Amal-Amal yang Setara Dengan Ribath (Berjaga-jaga dalam Jihad)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِعَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ»

Maukah kalian aku tunjukkan kepada perbuatan yang dapat menghapuskan kesalahan dan dapat mengangkat derajat?

Mereka menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda: “Bersungguhlah wudhu pada saat Al Makaarih – yang tidak disukai, banyak melangkah menuju masjid, dan menunggu waktu shalat dari waktu shalat sebelumnya, itulah Ar Ribath (berjaga-jaga fisabilillah).”

📚 HR. Muslim No. 41, 251

Syaikh Fuad Abdul Baqi Rahimahullah berkata:

(إسباغ الوضوء على المكاره) المكاره جمع مكره وهو ما يكرهه الإنسان ويشق عليه والكره بالضم والفتح المشقة والمعنى أن يتوضأ مع البرد الشديد والعلل التي يتأذى معها بمس الماء

(Bersungguhlah wudhu dalam keadaan Al Makaarih-tidak disukai) Al Makaarih adalah jamak dari makrah, yaitu kondisi yang dibenci oleh manusia dan membuat mereka sulit. Maknanya berwudhu dalam keadaan sangat dingin dan rasa sakit jika dia menyentuh air.

📖 Ta’liq Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi

🍃🌸🌻🌳☘🌷🌿🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Paha Laki-Laki Merupakan Aurat?

💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum. Wr.Wb. Apakah paha laki-laki termasuk aurat? (dari 081345228xxx – Pemangkat)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikum Salam Wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah …

Para ulama berbeda pendapat, apakah paha laki-laki termasuk aurat. Namun, pandangan jumhur (mayoritas ulama) paha bagi laki-laki adalah aurat. Batasan aurat bagi laki-laki adalah dari pusar ke lutut (dengkul). Ini juga pendapat yang menunjukkan kehati-hatian.

Kami akan ringkas dari kitab Fiqhus Sunnah, Jilid 1, hal. 106-107. Karya Syaikh Sayyid Sabiq[1] Rahimahullah. Cet. Ke 4. 1983M/1403H. Darul Fikri, Beirut – Libanon.

1. Kelompok yang menyatakan bukan aurat, mereka punya beberapa dalil, kami ambil satu saja, yakni:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

“Pada waktu perang Khaibar, Nabi menyingsingkan pakaiannya dari pahanya sehingga aku melihat pahanya yang putih.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah,[2] “Maka, benarlah bahwa paha bukanlah aurat (bagi laki-laki), jika memang aurat kenapa Allah ‘Azza wa Jalla menyingkap paha Rasulullah yang suci, padahal beliau adalah manusia paling suci dan ma’shum (terjaga dari kesalahan) di antara manusia, baik pada masa kenabian dan kerasulan. (kalaulah aurat), tidak mungkin ia memperlihatkan aurat kepada Anas bin Malik dan lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjaganya dari tersingkapnya aurat, baik ketika kanak-kanak dan sebelum masa kenabian …dst.”

2. Kelompok yang menyatakan bahwa paha laki-laki adalah aurat, mereka punya beberapa dalil, kami ambil satu saja, yakni:

Dari Jarhad Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat, saat itu pakaianku terbuka bagian pahaku. Beliau bersabda: “Tutupilah pahamu, sebab sesungguhnya paha adalah aurat.” (HR. Ahmad, Malik, Abu Daud, At Tirmidzi, ia mengatakan haditsnya hasan, sementara Imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya sebagai hadits mu’allaq)

Imam Bukhari[3] berkata, “Hadits dari Anas (kelompok 1) lebih kuat (sanadnya), sedangkan hadits dari Jarhad (kelompok 2) lebih menunjukkan sikap hati-hati.” Demikian kami ringkas dari Fiqhus Sunnah Jilid 1.

Perlu diketahui, dalam memahami hadits yang nampak bertentangan, sebagaimana hadits 1 dan 2 di atas, maka para ulama memiliki kaidah, yakni Al Qaul muqaddamun ‘alal Fi’l (Ucapan Nabi harus diunggulkan dibanding perbuatannya). Kita lihat, hadits 2 merupakan Qaul (ucapan Nabi bahkan perintah) sedangkan hadits 1 merupakan perbuatannya, bahkan bisa jadi perbuatan itu (menyingkap paha) terjadi tidak sengaja, sebab itu terjadi ketika perang.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah[4] berkata:

أجمع المسلمون على أن السوأتين عورة من الرجل والمرأة، وأن المرأة كلها عورة، إلا وجهها ويديها فإنهم اختلفوا فيهما. وقال أكثر العلماء في الرجل: من سرته إلى ركبته عورة، لا يجوز أن ترى

“Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) bahwa kemaluan adalah aurat wajib di tutup baik laki-laki dan wanita, dan wanita seluruh tubuhnya aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, mereka berselisih tentang wajah dan kedua telapak tangan itu. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa aurat laki-laki adalah dari pusar ke lutut, dan tidak boleh terlihat.” [5]

Maka, pandangan jumhur ulama bahwa paha adalah aurat, nampak lebih kuat dan lebih tenteram di hati. Maka, hendaklah kaum laki-laki yang masih ada semangat beragama memperhatikan masalah ini, agar ia tetap menutup pahanya. Paling tidak hingga selutut (dengkul).

Wallahu A’lam

🌻🌴🌹🌺🍃☘🌿🌸🌷

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah adalah tokoh ulama Mesir dan da’i masa kini, karya monumentalnya Fiqhus Sunnah, adalah termasuk karya paling laris di abad ini, semua orang Islam yang perhatian terhadap dunia ilmu pasti mengetahui kitab ini. Beliau adalah murid dari Imam Asy Syahid Hasan al Banna (w. 1949M) dan sekaligus salah seorang ‘alim pada organisasi Al Ikhwan Al Muslimun. Lantaran kitabnya ini, beliau mendapatkan perhargaan –bersama Dr. Yusuf al Qaradhawi hafizhahullah, dari Kerajaan Saudi Arabia, yakni King Faishal Award. Beliau wafat pada awal abad 21.

[2] Dia adalah Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Al Andalusi Azh Zhahiri, lebih dikenal dengan Ibnu Hazm. Dia adalah seorang ulama brilian dan tegas, baik dalam masalah fiqih, hadits, sejarah, dan dia bermadzhab Zhahiri (tekstualis). Beliau lahir akhir Ramadhan 384 H (7 November 994M) dan dibesarkan di kota Qurthubah (Kordoba) di Andalusia (Spanyol), tepatnya di istana kementrian ayahnya. Karangannya mencapai 80.000 lembar, dan kitab Al Muhalla adalah kitabnya yang paling monumental dan mendapat pujian dari para ulama seperti Imam Izzuddin bin Abdissalam dan Imam Adz Dzahabi. Dia piawai berdebat, hujahnya kuat, dan seringkali keras. Oleh karena itu, selain mendapatkan banyak pujian, ia juga menuai kritikan karena gayanya itu. Wafat 28 Sya’ban 456H (15 Juli 1064M)

[3] Beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah, lahir di Khurasan di daerah yang bernama Bukhara, pada saat setelah shalat Jumat 13 Syawal 194H. Itulah sebabnya setelah ia menjadi ulama, ia dikenal dengan sebutan Imam Al Bukhari, panggilan sehari-harinya adalah Abu Abdillah. Ia bermadzhab Syafi’i. Sesuai pengakuannya dia berguru kepada 1080 orang, Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang gurunya. Ia seorang yang sangat cerdas, brilian, kuat hafalannya, ahli ibadah, zuhud, banyak shalat malam, dan itu sudah terlihat masa kecilnya. Usia sebelas tahun dia sudah mampu mengkritik para pengajar hadits di Kuttab (tempat belajar). Karya monumentalnya adalah Jami’ush Shahih (biasa disebut Shahih Bukhari), dan menjadi kitab paling shahih setelah Al Quran, menurut jumhur ulama. Banyak pujian baginya baik dari ulama sezaman atau setelahnya. Wafat 256H, dan belum menikah karena waktunya dihabiskan untuk ilmu dan agama.

[4] Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al Anshari Al Khazraji, dikenal dengan Imam Al Qurthubi karena lahir di kota Qurthubah, pada 600H (1204M) . Dia adalah seorang ulama besar zamannya, karena ilmu dia meninggalkan kehidupan duniawinya. Karyanya sekitar tiga puluhan, yang paling terkenal adalah kitab Tafsir Al Kabir Al Jami’u Li Ahkamil Quran Al Karim. Dia bermadzhab Maliki. Wafat 671H (1273M).

[5] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, Juz. 12, Hal. 237, Dar Ihya’ at Turats, Beirut Libanon. 1985M/1405H.

 

Cara dan Sebab Tayammum

📌📌📌📌📌📌

(Diterjemahkan dan takhrij oleh Farid Nu’man Hasan dari kitab Minhajul Muslim, Hal. 141-143, karya Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi. Cet. 4. 1433H-2012M. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah)

Pada pembahasan ini ada empat materi.

I. Disyariatkannya tayamum dan kepada siapa disyariatkannya

A. Disyariatkannya Tayamum

Tayamum disyariatkan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah yang mulia.

Allah ﷻ berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلاَّ عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An Nisa: 43)

Dan sabda Nabi ﷺ :

الصعيد الطيب وضوء المسلم وإن لم يجد الماء عشر سنين

Tanah yang bersih adalah wudhu bagi seorang muslim, jika dia tidak mendapatkan air walaupun dua puluh tahun lamanya. 1] 2]

B. Kepada siapa tayamum disyariatkan?

Tayamum disyariatkan kepada orang yang tidak mendapatkan air setelah dia mencari-carinya dengan pencarian yang begitu sulit, atau dia mendapatkan air namun dia tidak bisa menggunakannya karena sakit, atau dikhawatiri jika memakainya penyakitnya semakin parah, 3] atau semakin lama sembuhnya, atau dia tidak mampu bergerak dan tidak ada orang lain yang membantunya memberikan air.

Ada pun orang yang menemukan air yang sedikit, dan tidak cukup untuk berwudhu, maka dia bisa menggunakan wudhu di sebagian organ wudhunya lalu dia bertayamum pada organ tubuh wudhu yang lain. Sebab, Allah ﷻ berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwa-lah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At Taghabun: 16)

II. Hal-hal yang wajib dan sunah dalam tayamum

A. Hal-hal yang wajib

Dalam tayamum ada hal-hal yang wajib, yaitu:

1. Niat, sebagaimana hadits:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat dan setiap manusia akan mendapatkan balasan sesuai apa yang diniatkannya.” 4]

Seorang muslim hendaknya berniat saat tayamum, dan dengan tayamumnya itu apa-apa yang tadinya terlarang seperti shalat dan lainnya, menjadi boleh.

2. Dengan tanah yang suci, sebab Allah ﷻ berfirman:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً

“Maka bertayamumlah kalian dgn tanah yang suci.” (QS. An Nisa: 43)

3. Tepukan yang pertama, yaitu meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah.

4. Mengusap wajah dan kedua telapak tangan, sebab Allah ﷻ berfirman:

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

Maka Sapulah mukamu dan tanganmu. (QS. An Nisa: 43)

B. Hal-hal yang sunnah

1. Mengucapkan Basmalah, sebab itu disyariatkan pada semua amal perbuatan.

2. Menepuk tanah dua kali, yang pertama adalah wajib dan itu sudah cukup, dan yang kedua dalah sunah.

3. Mengusap bagian dua lengan saat mengusap kedua telapak tangan, sebab jika hanya mengusap telapak tangan itu sudah cukup, dan mengusap kedua lengan adalah upaya kehati-hatian. Hal ini karena terjadi perselisihan pendapat tentang makna tangan pada ayat tayamum. Apakah maknanya kedua telapak tangan saja atau bersamaan dengan dua lengan sampai siku?

III. Hal-Hal yang membatalkan Tayamum dan Boleh dilakukan

A. Hal yang membatalkan

Yang membatalkan itu ada dua:

1. Apa pun yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum, sebab tayamum adalah pengganti wudhu

2. Adanya air bagi orang yang tadinya tidak mendapatkann

ya sebelum mengerjakan shalat, atau adanya air saat berlangsung shalat, ada pun jika airnya baru di dapatkan setelah shalat maka shalatnya tetap sah dan tidak usah diulang, sebab Nabi ﷺ bersabda:

لا تصلوا صلاة فى يوم مرتين

Janganlah kalian shalat (yang sama) dua kali dalam sehari. 5]

B. Hal-hal yang bisa dilakukan

Dengan tayamum maka apa-apa yang sebelumnya terlarang menjadi boleh seperti shalat, thawaf, menyentuh Al Quran, membacanya, dan memasuki masjid.

IV. Bagaimana Cara Bertayamum

Membaca Bismillah dengan niat membolehkan perbuatan yang sebelumnya tidak boleh, kemudian meletakkan tangan di atas permukaan tanah, atau pasir, atau batu, atau tanah berair, atau lain-lainnya. Tidak salah baginya meniup debu dari kedua telapak tangannya dengan tiupan yang ringan, kemudian mengusapkannya kepada wajah degan sekali usapan, kemudian jika dia mau dia letakkan kedua telapak tangannya lagi ke atas tanah kedua kalinya, kemudian mengusap kedua telapak tangannya sampai lengan dan ke siku, dan jika hanya sampai telapak tangan itu sudah cukup.

Catatan:

Pertanyaan: “Apakah boleh mengerjakan beberapa shalat dengan sekali tayamum jika tayamumnya belum batal?”

Jawaban: “Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam ijtihad mereka, sebab tidak ada nash yang pasti yang dapat mengunggulkan salah satu dari dua pendapat, dan membatalkan pendapat satunya. Sebagai kehati-hatian sebaiknya dia tayamum untuk sekali shalat.”

Selesai.

🌷🌺🌻🌾🍃🌸☘🌴

✍ Farid Nu’man Hasan


🌴🌴🌴🌴🌴🌴

Catatan kaki:

[1] HR. An Nasa’i No. 322, At Tirmidzi No. 124, katanya: hasan shahih, Abu Daud No. 332, Ibnu Hibban No. 1313, Ahmad No. 21371, 21568. Lafaz ini adalah milik An Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dll

[2] Barang siapa yang tidak mendapatkan air tau sesuatu buat tayamum, maka dia shalat tanpa wudhu dan tanpa tayamum dan tanpa mengulanginya, karena Rasulullah ﷺ pernah shalat tanpa wudhu sebelum tayamum disyariatkan, dan mereka tidak mengulangi shalat mereka saat ayat perintah tayamum sudah turun.

[3] Jika air sangat dingin dan tidak api yang bisa memanaskannya, dan dia yakin bisa sakit jika menggunakan air dingin tersebut, maka dia bisa bertayamum dan shalat dengannya, itu tidak apa-apa. Sebab Abu Daud meriwayatkan dengan sanadyang jayyid, bahwa Nabi ﷺ menyetujui Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu melakukan itu.

[4] HR. Al Bukhari No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553, Muslim No. 1907

[5] HR. Abu Daud No. 579, An Nasa’i No. 860, Ahmad No. 4689, Ad Dailami No. 7336, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3467, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8/385. Dishahihkan Ibnu Sakkan. (Talkhish Al Habir, No. 213)

 

Hukum Panggilan “Ummi”, “bunda”, “dik” dan Semisalnya Kepada Istri

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian ulama memakruhkan seorang suami memanggil istrinya seperti itu, sebab dianggap sebagai zhihar atau penggilan yang membuat terjadinya mahram.

Ada pun di banyak negeri panggilan tersebut sudah biasa sebagai panggilan keakraban, kasih sayang, dan pemuliaan.

Pihak yang memakruhkan berdalil dengan hadits:

عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِيِّ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: يَا أُخَيَّةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أُخْتُكَ هِيَ؟»، فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ

Dari Abu Tamimah Al Hujaimiy, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Wahai saudariku.” Maka, Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah dia saudarimu?” Rasulullah ﷺ membenci itu dan melarangnya.

(HR. Abu Daud No. 2210, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15146)

Para ulama menilai lemah hadits ini karena mursal. Imam Al Mundziri berkata: “Hadits ini mursal.” (Mukhtashar, 3/136). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Mursal. (Fathul Bari, 9/387). Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan: “Mursal, dan Abu Daud meriwayatkan apa yang ada di dalamnya terdapat keguncangan (idhthirab).” (Jaami’ Al Ushuul, No. 5819, cat kaki No. 1). Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr juga mengatakan:”Mursal.” (Syarh Sunan Abi Daud, 253) Syaikh Al Albani mengatakan: “Dhaif.” (Dhaif Abi Daud, 2/240-241)

Pemakruhan tersebut menjadi teranulir karena lemahnya hadits ini. Tetapi, anggaplah hadits ini shahih, apakah maksud pemakruhannya?

Para ulama menjelaskan makruhnya hal itu jika dimaksudkan sebagai zhihar, sebagaimana ucapan “kamu seperti ibuku”, tapi jika tidak demikian, melainkan hanya untuk panggilan pemuliaan dan penghormatan (ikram), atau menunjukkan persaudaraan seaqidah dan seiman, maka itu tidak apa-apa.

Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, dalam “Bab Seorang Laki-Laki Berkata Kepada Istrinya: Wahai Saudariku, maka Ini Tidak Apa-apa.”

Beliau meriwayatkan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِامْرَأَتِهِ: هَذِهِ أُخْتِي، وَذَلِكَ فِي اللَّه

Berkata Ibrahim kepada istrinya: “Ini adalah saudariku,” dan itu fillah (saudara karena Allah). (HR. Al Bukhari, 7/45, 9/22)

Riwayat ini tentu lebih shahih dibanding riwayat Imam Abu Daud sebelumnya.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

إنما أراد البخارى بهذا التبويب ، والله أعلم ، رد قول من نهى عن أن يقول الرجل لامرأته : يا أختى

“Sesungguhnya penjudulan bab oleh Imam Al Bukhari seperti ini –wallahu a’lam- sebagai bantahan buat mereka yang melarang seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan: “Wahai Saudariku.”(Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409)

Beliau berkata lagi:

ومعنى كراهة ذلك، والله أعلم، خوف ما يدخل على من قال لامرأته: يا أختى، أو أنت أختى، أنه بمنزلة من قال: أنت علىَّ كظهر أمى أو كظهر أختى فى التحريم إذا قصد إلى ذلك، فأرشده النبى (صلى الله عليه وسلم) إلى اجتناب الألفاظ المشكلة التى يتطرق بها إلى تحريم المحلات، وليس يعارض هذا بقول إبراهيم فى زوجته: هذه أختى؛ لأنه إنما أرادa بها أخته فى الدين والإيمان، فمن قال لامرأته: يا أختى، وهو ينوى ما نواه إبراهيم من أخوة الدين، فلا يضره شيئًا عند جماعة العلماء

Makna dari ketidaksukaan nabi atas hal itu –Wallahu a’lam- karena dikhawatirkan orang yang berkata kepada istrinya: “Ya Ukhtiy -Wahai Saudariku”, atau “ kamu adalah saudariku”, sama kedudukannya dengan orang yang mengatakan: “Bagiku kau seperti punggung ibuku”, atau “seperti punggung saudariku”, maka ini jatuhnya menjadi mahram jika memang dia maksudkan seperti itu. Maka, Nabi ﷺ membimbingnya untuk menjauhi kata-kata yang kontroversi yang dapat membawa pada makna mahram.

Hadits ini (Abu Daud) tidak bertentangan dengan ucapan Nabi Ibrahim kepada istrinya: “Kau adalah saudariku.” Sebab maksud kalimat itu adalah sebagai saudara seagama dan seiman. Maka, barang siapa yang berkata kepada istrinya: “Wahai Saudariku” dan dia berniat sebagaimana Ibrahim, yaitu saudara seagama, maka ini sama sekali tidak apa-apa menurut jamaah para ulama. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409-410)

Imam Al Khathabi Rahimahullah menjelaskan bahwa dibencinya memanggil

“wahai saudariku” kepada istri jika maksudnya sebagai zhihar, seperti ucapan kamu seperti ibuku, atau seperti wanita lain yang mahram bagi suami, … lalu Beliau berkata:

وعامة أهل العلم أو أكثرهم متفقون على هذا إلاّ أن ينوي بهذا الكلام الكرامة فلا يلزمه الظهار، وإنما اختلفوا فيه إذا لم يكن له نية، فقال كثير منهم لا يلزمه شيء

Umumnya ulama atau kebanyakan mereka sepakat atas larangan itu, KECUALI jika kalimat itu diniatkan untuk karamah (pemuliaan-penghormatan) maka tidaklah itu berkonsekuensi seperti zhihar. Hanya saja para ulama berbeda pendapat jika pengucapan itu tidak ada niat pemuliaan, banyak di antara mereka mengatakan bahwa itu juga tidak ada konsekuensi apa-apa.”

(Imam Al Khathabi, Ma’alim As Sunan, 3/249-250)

Nah, dari penjelasan para ulama ini, jelas bagi kami bahwa pemakruhan memanggil istri dengan “bunda”, “ummi”, atau semisalnya, jika memang itu dimaksudkan sebagaimana zhihar. Ada pun jika panggilan tersebut sebagai bentuk penghormatan suami kepada istrinya, atau pendidikan bagi anak-anaknya, maka tidak apa-apa.

Hal ini sesuai kaidah fiqih:

الأمور بمقاصدها

Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya.

(Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1, 1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hal. 11)

Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengoreksi para ulama yang memakruhkan, menurutnya pemakruhan itu tidak tepat.

Beliau berkata:

فإذا قال: أنت علي كأمي، أي: في المودة والاحترام والتبجيل فليس ظهاراً؛ لأنه ما حرمها، وإذا قال: أنت أمي، فحسب نيته، فإذا أراد التحريم فهو ظهار، وإذا أراد الكرامة فليس بظهار؛ فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء ـ رحمهم الله ـ أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة

Jika ada yang bekata: “Kau bagiku seperti ibuku” yaitu dalam hal kasih sayang, penghormatan, dan pujian, maka ini bukan zhihar, karena itu tidak diharamkan. Jika ada yang berkata: “Engkau adalah ibuku,” maka dihitung niatnya apa, jika maksudnya adalah sebagai mahram maka ini zhihar, tapi jika maksudnya pemuliaan maka ini bukan zhihar.

Jika dia berkata: “Wahai Ummi, mari sini makan.” Maka ini bukan zhihar, tetapi sebagian ahli fiqih –rahimahumullah- ada yang memkruhkan suami memanggil istrinya dengan panggilan mahramnya, maka janganlah berkata: “Wahai Ukhtiy, Wahai Ummi, wahai bintiy/anakku,” dan yang semisal itu. Pendapat mereka tidak benar, sebab maknanya seperti telah diketahui maksudnya adalah pemuliaan, maka ini sama sekali tidak masalah. Bahkan, kalimat-kalimat ini dapat melahirkan kasih sayang, cinta, dan kedekatan.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syarh Al Mumti’, 13/236)

Sekian. Wallahu A’lam

🌾🌿🌷🌻🍃🌸🌳☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top