Keampuhan Kalimat Bismillah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

“Jika seseorang menyebut nama Allah ketika hendak masuk rumahnya dan ketika hendak makan, maka setan berkata kepada kaumnya; ‘Kalian tidak bisa menginap dan tidak bisa makan! ‘ Jika seseorang tidak menyebut nama Allah ketika hendak masuk rumahnya, maka setan berkata; ‘Kalian bisa masuk dan bisa menginap.’ Jika seseorang tidak menyebut nama Allah sewaktu hendak makan, maka setan berkata; ‘Kalian bisa menginap dan makan malam.’

📚 HR. Muslim No. 3762, Abu Daud No. 3263

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

وَاَلَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ أَكْلَ الشَّيْطَانِ مَحْمُولٌ عَلَى ظَاهِرِهِ وَأَنَّ لِلشَّيْطَانِ يَدَيْنِ وَرِجْلَيْنِ وَفِيهِمْ ذَكَرٌ وَأُنْثَى وَأَنَّهُ يَأْكُلُ حَقِيقَةً بِيَدِهِ إذَا لَمْ يُدْفَعْ. وَقِيلَ إنَّ أَكْلَهُمْ عَلَى الْمَجَازِ وَالِاسْتِعَارَةِ. وَقِيلَ إنَّ أَكْلَهُمْ شَمٌّ وَاسْتِرْوَاحٌ، وَلَا مَلْجَأَ إلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ. وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ كَمَا سَيَأْتِي «إنَّالشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ»
وَرُوِيَ عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ قَالَ: الشَّيَاطِينُ أَجْنَاسٌ، فَخَالِصُ الْجِنِّ لَا يَأْكُلُونَ وَلَا يَشْرَبُونَ وَلَا يَتَنَاكَحُونَ وَهُمْ رِيحٌ، وَمِنْهُمْ جِنْسٌ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيَتَوَالَدُونَ وَهُمْ السَّعَالِي وَالْغِيلَانُ وَنَحْوُهُمْ

Mayoritas ulama baik kalangan salaf/terdahulu dan khalaf/belakangan, baik ahli hadits dan lainnya, mereka memaknai makannya syetan secara zahirnya (tekstual). Sesungguhnya syetan memiliki dua tangan, dua kaki, ada laki-laki, dan ada perempuan, mereka makan secara hakiki (sungguhan) dengan tangannya jika tidak ada yang mencegahnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa makannya syetan bermakna kiasan dan metafora saja (bukan sungguhan).

Ada juga yang mengatakan makannya mereka adalah mencium dan mengendus saja, tidak ada suatu pun yang terlindung dari hal itu.

Telah shahih dalam kitab Ash Shahih, sebagaimana nanti akan kami sampaikan, hadits: “Sesungguhnya syetan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kiri.”

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih, kata beliau: “Syetan itu bermacam-macam, ada yang Jin sangat halus, tidak makan, tidak minum, dan tidak nikah, mereka angin saja.
Jenis lainnya ada yang melakukan itu semua dan mereka melahirkan anak, bisa batuk, jadi hantu lalu menghilang, dan semisalnya.”

📕 Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 8/172

🍃🌻🌸🌺☘🌷🌾🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.7) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.6) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KEDUA

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ :

Kemudian dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan

قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ :

Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:

حاصله راجع إلى إتقان العبادات ومراعاة حقوق الله ومراقبته واستحضار عظمته وجلالته حال العبادات

“Esensinya adalah kembali pada keitqanan (kualitas) peribadatan dan menjaga hak-hak Allah, mendekatkan diri kepadaNya dan menghadirkan keagunganNya dan kebesaranNya dalam keadaan berbagai ibadah.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, hal. 31)

Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan tentang makna Al Ihsan:

أن تكون سريرته أحسن من علانيته

“Menjadikan yang tersembunyi (di hati) lebih baik dari yang ditampakkannya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/595)

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ :

Kemudian dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)

قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ :

Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya

Maknanya adalah bahwa baik yang ditanya (yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan yang bertanya (yakni laki-laki yang pada hakikatnya adalah malaikat Jibril), keduanya sama sama tidak mengetahui kapan pastinya terjadi kiamat. Pengetahuan mereka sama-sama terbatas.

Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari mengatakan tentang makna ucapan di atas:

لا أعلم وقتها أنا ولا أنت ، بل هو مما استأثر الله بعلمه

“Saya tidak mengetahui kapan waktunya begitu pula engkau, tetapi itu termasuk hal yang telah Allah tentukan dengan ilmuNya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits ke 2. Maktabah Misykah)

Hal ini ditegaskan dalam Al Quran:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS. Al A’raf (7): 187)

Ayat lainnya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44)

42. (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? 43. siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? 44. kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat (79): 42-44)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan tentang ayat-ayat ini:

ليس علمها إليك ولا إلى أحد من الخلق، بل مَردها ومَرجعها إلى الله عز وجل، فهو الذي يعلم وقتها على التعيين

“Pengetahuan tentang kiamat tidaklah ada padamu (Rasulullah) dan tidak pula seorang pun pada hambaNya, bahkan kembalikan dan pulangkanlah ilmu tentang kiamat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan Dialah yang mengetahui waktunya secara khusus/pasti.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/318. Dar An Nasyr wa At Tauzi’)

Dalam hadits ini, istilah kiamat diistilahkan dengan As Saa’ah- السَّاعَة. Secara bahasa penggunaan sehari-hari arti As Saa’ah adalah waktu, jam, arloji, dan masa 60 menit. Tapi, dalam konteks hadits ini dia bermakna kiamat. Istilah kiamat sendiri disebutkan dalam berbagai kata dalam Al Quran sesuai dengan bentuk peristiwanya, seperti Al Qiyamah (kiamat), Al Haaqqah (yang benar), Al Waaqi’ah (kenyataan yang terjadi), Al Infithar (pecah), At Takwir (terbelah), Al Insyiqaq (terbelah), Al Qaari’ah (pukulan keras), dan Al Zalzalah (guncangan).

Secara umum, pengetahuan manusia terhadap yang ghaib –bukan hanya kiamat- memang sangat sedikit. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّ

مَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An Naml (27): 65)

Tapi, yang jelas kiamat hanya terjadi pada hari Jum’at. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr Hafizhahullah:

فكلهم لا يعلمون متى تقوم، الله تعالى هو الذي يعلم متى تقوم، فلا يُعلم متى تقوم في أي سنة وفي أي يوم من أي شهر، ولكن بلا شك هي لا تقوم يوم السبت ولا الأحد ولا الإثنين ولا الثلاثاء ولا الأربعاء ولا الخميس، وإنما تقوم يوم الجمعة بالتحديد، لأنه ثبت بذلك الحديث عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، لكن أي جمعة من أي شهر من أي سنة لا يعلم بذلك إلا الله سبحانه وتعالى

“Maka, mereka semua tidak tahu kapan terjadinya kiamat, Allah Ta’ala yang mengetahui kapan terjadinya. Tidak diketahui pada tahun kapan terjadinya, pada hari apa, dan bulan apa. Tetapi, tidak diragkan lagi bahwa kiamat tidaklah terjadi pada hari sabut, ahad, senin, selasa, rabu, dan kamis. Dia terjadi pada hari jumat tertentu, karena hal ini telah shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi, jumat yang mana dari bulan yang mana, dari tahun yang mana? Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 490)

Hadits shahih yang menyebutkan bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat cukup banyak diantaranya, dari jalur Abu Hurairah. (HR. Abu Daud No. 1046, An Nasa’i No. 1430, At Tirmidzi No. 491), dari jalur Abu Lubabah. (HR. Ibnu Majah No. 84, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/9).

Bersambung …

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.8) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴🌸🌺🌷🌾☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Menyandingkan Nama Suami di Belakang Nama Istri

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum..
Ust, bgmn hukum nya seorang wanita di panggil dg menggabungkan nama suaminya?
Sprti yg ada di bbrpa daerah di Indonesia…
Misal fatimah istri dari Bp Jafar di panggil Fatimah Jakfar (08522900xxcc)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Hendaknya seseorang dinasabkan dan disandarkan kepada nama ayahnya, bukan nama suaminya.

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

Panggilah anak-anak itu dengan nama ayah-ayah mereka. Dan yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. (Qs. Al Ahzab: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

Barang siapa yang mengklaim nasab kepada seorang yang bukan ayahnya, padahal dia tahu (itu bukan ayahnya), maka surga haram baginya. (HR. Al Bukhari No. 4326, Muslim, 115/63)

Maka, hendaknya seorang wanita tetap menggandengkan nama ayahnya di belakang namanya, sebab ayah tidak akan pernah jadi “mantan ayah”.

Kalau ada wanita menggunakan nama suaminya, “Fathimah Ja’far”, lalu besok bercerai atau suami wafat, nikah lagi dengan Ahmad, maka berubah lagi menjadi “Fathimah Ahmad.” Sedangkan dgn ayah, tidak akan berubah.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan;

لا يوجد في السنة النبوية ما يدل على أن الزوجة تُنسب لزوجها ، بل هذا أمر حادث لا تقره الشريعة ، وهؤلاء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ، تزوجهن النبي صلى الله عليه وسلم وهو أشرف الناس نسباً ، ولم تُنسب إحداهنَّ لاسمه صلى الله عليه وسلم ، بل كلُّ واحدة منهن نسبت لأبيها ولو كان كافراً ، وهؤلاء زوجات الصحابة – رضي الله عنهن –ومن بعدهن لم يغيرن نسبهن

Tidak ditemukan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri disandarkan (dinasabkan) kepada suaminya. Ini adalah perkara baru yang tidak diakui oleh syariah.

Lihat istri-istri Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam, para Umahatul mu’minin, mereka menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya yaitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi masing – masing mereka tidak pernah menasabkan nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka. Tetapi, mereka tetap mengkaitkan na ma mereka kepada ayah-ayah mereka walau ayah mereka kafir.

Begitu pula istri-istri generasi sahabat nabi, juga setelah mereka, mereka tidak pernah mengubah nasab mereka.

( Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 82138)

📌Yang Dibolehkan

Ada pun jika dipanggil dengan “Istri Ja’far”, “Bu Ja’far” yang menunjukkan ikatan pernikahan, ini tidak apa-apa.

Sebab Allah Ta’ala menyebut hal demikian pula:

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika Isteri ´Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran: 35)

Ayat lain:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “ Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf: 30).

Demikian. Wallahu a’lam


💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum Ustadz,
Afwan ada titipan pertanyaan,
Di dalam Islam, seorang wanita tidak boleh menambahkan nama suaminya di belakang namanya.
Nah, kalo ada kasus seorang ibu yang dipanggil dengan nama suaminya bagaimana Ustadz, misalnya karena suaminya bernama Teguh, trus dipanggil Bu Teguh?
Mohon penjelasannya Ustadz?
Syukron 🙏 (+62 813-9313-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama belakang istri dengan nama suaminya, apakah ini terlarang?

Para ulama merinci hal tersebut, sebagai berikut.

1. Terlarang jika dimaksudkan mengubah nasab.

Misal, seorang wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka di masyarakat ia akan dipanggil ‘Fatimah Ali.’ Jika panggilan itu dimaksud perubahan nasab maka itu keliru, dan tidak boleh.

2. Jika maksudnya adalah sekedar identitas al ‘ilaqah az Zaujiyah (relasi pernikahan)

Maka ini TIDAK APA-APA. Dalam Al Quran, istrinya ‘Imran disebut dengan Imra-atu ‘Imran (Istrinya ‘Imran) (QS. Ali Imran: 35), juga Imra’atu al ‘Aziz (istrinya ‘Aziz) (QS. Yusuf: 51). Artinya, nama suami digandengkan setelah istri, sebagai hubungan pernikahan mereka. Kalau di Indonesia, biasanya disebut dengan Bu Imran atan Bu Aziz. Ini tidak masalah, ini bukan kaitan nasab.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ

“Kufur hukumnya orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no. 2744, Syaikh Syu’aib al Arna’uth mengatakan: hasan)

Para ulama mengatakan, kecaman dalam hadits ini hanya berlaku bagi yang benar-benar bermaksud merubah nasab baik mengklaim sebuah nasab yang bukan nasabnya atau mengingkari nasab yang sebenarnya nasabnya sendiri. Ada pun jika penyandaran ‘bin’ kepada bukan ayahnya hanya sebagai ta’rif (pengenalan identitas), itu tidak apa-apa dan bukan masalah. Dahulu ada sahabat nabi bernama Al Miqdad bin Al Aswad Radhiallahu ‘Anhu, padahal ayahnya bukan Al Aswad, namun dengan nama itulah dia dikenal dan Rasulullah ﷺ pun tidak mengingkari nama tersebut.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah (w. 449 H) mengatakan -sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Rahimahullah (w. 852 H):

وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهِ مَنْ تَحَوَّلَ عَنْ نَسَبِهِ لِأَبِيهِ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ عَالِمًا عَامِدًا مُخْتَارًا وَكَانُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَسْتَنْكِرُونَ أَنْ يَتَبَنَّى الرَّجُلُ وَلَدَ غَيْرِهِ

Maksud hadits ini hanyalah tentang orang yang mengubah nasab dirinya pada ayahnya kepada selain ayahnya, dan dia tahu, sengaja, dan atas pilihannya sendiri. Di zaman jahiliyah mereka tidak mengingkari seseorang yang mem-bin-kan anak orang lain.

Beliau melanjutkan:

فَيُذْكَرُ بِهِ لِقَصْدِ التَّعْرِيفِ لَا لِقَصْدِ النَّسَبِ الْحَقِيقِيِّ كَالْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ لَيْسَ الْأَسْوَدُ أَبَاهُ بَلْ تَبَنَّاهُ وَاسْمُ أَبِيهِ الْحَقِيقِيِّ عُمَرَ بْنُ ثَعْلَبَةَ

Maka, sebutan nama seperti itu dengan maksud identitas, bukan maksud nasab yang hakiki, seperti Al Miqdad bin Al Aswad, padahal ayahnya bukan Al Aswad, nama ayahnya adalah Umar bin Ts’alabah. (Fathul Bari, Jilid. 15, hal. 73)

Hanya saja identitas seperti ini tidaklah kuat, yang lebih kuat adalah disandarkan kepada ayah si istri. Sebab, ayahnya tidak pernah berubah, tidak ada mantan ayah, selamanya dia disandarkan ke ayahnya. Beda dengan suami, jika suaminya wafat, lalu istri nikah lagi dengan suami baru, tentu nanti nama suami yang lama pun berubah menjadi suami yang baru. Inilah masalahnya. Maka, lebih utama dan tepat jika tetap disandarkan dengan nama ayahnya walau sandaran nama suami tidak bermaksud nasab. Tentunya hal yang lebih utama yang lebih kita pilih.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Dunia Itu Terlaknat, Bagaimana Jalan Keluarnya?

💦💥💦💥💦💥💦💥

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

«أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»

Ketahuilah .., sungguh dunia itu terlaknat dan terlaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali:

– berdzikir kepada Allah
– orang yang mengikuti orang berdzikir
– orang berilmu (yg mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, pen)
– orang yang menuntut ilmu

📚 Dikeluarkan oleh:

– Sunan At Tirmidzi No. 2322, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib

– Sunan Ibni Majah No. 4112

– Ibnu Abi Ad Dunya dalam Az Zuhd, No. 7

Dihasankan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dll.

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top