebatan tentu lebih baik.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berburuk Sangka Kepada Non Muslim

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Ustadz,apakah kita diharuskan khusnudzn kpada org2 kafir? (+62 897-6060-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulillah ..

Berbaik sangka (Husnuzhzhan) adalah wajib, yaitu kepada Allah dan muslim secara umum.

Imam Al ‘Aini Rahimahullah menyebutkan:

إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب

Berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)

Ada pun kepada muslim yang ZAHIRnya buruk, jahat, dikenal sebagai orang yang tidak baik, boleh su’uzh zhan kepadanya.

Imam Al Bahutiy Rahimahullah mengatakan:

وَيَحْرُمُ سُوءُ الظَّنِّ بِاَللَّهِ وَبِمُسْلِمٍ ظَاهِرِ الْعَدَالَةِ، قَالَهُ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ وَيَجِبُ حُسْنُ الظَّنِّ بِاَللَّهِ تَعَالَى وَيُسْتَحَبُّ ظَنُّ الْخَيْرِ بِالْمُسْلِمِ وَلَا يَنْبَغِي تَحْقِيقُ ظَنِّهِ فِي رِيبَةٍ وَلَا حَرَجَ بِظَنِّ السَّوْءِ بِمَنْ ظَاهِرُهُ الشَّرُّ

Diharamkan berburuk sangka kepada Allah dan kepada muslim yang zahirnya menunjukkan seorang yang shalih dan adil. Al Qadhi dan selainnya mengatakan: wajib berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dan disukai berbaik sangka kepada muslim, dan tidak selayaknya menerapkan prasangka dalam hal yang masih ragu-ragu.

Namun tidak apa-apa berprasangka buruk kepada orang yang memang ZAHIRnya itu buruk.

(Kasysyaaf Al Qinaa’, 2/102)

📌 Lalu Bagaimana berbaik sangka dengan Non Muslim?

Melihat penjelasan para ulama, yaitu jika kepada muslim yang buruk dan jahat saja boleh berburuk sangka, maka apalagi kepada orang kafir.

Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ويحرم سوء الظن بمسلم ظاهره العدالة ـ أي: يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه، لأنه أهل لذلك، وأما من عُرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به، لأنه أهل لذلك، ومع هذا لا ينبغي للإنسان أن يتتبع عورات الناس، ويبحث عنها، لأنه قد يكون متجسساً بهذا العمل

Diharamkan buruk sangka kepada seorang muslim yang zahirnya menunjukkan adil (Shalih), yaitu haram su’uzh zhan kepada muslim, ada pun kepada orang kafir tidak diharamkan su’uzh zhan kepadanya karena dia berhak untuk itu. Sedangkan orang yang dikenal fasik dan jahatnya tidak apa-apa kita su’uzh zhan kepadanya karena dia berhak untuk itu. Namun bersamaan dengan ini tidak selayaknya seorang muslim menguntit aib manusia, mencari-carinya, sebab itu merupakan aktifitas mencari-cari kesalahan orang.

(Syarhul Mumti’, 5/300)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فلا يجب على المسلم إحسان الظن بالكافر، وإذا كان سوء الظن بمن ظاهره الفسق من المسلمين جائزا، فسوء الظن بالكافر أولى أن يكون كذلك

Tidak wajib bagi kaum muslimin berbaik sangka kepada orang kafir. Jika kepada orang yang menampakkan kefasikannya saja dibolehkan untuk berburuk sangka, maka kepada orang kafir lebih utama untuk dibolehkan.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 177159)

Ada pun hadits-hadits yang menyertakan larangan berburuk sangka, mereka memaknai sebagai buruk sangka yang tanpa dasar tanpa hak. Ada pun kepada orang yang punya track record buruk, dia berhak itu disikapi seperti itu, maka itu bukan termasuk larangan yg dimaksud dalam hadits tsb.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Menghadiahi Pahala Shalat Untuk Mayit (Hukum Sholat Hadiah)

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz. Ana mau bertanya tentang sholat hadiah untuk mayyit? Apakah ini memang ada tuntunannya? Jazakallahu khayran Ustadz. (+81 80-7013-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah…

Bismillah wal hamdulillah ..

Shalat dengan niat pahalanya untuk orang yg sudah wafat adalah zona debatable para ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak sampai dan tidak ada contohnya, sebagian lain mengatakan boleh dan sampai.

Namun para ulama sepakat bahwa doa, sedekah, haji, dan umrah, adalah sampai pahalanya kepada mayit. Begitu pula nadzar dan waqaf yang dulu pernah direncanakan oleh mayit dimasa hidupnya, lalu kemudian ditunaikan oleh keluarganya. Semua ini tidak ada perselisihan: boleh dan sampai.

Ada pun membaca Al Qur’an, shalat, shaum, qurban, aqiqah, adalah hal yang diperdebatkan para imam sejak dulu.

📌 Pihak yang membolehkan

Ini dimotori oleh Hambaliyah generasi awal dan pertengahan, serta Hanafiyah, dan sekelompok Syafi’iyyah dan Malikiyah. Alasannya adalah Qiyas dengan kebolehan sedekah, haji, dan umrah untuk mayit.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata:

الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ

Sampai kepada mayit   semua bentuk amal kebaikan, baik berupa sedekah, shalat, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu.

(Imam Al Bahutiy, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

وعلى القول الراجح بجواز إهداء ثواب الصلاة للميت، فيجوز أن تكون هذه الصلاة جماعة أو فرادى

Pendapat yg lebih kuat adalah BOLEHNYA menghadiahkan pahala SHALAT untuk mayit, dan boleh shalat ini dilakukan secara berjamaah atau sendirian.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 121425)

Namun demikian, Syaikh Abdullah Al Faqih tetap mengutamakan mengikuti perilaku salaf dengan melakukan hal-hal yang disepakati saja. Kata Beliau:

ولهذا فالأفضل والأكمل أن يقتصر المسلم على ما وردت به السنة كالدعاء للميت والصدقة، والصيام عنه إذا كان عليه صوم واجب، وكذلك الحج عنه إذا كان عليه حج واجب، لأدلة كثيرة

Oleh karenanya, maka yang lebih utama dan lebih sempurna adalah seorang muslim mencukupkan diri pada apa-apa yang sampai dari Sunnah, seperti doa buat mayit, sedekah, puasa jika dia masih ada kewajiban puasa, demikian juga haji untuknya jika dia masih ada kewajiban haji, karena dalil-dalilnya banyak.

(Ibid, no. 8132)

Apa yg dikatakan Syaikh tentang puasa utk mayit adalah hal yang diperselisihkan ulama, di mana Syafi’iyah mengatakan boleh berdasarkan hadits Shahih Muslim, sementara Jumhur mengatakan tidak, kecuali puasa nadzar.

Semetara itu, Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, mengatakan bahwa hadiah pahala Shalat untuk mayit adalah BOLEH menurut banyak ulama, Namun walau pun boleh tapi hal itu BUKAN KEBIASAAN ulama salaf, dan lebih utama adalah mengikuti salaf, bukan menyelisihi mereka.

Berikut ini perkataannya:

وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم، فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك والشافعي
فإذا أهدي لميت ثواب صيام أو صلاة أو قراءة جاز ذلك وأكثر أصحاب مالك والشافعي يقولون: إنما شرع ذلك في العبادات المالية.
ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعاً وصاموا وحجوا أو قرأوا القرآن، يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا بخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم- أي فعل العبادة لأنفسهم مع الدعاء والصدقة للميت- فلا ينبغي للناس أن يبدلوا طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل

Telah Shahih dari Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam bahwa Beliau memerintahkan sedekah untuk mayit, dan juga berpuasa untuk untuknya. Maka, sedekah untuk mayit adalah termasuk amal Shalih, demikian pula tentang sunahnya puasa untuk mereka.

Oleh karena itu, berdasarkan ini dan selainnya, di antara ulama ada yang mengatakan: “Bolehnya menghadiahkan pahala ibadah badan dan harta kepada mayat kaum muslimin.” Sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, segolongan dari pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’iy.

Maka, jika dihadiahkan pahala untuk mayit berupa pahala puasa, atau SHALAT, atau membaca Al Qur’an, hal itu BOLEH.

Tapi, MAYORITAS para pengikut Malik dan Asy Syafi’iy mengatakan itu hanya disyariatkan pada ibadah HARTA saja.

Disamping memang hal ini TIDAK PERNAH menjadi kebiasaan kaum salaf, jika mereka shalat, puasa, haji, membaca Al Qur’an, menghadiahkan pahalanya tidak untuk mayit kaum muslimin, dan tidak pula dikhususkan untuk mereka.

Bahkan dahulu kebiasaan mereka -seperti yang dijelaskan sebelumnya – bahwa bersamaan dengan ibadah untuk diri mereka sendiri mereka juga berdoa dan bersedekah untuk mayit. Maka tidak sepatutnya manusia mengganti jalan kaum salaf, karena itu lebih utama dan lebih sempurna.

(Al Fatawa Al Kubra, 3/37)

Sementara itu, ada pula yang mengatakan kebolehan ini hanya khusus shalat Sunnah, itulah yang masyhur di kalangan Hambaliyah.

Imam Al Bahutiy mengatakan:

ولو صلى فرضاً وأهدى ثوابه لميت لم يصح في الأشهر، وقال القاضي: يصح

Seandainya shalat wajib lalu pahalanya dihadiahkan untuk mayit maka itu TIDAK SAH menurut pendapat yang terkenal (dalam madzhab Hambali). Al Qadhi berkata: SAH.

(Syarh Al Muntaha Al Iradat, 1/385)

📌 Pihak Yang Mengatakan Tidak Sampai

Alasannya adalah karena hal ini tidak ada dasarnya, dan perkara peribadatan tidak bisa diqiyaskan.

Inilah mayoritas Malikiyah dan Syafi’iyah, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

أَمَّا وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالْقِرَاءَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا تَصِلُ وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا لَا تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Ada pun sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur’an, SHALAT, dan shaum, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, dan segolongan pengikut Malik dan Asy Syafi’iy bahwa semua ini SAMPAI. Ada pun mayoritas pengikut Malik dan Asy Syafi’iy mengatakan itu TIDAK SAMPAI. Wallahu a’lam.

(Majmu’ Al Fatawa, 24/324)

Ini juga pendapat Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah;

أما الصلاة لها، فلا أصل لذلك؛ لأنه لم يشرع لنا أن نصلي عن الأموات

Ada pun Shalat untuknya (mayit) itu tidak ada dasarnya, karena kita tidak disyariatkan shalat untuk orang yang sudah wafat.

(Lihat: https://www.binbaz.org.sa/fatawa/1091)

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 7482, menyebutkan justru itu BID’AH, sebab hal itu tidak ada dasarnya:

لا يجوز أن تهب ثواب ما صليت للميت، بل هو بدعة لأنه لم يثبت عن ا لنبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولا عن الصحابة ـ رضي الله عنهم

Tidak boleh menghadiahkan pahala shalat yang Anda lakukan untuk mayit, bahkan itu bid’ah karena itu tidak Shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari sahabat Radhiallahu Anhum.

Maka, lebih baik dan tidak kontroversi adalah lakukan amal-amal yang pasti ada dalam Sunnah saja seperti mendoakan, sedekah, haji, dan umrah. Walau tetap tasamuh (lapang dada) terhadap perbedaan yg ada.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top