Cara dan Sebab Tayammum

📌📌📌📌📌📌

(Diterjemahkan dan takhrij oleh Farid Nu’man Hasan dari kitab Minhajul Muslim, Hal. 141-143, karya Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi. Cet. 4. 1433H-2012M. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah)

Pada pembahasan ini ada empat materi.

I. Disyariatkannya tayamum dan kepada siapa disyariatkannya

A. Disyariatkannya Tayamum

Tayamum disyariatkan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah yang mulia.

Allah ﷻ berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلاَّ عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An Nisa: 43)

Dan sabda Nabi ﷺ :

الصعيد الطيب وضوء المسلم وإن لم يجد الماء عشر سنين

Tanah yang bersih adalah wudhu bagi seorang muslim, jika dia tidak mendapatkan air walaupun dua puluh tahun lamanya. 1] 2]

B. Kepada siapa tayamum disyariatkan?

Tayamum disyariatkan kepada orang yang tidak mendapatkan air setelah dia mencari-carinya dengan pencarian yang begitu sulit, atau dia mendapatkan air namun dia tidak bisa menggunakannya karena sakit, atau dikhawatiri jika memakainya penyakitnya semakin parah, 3] atau semakin lama sembuhnya, atau dia tidak mampu bergerak dan tidak ada orang lain yang membantunya memberikan air.

Ada pun orang yang menemukan air yang sedikit, dan tidak cukup untuk berwudhu, maka dia bisa menggunakan wudhu di sebagian organ wudhunya lalu dia bertayamum pada organ tubuh wudhu yang lain. Sebab, Allah ﷻ berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwa-lah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At Taghabun: 16)

II. Hal-hal yang wajib dan sunah dalam tayamum

A. Hal-hal yang wajib

Dalam tayamum ada hal-hal yang wajib, yaitu:

1. Niat, sebagaimana hadits:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat dan setiap manusia akan mendapatkan balasan sesuai apa yang diniatkannya.” 4]

Seorang muslim hendaknya berniat saat tayamum, dan dengan tayamumnya itu apa-apa yang tadinya terlarang seperti shalat dan lainnya, menjadi boleh.

2. Dengan tanah yang suci, sebab Allah ﷻ berfirman:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً

“Maka bertayamumlah kalian dgn tanah yang suci.” (QS. An Nisa: 43)

3. Tepukan yang pertama, yaitu meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah.

4. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan, sebab Allah ﷻ berfirman:

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

Maka Sapulah mukamu dan tanganmu. (QS. An Nisa: 43)

B. Hal-hal yang sunnah

1. Mengucapkan Basmalah, sebab itu disyariatkan pada semua amal perbuatan.

2. Menepuk tanah dua kali, yang pertama adalah wajib dan itu sudah cukup, dan yang kedua dalah sunah.

3. Mengusap bagian dua lengan saat mengusap kedua telapak tangan, sebab jika hanya mengusap telapak tangan itu sudah cukup, dan mengusap kedua lengan adalah upaya kehati-hatian. Hal ini karena terjadi perselisihan pendapat tentang makna tangan pada ayat tayamum. Apakah maknanya kedua telapak tangan saja atau bersamaan dengan dua lengan sampai siku?

III. Hal-Hal yang membatalkan Tayamum dan Boleh dilakukan

A. Hal yang membatalkan

Yang membatalkan itu ada dua:

1. Apa pun yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum, sebab tayamum adalah pengganti wudhu

2. Adanya air bagi orang yang tadinya tidak mendapatkann

ya sebelum mengerjakan shalat, atau adanya air saat berlangsung shalat, ada pun jika airnya baru di dapatkan setelah shalat maka shalatnya tetap sah dan tidak usah diulang, sebab Nabi ﷺ bersabda:

لا تصلوا صلاة فى يوم مرتين

Janganlah kalian shalat (yang sama) dua kali dalam sehari. 5]

B. Hal-hal yang bisa dilakukan

Dengan tayamum maka apa-apa yang sebelumnya terlarang menjadi boleh seperti shalat, thawaf, menyentuh Al Quran, membacanya, dan memasuki masjid.

IV. Bagaimana Cara Bertayamum

Membaca Bismillah dengan niat membolehkan perbuatan yang sebelumnya tidak boleh, kemudian meletakkan tangan di atas permukaan tanah, atau pasir, atau batu, atau tanah berair, atau lain-lainnya. Tidak salah baginya meniup debu dari kedua telapak tangannya dengan tiupan yang ringan, kemudian mengusapkannya kepada wajah degan sekali usapan, kemudian jika dia mau dia letakkan kedua telapak tangannya lagi ke atas tanah kedua kalinya, kemudian mengusap kedua telapak tangannya sampai lengan dan ke siku, dan jika hanya sampai telapak tangan itu sudah cukup.

Catatan:

Pertanyaan: “Apakah boleh mengerjakan beberapa shalat dengan sekali tayamum jika tayamumnya belum batal?”

Jawaban: “Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam ijtihad mereka, sebab tidak ada nash yang pasti yang dapat mengunggulkan salah satu dari dua pendapat, dan membatalkan pendapat satunya. Sebagai kehati-hatian sebaiknya dia tayamum untuk sekali shalat.”

Selesai.

🌷🌺🌻🌾🍃🌸☘🌴

✍ Farid Nu’man Hasan


🌴🌴🌴🌴🌴🌴

Catatan kaki:

[1] HR. An Nasa’i No. 322, At Tirmidzi No. 124, katanya: hasan shahih, Abu Daud No. 332, Ibnu Hibban No. 1313, Ahmad No. 21371, 21568. Lafaz ini adalah milik An Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dll

[2] Barang siapa yang tidak mendapatkan air tau sesuatu buat tayamum, maka dia shalat tanpa wudhu dan tanpa tayamum dan tanpa mengulanginya, karena Rasulullah ﷺ pernah shalat tanpa wudhu sebelum tayamum disyariatkan, dan mereka tidak mengulangi shalat mereka saat ayat perintah tayamum sudah turun.

[3] Jika air sangat dingin dan tidak api yang bisa memanaskannya, dan dia yakin bisa sakit jika menggunakan air dingin tersebut, maka dia bisa bertayamum dan shalat dengannya, itu tidak apa-apa. Sebab Abu Daud meriwayatkan dengan sanadyang jayyid, bahwa Nabi ﷺ menyetujui Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu melakukan itu.

[4] HR. Al Bukhari No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553, Muslim No. 1907

[5] HR. Abu Daud No. 579, An Nasa’i No. 860, Ahmad No. 4689, Ad Dailami No. 7336, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3467, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8/385. Dishahihkan Ibnu Sakkan. (Talkhish Al Habir, No. 213)

 

Hukum Panggilan “Ummi”, “bunda”, “dik” dan Semisalnya Kepada Istri

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian ulama memakruhkan seorang suami memanggil istrinya seperti itu, sebab dianggap sebagai zhihar atau penggilan yang membuat terjadinya mahram.

Ada pun di banyak negeri panggilan tersebut sudah biasa sebagai panggilan keakraban, kasih sayang, dan pemuliaan.

Pihak yang memakruhkan berdalil dengan hadits:

عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِيِّ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: يَا أُخَيَّةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أُخْتُكَ هِيَ؟»، فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ

Dari Abu Tamimah Al Hujaimiy, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Wahai saudariku.” Maka, Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah dia saudarimu?” Rasulullah ﷺ membenci itu dan melarangnya.

(HR. Abu Daud No. 2210, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15146)

Para ulama menilai lemah hadits ini karena mursal. Imam Al Mundziri berkata: “Hadits ini mursal.” (Mukhtashar, 3/136). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Mursal. (Fathul Bari, 9/387). Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan: “Mursal, dan Abu Daud meriwayatkan apa yang ada di dalamnya terdapat keguncangan (idhthirab).” (Jaami’ Al Ushuul, No. 5819, cat kaki No. 1). Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr juga mengatakan:”Mursal.” (Syarh Sunan Abi Daud, 253) Syaikh Al Albani mengatakan: “Dhaif.” (Dhaif Abi Daud, 2/240-241)

Pemakruhan tersebut menjadi teranulir karena lemahnya hadits ini. Tetapi, anggaplah hadits ini shahih, apakah maksud pemakruhannya?

Para ulama menjelaskan makruhnya hal itu jika dimaksudkan sebagai zhihar, sebagaimana ucapan “kamu seperti ibuku”, tapi jika tidak demikian, melainkan hanya untuk panggilan pemuliaan dan penghormatan (ikram), atau menunjukkan persaudaraan seaqidah dan seiman, maka itu tidak apa-apa.

Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, dalam “Bab Seorang Laki-Laki Berkata Kepada Istrinya: Wahai Saudariku, maka Ini Tidak Apa-apa.”

Beliau meriwayatkan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِامْرَأَتِهِ: هَذِهِ أُخْتِي، وَذَلِكَ فِي اللَّه

Berkata Ibrahim kepada istrinya: “Ini adalah saudariku,” dan itu fillah (saudara karena Allah). (HR. Al Bukhari, 7/45, 9/22)

Riwayat ini tentu lebih shahih dibanding riwayat Imam Abu Daud sebelumnya.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

إنما أراد البخارى بهذا التبويب ، والله أعلم ، رد قول من نهى عن أن يقول الرجل لامرأته : يا أختى

“Sesungguhnya penjudulan bab oleh Imam Al Bukhari seperti ini –wallahu a’lam- sebagai bantahan buat mereka yang melarang seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan: “Wahai Saudariku.”(Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409)

Beliau berkata lagi:

ومعنى كراهة ذلك، والله أعلم، خوف ما يدخل على من قال لامرأته: يا أختى، أو أنت أختى، أنه بمنزلة من قال: أنت علىَّ كظهر أمى أو كظهر أختى فى التحريم إذا قصد إلى ذلك، فأرشده النبى (صلى الله عليه وسلم) إلى اجتناب الألفاظ المشكلة التى يتطرق بها إلى تحريم المحلات، وليس يعارض هذا بقول إبراهيم فى زوجته: هذه أختى؛ لأنه إنما أرادa بها أخته فى الدين والإيمان، فمن قال لامرأته: يا أختى، وهو ينوى ما نواه إبراهيم من أخوة الدين، فلا يضره شيئًا عند جماعة العلماء

Makna dari ketidaksukaan nabi atas hal itu –Wallahu a’lam- karena dikhawatirkan orang yang berkata kepada istrinya: “Ya Ukhtiy -Wahai Saudariku”, atau “ kamu adalah saudariku”, sama kedudukannya dengan orang yang mengatakan: “Bagiku kau seperti punggung ibuku”, atau “seperti punggung saudariku”, maka ini jatuhnya menjadi mahram jika memang dia maksudkan seperti itu. Maka, Nabi ﷺ membimbingnya untuk menjauhi kata-kata yang kontroversi yang dapat membawa pada makna mahram.

Hadits ini (Abu Daud) tidak bertentangan dengan ucapan Nabi Ibrahim kepada istrinya: “Kau adalah saudariku.” Sebab maksud kalimat itu adalah sebagai saudara seagama dan seiman. Maka, barang siapa yang berkata kepada istrinya: “Wahai Saudariku” dan dia berniat sebagaimana Ibrahim, yaitu saudara seagama, maka ini sama sekali tidak apa-apa menurut jamaah para ulama. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409-410)

Imam Al Khathabi Rahimahullah menjelaskan bahwa dibencinya memanggil

“wahai saudariku” kepada istri jika maksudnya sebagai zhihar, seperti ucapan kamu seperti ibuku, atau seperti wanita lain yang mahram bagi suami, … lalu Beliau berkata:

وعامة أهل العلم أو أكثرهم متفقون على هذا إلاّ أن ينوي بهذا الكلام الكرامة فلا يلزمه الظهار، وإنما اختلفوا فيه إذا لم يكن له نية، فقال كثير منهم لا يلزمه شيء

Umumnya ulama atau kebanyakan mereka sepakat atas larangan itu, KECUALI jika kalimat itu diniatkan untuk karamah (pemuliaan-penghormatan) maka tidaklah itu berkonsekuensi seperti zhihar. Hanya saja para ulama berbeda pendapat jika pengucapan itu tidak ada niat pemuliaan, banyak di antara mereka mengatakan bahwa itu juga tidak ada konsekuensi apa-apa.”

(Imam Al Khathabi, Ma’alim As Sunan, 3/249-250)

Nah, dari penjelasan para ulama ini, jelas bagi kami bahwa pemakruhan memanggil istri dengan “bunda”, “ummi”, atau semisalnya, jika memang itu dimaksudkan sebagaimana zhihar. Ada pun jika panggilan tersebut sebagai bentuk penghormatan suami kepada istrinya, atau pendidikan bagi anak-anaknya, maka tidak apa-apa.

Hal ini sesuai kaidah fiqih:

الأمور بمقاصدها

Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya.

(Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1, 1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hal. 11)

Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengoreksi para ulama yang memakruhkan, menurutnya pemakruhan itu tidak tepat.

Beliau berkata:

فإذا قال: أنت علي كأمي، أي: في المودة والاحترام والتبجيل فليس ظهاراً؛ لأنه ما حرمها، وإذا قال: أنت أمي، فحسب نيته، فإذا أراد التحريم فهو ظهار، وإذا أراد الكرامة فليس بظهار؛ فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء ـ رحمهم الله ـ أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة

Jika ada yang bekata: “Kau bagiku seperti ibuku” yaitu dalam hal kasih sayang, penghormatan, dan pujian, maka ini bukan zhihar, karena itu tidak diharamkan. Jika ada yang berkata: “Engkau adalah ibuku,” maka dihitung niatnya apa, jika maksudnya adalah sebagai mahram maka ini zhihar, tapi jika maksudnya pemuliaan maka ini bukan zhihar.

Jika dia berkata: “Wahai Ummi, mari sini makan.” Maka ini bukan zhihar, tetapi sebagian ahli fiqih –rahimahumullah- ada yang memkruhkan suami memanggil istrinya dengan panggilan mahramnya, maka janganlah berkata: “Wahai Ukhtiy, Wahai Ummi, wahai bintiy/anakku,” dan yang semisal itu. Pendapat mereka tidak benar, sebab maknanya seperti telah diketahui maksudnya adalah pemuliaan, maka ini sama sekali tidak masalah. Bahkan, kalimat-kalimat ini dapat melahirkan kasih sayang, cinta, dan kedekatan.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syarh Al Mumti’, 13/236)

Sekian. Wallahu A’lam

🌾🌿🌷🌻🍃🌸🌳☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Perkataan: “Bekerjalah Untuk Duniamu Seakan Hidup Selamanya dan Beramalah Untuk Akhirat Seakan Mati Esok”

💦💥💦💥💦💥💦💥

Daftar Isi

PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Mohon penjelasan tentang keshahihan ungkapan ini

I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan.” [Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok].

JAWABAN

🌴🌴🌴🌴🌴

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Ungkapan itu memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)

Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni “ Uhzur lid Duniyaka (Kira-kiralah untuk duniamu) …’, bukan “ I’mal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..”

أحزر لدنياك كأنك تعيش أبدا ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا

“Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.” (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thala’i Lin Nasyr wat Tauzi’ wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al ‘Aliyah, No. 3256. Mauqi’ Jami’ Al Hadits.)

Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni “Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ….. dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba’, 1/226. Mawqi’ Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Jadi, ada tiga macam redaksi: I’malu (Bekerjalah), Uhzur (kira-kira lah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.

Bahkan ada juga sebagai berikut:

أصلحوا دنياكم ، و اعملوا لآخرتكم ، كأنكم تموتون غدا

“Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok.” (HR. Al Qudha’i,
668. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini tanpa ada bagian, “Seakan kau hidup selamanya.” Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874. Darul Ma’arif)

Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sementara, Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin ‘Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhu’at,
Mawqi’ Ya’sub)

Begitu pula Al ‘Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul ‘Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)

Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112)

Imam An Nasa’i dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk. (Al Hazfizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan Az Zaila’i sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat ‘Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: “Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia.” (Majma’ Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874)

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat ini sangat lemah. Wallahu A’lam

Catatan:

Walau ini bukan hadits nabi, sekadar ucapan sahabat nabi saja. Secara esensi ini adalah ucapan yang baik yakni mengajarkan keseriusan dalam ibadah untuk akhirat dan bekerja untuk dunia. Sebab jika keadaannya dibalik, jika manusia beribadah merasa hidup selamanya, dia akan meremehkan ibadah tersebut sebab dia bisa melaksanakannya di lain waktu. Juga jika bekerja untk dunia justru merasa besok akan mati, maka dia tidak akan semangat kerja sebab dia merasa apa yang dikerjakannya adalah percuma saja, karena besok sudah mati.

Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:

ما قل و كفى خير مما كثر و ألهى

“Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudha’i No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)

Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Wudhu Pakai Air Hangat

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz…mo nanya..
Bagaimana…hukumnya klu kita melakukan tayamum…sedangkan àir adanya dingin…krn suhu yg dingin krn memang letak daerah itu dikaki gunung…bolehkan kita menggunakan air yg di hàngatkan terlebih dahulu…( mf klu pertanyaannya membinggungkan) trimksh ustadz

Syukron ustadz

📬 JAWABAN

🌴🌴🌴🌴🌴

Wa’alaikumussalam warahmatullah .., Bismillah wal hamdulillah …

Sebagian ulama ada yang memakruhkan berudhu dengan air hangat, berdasarkan hadits-hadits larangan berwudhu dengan air musyammas (air hangat karena panas matahari).

Dari Muhammad bin Al Fath, dari Muhammad bin Al Husein Al Bazaz, dari Amru bin Muhammad Al A’syam, dari Falih, dari Az Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يتوضأ بالماء المشمس أو يغتسل به وقال إنه يورث البرص

Rasulullah ﷺ melarang berwudhu atau mandi dengan air hangat karena terik matahari. Beliau mengatakan: itu dapat menyebabkan kusta. (HR. Ad Daruquthni, 1/38)

Hadits ini dhaif. Berkata Ad Daruqthni: “Amru bin Muhammad Al A’syam itu munkar haditsnya, tidak ada yang meriwayatkan dari Falih kecuali dirinya. Dan tidak shahih dari Az Zuhri.” (Ibid)

Sehingga lemahnya hadits ini tidak cukup baginya untuk dijadikan acuan utama. Jadi, wajar jika umumnya ulama membolehkannya untuk beruwdhu, baik hangat karena matahari atau direbus baik dengan api unggun atau listri.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

ولا أكره الماء المشمس إلا أن يكره من جهة الطب

Aku tidak memakruhkan air musyammas (air hangat karena terik matahari), melainkan makruhnya itu dari sisi kedokteran saja. (Ma’rifatus Sunan,23/507)

Imam Ali Al Qari Rahimahullah menjelaskan:

واعلم أن استعمال الماء المشمس مكروه على الأصح من مذهب الشافعي والمختار عند متأخري أصحابه عدم كراهيته وهو مذهب الأئمة الثلاثة والماء المسخن غير مكروه بالإتفاق

Ketahuilah, bahwa menggunakan air musyammas itu makruh menurut yang shahih dari madzhab Syafi’i, namun yang dipilih oleh Syafi’iyah generasi belakangan adalah tidak makruh, dan itulah pendapat para imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad). Ada pun air rebusan TIDAKLAH MAKRUH menurut kesepakatan ulama. (Mirqah Al Mafatih, 2/422)

Sedangkan bertayamum karena air sangat dingin, dan dengan itu dia khawatir atas kesehatan dirinya, juga tidak apa-apa. Syaikh Abu Bakar Al Jazairi Rahimahullah mengatakan:

Jika air sangat dingin dan tidak api yang bisa memanaskannya, dan dia yakin bisa sakit jika menggunakan air dingin tersebut, maka dia bisa bertayamum dan shalat dengannya, itu tidak apa-apa. Sebab Abu Daud meriwayatkan dengan sanadyang jayyid, bahwa Nabi ﷺ menyetujui Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu melakukan itu. ( Minhajul Muslim, Hal. 141, Cat kaki No. 4. Maktabah Al ‘Ulum wa Hikam. Madinah)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top