Khawatir Hilang, Bolehkah Bawa Al Qur’an saat ke WC?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Ustad, bila di dalam tas ada alquran dan kita perlu ke toilet namun tidak bisa meninggalkan tas di luar toilet. Bagaimana hukumnya ustad membawa quran dalam toilet(+62 812-5653-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Bismillahirrahmanirrahim ..

Pada dasarnya terlarang membawa Al Qur’an ke toilet, kecuali udzur, seperti khawatir hilang dicuri jika diletakkan di luar.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

أما دخول الحمام بالمصحف فلا يجوز إلا عند الضرورة ، إذا كنت تخشى عليه أن يسرق فلا بأس

Ada pun masuk ke toilet dengan membawa mushaf tidaklah dibolehkan kecuali keadaan darurat, khawatir dicuri, maka ini tidak apa-apa. (Majmu’ Fatawa, 10/30)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizahullah mengatakan:

الدخول بالمصحف إلى المرحاض والأماكن القذرة صرح العلماء بأنه حرام ، لأن ذلك ينافي احترام كلام الله سبحانه وتعالى ، إلا إذا خاف أن يسرق لو وضعه خارج المرحاض ، أو خاف أن ينساه فلا حرج أن يدخل به لضرورة حفظه

Masuk ke tempat-tempat kotor sambil membawa mushaf dijelaskan para ulama bahwa itu diharamkan. Sebab hal itu menunjukkan tidak hormat thdp firman Allah Ta’ala. Kecuali jika khawatir mushaf itu dicuri jika ditaruh di tempat tersebut, atau kelupaan, maka tidak apa-apa membawanya karena adanya kebutuhan mendesak untuk menjaganya.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 42061)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Imam Shalatnya Pelaku Kesyirikan, Bolehkah Memisahkan Diri?

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum…
Maaf ustad sy pernah mendengar ttg shalat munfarid(memisahkan diri jari jamaah),
contoh:
Sy tadi berjamaah dzuhur sdh dlm barisan tapi ternyata imamnya sy ketahui memiliki keyakinan syirik/ musyrik…sehingga sy berniat unt shalat sendiri(munfarid)tapi ttp didlm barisan jamaah,apa benar cara seperi itu ustad atau sy ulang shalatnya? Terimakasih….(+62 821-1394-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Itu istilahnya mufaraqah (memisahkan diri) dari imam. Pada dasarnya memisahkan diri dari imam tanpa alasan tidak boleh. Berdasarkan hadits:

إنما جعل الإمام ليؤتم به

Imam itu diangkat untuk diikuti. (HR. Bukhari)

Tapi, jika ada udzur syar’iy, tidak apa-apa dia memisahkan diri dan melanjutkan seorang diri, tanpa harus mengulanginya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإن أحرم مأموما ثم نوى مفارقة الإمام وإتمامها منفردا لعذر جاز

Jika seseorang sudah takbiratul ihram menjadi makmum, lalu dia niat memisahkan diri dari imam dan melanjutkan shalatnya sendiri karena adanya suatu ‘udzur maka itu BOLEH. (Al Mughni, 2/171)

Dalilnya adalah:

كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ بَنِي سَلَمَةَ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ وَأَنَّ رَسُول اللَّهِ أَخَّرَ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلاَّهَا مُعَاذٌ مَعَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّ قَوْمَهُ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّى رَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ فَصَلَّى وَحْدَهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالُوا : نَافَقْتَ يَا فُلاَنُ . فَقَال : مَا نَافَقْتُ وَلَكِنِّي آتِي رَسُول اللَّهِ فَأُخْبِرُهُ . فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَال : يَا رَسُول اللَّهِ ، إِنَّكَ أَخَّرْتَ الْعِشَاءَ الْبَارِحَةَ ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلاَّهَا مَعَكَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّنَا فَافْتَتَحَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّيْتُ فَصَلَّيْتُ وَحْدِي وَإِنَّمَا نَحْنُ أَهْل نَوَاضِحَ نَعْمَل بِأَيْدِينَا .فَالْتَفَتَ رَسُول اللَّهِ إِلَى مُعَاذٍ فَقَال : أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ اقْرَأْ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّك الأْعْلَى وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْل إِذَا يَغْشَى وَنَحْوِهَا

Dahulu, Muadz bin Jabal shalat Isya’ bersama Rasulullah ﷺ kemudian pulang ke kaumnya, Bani Salamah, dan shalat lagi mengimami mereka. Suatu ketika Rasulullah ﷺ mengakhirkan shalat Isya’ dan Muadz ikut shalat berjamaah, kemudian dia pulang untuk mengimami kaumnya.

Mu’adz mulai membaca surat Al Baqarah, sehingga seseorang yang berada di belakang mengundurkan diri lalu shalat sendirian. Usai shalat, orang-orang menuduhnya, “Kamu telah berbuat nifak”. Orang itu menjawab, “Saya bukan munafik, tetapi saya mendatangi Rasulullah ﷺ dan melaporkan kepada beliau”.

Orang itu mendatangi Rasulullah ﷺ untuk mengadu, “Ya Rasulullah, Anda telah mengakhirkan shalat Isya’ tadi malam. Dan Muadz ikut shalat bersama Anda. Kemudian dia kembali dan mengimami kami. Tetapi dia membaca surat Al-Baqarah, sehingga Aku mengundurkan diri dan shalat sendirian. Hal itu karena kami kaum pekerja yang menggunakan kedua tangan kami (maksudnya mereka sangat lelah).

Maka Rasulullah ﷺ pun menoleh kepada Mu’adz sambil bertanya, “Apakah kamu membuat fitnah wahai Muadz? Apakah kamu membuat fitnah? Cukup bagimu sabbihisma rabbikal a’la, wassama’i wath-thariq, wassama’i dzatil buruj, wasy-syamsi wadhuhaha, wallaili idza yaghsya dan semisalnya.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi, memisahkan diri karena imam terlalu lama bacaannya sementara si makmum sedang ada hajat penting, atau khawatir keselamatan hartanya, tidak apa-apa dia memisahkan diri.

📌 Bagaimana jika imam ahli maksiat atau ditengarai pelaku dosa besar?

Jika dosa besar yang dimaksud adalah KESYIRIKAN yg bisa membuatnya murtad maka tidak sah shalat menjadi makmumnya. Tapi, jika kesyirikan itu belum membuatnya kafir (masih syirik kecil), maka tetap sah shalat bersamanya walau itu hal yang dibenci.

Para salaf sejak masa sahabat ada juga yang shalat menjadi makmumnya orang-orang fajir (pendosa) dan tertuduh sesat ..

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج
وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط – وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا

وجلده عثمان بن عفان على ذلك – وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع

Ibnu Umar shalat jadi makmumnya Al Hajaj (HR. Bukhari)

Abu Sa’id Al Khudri jadi makmumnya Al Marwan dalam shalat Id. (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud jadi makmumnya Al Walid bin Uqbah bin Mu’ith, dan dia seorang peminum khamr, shalat subuhnya 4 rakaat. Utsman bin Affan pernah menghukumnya dgn jild (dicambuk).

Para sahabat dan tabi’in pernah jadi makmum Ibnu Ubaid, padahal dia dituduh ateis dan penyeru kesesatan.

Jadi, pada dasarnya yg menjadi pegangan para ulama bahwasanya shalat yg dilakukan sah untuk diri sendiri maka sah pula untuk org lain.

(Fiqhus Sunnah, 1/237-238)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Anjuran Membunuh Cicak

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Ummu Adez:
Assalamualaikum ustadz mau tanya. Apa hukumnya membunuh cicak?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., ada beberapa hadits yang memerintahkan untuk membunuh cicak, di antaranya:

عَنْ سَائِبَةَ مَوْلَاةِ الْفَاكِهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ: أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا؟ قَالَتْ: نَقْتُلُ بِهِ هَذِهِ الْأَوْزَاغَ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخْبَرَنَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا أَطْفَأَتْ النَّارَ، غَيْرَ الْوَزَغِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تَنْفُخُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَتْلِهِ

Dari Saibah, pelayan Fakih bin Al Mughirah, dia menjumpai ‘Aisyah dan dia lihat di rumahnya ada cemeti yang tergeletak, lalu bertanya: “Wahai Ummul Mu’minin, kamu pakai buat apa ini?”

‘Aisyah menjawab: “Kami memakainya untuk membunuh cicak.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa ketika Nabi Ibrahim dilempar ke kobaran api, semua makhluk di bumi ikut memadamkan api, kecuali cicak dia malah meniupan api (agar tetap membara). Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membunuhnya. (HR. Ahmad No. 3231. Shahih menurut Syaikh Syu’aib Arnauth)

Juga dalam riwayat Abdurazzaq, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Dahulu katak mematikan apinya Ibrahim, sedangkan cicak justru meniup utk membesarkannya. Maka, yang ini (katak) dilarang untuk dibunuh, dan yang ini (cicak) diperintahkan untuk dibunuh. (HR. Abdurazzaq No. 8392, Shahih menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Sebenarnya ‘Aisyah tidak mendengar langsung perintah membunuh cicak dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi dia mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqash sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Bukhari berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لِلْوَزَغِ الفُوَيْسِقُ» وَلَمْ أَسْمَعْهُ أَمَرَ بِقَتْلِهِ وَزَعَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِهِ

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ” Cicak itu Al Fuwaisiq (si kecil pengganggu).” Dan aku belum pernah dengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan membunuhnya, dan Sa’ad bin Waqash mengira bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membunuhnya. (HR. Al Bukhari No. 3306)

Jadi, Aisyah tidak mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi dari sebagian sahabat nabi, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar sbb:

ولعل عائشة سمعت ذلك من بعض الصحابة

Dan, nampaknya Aisyah mendengarkannya dari sebagian sahabat. (Fathul Bari, 6/354)

Bahkan membunuhnya mendapatkan pahala. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً بِالضَّرْبَةِ الأُولَى كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، فَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، فَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ كَانَ لَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً»

Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul maka dia dapat pahala sekian sekian, jika dua kali pukulan maka sekian, jika tiga kali pukulan maka sekian.” (HR. At Tirmidzi No. 1482, kata At Tirmidzi: hasan shahih)

Hikmah dari ini adalah bahwa semua bentuk gangguan kepada manusia mesti dihilangkan sampai akar-akarnya, termasuk gangguan dari hewan seperti cicak. Banyak manusia yg geli dan jijik dengannya ketika berada di lemari, makanan, dsb. Maka, syariat melindungi manusia dan menyingkirkan gangguannya.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌿🌷🌸🌾🌳☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Tanda Hitam di Kening (Bekas Sujud)

▫▪▫▪▫▪▫▪

Lebih dari empat orang menanyakan hal ini melalui grup tanya jawab dan juga japri, khususnya setelah mereka mendapatkan BC di WA yang nampak menyindir terhadap orang yang jidatnya hitam bekas sujudnya. Disebutlah itu tanda tidak paham makna “bekas sujud” yang dimaksud surat Al Fath ayat 29, ada pula dikatakan posisi sujudnya ada yang salah, bahkan sampai mengatakan itu tanda riya dalam ibadah.

📌 Lalu, bagaimanakah sebenarnya masalah ini?

Makna “Wajah Mereka Ada Bekas Sujud” dalam surat Al Fath: 29:

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.

(QS. Al-Fath, Ayat 29)

Makna ayat inilah yang menjadi ajang perdebatan ini. Beragam pandangan para pakar tafsir tentang “tanda-tanda bekas sujud,” apakah yang dimaksud?

Sebagian ada yg memaknainya bahwa itu bisa diartikan tanda fisik di kening, sebagian lain memaknai tanda non fisik, yaitu kekhusyuan dalam ibadah, dan ketundukkan kepada Allah Ta’ala.

📌 Pihak yang mengatakan bahwa itu bermakna tanda fisik di kening.

Para imam, memang ada yang mengartikan bahwa itu adalah bekas atau jejak dari shalat seseorang yang nampak secara fisik pada keningnya. Seperti Imam Malik, Imam Sa’id bin Jubeir, Imam Al Auza’iy, Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, dan lainnya.

Imam Al Qurthubi berkata, Diriwayatkan dari Ibnu Wahab, dari Imam Malik tentang maksud ayat di atas:

ذلك مما يتعلق بجباههم من الأرض عند السجود ، وبه قال سعيد بن جبير. وفي الحديث الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم : صلى صبيحة إحدى وعشرين من رمضان وقد وكف المسجد وكان على عريش ، فانصرف النبي صلى الله عليه وسلم من صلاته وعلى جبهته وأرنبته أثر الماء والطين

“Itu adalah tanda yang terkait pada kening-kening mereka karena bersentuhan dengan tanah saat sujud.” Ini juga menjadi pendapat Said bin Jubeir.

Disebutkan dalam hadits Shahih, dari Nabi ﷺ: Bahwa Beliau shalat di pagi hari di hari ke 21 bulan Ramadhan, saat itu masjid sedang bocor dan dia sedang berteduh di sebuah tandu, lalu saat Nabi ﷺ selesai shalatnya nampak terlihat pada kening/dahi/jidatnya dan hidungnya ada bekas air dan tanah.

(Tafsir Al Qurthubi, 16/293)

Imam Abul ‘Aliyah Rahimahullah berkata:

يسجدون على التراب لا على الأثواب

Mereka sujud di atas tanah bukan di atas kain. (Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masiir, 4/139)

Imam Al Auza’iy Rahimahullah mengatakan:

بلغني أنه ما حمَلَتْ جباهُهم من الأرض

Telah sampai kepadaku bahwa itu adalah apa yang dibawa oleh kening-kening mereka dari tanah. (Ibid)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya:

والمراد: السمة التي تحدث في جباههم من كثرة السجود، أو هي نور وبياض يعرفون به بالآخرة أنهم سجدوا في الدنيا

Maksudnya adalah tanda yang ada pada kening mereka lantaran banyak sujud, atau cahaya, putih, yang dengan itulah mereka bisa dikenali di akhirat disebabkan mereka sujud di dunia.

(Tafsir Al Munir, 26/205)

Sementara itu, Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Wuhaib bin Ward, katanya: “Yahya bin Zakariya ‘Alaihissalam memiliki tanda dua garis dipipinya akibat menangis.” (Hilyatul Auliya, 8/149)

Bahkan tidak sedikit para ulama “membenci” jika bekas ibadah pada seseorang itu dihapuskan. Bahkan di antara mereka ada yang memakruhkan mengeringkan wudhu dengan di-elap, namun sebagian lain tidak mempermasalahkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab  Rahimahullah mengatakan:

فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه

“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.”    (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:

وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً

“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqidengan sanad shahih)

Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa  ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.

Imam An Nasa’i membuat bab: Tidak Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah ﷺ , maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.”  (Ibid)

Maka, uraian ini menunjukkan bahwa tanda sujud berupa kening yang hitam, bukanlah sebuah hal yang tercela. Sebagian ulama sejak masa salaf ada yang membenarkan ini, sebagai jejak ibadah yang sebaiknya tidak dihilangkan. Bahkan Nabi Yahya ‘Alaihissalam menangis sampai di pipinya ada tanda garis karena air matanya.

📌 Pihak yang memaknai tanda tersebut bukan secara fisik

Para imam lainnya mengatakan bahwa maksud dari “bekas sujud” adalah bukan tanda fisik di kening, tapi tanda kebaikan di dunia dan akhirat.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan:

صَلَاتُهُمْ تَبْدُو فِي وُجُوهِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Shalat mereka akan nampak pada wajah-wajah mereka pada hari kiamat. (Tafsir Ath Thabariy, 21/321)

Muqatil bin Hayyan Rahimahullah berkata:

النُّورُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Cahaya pada hari kiamat. (Ibid, 21/322)

Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:

بَيَاضًا فِي وُجُوهِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Wajah-wajah mereka putih berseri pada hari kiamat nanti. (Ibid, 21/323)

Mujahid Rahimahullah berkata:

الْخُشُوعُ وَالتَّوَاضُعُ

Khusyu’ dan tawadhu’ . (Ibid)

Jadi, dari keterangan ini menunjukkan ada dua makna, yaitu tanda di dunia: khusyu’ dan tawadhu’. Tanda di akhirat: wajah mereka putih, bersinar, dan nampak shalat mereka. Sebagian mereka mengingkari bahwa maknanya adalah makna fisik seperti hitam di kening.

📚 Jadi, secara umum ada TIGA MAKNA menurut para imam-imam tafsir:

1. Itu adalah bekas sujud di wajah (kening).

2. Itu adalah bekas secara spiritual di dunia, yaitu khusyu’ dan tawadhu’.

3. Itu adalah bekas sujud yang akan nampak di akhirat; wajah yang putih, bercahaya, dan nampak bekas shalatnya.

Bagi kami, bekas-bekas sujud tidaklah khusus pada makna spiritual saja. Bukan hal mustahil bagi Allah Ta’ala untuk tampakkan bekas sujud secara fisik di wajah seseorang.

Oleh karena itu, hendaknya tidak saling nyinyir dan menyindir dalam masalah ini. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa jidat hitam itu tidak selalu tanda keshalihan, bisa banyak faktor, mungkin juga karena kulitnya yang sensitif walau dia tidak banyak sujud. Sebab, jika banyak sujud pasti kening menghitam maka pastilah kaum wanita pun juga mengalaminya tapi kita lihat wanita jauh lebih sedikit yang mengalaminya padahal wanita ahli ibadah juga banyak.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah mengatakan:

فان ظهور هذه العلامة في بعض الناس دون بعضهم، ليس سببه الوحيد كثرة السجود أو قلته، فقد يكون بسبب اختلاف قوة وضعف جلودهم

Sesungguhnya nampaknya tanda-tanda sujud pada sebagian orang tapi tidak tampak pada sebagian orang lain, sebabnya tidak hanya satu; banyak sujud atau sedikit sujudnya, hal ini disebabkan karena perbedaan kekuatan dan kelemahan kulit mereka.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 197577)

Dalam fatwa yang lain Beliau berkata:

أما لماذا تظهر علامة الصلاة على وجوه الرجال دون النساء، وكذلك لا تظهر على وجوه بعض الرجال المكثرين من الصلاة؟ فالأمر يرجع لطبيعة جسم كل إنسان وكيفية سجوده وطوله وكثرته، وأهم من ذلك ما يسجد عليه فكلما كان ما يسجد عليه أخشن كانت هذه العلامة أظهر، وعموماً ليس هذا الأثر هو المقصود في الآية، ولا تعتبر هذه العلامة دليلاً على صلاح الإنسان أو عدمه

Sedangkan kenapa tanda pada kaum laki-laki itu nampak tapi tidak pada kaum wanita, demikian juga tidak nampak pada sebagian laki-laki yg banyak shalatnya? Maka, masalah ini kembali kepada faktor alami tubuh setiap manusia, tata cara sujudnya, lamanya, banyaknya, dan yg terpenting dari itu adalah objek tempat sujudnya, di mana jika sujudnya di atas benda yang lebih kasar maka tanda tersebut lebih nampak. Tapi, secara umum bukan ini maksud ayat tersebut. Ada atau tidaknya tanda ini tidaklah menjadi standar keshalihan seseorang.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 28034)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top