Mengambil Upah Dari Meruqyah, Mengajar Al Quran, dan Semisalnya, Bolehkah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Abu Sa’id Al Khudriy Radhiallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah dari (mengajar) Kitabullah. (Hr. Muttafaq ‘Alaih)

Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim memasukkan hadits ini dalam Bab:

باب جواز أخذ الأجرة على الرقية بالقرآن والأذكار

“Bab Bolehnya Mengambil Upah dari Meruqyah dengan Al Quran dan Dzikir”

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

هذا تصريح بجواز أخذ الأجرة على الرقية ، بالفاتحة ، والذِّكر , وأنها حلال لا كراهة فيها , وكذا الأجرة على تعليم القرآن , وهذا مذهب الشافعي ، ومالك ، وأحمد ، وإسحاق ، وأبي ثور ، وآخرين من السلف , ومَن بعدهم

“Ini merupakan penjelasan atas kebolehan mengambil upah dari meruqyah dengan Al Fatihah, dzikir, hal itu halal tidak makruh, begitu pula mengambil upah dari mengajarkan Al Quran, inilah madzhab Syafi’iy, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan kalangan salaf lainnya setelah mereka.”

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/188)

Sementara para ulama di Al Lajnah Ad Daimah, Kerajaan Arab Saudi:

“يجوز لك أن تأخذ أجراً على تعليم القرآن ؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم زوَّج رجلا امرأة بتعليمه إياها ما معه من القرآن ، وكان ذلك صداقها ، وأخذ الصحابي أجرة على شفاء مريض كافر بسبب رقيته إياه بفاتحة الكتاب ، وقال في ذلك النبي صلى الله عليه وسلم : ( إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله ) أخرجه البخاري ومسلم ، وإنما المحظور : أخذ الأجرة على نفس تلاوة القرآن ، وسؤال الناس بقراءته” انتهى

Boleh bagimu mengambil upah dari mengajarkan Al Quran. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahkan seorang laki-laki dengan seorang wanita, laki-laki itu mengajarkan wanita tsb Al Quran yang dia hapal, dan itu sebagai maharnya. Para sahabat juga mengambil upah dari mengobati penyakit orang kafir dengan cara meruqyahnya dengan Al Fatihah. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah dari (mengajar) Kitabullah. (Hr. Bukhari dan Muslim).

Sesungguhnya yang terlarang itu hanyalah memgambil upah dari semata-mata membaca Al Quran, dan meminta-minta kepada manusia dengan membacanya. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 15/96)

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Yakin Nih .. Netral-Netral Aja?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Banyak kita jumpai muslim yang sok bijak dengan mengambil sikap katanya “netral” .., tanpa sadar mencari muka dihadapan manusia tapi buang muka dari ridha Allah Ta’ala …

Penistaan terhadap Islam melalui film FITNA (2007), karikatur menggambarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di Denmark (2006), di Perancis (Charli Hebdo-2015), termasuk penistaan Al Quran oleh Ahok, atau kasus-kasus lang lainnya .. semuanya disikapi netral, baik karena khawatir dibilang fanatik, khawatir SARA, dan “gak enak ama tetangga sebelah” … dan alasan-alasan yang dibangun oleh persepsi dan ilusi, bukan iman dan argumentasi ..

📌 Ketahuilah, netral dalam situasi seperti ini adalah syetan bisu namanya ..

Abu Ali Ad Daqaq Rahimahullah mengatakan:

ُ مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

Siapa yang diam saja tidak mengambil sikap bersama Al Haq, maka dia adalah syetan bisu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20)

📌 Ketahuilah, Abu Thalib wafat tetap dalam keadaan kafir lantaran tidak enakan terhadap kaumnya, dia pun memilih netral ..

📌 Ketahuilah, pertarungan Al Haq dan Al Bathil itu abadi selamanya, emang mau seumur hidup jadi Muslim abu-abu ..?

📌 Ketahuilah, di akhirat nanti tidak ada netral, adanya golongan kanan dan golongan kiri .. perjelas posisimu!

📌 Ketahuilah, di akhirat nanti hanya ada golongan manusia, ahlisurga dan ahli neraka, bahkan ashhabul a’raf pun akhirnya masuk surga .. perjelas sikapmu! Rencanakan tempatmu!

📌 Ketahuilah, netral itu bukan kemajuan sikap, tapi jumud, kaku, statis, dan jalan di tempat, .. lihat tuh motor, kalo netral .. gak bisa jalan kan?

📌Ketahuilah, hidup di dunia hanya sekali dan mati juga sekali, maka matilah dalam keadaan muslim yang dibanggakan orang-orang beriman dan Rabbmu, matilah di atas jalan yang pernah dititi para pejuang mu’min dan pendahulu yang shalih ..

Perhatikan firman Rabbmu ..

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An Nisa: 115)

Wallahu A’lam

🌷☘🌴🍃🌸🌾🌻🌺

✍ Farid Nu’ma Hasan

Syaikh Abdullah bin Hasan Al Qu’ud Rahimahullah: Menasihati Pemimpin Secara Terang-Terangan dan Tersembunyi Adalah Diperintahkan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

سئل العلامة عبد الله بن قعود رحمه الله : ما هو منهج أهل السنة في نصح الحاكم ؟ هل هو الإعلان بإنكار المنكر أو الإسرار به ؟
فأجاب رحمه الله :
على كل حال أنا أرى أن الأمر فيه تفصيل :
أولاً المناصحة من حيث المبدأ جزء من الاعتقاد ، أخذت البيعة بها (وأن تناصحوا من ولاَّه الله أمركم) ، المناصحة جزء من عقيدة المسلم ، أخذت البيعة بها بأن يناصح من ولاه الله أمره ولا سيما إن كان ذا وجاهة أو ذا علم أو ذا مكانة ، هذا من حيث المبدأ .
بقي أسلوب المناصحة ، أسلوب المناصحة : أنا أرى أن الأمر يـختلف باختلاف الأحوال ، يـختلف باختلاف وضع الحاكم وتسلطه ، ويـختلف باختلاف قوة الناصح ومكانته ومواجهته وتـحصنه من الحاكم ، ويختلف باختلاف الأمر الذي سينصح به ، فأنا أرى إن كان هذا الأمر الذي سيُنصح به أمر ظاهر ومعلَن وواضح ، فالمنكر المعلن الواضح الظاهر أرى أنه لا حرج في أن يناصَح الحاكم من مواجهة أو من عمود صحيفة أو من منبر أو بأي أسلوب من الأساليب إذا كان المنكر واضح وواقع في الناس وعلني ، فالقاعدة السليمة أن ما ينكر إذا كان علناً عولج ونُصِح به علناً . أما إذا كان المنكر لم يظهر ، ولم يُعلَم للناس ولا يزال في مثل هذه الأمور ، خفي ، فهنا لا ، المفروض أن تكون المناصحة به سراً .
فأنا لست مع من يقول انصحوا سراً أو فرادى ، ولا مع من يقول لا ، نفسه انصحوا علناً ، وجماعة ، فالكل مطلوب لكن باختلاف الأحوال

المرجع : شريط ( وصايا للدعاة – الجزء الثاني) للشيخ عبد الله بن حسن القعود

Syaikh Al ‘Allamah Abdullah Al Qu’ud Rahimahullah ditanya:

“Bagaimanakah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menasihati pemimpin?” Apakah mengingkari mereka dengan cara terang-terangan atau tertutup?”

Beliau – Rahimahullah- menjawab:

Bagaimana pun juga masalah ini menurutku perlu diperinci.

Pertama. Memberikan nasihat di sisi konsepsi merupakan bagian dari aqidah. Di antara isi dari bai’at adalah (Memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan kepadanya urusan kalian). Maka, nasihat adalah salah satu bagian dari aqidah muslim. Di mana bai’at pun juga terikat dengannya, yaitu memberikan nasihat kepada orang yang Allah berikan kuasa untuk mengurus urusan kalian. Apalagi bagi mereka yang memiliki kedudukan, ilmu, dan posisi. Ini dari sisi konsep dasarnya.

Ada pun dari sisi metode menasihati, menurutku ada perbedaan metode tergantung perbedaan situasi, baik perbedaan keadaan pemimpin dan jenis kekuasaannya, perbedaan kekuatan si pemberi nasihat dan kedudukannya, posisinya, dan daya tahannya terhadap pemimpin, juga tergantung perbedaan permasalahan yang membuatnya mesti memberikan nasihat kepadanya.

Aku berpendapat, jika permasalahannya adalah masalah yang memang nampak, terang, dan jelas, lalu dilakukan pengingkaran secera terang-terangan dan jelas pula, maka hal itu menurutku tidak apa-apa menasihati pemimpin baik secara langsung berhadapan, atau di media massa, atau di atas mimbar, atau cara apa pun, jika memang kemungkarannya jelas terjadi di tengah-tengah manusia dan terangan-terangan.

Maka, kaidah yang benar adalah kemungkaran yang terang-terangan maka nasihati dan berikan solusi secara terang-terangan. Ada pun kemungkaran yang tersembunyi dan tidak beredar di tengah-tengah manusia, dan tetap tersembunyi, maka wajib menasihatinya secara diam-diam.

Aku bukanlah orang yang bersama pihak yang mengatakan nasihat hanya diam-diam saja atau sendiri-sendiri, dan tidak pula bersama yang mengatakan “tidak”, yang hanya memberikan jalan keluar dengan nasihat secara terbuka dan beramai-ramai. Tetapi, semua ini cara yang diperintahkan, sesuai kondisinya masing-masing yang berbeda.

📚 Kaset: Washaya Lid Du’ah (Juz 2)

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdoa Setelah Shalat Wajib, Mestikah Diingkari?

🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian orang mengingkari adanya doa setelah shalat wajib. Mereka mengingkari saudara-saudaranya yang berdoa, dengan alasan tidak ada sunahnya berdoa setelah shalat, yang ada hanyalah berdzikir saja. Benarkah sikap seperti ini?

📌 Mayoritas Ulama Mengatakan Berdoa setelah Shalat Wajib itu SUNNAH

Imam Al Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, – jauh sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa TIDAK ADA BERDOA SETELAH SHALAT- , telah menulis BAB AD DU’A BA’DA ASH SHALAH (Bab Tentang Doa Setelah Shalat).

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata tentang itu:

قوله: “باب الدعاء بعد الصلاة” أي المكتوبة، وفي هذه الترجمة رد على من زعم أن الدعاء بعد الصلاة لا يشرع

“Ucapannya (Al Bukhari), “Bab Tentang Doa Setelah Shalat” yaitu shalat wajib. Pada bab ini, merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa berdoa setelah shalat tidak disyariatkan.” (Bantahan lengkap beliau terhadap Imam Ibnul Qayyim, lihat di Fathul Bari, 11/133-135. Darul Fikr)

📌 Imam Ja’far Ash Shadiq Radhiallahu ‘Anhu -salah satu guru Imam Abu Hanifah- berkata:

الدعاء بعد المكتوبة أفضل من الدعاء بعد النافلة كفضل المكتوبة على النافلة

“Berdoa setelah shalat wajib lebih utama dibanding berdoa setelah shalat nafilah, sebagaimana kelebihan shalat wajib atas shalat nafilah.” (Fathul Bari, 11/134. Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197. Darus Salafiyah. Lihat juga Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 10/94. Maktabah Ar Rusyd)

📌 Sementara Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah juga mengatakan:

لا ريب في ثبوت الدعاء بعد الانصراف من الصلاة المكتوبة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً، وقد ذكره الحافظ بن القيم أيضاً في زاد المعاد حيث قال في فصل: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول بعد انصرافه من الصلاة ما لفظه: وقد ذكر أبو حاتم في صحيحه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول عند إنصرافه من صلاته اللهم أصلح لي ديني الذي جعلته عصمة أمري ، واصلح لي دنياي التي جعلت فيها معاشي…

“Tidak ragu lagi, kepastian adanya berdoa setelah selesai shalat wajib dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik secara ucapan atau perbuatan. Al Hafizh Ibnul Qayyim telah menyebutkan juga dalam Zaadul Ma’ad ketika dia berkata dalam pasal: Apa-apa Saja yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ucapkan Setelah selesai shalat. Demikian bunyinya: Abu Hatim telah menyebutkan dalam Shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata setelah selesai shalatnya: “Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang telah menjaga urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya …” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)

📌 Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Rahimahullah :

“في دبر كل صلاة” : أي عقبها وخلفها أو في آخرها

“Pada dubur kulli ash shalah, yaitu setelah dan belakangnya, atau pada akhirnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/269. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📌 Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah juga juga mengatakan:

واستحباب المواظبة على الدعاء المذكور عقيب كل صلاةٍ

“Dan disunahkan menekuni doa dengan doa tersebut pada setiap selesai shalat.” (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/433. Maktabah Ar Rusyd)

📌 Para ulama Kuwait, yang tergabung dalam Tim penyusun kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لِلإِْمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ عَقِبَ الصَّلاَةِ ذِكْرُ اللَّهِ وَالدُّعَاءُ بِالأَْدْعِيَةِ الْمَأْثُورَةِ

“Disunnahkan bagi imam dan makmum setelah selesai shalat untuk berdzikir kepada Allah dan berdoa dengan doa-doa ma’tsur.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/214. Wizaratul Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

“Pendapat MAYORITAS fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya doa.” (Ibid, 39/227).

📌 Di halaman yang sama, dikutip perkataan Imam Mujahid sebagai berikut:

إِنَّ الصَّلَوَاتِ جُعِلَتْ فِي خَيْرِ الأَْوْقَاتِ فَعَلَيْكُم ْ بِالدُّعَاءِ خَلْفَ الصَّلَوَاتِ

“Sesungguhnya pada shalat itu, dijadikan sebagai waktu paling baik bagi kalian untuk berdoa, (yakni) setelah shalat.” (Ibid)

Demikianlah perkataan para imam kaum muslimin dan dalil-dalil yang sangat jelas tentang doa setelah shalat wajib, yang mereka sampaikan.

Maka, sangat tidak dibenarkan sikap sinis dan menyalahkan saudara sesama muslim yang meyakini dan melakukan doa setelah shalat wajib. Seharusnya dalam masalah ini kita berlapang dada.

Wallahu A’lam

🌿🌾🌷🌻🍃☘🌳🌸


 

🌸🍃 Benarkah Tidak Ada Doa Setelah Shalat Wajib, dan yang ada hanya dzikir? 🍃🌸

💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak benar…, pernyataan itu bertentangan dengan sunnah yang shahih:

Pertama:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ

Dari Al Barra` katanya; “Jika kami shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami menyukai jika berada di sebelah kanan beliau, sehingga beliau menghadap kami dengan wajahnya.”

Al Barra` mengatakan; “Aku mendengar beliau mengucapkan doa “RABBI QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB’ATSU AW TAJMA’U IBADAADAKA (Ya Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu ketika Engkau bangkitkan atau ketika Engkau kumpulkan hamba-hamba-Mu).”

(HR. Muslim no. 709)

Kedua:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Dari Ummu Salamah berkata, “Ketika salam dalam shalat SUBUH, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan; “ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA ILMAN NAAFI’AN WA RIZQAN THAYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQABBALAN (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima). ”

(HR. Ibnu Majah no. 925, Ahmad no. 25506, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Hadits ini oleh Imam Ibnu Majah, dibuat bab berjudul Maa Yuqaal Ba’da Tasliim (Apa yang dibaca setelah salam).

Para ulama Arab Saudi pun membolehkan doa setelah shalat, hanya saja menurut mereka tidak sambil mengangkat tangan, dan hendaknya masing-masing.

Dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi:

أما الدعاء بدون ذلك فلا بأس به ، لورود بعض الأحاديث في ذلك

Ada pun berdoa (setelah shalat) tanpa hal itu (mengangkat tangan dan berjamaah), adalah tidak apa-apa, karena adanya sebagian hadits tentang itu.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 7/103)

Sedangkan masalah mengangkat tangannya dan berdoa berjamaah setelah shalat adalah perkara yang diperselisihkan ulama. Sebagian membid’ahkan contohnya para ulama di Al Lajnah Ad Daimah, sebagian membolehkan. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah membahas ini cukup panjang dalam kitab Tuhfah al Ahwdzi, baik pihak yang kontra dan pro. Beliau sendiri membolehkan asalkan tidak menjadi kebiasaan, berdasarkan sejumlah dalil atas hal itu.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🍁🌿🌻🌸🌳🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top