Hukum Ngobrol dengan Non Mahram

▪▪▫▫▪▪▫▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustad bagaimana hukum jika ada ikhwan dan akhwat bukan mahromnya ngobrol hanya berdua dan itu bersifat sangat privat hanya mereka yg tau? Dan bagaimana seharusnya sikap kita?
Jazakalloh.Wassalamu’alaikum.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam .. Bismillah wal Hamdulillah..

Jika berduaan secara kopi darat, diruangan, dikamar, dijalan, atau di mana saja, maka itu terlarang .. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang berkhalwat dengan bukan mahramnya. Dan ini sdh jelas.

Ada pun, jika melalui WA, dan medsos lainnya, jika ada pembicaraan yang penting maka tidak apa-apa .. Itu bukan khalwat sebab tdk ada pertemuan.

Tapi bukan berarti ini tidak bahaya, secara esensi ini juga mirip khalwat jika tidak ada perasaan muraqabatullah (pengawasan Allah) … Maka, hindari saja jika tidak ada hal yang penting, dalam rangka menutup semua pintu fitnah.

Wallahu A’lam

🌷☘🌸🌴🌻🌿🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Lupa Jumlah Hari Hutang Puasa

▪▪▫▫▪▪▫▫

📨 PERTANYAAN:

Bagaimana seseorang jika pada masa lalunya pernah membatalkan puasa ramadhan dengan sengaja tanpa uzur? Kemudian juga lupa berapa hari Apakah qadha atau dengan sebenar-benarnya taubat?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam, .. Jika sengaja tanpa uzur dia tidak berpuasa, maka ini buruk sekali.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni):  Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan. (HR. Abu Yaala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini  telah dimarfukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al Ilmiyah. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر:  أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال

“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Kemudian .., apakah bisa diqadha dihari lain? Bisa, hanya saja nilainya tdk bisa menyamai nya walau dengan puasa setahun penuh .. Hal itu berdasarkan hadits:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, secara marfu’:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

Barang siapa yang tidak berpuasa pada Ramadhan tanpa adanya uzur, tidak pula sakit, maka tidaklah dia bisa menggantikannya dengan puasa sepanjang tahun, jika dia melakukannya. (HR. Bukhari No. 1934)

Dalam Shahih Al Bukhari:

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالشَّعْبِيُّ وَابْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ وَقَتَادَةُ وَحَمَّادٌ يَقْضِي يَوْمًا مَكَانَهُ

Sa’id bin Al Musayyab, Asy Sya’bi, Ibnu Jubeir, Ibrahim, Qatadah, Hammad, mereka mengatakan BISA diqadha di hari yg sesuai.

Dalam riwayat lain, ada sahabat nabi yg membatalkan puasa secara sengaja yaitu karena jima’ .. Pdhal tidak sakit, tidak uzur, .. Lalu nabi memerintahkan kaffarat yang sudah diketahui bersama (puasa dua bulan berturut2, atau membebaakan budak, atau membebaskan fakir miskin sebanyak 60 org). Para fuqaha mengatakan qadha dan kaffarat sekaligus, dan ini menjadi dalil bagi pihak yang mengatakan qadha itu tetap bisa menutupi puasa yang ditinggalkan walau sengaja.

Untuk jumlah utang puasa yang lupa, diingat-ingat kembali sejauh yang kita tahu, lalu qadhalah sebanyak itu. Bukan fidyah, sebab fidyah buat yang sama sekali tidak mampu puasa.

Kalau qadha itu dilakukan setiap hari, atau berbarengan dengan hari senin – kamis, atau ayyamul bidh, Insya Allah tetap mendapatkan pahala sunnahnya menurut mayoritas ulama.

Wallahu a’lam

🌷☘🌸🌴🌻🌿🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Khatib Banyak Bergerak Tangannya Saat Khutbah

▪▪▫▫▪▪▫▫

📨 PERTANYAAN:

Ustaz, saya mau bertanya, ” Bagaimana hukumnya khatib Jumat yang banyak bergerak, tangan, dan anggota badan, seperti acara tabligh akbar, sehingga makmum tidak konsen dg isi khutbah lebih kepada gerakan dan intonasi suara saja.( B -Depok)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Hari Jumat adalah hari khusus dan istimewa dalam sepekan, shalat jumat juga merupakan shalat khusus yang dilaksanakan dalam sepekan, berbeda tata caranya dengan shalat wajib lainnya. Khutbah Jumat juga tidak seperti ceramah atau tabligh akbar yang bebas banyak berbicara bahkan diselingi canda tawa. Namun harus berlangsung khidmat dan tidak mengundang gelak tawa. Apalagi terlalu banyak bergerak tangan dan anggota tubuh lainnya, hal ini harus dihindari.

A. Dalil yang melarang menggerakkan tangan

عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

Dari Hushain dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas mimbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).

Hadits ini digunakan oleh sebagian ahli ilmu, bahwa mengangkat tangan atau menggerakkan tangan bagi khatib adalah dilarang, karena mengurangi khidmatnya shalat jumat.

Namun Rasulullah pernah berisyarat dengan jari telunjukknya kepada makmum. Artinya larangan disini sifatnya jika ada keperluan dan bukan gerakan bebas terlalu banyak, maka sifatnya hanya isyarat saja.

Sebagian kalangan Syafiiyah menyebutkan, bahwa terlalu banyak bergerak bid’ah dan makruh dilakukan khatib.

بل صرح بعض أهل العلم بأنه – أي رفع اليد – بدعة، وهذا إن كان بقصد، فإن كان بدون قصد فلا مؤاخذة فيه

Para ahli ilmu secara tegas menghukui mengangkat tangan saat adalah bidah, jika dilakukan dengan sengaja, namun jika dilakukan tanpa sengaja maka tidak mengapa (Tanbihul Ghafilin, Ibnu Nuhas, Hal. 268)

Pendapat yang cukup keras disebutkan oleh Imam Nawawi juga mengemukakan tentang khatib yang bergerak menoleh kekanan dan kekiri, bahwa batal dan tidak sah.

ولا يفعل ما يفعله بعض الخطباء في هذه الأزمان من الالتفات يمينا وشمالا في الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – ولا غيرها، فإنه باطل لا أصل له، واتفق العلماء على كراهة هذا الالتفات، وهو معدود من البدع المنكرة

“Janganlah melakukan apa yang dilakukan oleh para khatib di zaman ini, mereka menoleh kekanan dan kekiri saat mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, karena hal itu merupakan kebathilan, tak berdasar sama sekali, dan para ulama sepakat bahwa hukumnya makruh, serta termasuk bidah yang munkar. (Al Majmu Syarah Muhazab, Imam Nawawi, 4/528)

Yang dimaksud makruh disini adalah makruh tahrim (haram) (Khutbatul Jum’ah wa ahkamuha al fikhiyah, Abdul Aziz Abdullah Al Hujailan)

Imam Syafi’i berkata:

وان لم يعتمد على عصا أحببت ان يسكن جسده ويديه إما بأن يضع اليمنى على اليسرى واما ان يقرهما في موضعهما ساكنتين

“Jika tidak bisa bertumpu pada tongkat, lebih disukai diam tangan dan jasad, baik dengan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, atau tetap pada posisi keduanya tenang “(Al Umm, 1/117)

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ

“Yang sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo’).” (Syarh Muslim 6: 162)

B. Dalil Yang membolehkan menggerakkan tangan

Menggerakkan atau mengangkat tangan sesuai dengan hadits yang sifatnya umum:

Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa-apa.” (HR. Tirmidzi no. 3556)

Hadits ini kaitannya dengan doa yang dipanjatkan oleh seseorang, bisa makmum bisa imam atau khatib atau siapa saja.

Dari Anas bin Malik, ia berkata,

أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَبَيْنَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا . فَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَمَا نَرَى فِى السَّمَاءِ قَزَعَةً ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ – صلى الله عليه وسلم

“Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. (HR. Bukhari no. 933)

Hadits ini kaitannya dengan doa meminta hujan, Rasulullah mengangkat tangan menggerakkanya, karena doa bagi kaum muslimin termasuk rukun khutbah yang dilakukan oleh khatib.

🥗Kesimpulan:

1. Sebaiknya khatib tenang, dan tidak terlalu banyak bergerak seperti ceramah atau tabligh akbar, karena khutbah jumat memiliki syarat –syarat khusus tidak seperti lainnya.

2. Pergerakan khatib yang dibolehkan hanya berisyarat menurut Syafiiyah jika memang diperlukan dan tidak berlebihan, seperti Nabi Muhammad yang berisyarat dengan jari, atau berdoa dengan mengangkat tangan. meskipun khatib berdoa dengan mengangkat tangan juga ada perbedaan khilaf ulama tentangnya.

3. Meskipun demikian, kalangan Hambaliyah membolehkan khatib bergerak, pergerakan tangan atau lainnya, dan larangan tersebut tidak sampai pada derajat haram.

4. Khutbah jumat dan shalat jumat adalah satu kesatuan, oleh karena itu hal-hal yang mengurangi kekhidmatan atau kekhusyukan shalat dan khutbah hendaklah di hindari.

والله أعلم

Fauzan Abu Nawa, Lc

Orang Fasiq & Pelaku Maksiat Jadi Imam Sholat

▪▪▫▫▪▪▫▫

📨 PERTANYAAN:

Di kampung saya yang jadi imam shalat itu tukang sabung ayam, dikenal jeleknya di masyarakat, apakah shalat saya sah?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Shalat berjamaah dengan imam yang fasiq adalah makruh, tapi tetap sah jika syarat, rukun, wajibnya tetap terjaga.

Sebaiknya diganti dengan yang lainnya, harus ada pembicaraan antara jamaah dgn pengurus masjid.

Dahulu, sebagian sahabat nabi ada yg menjadi makmum pemimpin yang zalim seperti Al Hajjaj, juga kasus lainnya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج
وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط – وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا
وجلده عثمان بن عفان على ذلك – وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع

Ibnu Umar shalat jadi makmumnya Al Hajjaj (HR. Bukhari)

Abu Sa’id Al Khudri jadi makmumnya Al Marwan dalam shalat Id. (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud jadi makmumnya Al Walid bin Uqbah bin Mu’ith, dan dia seorang peminum khamr, suatu hari pernah shalat subuh 4 rakaat.

Utsman bin Affan pernah menghukumnya dgn jild (dicambuk).

Para sahabat dan tabi’in pernah jadi makmum Ibnu Ubaid, padahal dia dituduh ateis dan penyeru kesesatan.

Jadi, pada dasarnya yg menjadi pegangan para ulama bahwasanya shalat yg dilakukan sah untuk diri sendiri maka sah pula untuk org lain.

(Fiqhus Sunnah, 1/237-238)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu’ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷☘🌸🌴🌻🌿🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top