Hukum Qiyamullail/Sholat Tahajjud Berjamaah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Kita tahu, bahwa kaidah ibadah dalam Islam adalah ‘Setiap ibadah adalah terlarang kecuali yang ada contoh atau perintahnya dalam syariat.’ Sesuai hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu perbuatan yang kami tidak pernah memerintahkannya maka ia tertolak.” (HR. Muslim) artinya ibadah yang mengada-ada yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan agama, walau dilakukan oleh orang shalih dan ulama berwibawa, tetaplah tertolak oleh menurut syariat Islam. Itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya. Maka seorang muslim harus menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Namun sikap mudah membid’ahkan juga tidak dibenarkan oleh syariat. Seharusnya kita hati-hati dan jangan terburu-buru dalam menghindari bid’ah, atau dalam menuduh sesuatu itu bid’ah. Sebab sikap gampang menuduh adalah sikap gegabah dan bukanlah perilaku ulama yang mendalam ilmunya. Di antaranya sikap sebagian orang yang membid’ahkan qiyamullail berjamaah. Jangan sampai kita menilai ‘salah’ terhadap sesuatu lantaran semata-mata kita belum menemukan dalilnya. Tidak menemukan, bukan berarti tidak ada, sebab hal tersebut tergantung ketelitian, kecermatan, dan kesabaran masing-masing orang dalam menelusurinya.

📕 Qiyamullail Berjamaah Dilakukan Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Kadang Dilakukan Para Sahabat

Ada beberapa adillatul syar’iyyah (dalil-dalil syar’i) tentang ini. Di antaranya:

1⃣ Dari Abu Hurairah, dari Abu Said, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bangun malam dan membangunkan isterinya, lalu keduanya shalat dua rakaat dengan berjamaah (Shalla rak’ataini jami’an), ditetapkan pada malam itu termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah” (HR. Abu Daud dan Al Hakim. Di shahihkan oleh Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ no. 5906)

Hadits ini adalah petunjuk yang amat sharih (jelas) tentang masyru’(disyariatkan)-nya qiyamullail berjamaah. Wallahu A’lam

2⃣ Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah, beliau memanjangkan shalatnya sehingga aku menyangka yang tidak-tidak.” Ibnu Mas’ud ditanya, “Apa yang engkau pikirkan?” Aku jawab, “Aku berpikir untuk duduk dan meninggalkan baginda.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3⃣ Hudzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, “Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau memulai shalat dengan membaca surat Al Baqarah. Aku katakan, ‘Beliau ruku’ setelah membaca seratus ayat pertama, kemudian meneruskan hingga selesai.’ Aku katakan, ‘Beliau shalat dengan (membaca semua ayat itu) dalam satu rakaat, lalu melanjutkan!’ Aku katakan, ‘Setelah itu beliau ruku’ dengannya, kemudian shalat lagi membaca surat An Nisa, lalu Ali Imran. Dia membaca pelan-pelan, jika membaca ayat tasbih ia bertasbih, jika melewati ayat permohonan ia memohon, jika membaca ayat perlindungan ia berta’awudz. Kemudian ruku’ seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal ‘azhim’, ruku’nya sama panjangnya dengan berdirinya, kemudian berkata, ‘Sami’ Allahu liman hamidah’, kemudian berdiri lama seperti lamanya ruku’. Kemudian bersujud seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal a’la’ dan lamanya waktu sujud mendekati lamanya waktu berdiri.” (HR. Muslim)

4⃣ Auf bin Malik al Asyja’i radhiallahu ‘anhu pernah qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada suatu malam aku bangun (shalat malam) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau membaca Al Baqarah. Setiap kali melewati ayat-ayat rahmat beliau berhenti dan memohon, ketika membaca ayat-ayat azab beliau berhenti dan membaca ta’awudz”. Auf berkata, “Kemudian beliau ruku’ sepanjang waktu berdirinya. Di dalam ruku’nya beliau berkata, ‘Maha Suci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran , dan keagungan.’ Kemudian ia bersujud sepanjang waktu dirinya, seraya berkata dalam sujudnya seperti itu. Kemudian beliau membaca surat Ali Imran, kemudian membaca surat demi surat.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh al Albany menghasankan dalam Misykat al Mashabih no. 882)

5⃣ Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu pernah berjamaah Qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shalat malam.” Ibnu Abbas berkata lagi, “Saya bangun dan berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kirinya. Lalu beliau menarikku dan meletakkanku di sebelah kanannya, lalu shalat 13 rakaat.” (HR. Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya, no. 2276)

Perhatikan baik-baik lima hadits ini. Semua menunjukkan tentang shalat malam berjamaah yang dilakukan para sahabat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

📓 Pandangan Para Ulama Terkemuka

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar, “Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa dibolehkan seseorang bermakmum dalam shalat sunah. Adapun jika dia ingin menjadi terkenal, lalu manusia dikumpulkan di sekitarnya, maka tidak boleh.” (Ibnu Hajar, Shahihul Jami’, 5/590)

Hisyam bin Urwah berkata, “Saya pernah melihat Abdullah bin Zubeir menjadi imam shalat sunah di Masjidil Haram, di belakangnya terdapat pembesar fuqaha dan kemaslahatan. Mereka berpandangan bahwa hal itu baik.” (As Samarqandi, Mukhtashar Qiyamullail)

Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata, “Ditetapkan dari Rasulullah bahwa dia shalat sunah berjamaah diselesai bulan Ramadhan, baik siang ataupun malam. Hal itu juga dilakukan oleh sekelompok jamaah dari sahabat-sahabat sesudahnya.” (Ibid)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dilarang mengerjakan shalat sunah dengan berjamaah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, tetapi tidak menjadikannya sebagai sunah rawatib, seperti seorang yang berdiam di mesjid untuk menjadi imam shalat sunah rawatib dengan manusia antara maghrib dan isya atau di tengah malam seperti shalat mereka pada shalat lima waktu.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 13/112)

Dia juga berkata, “Shalat sunah berjamaah ada dua macam: Pertama. Shalat sunah yang memang disunahkan secara berjamaah seperti shalat kusuf, istisqa, dan qiyamuramadhan. Semua itu dikerjakan secara berjamaah sebagaimana yang tertera dalam nash. Kedua. Shalat sunah yang tidak disunahkan untuk dikerjakan secara berjamaah, seperti qiyamullail, sunah rawatib, dhuha, tahiyyatul masjid, dan sebagainya. Tetapi bila kadang-kadang dikerjakan secara berjamaah maka itu diperbolehkan. Ada pun bila dilakukan selalu dengan berjamaah, maka hal itu tidak disyariatkan.” (Ibid, 3/412)

Demikian pandangan para ulama kita.

📚 Kesimpulan

🚩 Shalat Qiyamullail berjamaah adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana nash-nash yang ada.

🚩 Tetapi Qiyamullail berjamaah dilakukan kadang-kadang saja, bila selalu dengan berjamaah, maka itu tidak dibenarkan syariat (bid’ah).

🚩 Qiyamullail berjamaah tidak ditentukan waktunya secara khusus, misal mengkhususkannya pada malam jum’at saja, atau pada malam tahun baru saja dan menganggapnya ada keutamaan khusus padanya, jika dikhususkan waktunya seperti itu dikhawatirkan ia jatuh pada bid’ah idhafiyah. Medio tahun 90-an Lembaga Kajian Fiqih Al Khairat yang diketuai oleh Ustadz Dr. Salim Seggaf al Jufri –hafizhahullah– pernah mengeluarkan keputusan tentang bid’ahnya Qiyamullail pada malam tahun baru -jika hanya dikhususkan-.

🚩 Bagaimanapun juga, Qiyamullail lebih utama dilakukan secara munfarid (sendiri).

Wallahu A’lam.

🍃🌸🌻🌷🌿🌾☘🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Ghibah yang Diperbolehkan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Wr Wb. Ust, ada seseoang yang bertanya pada saya perihal menceritakan peristiwa kurang baik yang menimpa seseorang tanpa menyebut orang yang mengalami dan bertujuan untuk memberikan pelajaran bagi orang yang mendengarnya. Apakah hal itu termasuk kategori membuka aib orang atau ghibah. Mohon disertai dalil terkait hal tersebut. Jazakallah

📬 JAWABAN

Wassalamu’alaikum WaRahmatullah wa Barakatuh .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Sebenarnya apa yang ditanyakan sudah jelas, yakni jika kita tidak menyebut namanya, tidaklah mengapa sebab kita bicara secara umum yang manusia manapun bisa melakukannya. Jadi, yang boleh kita bicarakan secara vulgar adalah perbuatannya bukan orangnya.

Hal ini pun langsung dicontohkan oleh Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS.Al Hasyr(59):19)

Ayat ini menceritakan perbuatannya yaitu nasullaha (melupakan Allah) tetapi tidak disebut siapa saja orang yang melakukannya. Kita diperintahkan agar bisa terhindar dari perbuatan seperti itu juga. Nah, biasanya ketika kita bebicara aib orang, dengan tujuan nasihat, adalah agar kita mampu menghindar pebuatan itu bukan?

Ada pun jika kita berbuat ghibah (membicarakan aib orang lain yang sedang tidak ada) lalu menyebut namanya, maka ini salah satu perilaku buruk yang oleh Allah Ta’ala disebut dengan makan daging bangkai saudaranya.

“ … Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.“(QS.Al Hujurat(49):12)
Bahkan pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nur (24): 19)

Namun, membicarakan aib –yang diistilahkan ghibah- tidak terlarang mutlak. Ada beberapa ghibah yang diperbolehkan, sebagaimana yang tertera dalam Riyadhus Shalihin-nya Imam An Nawawi Rahimahullah. Saya ringkas sebagai berikut: (Hal. 366-367, Maktabatul Iman, Al Manshurah)

1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.

2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.

3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?

4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.

5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.

6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang sandangnya, seperti Al A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits.

Sekian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Membunuh Hewan Pengganggu Di Rumah

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu. Ustadz tanya, apakah kita diperbolehkan jika membunuh hewan-hewan seperti kecoa, semut, cicak, pacet, ulat bulu, cacing, kodok dan serangga2 lain yg kedapatan masuk rumah ustadz? Saya takut membahayakan anak saya. suami sering nya hanya dikeluarkan dari rumah saja tanpa dibunuh. Saya takut nya mereka balik lagi. Kalo untuk semut, biasanya saya cari dulu penyebab ada nya semut, insyaAllah nnti ilang sendiri semut2 nya tanpa harus menyakiti mereka. Tp kalo untuk yg lain bgaimana ustadz? Apakah boleh dibunuh? (+62 823-3490-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

📌 Ada hewan yg TERLARANG untuk dibunuh, yaitu:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ ، وَالضِّفْدَعِ ، وَالنَّمْلَةِ ، وَالْهُدْهُدِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh shurad, kodok, semut, dan hud-hud.”

(HR. Ibnu Majah No. 3223. Imam Ibnu Katsir mengatakan: shahih. Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/188. Syaikh Al Albani juga mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 6970)

Shurad sejenis burung pipit.

Dalam riwayat lain juga kalelawar. Dalam sebuah riwayat mawquf (perkataan sahabat) yang shahih, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, beliau berkata:

لاَ تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ وَلاَ تَقْتُلُوا الْخَفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ : يَا رَبُّ سَلِّطْنِى عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى أُغْرِقَهُمْ

“Janganlah kalian membunuh Katak karena dia senantiasa bertasbih, dan jangan membunuh Kelelawar, karena ketika Baitul Maqdis runtuh, dia berkata: “Wahai Tuhan-nya pemimpinku yang menguasai lautan,” mereka berdoa sampai mereka membelah lautan.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 19166, katanya: shahih)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan: “jika isnad riwayat ini shahih, maka Abdullah bin Amru telah mengambil kisah Israiliyat.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 4/380. Cet. 1, 1989M-1409H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📌 Ada hewan yang DIPERINTAHKAN untuk dibunuh. Biasanya ini hewan yg berbahaya atau mengganggu kehidupan manusia.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

“Ada lima binatang yang semuanya adalah membahayakan, boleh dibunuh di tanah Haram, seperti: tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak, anjing buas.”

(HR. Bukhari No. 3136, 1732, Muslim No. 1198)

Hadits lainnya:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً بِالضَّرْبَةِ الأُولَى كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، فَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، فَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً»

“Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul maka dia dapat pahala sekian sekian, jika dua kali pukulan maka sekian, jika tiga kali pukulan maka sekian.”

(HR. At Tirmidzi No. 1482, kata At Tirmidzi: hasan shahih)

Jadi, jika kita lihat .. substansinya adalah JIKA hewan tersebut sudah membahayakan dan memgancam kehidupan manusia maka hewan tsb boleh dibunuh, baik hewan yg secara khusus ada dalil untuk dibunuh atau tidak.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Membaca Al-Kahfi di Hari Jumat, Wajib atau Sunnah?

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

assalamualaikum Ustad,,apakah setiap hari jumat wajib membaca surat al-kahfi ? Adakah tuntunannya Tadz? (+62 858-7785-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Membaca Al Kahfi baik malam atau hari Jumat bukan wajib, tapi SUNNAH .. berdasarkan hadits berikut:

من قرأ سورة الكهف ليلة الجمعة أضاء له من النور فيما بينه وبين البيت العتيق

Barang siapa yg membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dua akan diterangi oleh cahaya dr tempat dirinya berada sampai baitul ‘atiq (ka’bah).

(HR. Ad Darimi no. 3407, Shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 6471)

Hadits lain:

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين

Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi di hari Jumat, maka dia akan diterangi cahaya selama di antara dua Jumat.

(HR. Al Hakim, 2/399, Al Baihaqi, 3/249. Shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 6470)

Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah mengatakan:

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

“Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal.
Dan aku menyukai seseorang itu memperbanyak shalawat kepada Nabi ﷺ di setiap waktu dan di hari Jum’at serta malam Jum’at lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai seseorang itu membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at dan pada hari Jum’at karena terdapat dalil mengenai hal ini.” (Al-Umm 1/208 )

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top