Makruhnya Posisi Imam Lebih Tinggi dari Makmum

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

❓PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ust. Farid hafidzahullahu ta’ala..

1. Apa hukum nya posisi lantai imam dalam shalat berjamaah lebih tinggi atau karpet imam lebih tebal (terkadang 1 hingga 3 sajadah ditumpuk) sehingga posisi imam lebih tinggi dari ma’mum nya?

Syukran wa jazakallahu khair ustadz sebelumnya. (+62 813-8335-0890)

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Jika posisi imam lebih tinggi di atas posisi makmum, maka itu makruh. Lebih tinggi dalam arti benar-benar tinggi. Bukan sekedar dilapisi tiga helai sejadah, sebab itu tidak terlalu berpengaruh. Apalagi jika tubuh imamnya pendek, sementara makmumnya bertubuh tinggi. Yang seperti ini tidak apa.

Kemakruhan ini berdasarkan hadits berikut:

(نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقوم الامام فوق شئ والناس خلفه) يعني أسفل منه، رواه الدارقطني وسكت عنه الحافظ في التلخيص

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sedangkan makmum ada di belakangnya, yakni di bawahnya. (HR. Ad Daruquthni, Al Hafizh mendiamkannya dalam At Talkhish)

Kata “fauqa” (di atas) menunjukkan ketinggian yang begitu tinggi.

Riwayat lain:

وعن همام ابن الحارث أن حذيفة أم الناس بالمدائن على دكان فأخذ أبو مسعود بقميصه فجبذه فلما فرغ من صلاته قال: ألم تعلم أنهم كانوا ينهون عن ذلك؟ قال: بلى، فذكرت حين جذبتني

Dari Hamam bin Al Harits, bahwa Hudzaifah mengimami manusia di daerah Madaain di atas ketinggian, maka Abu Mas’ud menarik gamisnya, dan setelah shalat usai dia berkata: “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka dilarang seperti ini?” Hudzaifah menjawab: “Ya, aku baru ingat saat setelah kamu menarik gamisku.”

(HR. Abu Daud, Asy Syafi’iy, Al Baihaqiy. Dishahihkan oleh Al Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

يكره أن يقف الامام أعلى من المأموم …

Dimakruhkan bagi imam berdiri lebih tinggi dari makmum .. (selesai)

Tapi jika lebih tinggi ada keperluan yaitu mengajarkan makmum maka itu tidak apa-apa.

Syaikh Sayyid Sabiq melanjutkan:

فإن كان للامام غرض من ارتفاعه على المأموم فإنه لا كراهة حينئذ، فعن سهل بن سعد الساعدي قال: (رأيت النبي صلى الله عليه وسلم جلس على المنبر أول يوم وضع فكبر وهو عليه ثم ركع ثم نزل القهقهري وسجد في أصل المنبر ثم عاد فلما فرغ أقبل عن الناس فقال: (أيها الناس إنما صنعت هذا لتأتموا بي ولتتعلموا صلاتي) رواه أحمد والبخاري ومسلم.

Jika ketinggian imam itu ada maksud tertentu kepada makmum maka saat itu tidak makruhkan.

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idiy dia berkata: “Aku melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam duduk di atas mimbar di hari pertama mimbar itu diletakkan. Di atasnya Dia bertakbir lalu ruku’, lalu dia turun dan mundur, kemudian sujud di terasnya mimbar lalu dia kembali (oe mimbar), lalu menghadap ke manusia dan bersabda:

“Wahai manusia, aku lakukan seperti tadi tidak lain hanyalah agar kalian ikuti dan untuk mengajarkan shalatku”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

(Fiqhus Sunnah, 1/240)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Apakah Ada Istilah “Boros” dan Berlebihan Dalam Berinfak dan Bersedekah?

▪▫▪▫▪▫▪▫

Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian yang mengatakan tidak boleh berlebihan sebab itu masuk keumuman ayat larangan pemborosan, sebagian lain mengatakan tidak pantas menyebut pemborosan (tabdzir) dalam berinfak.

Allah ﷻ berfirman:

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra’: 27)

Imam Asy Syaukaniy Rahimahullah menjelaskan:

التَّبْذِيرُ: هُوَ أَخْذُ الْمَالِ مِنْ حَقِّهِ، وَوَضْعُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ، وَهُوَ الْإِسْرَافُ، وَهُوَ حَرَامٌ

At Tabdzir (pemborosan) adalah mengambil harta dari haknya lalu meletakkannya pada bukan haknya, dan itu adalah israf (berlebihan), dan statusnya haram. (Fathul Qadir, 3/263)

Beliau juga menjelaskan bahwa berlebihan dalam infak termasuk keumaman ayat di atas:

وَالْإِسْرَافُ فِي الْإِنْفَاقِ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنْ بَنِي آدَمَ فَقَدْ أَطَاعَ الشَّيْطَانَ وَاقْتَدَى بِهِ

Berlebihan dalam infak termasuk perbuatan syetan, maka jika seseorang melakukannya maka dia telah mentaati dan mengikuti syetan. (Ibid)

Sementara itu, sebagian imam salaf menegaskan bahwa tabdzir itu hanya ada pada infak yang bukan hak, tapi jika pada haknya, dijalan yang benar maka tidak termasuk tabdzir, walau dia menginfakkan semua hartanya sebagaimana Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.

Imam Mujahid berkata:

لو أنفق إنسان ماله كله في الحق، لم يكن مبذرًا، ولو أنفق مدًا في غير حقه كان تبذيرًا

“Seandainya manusia berinfak seluruh hartanya untuk kebenaran bukanlah termasuk tabdzir, tetapi berinfaq di jalan yang bukan al haq walau satu mud, itulah yang mubadzir.”

Imam Qatadah berkata:

التبذير: النفقة في معصية الله تعالى، وفي غير الحق وفي الفساد

“Pemborosan itu adalah infak dalam hal maksiat kepada Allah ﷻ dan pada jalan yang tidak benar dan kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/69)

Manakah yang lebih kuat? Allah ﷻ tegaskan dalam ayat berikut:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila menginfakkan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al Furqan: 67)

Ayat lainnya:

وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al Isra: 29)

Maksud “tanganmu terbelenggu” , kata Imam Ibnu Katsir: Laa takun bakhiilan manuu’a – jangan kikir.

Sedangkan maksud “jangan terlalu mengulurkannya”:

أي: ولا تسرف في الإنفاق فتعطي فوق طاقتك، وتخرج أكثر من دخلك، فتقعد ملومًا محسورًا

Yaitu janganlah berlebihan dalam infak dengan memberikan di atas kemampuanmu, dan mengeluarkan harta lebih banyak dibanding pemasukanmu, yang dengan itu kamu menyesalinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/70)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Jumlah Hari Raya (Yaumul ‘Id) dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Telah dikenal bahwa hari raya umat Islam adalah Idul Fithri (1 Syawwal) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah). Ini benar karena memang jelas dalilnya. Tetapi, membatasi hanya ini, tanpa memperhatikan dalil-dalil lain adalah keliru, dan tergelincir.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وأقول لكم: إنه لم يضل من ضل من هذه الأمة إلا بسبب أنهم يأخذون بجانب من النصوص ويدعون جانباً، سواء كان في العقيدة أو في معاملة الحكام أو في معاملة الناس، أو في غير ذلك

Aku katakan kepada kalian: “Kesesatan yang terjadi pada umat ini tidaklah terjadi, kecuali karena mereka mengambil sebagian dalil saja, sama saja apakah itu dalam urusan aqidah, atau muamalah terhadap penguasa, atau muamalah kepada manusia, atau hal lainnya.

(Liqa Bab Al Maftuh No. 62)

✅ Hari Raya Lainnya Dalam Sunnah

Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersaba:

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), hari penyembelihan (10 Dzulhijjah), dan hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita, umat Islam. Itu adalah hari makan dan minum.

(HR. At Tirmidzi No. 773, Abu Daud No. 2421, Ad Darimiy No. 1804, dll)

Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At Tirmidzi no 773), Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. (Al Mustadrak, 1/434), Imam Ibnu Hajar mengatakan: shahih. (Taghliq At Ta’liq, 2/385)

Dari hadits inilah para ulama Islam mengatakan bahwa hari raya umat Islam itu beragam, bukan hanya Idul Fithri dan Idul Adha, tapi juga hari Arafah dan hari-hari tasyriq. Ini bukan hanya bagi yang haji tapi semua umat Islam.

Imam Muhammad bin Abdil Hadiy As Sindiy Rahimahullah berkata:

(هذا عيدنا أهل الإسلام) أي : فجعل العيد عيداً لكل المسلمين

Inilah hari raya kita, umat Islam, artinya maka ini menjadi hari raya bagi setiap kaum muslimin. (Hasyiyah As Sindiy ‘Ala Shahih Al Bukhari, 1/160)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azim Abadi Rahimahullah menjelaskan:

الحديث أنه يكره صومه مطلقا لجعله قريبا في الذكر ليوم النحر وأيام التشريق وتعليل ذلك أنها عيد وأنها أيام أكل وشرب

Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya puasa secara mutlak agar menjadikannya sebagai harihari untuk dzikir, bagi hari penyembelihan (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq, ‘ilat (sebabnya) adalah karena itu adalalah HARI RAYA hari di mana makan dan minum. (‘Aunul Ma’bud, 7/76)

Ada pun 9 Dzulhijjah (hari Arafah), menjadi hari raya bagi mereka yang wuquf sehingga di sana mereka tidak berpusa, … Imam Al Munawiy mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, yang mengatakan:

وإنما يكون يوم عرفة عيدا لأهل عرفة لاجتماعهم فيه بخلاف أهل الأمصار فإنما يجتمعون يوم النحر فكان هو يوم عيدهم

Sesungguhnya hari Arafah menjadi hari raya karena berjamaahnya mereka di sana, berbeda dengan penduduk di negeri lain di mana mereka berjamaahnya dihari penyembelihan (10 Dzulhijjah), itulah hari raya mereka. (Faidhul Qadir, 6/431)

Imam Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan:

فقالت طائفة : يكبر من صلاة الصبح يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق .فإن هذه أيام العيد

Berkata segolongan ulama, bahwa bertakbir itu sudah sejak shalat subuh hari Arafah sampai shalat Ashar di akhir hari tasyriq, karena HARI-HARI ini adalah HARI RAYA.

(Fathul Bari, 6/124)

Demikianlah, keterangan para imam ini sudah memadai bahwa hari raya Umat Islam bukan hanya Idul Fitri dan Idul Adha, tapi juga 9 Dzulhijjah bagi yang di Arafah, dan hari-hari tasyriq bagi seluruh umat Islam.

Oleh karena itu kita dapati kesamaan; terlarangnya puasa, hari tasyriq sama dengan 10 Dzulhijjah masih boleh untuk menyembelih qurban, dan masih boleh bertakbir. Yang berbeda adalah tidak ada shalat ‘Id, kecuali pada dua hari raya; Idul Fithri dan Idul Adha.

✅ Hari Jum’at Juga Hari Raya

Selain di atas, kita juga masih punya hari raya lagi bahkan pekanan. Hal ini tertera secara lugas dalam hadits berikut.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa N

abi ﷺ bersabda:

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ ، جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ ، وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

Sesungguhnya hari ini (Jumat) adalah HARI RAYA,yang Allah jadkan bagi kaum muslimin, maka barang siapa yang mendatangi hari Jumat maka mandilah, dan jika dia punya minyak wangi pakailah, dan hendaknya kalian bersiwak.

(HR. Ibnnu Majah no. 1098)

Imam Al Mundziriy mengatakan: hasan. (At Targhib wat Tarhib, No. 707), dihasankan pula oleh Syaikh Al Albaniy. (At Ta’liq Ar Raghib, 1/253, Shahih Ibni Majah no. 901)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:

وهو يوم المزيد لهم إذا دخلوا الجنة، وهو يوم عيد لهم في الدنيا

Hari Jumat adalah hari tambahan bagi mereka (kaum beriman) jika mareka masuk ke surga, dan sebagai HARI RAYA bagi mereka di dunia. (Zaadul Ma’ad, 1/379)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ولا شك في أن يوم الجمعة هو العيد الأسبوعي للمسلمين

Tidak ragu lagi bahwa hari Jumat adalah hari raya pekanan bagi kaum muslimin. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 119892)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لا شك أن يوم الجمعة يوم عيد للمسلمين ، كما جاء في الحديث عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما

Tidak ragu lagi bahwa hari Jumat adalah HARI RAYA kaum muslimin, sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 134741)

Maka, membatasi hari raya umat Islam hanya dua, jelas bertentangan dengan sunnah dan penjelasan para imam kaum muslimin.

Demikian. Wallahu Waliyut Taufiq

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Belajar Ushul Fiqih

💢💢💢💢💢💢💢💢

1⃣ Muqadimah

Kata Ushul al Fiqh, merupakan susunan idhafi yaitu mudhaf dan mudhaf ilaih. Mudhafnya adalah USHUL, mudhaf ilaih-nya adalah Al FIQH.

Al Ushul ( الأصول) adalah jamak (plural), dari Al Ashl (الأصل), yang berarti: dasar, asas, pondasi, akar, dan pokok/prinsip. Dia adalah lawan kata dari Al Far’u, yang artinya cabang.

Sehingga jika disebut:

– ashlusy sya’r, artinya akar rambut
– ashlusy syajarah, artinya akar pohon
– ashlul bait, artinya pondasi rumah
– dalam ilmu hadits sering disebut, laisa lahu ashlan, artinya hadits tersebut tidak ada dasarnya
– Ushul al ‘Isyrin, artinya dua puluh prinsip dasar

Dari kata Al Ashl inilah dalam bahasa Indonesia dikenal kata asal dan asli.

Sedangkan kata Al FIQH, kata dasarnya adalah faqaha, yang arti secara bahasa (etimologis) adalah memahami. Orang yang memiliki pemahaman fiqih adalah faqih, jamaknya fuqaha.

Allah Ta’ala berfirman:

لهم قلوب لا يفقهون بها

Mereka punya hati, tetapi mereka tidak mau memahami dengannya. (QS. Al A’raf: 179)

Dalam hadits juga disebut:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka akan dipahamkan agama baginya.

(HR. Bukhari no. 3116)

Ada pun secara terminologi, Al Fiqh adalah:

معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد

Pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang didapatkan melalui jalan ijtihad.

(Imam Al Haramain, Al Waraqat, Hal. 7)

Jadi, Ushul Al Fiqh adalah ilmu tentang prinsip dasar dalam menggali hukum-hukum syariat agama.

💢💢💢💢💢💢💢

2⃣ Sejarah Ushul Al Fiqh

Ada tiga fase perkembangan Ushul Al Fiqh:

1. Fase ta’sis dan tadwin, peletakkan batu pertama dan pengkodifikasian. Ini sejak akhir abad kedua hijriyah sampai akhir abad keempat.

Ini dipelopori oleh Imam Asy Syafi’i Rahimahullah. Dia orang pertama yang mampu memadukan antara produk fiqihnya ahli hadits (yang dibangun Imam Malik di Madinah) dan fiqihnya ahli ra’yi (kaum rasionalis di Iraq yang dipelopori Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya). Sebab, Imam Asy Syafi’i pernah menimba ilmu kepada Imam Malik dan murid-muridnya Imam Abu Hanifah. Sehingga Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa Ushul Al Fiqh adalah ilmu yang paling afdhal, sebab ilmu ini memadukan antara wahyu dan akal. Dan, Imam Asy Syafi’i adalah bintangnya, melalui karyanya Ar Risalah. Dunia fiqih saat itu yang menjadi hal yang sulit bagi ahli hadits (karena hanya dikuasai oleh ahli fiqih) menjadi tercerahkan semenjak pencerahan Imam Asy Syafi’i.

Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengatakan:

كان الفقه قفلا علي اهله حتي فتحه الله بالشافعى

Dahulu ilmu fiqih tergembok atas pemiliknya, sampai akhirnya Allah bukakan melalui Asy Syafi’i.

(Tahdzibul Asma wal Lughat, 1/61)

Beliau juga berkata:

لولا الشافعي ما عرفنا فقه الحديث

Seandainya bukan karena Asy Syafi’i niscaya kami tidak tahu bagaimana memahami hadits. (Ibid)

Dahulu ahli hadits adalah paling tahu tentang sanad dan validitas hadits, namun ahli fiqih yang paling tahu apa maknanya. Ibarat tukang sayur yang paham mana sayur berkualitas, tapi juru kokilah yang paling tahu mengolahnya menjadi makanan lezat. Semenjak Imam Asy Syafi’i, ahli hadits pun juga mampu memahami fiqih haditsnya.

2. Fase Ittijah al Haditsi, yaitu fase orientasi hadits.

Maksudnya paradigma berpikir dalam Ushul Fiqih yg telah dibangun oleh ulama sebelumnya diperkuat lagi oleh ulama selanjutnya dengan hadits-hadits. Ini dari awal abad ke-5 sampai akhir abad ke-7 Hijriyah.

Fase ini, di Timur dipelopori oleh Imam Abu Manshur al Baghdadi, di Baghdad, dengan kitabnya Al Faqih wal Mutafaqih. Ada pun di Barat (Maroko/Maghrib), dipelopori oleh Imam Ibnu Abdil Bar dengan kitabnya Jaami’ Bayan al ‘Ilmi wa Fadhlihi.

3. Fase Ishlah, fase perbaikan dan penyempurnaan, sejak abad ke-7 sampai abad ke-10.

Ini dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Mereka melakukan perbaikan atas bagian-bagian yg dianggap tidak sesuai metode salaf, seperti pemahaman ahli kalam yg ikut masuk ke dalam Ushul Fiqh.

Demikian fase perkembangan Ushul Fiqih, yg kami ringkas dari Syaikh Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizani dalam bukunya “Ma’alim Ushul al Fiqh ‘Inda Ahli as Sunnah wa Jama’ ah.” Cet. 2, 1427. Penerbit, Dar Ibnu al Jauzi. Juga sedikit tambahan dari sumber lainnya..

🌺🌴🌵🌷🌿🌸🍃🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top