Amal Orang Hidup Yang Masih Bermanfaat Bagi Orang Wafat

💢💢💢💢💢💢💢

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

أما ما ينتفع به من أعمال البر الصادرة عن غيره فبيانها فيما يلي:

Ada pun amal kebaikan yang dilakukan orang lain yang bermanfaat bagi mayit adalah sebagai berikut:

1 – الدعاء والاستغفار له، وهذا مجمع عليه لقول الله تعالى: (والذين جاؤا من بعدهم يقولون: ربنا اغفر لنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا، ربنا إنك رؤوف رحيم) ، وتقدم قول الرسول صلى الله عليه وسلم: ” إذا صليتم على الميت فأخلصوا له الدعاء ” وحفظ من دعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” اللهم اغفر لحينا وميتنا ” ولا زال السلف والخلف يدعون للاموات ويسألون لهم الرحمة والغفران دون إنكار من أحد

1. Berdoa dan istighfar untuknya

Ini telah menjadi ijma’ (konsensus), berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan An¡ar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Dan sabda Rasulullah ﷺ:

“Jika kalian menyalatkan mayit maka khususkanlah doa baginya.”

Dan doa yang Rasulullah ﷺ senantiasa jaga: “Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan yang sudah wafat di antara kami.”

Kaum salaf dan khalaf terus menerus mendoakan orang yang sudah wafat, memohonkan rahmat dan ampunan, dan tidak ada satu pun manusia yang mengingkari.

2 – الصدقة: وقد حكى النووي الاجماع على أنها تقع عن الميت ويصله ثوابها سواء كانت من ولد أو غيره، لما رواه أحمد ومسلم وغيرهما عن أبي هريرة: أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أبي مات وترك مالا ولم يوص، فهل يكفر عنه أن أتصدق عنه؟ قال: ” نعم “.
وعن الحسن عن سعد بن عبادة أن امه ماتت.
فقال: يارسول الله: إن أمي ماتت، أفأتصدق عنها؟ قال: ” نعم “.
قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: ” سقي الماء ” قال الحسن: فتلك سقاية آل سعد بالمدينة.
رواه أحمد والنسائي وغيرهما.
ولا يشرع إخراجها عند المقابر، ويكره إخراجها مع الجنازة.

2. Sedekah

Imam An Nawawi Rahimahullah telah menceritakan adanya ijma’, bahwa sedekah itu boleh atas mayit, dan sampai pahalanya, baik dari anaknya atau orang lain.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya:

“Sesungguhnya ayah saya telah wafat, dia meninggalkan harta tapi tidak ada wasiat. Apakah dosa-dosanya bisa terhapus jika saya bersedekah hartanya itu atas namanya?”

Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya.”

Dari Al Hasan, dari Sa’ad bin ‘Ubadah, dia menceritakan ibunya telah wafat, katanya:

“Wahai Rasulullah, ibu saya telah wafat, apakah boleh saya bersedekah atas namanya?”

Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya.”

Aku (Sa’ ad) berkata: “Sedekah apa yang paling utama?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Menuangkan air.”

Al Hasan berkata: “Maka, keluarga Sa’ad menuangkan air untuk kota Madinah.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, dll)

Tidak disyariatkan sedekah di tempat pekuburan, dan dimakruhkan mengeluarkan sedekah saat mengurus jenazah. (karena itu merepotkan keluarganya, pen).

3 – الصوم: لما رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس قال: جاء رجل
إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها؟ قال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه عنها “؟ قال: نعم.
قال: ” فدين الله أحق أن يقضى “.

3. Berpuasa

Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas, dua berkata:

Datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ dia berkata:

“Wahai Rasulullah, ibu saya sudah wafat dan dia ada kewajiban puasa sebulan, apakah boleh saya qadha untuknya?”

Rasulullah ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang apakah wajib membayarnya?”

Laki-laki itu menjawab: “Ya.”

Lalu Rasulullah ﷺ menjawab: “Maka hutang kepada Allah lebih patut untuk ditunaikan.”

4 – الحج: لما رواه البخاري عن ابن عباس: أن امرأة من جهينة جاءت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت أفأحج عنها؟ قال: ” حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين، أكنت قاضيته؟ اقضوا فالله أحق بالقضاء “.

4. Haji

Berdasarkan hadits Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang ke Rasulullah ﷺ, dia berkata:

“Ibu saya bernadzar untuk melaksanakan haji, tapi dia belum sempat haji sampai akhirnya wafat, apakah boleh saya haji untuknya? Maka, tunaikanlah sebab hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”_

Nabi ﷺ menjawab: “Berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang, bukankah kamu akan membayarkannya?”

5 – الصلاة: لما رواه الدارقطني أن رجلا قال: يارسول الله، إنه كان لي أبوان أبرهما في حال حياتهما فكيف لي ببرهما بعد موتهما؟ فقال صلى الله عليه وسلم: ” إن من البر بعد الموت أن تصلي لهما مع صلاتك، وأن تصوم لهما مع صيامك “.

5. Shalat

Berdasarkan riwayat Ad Daruquthni, bahwa ada seorang laki-laki berkata:

“Sesungguhnya saya memiliki dua orang tua yang senantiasa saya berbuat baik kepada mereka berdua di saat hidupnya, maka bagaimana cara saya berbuat baik kepada mereka berdua setelah mereka wafat?”

Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya di antara bentuk berbakti setelah kematiannya adalah kamu shalat untuk mereka berdua bersama shalatmu sendiri, dan kamu berpuasa untuk mereka berdua bersama puasamu.”

6 – قراءة القرآن: وهذا رأي الجمهور من أهل السنة.
قال النووي: المشهور من مذهب الشافعي: أنه لا يصل.
وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل.
فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهم أوصل مثل ثواب ما قرأته إلى فلان.
وفي المغني لابن قدامة: قال أحمد بن حنبل، الميت يصل إليه كل شئ من الخير، للنصوص الواردة فيه، ولان المسلمين يجتمعون في كل مصر ويقرءون ويهدون لموتاهم من غير نكير، فكان إجماعا.

6. Membaca Al Quran

Ini adalah pendapat mayoritas Ahlus Sunnah. Imam An Nawawi mengatakan: “Yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah tidak sampai.”

Ada pun Ahmad bin Hambal, dan segolongan ulama Syafi’iyyah mengatakan sampai. Pendapat yang dipilih adalah hendaknya setelah dia membaca Al Quran hendaknya berdoa: “Ya Allah sampaikanlah pahala membaca Al Quran ini kepada Fulan.”

Dalam Al Mughni-nya Ibnu Qudamah:

“Berkata Ahmad bin Hambal, bagi mayit semua kebaikan (yang dilakukan orang hidup) itu sampai kepadanya, berdasarkan dalil-dalil tentang itu, dan kaum muslimin di setiap negeri telah berkumpul, membaca Al Quran, dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit mereka tanpa ada orang yang mengingkarinya, maka ini menjadi Ijma’.”

والقائلون بوصول ثواب القراءة إلى الميت، يشترطون أن لا يأخذ القارئ على قراءته أجرا.

Orang-orang yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al Quran kepada mayit memberikan syarat yaitu TIDAK BOLEH bagi si pembaca mengambil upah atas bacaannya.

فإن أخذ القارئ أجرا على قراءته حرم على المعطي والاخذ ولا ثواب له على قراءته، لما رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن عبد الرحمن
ابن شبل: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” اقرءوا القرآن، واعملوا … ولا تجفوا عنه ولا تغفلوا فيه، ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به “.

Jika si pembacanya mengambil upah dari bacaannya maka itu HARAM atas si pemberi dan penerimanya, dan tidak berpahala baginya atas bacaannya itu. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Ath Thabarani, dan Al Baihaqi, dari Abdurrahman bin Syibl: bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bacalah Al Quran, dan amalkanlah… Janganlah terlalu kaku dan janganlah melalaikannya, dan janganlah mencari makan dengan bacaannya, dan janganlah memperbanyak harta dengannya.”

قال ابن القيم: والعبادات قسمان: مالية وبدنية، وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصدقة على وصول سائر العبادات المالية، ونبه بوصول ثواب الصوم على وصول سائر العبادات البدنية، وأخبر بوصول ثواب الحج المركب من المالية والبدنية، فالانواع الثلاثة ثابتة بالنص والاعتبار.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Ibadah ada dua macam, ibadah maaliyah (harta) dan ibadah badaniyah (badan).

Pembuat syariat telah menjelaskan sampainya pahala sedekah atas semua jenis ibadah harta. Pembuat syariat telah menjelaskan sampainya pahaka puasa atas semua jenis ibadah badan.

Dan dikabarkan pula sampainya pahala ibadah haji yang merupakan gabungan antara ibadah harta dan badan sekaligus. Jenis yang ketiga ini juga kuat berdasarkan dalil dan perenungan (akal).

اشتراط النية ولابد من نية الفعل على الميت.
قال ابن عقيل: إذا فعل طاعة من صلاة صيام وقراءة قرآن وأهداها، بأن جعل ثوابها للميت المسلم، فإنه يصل إليه ذلك وينفعه، بشرط أن تتقدم نية الهدية على الطاعة وتقارنها. ورجح هذا ابن القيم.

Disyaratkannya niat, hal yang wajib yaitu adanya niat untuk aktivitas atas nama mayit.

Imam Ibnu ‘Aqil mengatakan:

“Jika melakukan ketaatan baik berupa shalat, puasa, membaca Al Quran, dan menghadiahkannya dan menjadikan pahalanya untuk mayit muslim, maka menyampaikan untuknya adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya, dengan syarat mendahulukannya dengan niat melakukan ketaatan.” Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnul Qayyim.

(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/568-570)

Beberapa Catatan:

1⃣ Untuk aktifitas no. 3, yaitu berpuasa atas nama orang wafat dan dia tidak puasa Ramadhan. Ada dua pendapat yang mesti dilakukan oleh ahli warisnya yaitu:

– FIDYAH, bukan puasa. Ini pendapat mayoritas ulama, kecuali sebagian Syafi’iyah. Bagi mayoritas ulama berpuasa itu jika si mayit sebelumnya nadzar.

– PUASA, bukan fidyah. Ini pendapat sebagian Syafi’iyyah, dan inilah yang dianggap lebih Shahih menurut Imam An Nawawi.

2⃣ Untuk aktifitas no. 5. Shalat, dan 6. Membaca Al Quran, ini juga diperselisihkan ulama.

◼ Shalat dgn pahala dihadiahkan buat mayit, adalah sampai pahala tersebut menurut Hambaliyah generasi awal, juga Hanafiyah, sebagian Malikiyah dan Syafi’iyyah. Inilah yang dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Abdullah Al Faqih.

Ada pun mayoritas Malikiyah dan Syafi’iyyah mengatakan tidak sampai, juga Hambaliyah Kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan bid’ah.

◼Membaca Al Quran buat mayit, sudah jelas dari Syaikh Sayyid Sabiq bahwa hal itu sampai menurut mayoritas ulama. Dan tidak sampai menurut yang masyhur dari Syafi’iyyah. Kalangan mu’tazilah juga mengatakan tidak sampai, seperti yang diceritakan oleh Imam Asy Syaukani.

3⃣ Ada beberapa poin yang belum dibahas oleh Syaikh Sayyid Sabiq, diantaranya: aqiqah, qurban, dan umrah. Para ulama pun juga berselisih atas kebolehan tiga hal ini diniatkan untuk orang yang sudah wafat. Semuanya pernah kami bahas beberapa tahu lalu. Silahkan lihat di channel.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌸🍃🌳🍀🌷🍁🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Meninggalkan Masjid Saat atau Setelah Adzan

💢💢💢💢💢💢💢💢

❓ PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum Ust, adakah larangan meninggalkan masjid/pekarangannya saat sudah adzan. JazaakAllaahu khairan (+62 812-8318-xxxx)

💡 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Keluar meninggalkan masjid saat adzan atau setelah adzan adalah diharamkan, kecuali ada sebab syar’i.

Dalilnya:

عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Abu Sya’tsa’, katanya;

“Ketika kami tengah duduk-duudk di masjid bersama Abu Hurairah, dan ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, seseorang berdiri meninggalkan masjid sambil berjalan. Abu Hurairah terus mengawasinya hingga laki-laki keluar dari amsjid. Abu Hurairah lalu berkata; “Orang ini telah membangkang kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.”

(HR. Muslim no. 655)

Hadits lain:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَلَا يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ

Rasulullah ﷺ memerintahkan kami, jika kalian sedang di masjid lalu diserukan adzan shalat janganlah keluar sampai dia shalat.

(HR. Ahmad no. 10946, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan Shahih)

Kapan di bolehkan keluar?

Imam At Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan dalam sunannya:

وَعَلَى هَذَا الْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ ، أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَ الْأَذَانِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ ، أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Para ulama dari kalangan sahabat nabi mengamalkan hadits ini, bahwa janganlah seseorang keluar dari masjid setelah adzan kecuali ada uzur, atau karena urusan yang mengharuskan dia melakukannya. (selesai)

Syaikh Muhammad Shahih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

ومن الأعذار المبيحة للخروج : أن يخرج ليتوضأ إذا كان محل الوضوء خارج المسجد ، أو يخرج بنية العودة ، كما لو خرج ليوقظ أهله مثلا ثم يعود ، وكذلك الخروج للصلاة في مسجد آخر إذا علم أنه سيدرك الجماعة فيه

Di antara uzur dibolehkan keluar dari masjid:

– Keluar utk berwudhu jika tempat wudhu di luar

– Keluar untuk kembali lagi, misal keluar untuk membangunkan keluarganya lalu kembali lagi

– Keluar untuk shalat di masjid lain jika dia tahu dia akan mendapatkan jamaah

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 116955)

Dalam Ghayatul Muntaha, salah satu kitab standar madzhab Hambali disebutkan:

وحرم خروج من مسجد بعد أذان , وقبل صلاةٍ بلا عذر , أو نية رجوع … ويتجه جواز الخروج لو خرج بعد الأذان لكن ليصلي جماعة بمسجد آخر ، لا سيما مع فضل إمامه

Diharamkan keluar dari masjid setelah adzan, sebelum shalat, jika tanpa uzur, atau tanpa niat untuk kembali.. Boleh keluar dari masjid setelah adzan jika ingin shalat di masjid lain apalagi bersama imam yg lebih utama.

(Ghayatul Muntaha, 1/304)

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌵🌷🌿🌻🌸🍃🌺

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berdebat Dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Berdebat dalam Islam tidak terlarang jika untuk menyampaikan kebenaran Islam atau menarik orang tersesat untuk kembali ke jalan Islam yang lurus. Hal itu sdh terjadi sejak masa para nabi terdahulu hingga Rasulullah ﷺ
sendiri dan para salafush shalih.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

(QS. An-Nahl, Ayat 125)

Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam berdebat dengan Namrudz dan kaumnya.

Allah Ta’ala berfirman :

وَحَآجَّهُۥ قَوۡمُهُۥۚ قَالَ أَتُحَٰٓجُّوٓنِّي فِي ٱللَّهِ وَقَدۡ هَدَىٰنِۚ وَلَآ أَخَافُ مَا تُشۡرِكُونَ بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَشَآءَ رَبِّي شَيۡـٔٗاۚ وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيۡءٍ عِلۡمًاۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ

Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?

(QS. Surat Al-An’am, Ayat 80)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berdebat melawan Khawarij atas permintaan Ali, bahkan Ali Radhiallahu ‘Anhu pun akhirnya mendebat mereka..

Imam Asy Syafi’i berdebat dengan Inkar Sunnah.. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Ada pun perdebatan yang dilarang adalah perdebatan sesama muslim untuk memenangkan hawa nafsunya, semata-mata emosi, jago-jagoan, untuk menang-menangan, tidak memakai adab berdebat, sehingga memunculkan permusuhan …

Atau perdebatan dalam urusan yang tidak penting dan menumbuhkan amal, hanya untuk hura-hura intelektual.

Inilah yang sangat dibenci Allah Ta’ala:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang paling keras (gemar) dalam berbantah-bantahan”.

(HR. Bukhadi no. 2457)

Ma’ruf Al Karkhi Rahimahullah berkata:

إذا أراد بعبد خيرا فتح عليه باب العمل و أغلق عليه باب الجدل و إذا أراد بعبد شرا أغلق عليه باب العمل و فتح عليه باب الجدل

Jika seorang hamba dikehendaki kebaikan maka dibukakan untuknya pintu untuk beramal dan ditutupkan untuknya pintu perdebatan. Jika seorang hamba dikehendaki keburukan maka ditutup untuknya pintu amal dan dibukankan untuknya pintu perdebatan.

(Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman no. 1832)

Imam Al Auza’i Rahimahullah mengatakan:

«بلغني أن الله عز وجل إذا أراد بقوم شرا ألزمهم الجدل ومنعهم العمل»

Telah sampai kepadaku bahwasanya jika Allah Ta’ala kehendaki keburukan atas sebuah kaum, maka diliputi kepada mereka perdebatan, dan tercegah bagi mereka amal perbuatan.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jaami’ Bayan Al ‘Ilm wa Fadhlih, 2/933)

Inilah perdebatan yang membuat lemah umat Islam..

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.

(QS. Al-Anfal, Ayat 46)

Model seperti inilah perdebatan yang mesti dijauhi.

Demikian. Wallahu A’lam

🌸🌿🌷🌻🌺🌴🌵🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Mengucapkan Salam Duluan Kepada Non Muslim?

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dalam masalah memulai salam kepada non muslim, memang ada dasar yang melarangnya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi

bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)

Hadits ini tegas melarang kita memulai salam kepada non muslim. Lalu, apa makna larangan ini? Haramkah, makruh, atau …. ?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:

“Segolongan ulama berpendapat bolehnya memulai salam kepada mereka, pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah, Abu Muhairiz, dan ini salah satu pendapat sahabat-sahabat kami seperti yang diceritakan Al Mawardi tetapi dia mengatakan ucapan salamnya adalah “Assalamu ‘Alaika” bukan “’Alaikum.” Kelompok ini beralasan dengan hadits-hadits yang masih umum tentang perintah untuk menyebarkan salam. INI ADALAH ALASAN YANG BATIL, karena hadits tersebut masih umum dan telah dikhususkan oleh oleh hadits “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani”.

Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berpendapat dimakruhkan memulai salam kepada mereka, bukan haram. Pendapat ini lemah juga, sebab larangan menunjukkan haram. Maka, yang benar adalah HARAMnya memulai salam kepada mereka. Al Qadhi menceritakan dari segolongan ulama bahwa dibolehkan memulai salam jika ada daruat, ada kebutuhan, dan ada sebab. Ini adalah pendapat Alqamah, An Nakha’i, dan Al Auza’i, dia berkata: “Jika engkau mengucapkan salam maka orang-orang shalih pernah melakukan, jika engkau tidak mengucapkan maka orang-orang shalih juga ada yang meninggalkannya.”

(Al Minhaj Syarh Shahih, 14/145)

Pembahasan Imam An Nawawi menunjukkan pendapat yang mengharamkan adalah pendapat yang kuat, sesuai dengan hadits ini. Menurutnya, lafaz larangan menunjukkan haram. Pengharaman ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ ابْتِدَاءِ الْمُسْلِمِ لِلْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ بِالسَّلَامِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَصْلُ النَّهْيِ وَحَمْلُهُ عَلَى الْكَرَاهَةِ خِلَافُ أَصْلِهِ وَعَلَيْهِ حَمَلَهُ الْأَقَلُّ. وَإِلَى التَّحْرِيمِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَذَهَبَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ إلَى جَوَازِ الِابْتِدَاءِ لَهُمْ بِالسَّلَامِ وَهُوَ وَجْهٌ لِبَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ إلَّا أَنَّهُ قَالَ الْمَازِرِيُّ إنَّهُ يُقَالُ: السَّلَامُ عَلَيْك بِالْإِفْرَادِ، وَلَا يُقَالُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، وَاحْتَجَّ لَهُمْ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا} [البقرة: 83] وَأَحَادِيثُ الْأَمْرِ بِإِفْشَاءِ السَّلَامِ. وَالْجَوَابُ أَنَّ هَذِهِ الْعُمُومَاتِ مَخْصُوصَةٌ بِحَدِيثِ الْبَابِ وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا

“Pada hadits ini terdapat dalil haramnya seorang muslim memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, karena itu merupakan hukum asal dari larangan. Ada yang mengartikan makruh dan itu menyelisihi hukum asalnya, yang memahami seperti ini lebih sedikit. Sedangkan pengharaman adalah pendapat mayoritas salaf dan khalaf. Segoloangan ada yang membolekan di antaranya Ibnu Abbas, juga satu golongan Syafi’iyah hanya saja Al Maziri mengatakan ucapan salamnya adalah: “Assalamu ‘Alaika” dalam bentuk tunggal, bukan “Assalamu ‘Alaikum.” Alasan mereka membolehkan adalah keumuman ayat: “Berkatalah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al Baqarah: 83) dan hadits-hadits yang memerintahkan menyebarkan salam. Jawaban utk alasan mereka adalah, dalil-dalil ini masih umum dan sudah dikhususkan oleh hadits yang kita bahas dalam bab ini, dan ini (pengharaman memulai salam) berlaku jika kafir dzimmi tesebut seorang diri.”

(Subulus Salam, 2/499)

Larangan ini adalah larangan salam Islam, ada pun memulai sapaan biasa seperti “hai”, “mari pak”…tidak apa-apa. Sebab ini bukan salam.

Lalu, Bagaimana Jika Perkumpulan Yang Bercampur Muslim dan Non Muslim?

Untuk yang seperti ini boleh saja memulai salam,

dengan niat sebagai salam buat yang muslim.

Dalilnya, dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا، عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ، وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ الخَزْرَجِ، وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الأَوْثَانِ وَاليَهُودِ، وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَفِي المَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَلَمَّا غَشِيَتِ المَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ، خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: لاَ تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ، فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ، وَقَرَأَ عَلَيْهِمُ القُرْآنَ

“Bahwa Nabi ﷺ mengendarai keledai yang pelananya bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar. Beliau kemudian berjalan melewati majelis yang di dalamnya bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan kepulkan kami dengan debu.” Kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi ﷺ mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al Qur’an kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 6254)

Imam An nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَيَجُوزُ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ عَلَى جَمْعٍ فِيهِمْ مُسْلِمُونَ وَكُفَّارٌ أَوْ مُسْلِمٌ وَكُفَّارٌ وَيَقْصِدُ الْمُسْلِمِينَ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ

“Dibolehkan memulai salam kepada kumpulan yang di dalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir, atau seorang muslim dan kumpulan kaum kafir, dengan maksud untuk kaum muslimin, berdasarkan hadits sebelumnya bahwa Nabi ﷺ. pernah salam kepada majelis yang bercampur atara muslimin dan musyrikin.”

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/145)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

وَهَذَا إذَا كَانَ الذِّمِّيُّ مُنْفَرِدًا وَأَمَّا إذَا كَانَ مَعَهُ مُسْلِمٌ جَازَ الِابْتِدَاءُ بِالسَّلَامِ يَنْوِي بِهِ الْمُسْلِمَ لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَالْمُسْلِمِينَ

Larangan ini (memulai salam) jika kafir dzimmi seorang diri, sedangkan jika bersamanya ada seorang muslim maka boleh memulai salam dengan niat untuk si muslim. Karena telah shahih bahwa Nabi ﷺ. mengucapkan salam majelis yang bercampur antara musyrikin dan muslimin.

(Subulussalam, 2/499)

Kesimpulan:

– Tidak boleh memulai ucapan salam kepada mereka, tapi dibolehkan sekedar sapaan.

– Boleh mengucapkan salam saat mereka berkumpul dengan umat Islam, bahkan walau hanya ada satu orang Islam.

Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam

📙📘📗📕📒📔📓📙

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top