Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 11)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KE TIGA, lanjutan

شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ :

kesaksian (syahadah) bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah

Dua kalimat syahadat adalah fondasi keislaman dan keimanan. Imam Bukhari dalam Shahihnya memasukkan hadits ini dalam Kitabul Iman. Ini menunjukkan bahwa menurutnya Islam dan Iman adalah sama. (Lihat Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9)

Sedangkan umumnya Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, dan iman lebih tinggi kedudukannya dibanding Islam. Hal ini berdasarkan firmanNya:

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah Islam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat (49): 14)

Dan, inilah pandangan yang lebih kuat bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, di mana Islam lebih umum di banding Iman, dan Iman lebih umum di banding Ihsan. Dalilnya adalah ayat di atas (QS. Al Hujurat (49): 14) dan hadits Jibril ‘Alaihissalam yang menjelaskan Islam, Iman, dan Ihsan secara berlainan.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وقد استفيد من هذه الآية الكريمة: أن الإيمان أخص من الإسلام كما هو مذهب أهل السنة والجماعة، ويدل عليه حديث جبريل، عليه السلام، حين سأل عن الإسلام، ثم عن الإيمان، ثم عن الإحسان، فترقى من الأعم إلى الأخص، ثم للأخص منه

“Dari ayat yang mulia ini telah diambil faidah: bahwa Iman lebih khusus dibanding Islam sebagaimana pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menunjukkan hal itu adalah hadits Jibril ‘Alaihissalam ketika dia bertanya tentang Islam, kemudian Iman, kemudian Ihsan. Maka, terjadi peningkatan dari yang umum ke yang lebih khusus, kemudian yang lebih khusus darinya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/389. Dar Nasyr wat Tauzi’)

Syahadah bermakna kesaksian dan ikrar. Juga bermakna sumpah. Syahadah –dalam berbagai konteks yang berbeda- juga bermakna, mati syahid, ijazah, bukti, kalimat syahadat, dan surat keterangan. Namun dalam konteks ini, syahadah adalah kesaksian, ikrar, dan sumpah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Dua kalimat Syahadat memiliki posisi sangat penting, di antaranya:

1⃣ Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman

Dua kalimat syahadat merupakan madkhal ilal Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). Siapa pun yang ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa, jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa wajib ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi. Namun adanya saksi lebih baik.

Ada pun tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An Nawawi (w. 676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, “Aku diutus untuk memerangi manusia …”:

وَفِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ الْمُحَقِّقِينَ وَالْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف أَنَّ الْإِنْسَان إِذَا اِعْتَقَدَ دِين الْإِسْلَام اِعْتِقَادًا جَازِمًا لَا تَرَدُّد فِيهِ كَفَاهُ ذَلِكَ وَهُوَ مُؤْمِن مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَجِب عَلَيْهِ تَعَلُّم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ وَمَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى بِهَا ، خِلَافًا لِمَنْ أَوْجَبَ ذَلِكَ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي كَوْنه مِنْ أَهْل الْقِبْلَة ، وَزَعَمَ أَنَّهُ لَا يَكُون لَهُ حُكْم الْمُسْلِمِينَ إِلَّا بِهِ . وَهَذَا الْمَذْهَب هُوَ قَوْل كَثِير مِنْ الْمُعْتَزِلَة وَبَعْض أَصْحَابنَا الْمُتَكَلِّمِينَ . وَهُوَ خَطَأ ظَاهِر فَإِنَّ الْمُرَاد التَّصْدِيق الْجَازِم ، وَقَدْ حَصَلَ ، وَلِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِكْتَفَى بِالتَّصْدِيقِ بِمَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و

َلَمْ يَشْتَرِط الْمَعْرِفَة بِالدَّلِيلِ ؛ فَقَدْ تَظَاهَرَتْ بِهَذَا أَحَادِيث فِي الصَّحِيحَيْنِ يَحْصُل بِمَجْمُوعِهَا التَّوَاتُر بِأَصْلِهَا وَالْعِلْم الْقَطْعِيّ

“Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas menurut madzhab para muhaqqiq (peneliti) dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia jika dia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di dalamnya, maka itu telah cukup baginya, dan dia adalah seorang mu’min dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui dalil-dalil para ahli kalam dan dalil-dalil ma’rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi orang yang mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka menyangka bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui dalil-dalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu’tazilah dan sebagian kawan-kawan kami (madzhab syafi’i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog). Ini jelas pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah keyakinan yang pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang dia bawa, dan tidak mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits tentang masalah ini sangat jelas tertera dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat mutawatir dan membawa ilmu yang meyakinkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/93. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia meyakininya secara pasti, tanpa harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan itu ada di ayat mana, hadits riwayat siapa, dan seterusnya. Sebab, dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam pun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap diakui keislamannya, walau mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya. Namun, alangkah lebih baiknya bagi seseorang yang sudah berislam dia berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya.

Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.

Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang berjudul sama dengan Al Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan bahwa sekelompok sahabat ada yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi pelindung darah seseorang seihngga dia tidak boleh diperangi, kecuali mereka menolak mengeluarkan zakat. Sampai akhirnya, Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan kepada mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat lain pun mengikuti beliau:

الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما، وهو الإتيان ببقية مباني الإسلام

“(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan hal-hal yang menyertainya, yaitu dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari rukun-rukun Islam.” (Lihat Fathul Bari-nya Ibnu Rajab, 4/ 20)

Seseorang dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan Islam secara bertahap.

Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka kafir menurut mereka.

Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah muslim, sesuai ayat:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka

dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi (bersyahadat)”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al A’raf (7): 172)

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantaran dia telah ‘menanggalkan’ kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di dunia.

Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Telah banyak tafsir tentang makna ‘fitrah’ dalam hadits ini, namun yang masyhur dan benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua orang tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam Ahmad:

مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ

“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai Islam.” (Ibid) selesai.

(Bersambung … masih hadits 3)

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Merapatkan Shaf dan Tata Caranya

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustad..
Saya mau bertanya tentang sholat.
Bagaimana hukum melakukan menempelkan kaki dengan kaki saat berjamaah, dan bagaimana caranya???…. (08237403xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Merapatkan shaf itu sunah menurut jumhur (mayoritas) ulama … Banyak kaum muslimin yang “risih” dengan sunah ini.

Hal ini disindir oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi sebagai berikut:

لكن اليوم تركت هذه السنة، ولو فعلت اليوم لنفر الناس كالحمر الوحشية

“Tetapi, hari ini sunah ini telah ditinggalkan. Seandainya sunah ini dilakukan, justru manusia menjauh bagaikan keledai liar.” (‘Aunul Ma’bud, 2/256. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📙Hukum Merapatkan Shaf

Para ulama umumnya mengatakan merapatkan shaf adalah sunah saja. Inilah pendapat Abu Hanifah, Syafi’I, dan Malik. (‘Umdatul Qari, 8/455)

Bahkan Imam An Nawawi mengklaim para ulama telah ijma’ atas kesunahannya. Berikut perkataannya:

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى اِسْتِحْبَاب تَعْدِيل الصُّفُوف وَالتَّرَاصّ فِيهَا

“Ulama telah ijma’ (aklamasi) atas sunahnya meluruskan shaf dan merapatkan shaf.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384. Mauqi’ Ruh A Islam)

Apa yang dikatakan Imam An Nawawi ini, didukung oleh Imam Ibnu Baththal dengan perkataannya:

تسوية الصفوف من سنة الصلاة عند العلماء

“Meluruskan Shaf merupakan sunahnya shalat menurut para ulama.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 2/344)

Alasannya, menurut mereka meluruskan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalat sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahih. Hal ini dikutip oleh Imam Al ‘Aini, dari Ibnu Baththal, sebagai berikut:

لأن حسن الشيء زيادة على تمامه وأورد عليه رواية من تمام الصلاة

“Karena, sesungguhnya membaguskan sesuatu hanyalah tambahan atas kesempurnaannya, dan hal itu telah ditegaskan dalam riwayat tentang kesempurnaan shalat.” (‘Umdatul Qari, 8/462)

Riwayat yang dimaksud adalah:

أقيموا الصف في الصلاة. فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Aqimush Shaf (tegakkan/luruskan shaf) karena tegaknya shaf merupakan diantara pembagusnya shalat.” (HR. Bukhari No. 689. Muslim No. 435)

Imam An Nawawi mengatakan, maksud aqimush shaf adalah meluruskan menyeimbangkan, dan merapatkan shaf. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/177. Maktabah Misykah)

Berkata Al Qadhi ‘Iyadh tentang hadits ini:

دليل على أن تعديل الصفوف غير واجب ، وأنه سنة مستحبة

“Hadits ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Al Ikmal, 2/193. Maktabah Misykah)

Sementara itu ..

Sebagian lain mengatakan WAJIB. Seperti, Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ibnu Taimiyah, mengatakan itu wajib. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah membuat Bab Itsmi Man Lam Yutimma Ash Shufuf (Berdosa bagi orang yang tidak menyempurnakan shaf).

Apa yang ditegaskan Imam Bukhari ini menunjukkan bahwa menurutnya merapatkan shaf adalah wajib, sebab hanya perbuatan wajib yang jika ditinggalkan akan melahirkan dosa.
Hal ini disebabkan hadits-hadits tentang meluruskan dan merapatkan shaf menggunakan bentuk kalimat perintah (fi’il amr): sawwuu .. (luruskanlah ..!). Dalam kaidah fiqih disebutkan:

الأصل في الأمر الوجوب إلا إذا دلت قرينة على غيره

“Hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali jika adanya petunjuk yang merelasikannya kepada selain wajib.” (Imam Al ‘Aini, ‘Umdah Al Qari, 8/463. Maktabah Misykah)

Dari sekian banyak perintah merapatkan shaf, saya akan sampaikan dua saja sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ

Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah dia bersabda : “Lurus rapatkan shaf kalian, karena lurus rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan tegaknya shalat.” (HR. Bukhari No. 690. Muslim No. 433)

Dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّه بَيْن وُجُوهكُم

“Benar-benarlah kalian dalam meluruskan shaf, atau (jika tidak) niscaya Allah akan membuat perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim No. 436)

Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan ancaman keras bagi yang meninggalkannya, yakni Allah siksa mereka dengan adanya perselisihan di antara wajah-wajah mereka. Maksudnya –kata Imam An Nawawi- adalah permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/178. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Malah, Imam Ibnu Hazm menyatakan ‘batal’ orang yang tidak merapatkan shaf. Namun, Imam Ibnu Hajar menanggapinya dengan mengatakan:

وأفرط ابن حزم فجزم بالبطلان

“Ibnu Hazm telah melampui batas ketika menegaskan batalnya (shalat).” (Fathul Bari, 2/210. Darul Fikr)

Imam Al Karmani Rahimahullah mentarjih dengan mengatakan:

الصواب أن يقول فلتكن التسوية واجبة بمقتضى الأمر ولكنها ليست من واجبات الصلاة بحيث أنه إذا تركها فسدت صلاته

“Yang benar adalah yang mengatakan bahwa meluruskan shaf adalah WAJIB sebagai konsekuensi dari perintah yang ada, tetapi itu bukan termasuk kewajiban-kewajiban shalat yang jika ditinggalkan akan merusak shalat.” (‘Umdatul Qari, 8/455)

Yang pasti, merapatkan dan meluruskan shaf adalah budaya shalat pada zaman terbaik Islam. Sampai- sampai Umar memukul kaki Abu Utsman Al Hindi untuk merapatkan shaf. Begitu pula Bilal bin Rabbah telah memukul bahu para sahabat yang tidak rapat. Ini diceritakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 2/210), dan Imam Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 8/463. Maktabah Misykah)

Paling tidak seorang muslim sudah berusaha menjalankan perintah ini, ada pun jika orang lain tidak melakukannya karena meyakini itu sunnah, maka tidak ada kewajiban baginya memaksa orang lain. Bahkan sebagian ulama seperti Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan merapatkan shaf bisa jadi berat dilakukan sepanjang shalat, maka paling tidak sudah bisa dilaksanakan di awal-awalnya itu sudah mencukupi.

📙 Tata Caranya

Di antara hadits yang paling lengkap menceritakan tatacara merapatkan shaf adalah hadits berikut:

فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

“Maka, aku melihat ada seseorang yang merapatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, dan mata kakinya dengan mata kaki kawannya.” (HR. Abu Daud No. 662. Shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 1/39, No. 32. Darul Ma’arif)

Jadi, yang mesti dirapatkan jika merujuk pada hadits tersebut adalah bahu, lutut, dan mata kaki. Betapa rapatnya berjamaah jika ini dipraktekkan.

Demikianlah tata cara merapatkan shaf. Sebagian org ada yang melebarkan kaki supaya menyentuh kaki saudaranya, tapi kakinya jauh mengangkang, dan kelihatan lucu kaya pesilat lagi kuda-kuda. Bukan begitu merapatkan shaf.

Namun, cara ideal merapatkan shaf ini sulit bertahan lama, oleh karena itu Syaikh Utsaimin mengatakan ini sudah cukup walau terjadi di awal saja.

Demikian. Wallahu a’lam

🌴🌷🌱🌸🍃🍄🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Wijahiyah (Figuritas)

💢💢💢💢💢💢

📌 Adanya figur itu penting, dengan adanya figur seseorang memiliki “model” untuk berpikir dan berbuat

📌 Adanya figur itu penting, dengannya seseorang bisa muncul semangat dan inspirasi

📌 Adanya figur itu penting, dengannya manusia bisa menduplikasi kebaikannya

Tapi ….

❌ Figuritas itu buruk, sebab itu awal dari kultus kepada manusia dan tokohnya

❌ Figuritas itu buruk, sebab hal itu membuat manusia kurang percaya dengan orang lain kecuali hanya figur yang dia sukai saja, susah move on

❌ Figuritas itu buruk, hancurnya gerakan Islam bisa karena hanya bertumpu pada satu figur semata bukan kepada kumpulan manusia yang bekerja

❌ Figuritas itu buruk, sebab selama yang difigurkan bukan seorang Nabi dan Rasul, maka bersiaplah kecewa dengan satu atau dua titik hidup yang pernah dijalaninya ..

📚 So, bedakan antara kebutuhan kita terhadap adanya figur dan bahayanya figuritas ..

🌵🌷🌴🌱🌸🍃🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 10)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, Islam dibangun atas 5 pekara

Matan Hadits:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البِيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ)

Dari Abu Abdurrahman –Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun atas lima hal; 1. Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, 2. menegakkan shalat, 3. menunaikan zakat, 4. haji, dan 5. puasa Ramadhan.”

Takhrij Hadits:

– Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 8, 4243.
– Imam Muslim dalam Shahihnya No. 16, tetapi dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa haji adalah rukun Islam yang terakhir. Berikut ini teksnya:

فقال رجل: الحج وصيام رمضان؟ قال: لا. صيام رمضان والحج. هكذا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم

Seorang laki-laki bertanya: “Haji dan puasa Ramadhan?” Abdullah bin Umar menjawab: “Tidak, puasa Ramadhan dan Haji. Seperti itulah yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ”

– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 158, 1446
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubranya No. 1561, 7680
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 308 (juga mendahulukan puasa, lalu haji)
– Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 6015, 6301, 19220, 19226

📌 Makna hadits Secara Global:

✅ Pertama. Mengenalkan rukun-rukun Islam sebagaimana telah lalu pada hadits kedua. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id:

وهذا الحديث أصل عظيم في معرفة الدين وعليه اعتماده فإنه قد جمع أركانه

“Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam mengetahui agama, dan di atasnyalah ia disandarkan, karena hadits ini telah mengumpulkan rukun-rukun agama.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Al Maktabah Al Misykah)

✅ Kedua. Menunjukkan betapa pentingnya kelima hal ini dan merupakan kewajiban setiap muslim. Bukan kewajiban kifayah. Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:

أن هذه الفروض الخمسة من فروض الأعيان ، لا تسقط بإقامة البعض عن الباقين

“Sesungguhnya lima kewajiban ini termasuk fardhu ‘ain (kewajiban per kepala), yang tidaklah gugur kewajiban itu walau telah dikerjakan oleh sebagian lainnya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits no. 3. Al Maktabah Al Misykah)

Para ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang mengingkari salah satu kewajiban di atas, apalagi semuanya, maka dia kafir dan murtad. Namun mereka tidak sepakat dalam hal orang yang meninggalkannya, namun masih mengakui kewajibannya; kafir atau tidak? sebagian ada yang mengkafirkan, sebagian lain menganggapnya sebagai pelaku dosa besar, dan dihukumi fasiq, dan ada juga yang menghukumi kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah mengatakan:

الإمام أحمد وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .

Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)

✅ Ketiga. Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dibolehkan menyebut bulan Ramadhan tanpa menyebut Syahr (bulan). Yakni langsung menyebut Ramadhan. Sebagian ulama ada yang melarang menyebut Ramadhan saja, menurut mereka harus disertakan pula Syahr (bulan) di depannya; menjadi Syahr Ramadhan (bulan Ramadhan). Tetapi, hadits ini – juga hadits no. 2- telah menyanggah dengan telak pendapat pendapat mereka.

✅ Keempat. Di mana posisi jihad? Bukankah dia sangat penting dalam Islam? Kenapa tidak termasuk lima rukun Islam? Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi memberikan jawaban yang bagus sebagai berikut:

يعني أن هذه الخمس أساس دين الإسلام وقواعده التي عليها بني وبها يقوم وإنما خص هذه بالذكر ولم يذكر معها الجهاد مع أنه يظهر الدين ويقمع عناد الكافرين لأن هذه الخمس فرض دائم والجهاد من فروض الكفايات وقد يسقط في بعض الأوقات

“Yakni, sesungguhnya lima hal ini merupakan asas agama Islam, dan kaidah-kaidahnya dibangun di atasnya, dan dengannya pula ia ditegakkan. Sesungguhnya dikhususkannya penyebutan ini dan tanpa menyebutkan jihad -padahal jihadlah yang membuat agama menjadi menang dan sebagai penumpas pembangkangan orang kafir- lantaran lima hal ini merupakan kewajiban yang konstan (terus menerus), sedangkan jihad termasuk kewajiban kifayah yang bisa gugur kewajibannya pada waktu-waktu yang lain.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 35)

Makna Kalimat:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ :

dari Abu Abdurrahman (ayahnya Abdurrahman). Itu adalah nama kun-yah dari Abdullah bin Umar bin Al khathab. Beliau juga sering disebut Ibnu Umar, anak Umar bin Al Khathab.

عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:

: Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

Abdullah bin Umar termasuk kalangan shigharush shahabah (sahabat junior) dalam jajaran para sahabat nabi. Dikenal sebagai orang yang sangat ketat keteguhannya terhadap syariat. Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menceritakan tentang beliau sebagai berikut:

“Dia masuk Islam saat masih kecil dan ikut hijrah bersama ayahnya saat belum baligh. Pada perang Uhud dia masih kecil, perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Dia termasuk yang ikut berbai’at di bawah pohon, bersama ibunya, Ummul Mu’minin Hafshah, Zainab binti Mazh’un saudara wanita Utsman bin Mazh’un Al Jumahi.

Beliau banyak meriwayatkan ilmu yang bermanfaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal, Shuhaib, Amir bin Rabi’ah, Zaid bin Tsabit, Zaid adalah pamannya, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Thalhah, Hafshah (saudara perempuannya), Asalam, ‘Aisyah, dan yang lainnya. (Siyar A’lam An Nubala, 3/204. Cet. 9, 1413H -1993M. Muasasah Ar Risalah)

Disebutkan Radhiallahu ‘Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya), maksudnya adalah dirinya dan ayahnya (Umar bin Al Khathab). Selain beliau, sahabat nabi yang lainnya seperti Abdullah bin Abbas juga mendapat sebutan Radhiallahu ‘Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya) yakni dirinya dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, juga An Nu’man bin Basyir, dan lainnya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

قال العلماء: إذا كان الصحابي وأبوه مسلمين فقل: رضي الله عنهما، وإذا كان الصحابي مسلماً وأبوه كافراً فقل: رضي الله عنه

“Para ulama mengatakan: jika seorang sahabat nabi dan ayahnya adalah muslim, maka katakana Radhiallahu

‘Anhuma, dan jika seorang sahabat nabi sorang muslim sedangkan ayahnya kafir, maka katakanlah Radhiallahu ‘Anhu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 84. Mawqi’ Ruh Al Islam)

سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ :

Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Ucapannya ‘Aku mendengar’ menunjukkan bahwa dia mendengar langsung hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa ada perantara.

بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ :

Islam dibangun atas lima hal

Buniya bermakna – ussisa didasarkan/dipondasika.

Allah Ta’ala berfirman:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ

“Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah (9): 108)

Siapakah yang membangun? Yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja Fa’il (pelaku/subjek)-nya disamarkan dengan bentuk kata buniya (dibangun), sehingga menjadi kalimat pasif. Hal ini sama dengan ayat:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa 94): 28)

Ayat ini menghilangkan subjeknya, yakni Allah Ta’ala, sebagai pencipta manusia.

Sedangkan, الإِسْلامُ – Al Islam di sini adalah Dinul Islam (agama Islam) yang dibangun oleh Allah Ta’ala dan dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukan Al Islam dalam artian bahasa saja, seperti tunduk, patuh, pasrah, dan damai. Sebab, ada sebagian cendikiawan nyeleneh menyelewengkan makna Al Islam . Menurutnya Al Islam, bukanlah agama Islam, tetapi bermakna: kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, -menurutnya- siapa saja yang pasrah kepada Tuhan, maka dia Islam, walau aslinya dia Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, Budha, dan lainnya. Mereka Islam karena mereka sudah pasrah kepada Tuhan yang mereka yakini masing-masing!

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran (3): 19)

Ayat ini dipertegas lagi oleh ayat lainnya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)

Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

أي: من سلك طريقًا سوى ما شَرَعَه الله فلن يُقْبل منه

“Yaitu: baransiapa yang menempuh jalan selain apa yang Allah Ta’ala syariatkan (Yakni Islam) maka selamanya tidak akan diterima.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/70. Dar Nasyr wat Tauzi’)

Islam adalah agama seluruh para nabi dan rasul. Ajakan dan ajaran pokok (aqidah) mereka sama, yang berbeda hanyalah rincian syariatnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.“ (QS. An Nahl (16): 36)

Ayat lainnya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.“ (QS. Al Anbiya (21): 25)

Dalam hadits pun juga disebutkan demikian. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ’Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:

والأنبياء أخوة لعلات، أمهاتهم شتى ودينهم واحد

“Para Nabi adalah bersaudara, dari satu bapak, ibu-ibu mereka berbeda, dan agama mereka sama.” (HR. Bukhari No. 3259, Muslim No. 2365, Ibnu Hibban No. 6194)

‘Ala Khamsin artinya atas lima hal. Sebagian riwayat menuliskan ‘ala khamsatin. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan keduanya benar. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Maktabah Al Misykah)

Bersambung ..

🌸🍃🌻🌴☘🌷🌾🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top