Aurat Muslimah di Hadapan Wanita Kafir

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, ‘afwan izin bertanya.

Bagaimana aurat muslimah di hadapan wanita kafir ustadz?
Pernah kami mendengar bahwasanya aurat muslimah di hadapan wanita kafir adalah sama apabila berhadapan dengan laki2 bukan mahrom.
Di tempat asrama kampus kami, satu kamar diisi 2 orang, ada yang muslimah 1 kamar dengan wanita kafir. Yang demikian bagaimana ustadz?
Atas jawaban dan solusinya kami ucapkan terimakasih. (08122042xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat.

1⃣ Tidaklah menampakkan auratnya dihadapan wanita kafir kecuali wajah dan telapak tangan. Ini seperti di depan laki-laki bukan mahramnya.

Hal ini berdasarkan surat An Nuur ayat 31, yang memaparkan kepada siapa saja wanita muslimah boleh menampakkan auratnya, dan wanita kafir (non muslimah) tidak termasuk di dalamnya.

Inilah pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.

Dalam madzhab Hanafiy, Imam Al Hashkafiy Al Hanafiy Rahimahullah berkata:

والذمية كالرجل الأجنبي

Wanita kafir dzimmi, kedudukannya sama seperti laki-laki bukan mahram. (Ad Durul Mukhtar, 6/371)

Maksudnya, hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangan, jika aman dari fitnah.

Dalam madzhab Malikiy, Imam As Dasuqiy Al Malikiy Rahimahullah berkata:

وأما الحرة الكافرة.. فعورة الحرة المسلمة معها على المعتمد ما عدا الوجه والكفين

Ada pun wanita kafir .. maka aurat wanita muslimah bersamanya menurut pendapat resmi (madzhab Maliki) adalah selain wajah dan kedua telapak tangan. (Asy Syarhul Kabir, 1/213)

2⃣ Golongan yg membolehkan bagi wanita kafirah melihat wanita muslimah bukan hanya wajah dan telapak tangan.

Alasannya, dalam An Nuur 31 disitu tertulis: aw nisaa’ihinna – atau wanita-wanita mereka. Yg menurut mereka ini berlaku umum, bukan hanya muslimah.

Inilah pendapat Syafi’iyyah dan Hambaliyah.

Dalam madzhab Syafi’iy, tertulis dalam Hasyiyah Al Qalyubi wal ‘Amirah:

يجوز أن ترى الذمية من المسلمة ما يبدو عند المهنة وهو المعتمد

Wanita kafir dzimmi boleh melihat muslimah pada apa-apa yang biasa nampak saat beraktifitas di rumah, inilah pendapat resmi (madzhab Syafi’iy). (Hasyiyah Al Qalyubi wal ‘Amirah, 3/212)

Dalam madzhab Hambaliy, Imam Al Mardawiy Rahimahullah berkata:

وأما الكافرة مع المسلمة فالصحيح من المذهب أن حكمها حكم المسلمة مع المسلمة

Ada pun wanita kafir bersama muslimah, pendapat yg shahih dari madzhab (Hambaliy) adalah hukumnya sama seperti bersama sesama muslimah. (Al Inshaf, 8/24)

Demikian …

Lalu, Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah mentarjih, bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa aurat muslimah di hadapan wanita kafir adalah sama seperti dihadapan laki-laki bukan mahram. Haram sengaja menampakkan di hadapan mereka baik wanita dzimmi, harbiy, dan semua wanita kafir, pada selain dan kedua telapak tangannya. Dahulu Umar Radhiyallahu ‘Anhu pernah melarang mereka memasuki kamar mandi bersama-sama.
(Tuhfatul Muhtaj, 7/200)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Tentang Memilih Orang Kafir Sebagai Pemimpin, Walau Bukan Imamatul ‘Uzhma

Hal itu tetap terlarang secara mutlak, sesuai keumuman ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 51)

Larangan dalam ayat ini umum, tidak mengkhususkan pada satu jenis dan level kepemimpinan. Dan, tidak ada keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah bahwa larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin hanya khusus berlaku bagi imamatul ‘uzhma saja. Maka, berlakulah larangan ini secara umum; bahwa orang-orang beriman dilarang memilih orang kafir sebagai waliyul amri bagi mereka di semua level kepemimpinan.

وَلِيُّ jamaknya adalah أَوْلِيَاء (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih
(Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)

Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan orang yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:

اللهم والِ مَنْ والاه

“Allahumma waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)

Apa artinya? Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:

أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره

“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

Dengan demikian Waliy adalah sesuatu tempat kita berteman dekat, minta bantuan dan pertolongan, kekasih, pemimpin, dan yang mengurus urusan kita.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah memberikan keterangan dengan sebuah kisah Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu yang mengangkat seorang sekretaris dari Syam yang beragama Nashrani, lalu Umar Radhiallahu ‘anhu merasa heran dan mencegah pengangkatan itu, lalu Umar Radhiallahu ‘Anhu mengutip ayat di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/123)

Allah Ta’ala menyebut munafik kepada orang yang sengaja memilih orang kafir sebagai pemimpin, padahal dia tahu ada orang beriman yang seharusnya diangkat menjadi pemimpin:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138 (الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139(

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)

Lalu bagaimana dengan umat Islam yang terlahir di negeri mayoritas non muslim seperti di Eropa atau Amerika, atau sebagian kecil di tanah air kita? Maka, untuk mereka boleh saja memilih atau tidak memilih tergantung kondisinya.

📌Jika calon yang ada adalah sama-sama kafir dan membenci Islam, dan semua calon yang ada sama-sama memusuhi kaum muslimin, maka hendaknya golput saja.

📌 Tetapi, jika dari calon yang ada terdapat orang yang TERBUKTI lebih ringan permusuhannya dengan Islam, maka dia boleh saja dipilih dengan asumsi dan harapan potensi kezaliman yang akan menimpa umat Islam juga lebih ringan jika dia yang menjadi pemimpin. Sesuai kaidah Irtikab Akh

afu Dhararain, menjalankan mudharat yang lebih ringan untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Saat itu tidak bisa dikatakan mereka telah memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir, sebab mereka melakukan itu secara terpaksa, atau dalam upaya memilih yang lebih kecil permusuhannya terhadap Islam.

Wallahu A’lam

📗📕📒📔📓📙📘

✏ Farid Nu’man Hasan

Jual Beli Dengan Cara Dropship

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

assalamu’alaykum wr wb.
Ustadz,

Sy memiliki toko online yang menjual barang2 kebutuhan ibu dan bayi. Ada beberapa barang di toko saya yang dijual secara dropship. Jadi saya hanya memasang gambar produk, jika ada yang tertarik untuk membeli maka saya akan menghubungi pihak produsen/supplier. Kemudian pihak produsen/suplier yang mengirimkan ke customer saya dengan menggunakan nama toko saya.

Saya mendapatkan keuntungan dari diskon yang sudah ditetapkan oleh pihak produsen/suplier kepada saya.

Sistem ini sangat membantu saya yang tidak memiliki banyak modal. Dan untuk pihak produsen/ suplier mungkin diuntungkan dengan perputaran barang yang lebih cepat.

Namun baru2 ini saya mendapat hadist :

Terdapat sebuah hadis dari Hakim bin Hizam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadis di atas secara tegas melarang kita menjual barang yang tidak kita miliki. Imam Al-Baghawi mengatakan, “Larangan dalam hadis ini adalah larangan menjual barang yang tidak dimiliki penjual.” (Syarh Sunnah, 8:140)

Mohon tanggapan ustadz, jadi apakah sistem dropship ini haram? Apakah ada alternatif transaksi yang sesuai syariat? (Dari Ummu Salman)

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh .

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Jazakillah atas pertanyaannya …

Hadits tersebut (”Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.”) adalah benar adanya, namun larangan tersebut adalah untuk orang yang menjual barang orang lain, tapi hasilnya untuk dirinya. Misal  seseorang punya sebidang tanah, lalu tanah tersebut saya jual, dan uangnya untuk saya jelas ini terlarang dan sama halnya dengan mencuri milik orang lain.

Atau larangan itu berlaku untuk menjual barang orang lain tanpa seizin yang punya, ini pun juga pencurian hakikatnya.

Namun, jika kita membantu menjualkan barang milik orang lain (baik pribadi atau toko/agen/suplier), lalu barang tersebut pun benar-benr ada, dan sudah ada pembicaraan sebelumnya dan antara kita dan org tersebut sama-sama ridha, maka yang kita lakukan adalah boleh, baik copy darat atau online. Dalam istilah fiqih itu adalah samsarah(makelar) dan orangnya disebut simsaar, sebuah aktifitas jasa yang membantu menjualkan barang orang lain, lalu dia mendapatkan upah krn jasanya. Inilah yg saya lihat dilakukan oleh Ummu Salman, Beliau membantu menjualkan barang orang lain dgn cara online, dan nampaknya Beliau pun sdh ada perjanjian dgn pemilik barang tsb.

Kita sebagai perantaranya boleh menerima komisi/upah yang telah disepakati antara kita dan suplier.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan:

قال الامام البخاري: لم ير ابن سيرين وعطاء وإبراهيم والحسن بأجر السمسار بأسا
وقال ابن عباس: لا بأس بأن يقول: بع هذا الثوب فما زاد على كذا وكذا فهو لك
وقال ابن سيرين: إذا قال بعه بكذا فما كان من ربح فهو لك أو بيني وبينك فلا بأس به
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (المسلمون على شروطهم).رواه أحمد وأبو داود والحاكم عن أبي هريرة.وذكره البخاري تعليقا

Berkata Imam Al Bukhari: “Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, Al Hasan, berpendapat tidak apa-apa upah bagi perantara (makelar).”

Ibnu Abbas berkata: “Tidak apa-apa seseorang mengatakan, ‘Jual-lah pakaian ini, ada pun jika ada lebihnya sekian sekian, maka itu untuk anda.’ “

Ibnu Sirin berkata: “Jika dia berkata, ‘Jual-lah dgn harga sekian, adapun lebihnya maka itu untuk anda.” Atau: “ini adalah bagian saya dan ini bagian anda.” maka, ini tidak apa-apa.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kaum muslimin terikat dgn syarat-syarat diantara mereka.” (HR.Ahmad, Abu Daud, Al Hakim, dan Al Bukhari menyebutkan secara mu’allaq). (Lihat Fiqhus Sunnah, 3/74)

Hanya saja, sistem ini rentan penipuan (gharar), maka mesti dibarengi kejujuran dari penjual tentang keaslian barang dan kesesuaiannya dengan yg ditawarkan. Jangan sampai ada gharar (tipuan). Jika ada gharar maka itu haram.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu  ‘ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘ala Aalihi w aashhabihi ajmain.

🍃🌴🌺☘🌾🌸🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Membaca Hadits Pakai Tajwid?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, mohon izin bertanya…
Apa dalam membaca hadits jg menggunakan tajwid spt ikhfa, mad wajib, dll ? (08568042xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh … Bismillah wal Hamdulillah ..

Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang itu. Sebagian melarang bahkan menganggapnya bid’ah, sebagian lain menganggapnya Sunnah.

1⃣ Yg mengatakan terlarang

Alasan mereka adalah Al Qur’an itu mesti dibaca tartil, sebagaimana turunnya, sehingga membacanya sesuai aturan tajwid adalah agar Tartil, dan yg seperti ini tidak berlaku bagi selain Al Qur’an.

Lagi pula, tujuannya adalah agar bisa dibedakan antara Al Qur’an dan selainnya. Kalau selain Al Qur’an dibaca dgn menggunakan hukum tajwid maka tidak beda lagi dengan Al Qur’an.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ذكر بعض المتأخرين في تفسير قوله تعالى : ( وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَاب ) آل عمران/78
ذكر بعض المتأخرين : أن من ذلك أن يتلو الإنسان غير القرآن على صفة تلاوة القرآن ، مثل أن يقرأ الأحاديث – أحاديث النبي الله عليه وسلم – كقراءة القرآن ، أو يقرأ كلام أهل العلم كقراءة القرآن
وعلى هذا : فلا يجوز للإنسان أن يترنم بكلامٍ غير القرآن على صفة ما يقرأ به القرآن ، لا سيما عند العامة الذين لا يُفَرِّقون بين القرآن وغيره إلا بالنغمات والتلاوة

Sebagian ulama belakangan menyebutkan tafsir firman Allah Ta’ala:

Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab

Sebagian mereka mengatakan: yang termasuk ini adalah membaca selain Al Qur’an tapi dengan cara sifat baca seperti membaca Al Qur’an. Seperti membaca hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan perkataan ulama seperti membaca Al Qur’an.

Oleh karena itu, tidak boleh melagukan membaca selain Al Qur’an seperti membaca Al Qur’an. Bagi bagi orang awam yang tidak mampu membedakan mana Al Qur’an dan mana bacaan selain Al Qur’an, kecuali dgn melagukan dan membacanya.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, kaset ke 212)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

قالوا : هذا العمل محدث ، والأصل في المحدثات المتعلقة بالعبادات أنها من البدع حتى يثبت الدليل على مشروعيتها .
في ترتيل قراءة الحديث النبوي الشريف والأذكار النبوية إيهام أنها من القرآن الكريم ، والأصل صيانة كتاب الله عن الاختلاط بغيره من الكلام . ترتيل غير كلام الله من عادات أحبار اليهود والنصارى ، وقد نهينا عن التشبه بهم .

Mereka (para ulama) mengatakan: ini adalah perbuatan baru, hal-hal yang baru pada dasarnya terkait dalam ibadah, dan itu termasuk bid’ah sampai adanya dalil yang mensyaratkannya.

Membaca hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dzikir-dzikir nabawi secara tartil adalah persangkaan yang lemah jika dianggap termasuk dari Al Qur’an, dan pada dasarnya ini adalah penjagaan agar Al Qur’an tidak tercampur dengan perkataan manusia.

Membaca selain Al Qur’an secara tartil merupakan kebiasaan pendeta Yahudi dan Nasrani, dan kita dilarang menyerupai mereka.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 148358)

2⃣ Boleh membaca Hadits dengan tajwid

Golongan ini membolehkan, dan menolak dikatakan ini bid’ah, sebab ini sudah terjadi sejak masa awal Islam. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca doa dengan gaya rajaz , yaitu bersenandung dgn suara yang ditinggikan.

Sebagaimana riwayat berikut:

عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ يَنْقُلُ التُّرَابَ حَتَّى وَارَى التُّرَابُ شَعَرَ صَدْرِهِ وَكَانَ رَجُلًا كَثِيرَ الشَّعَرِ وَهُوَ يَرْتَجِزُ بِرَجَزِ عَبْدِ اللَّهِ اللَّهُمَّ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا
وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا
وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا
إِنَّ الْأَعْدَاءَ قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا
إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا
يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ

Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada perang Khandaq sedang mengangkut tanah hingga tanah itu menutup bulu dada Beliau. Beliau memang seorang yang berbulu lebat Saat itu Beliau menyenandungkan sya’ir ‘Abdullah:

“Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk. Dan tidak akan pula kami bershadaqah dan shalat”. Maka turunkanlah sakinah kepada kami dan teguhkanlah kaki berpijak kami karena kami sedang berhadapan”.

“Dengan musuh yang telah durjana terhadap kami. Jika mereka menghendaki fitnah terhadap kami, kami akan mengabaikannya”.

Beliau menyenandungkannya dengan suara keras.
(HR. Bukhari no. 3034)

Alasan lainnya adalah bahwa membaca secara tajwid adalah kebiasaan orang Arab yg berlangsung sejak lama, baik dalam perkataan, doa, bukan hanya saat membaca Al Qur’an, tapi juga saat membaca hadits dan perkataan ulama.

Dalam kitab Wafayat Al A’yan diceritakan tentang salah satu ulama salaf, Al Humaidiy Al Andalusia Rahimahullah:

وكان موصوفا بالنباهة والمعرفة والإتقان والدين والورع ، وكانت له نغمة حسنة في قراءة الحديث

Dia orang yg digambarkan sebagai orang yang cerdas, berpengetahuan, profesional, ahli agama dan wara’, dan memiliki senandung yang bagus saat membaca hadits. (Wafat Al A’yan, 4/282)

Imam Muhammad Al Badiriy Ad Dimyathi Rahimahullah berkata:

وأما قراءة الحديث مجودة كتجويد القرآن ، من أحكام النون الساكنة ، والتنوين ، والمد ، والقصر ، وغير ذلك ، فهي مندوبة ، كما صرح به بعضهم

Ada pun membaca hadits dengan bertajwid seperti tajwidnya Al Qur’an, semisal hukum nun mati, tanwin, panjang, pendek, dan lainnya, maka ini Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh mereka (para ulama).

(Hasyiyah Al Ajhuriy ‘ala Syarh Az Zarqaniy ‘alal Manzhumah Al Baiquniyah, Hal. 227)

Ini juga pendapat ulama kontemporer, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Shalih Al Fauzan, dll.

Syaikh Shalih Al Fauzan berkaya:

تحسين الصوت ليس بتلحين ، التلحين غناء لا يجوز ، لكن تحسين الصوت بالقرآن ، وتحسين الصوت بالأذكار : هذا طيب

Memperindah suara bukanlah termasuk talhin (menggubah nyanyian), talhin itu nyanyian dan tidak boleh. Tetapi memperindah suara saat membaca Al Qur’an dan dzikir-dzikir, itu bagus. (sebagaimana dikutip Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam fatwanya)

Demikian. Wallahu a’lam

☘🌹🌷🎋🍀🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top