Satu Sha’ Berapa Gram?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim…

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan, bahwa menurut Hanafiyah satu sha’ adalah 3800 gram (3,8 kg), sedangkan Malikiyah satu sha’ adalah 2700 gram (2,7 kg). Sedangkan Syafi’iyyah dan Hambaliyah adalah 2751 gram (2,751 kg). (Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 2/910-911)

Syaikh Umar bin Muhammad bin Thaha Ba’alawi dalam Tasydid al Bunyan (madzhab Syafi’i), menyebutkan bahwa satu sha’ kurang lebih 2,5 kg. (Mukhtashar Tasydid al Bunyan, Hal. 205)

Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فالصاع النبوي يساوي أربعة أمداد، والمد يساوي ملء اليدين المعتدلتين،

Satu sha’ nabawi itu setara dgn 4 mud. Satu muda itu setara dgn sepenuh dua tapak tangan

وأما بالنسبة لتقديره بالوزن فهو يختلف باختلاف نوع الطعام المكيل،

Terkait dgn takaran timbangannya maka terjadi PERBEDAAN PENDAPAT krn berbedanya jenis makanan

ومن هنا اختلفوا في حسابه بالكيلو جرام، فمنهم من قدره بـ 2040 جراماً، ومنهم من قدره بـ2176 جراماً، ومنهم من قدره بـ2751 جراماً..

Dari sinilah mereka berbeda tentang hitungannya dalam KILOGRAM, ada yang mengatakan 2040 gram (2,04kg), ada yang mengatakan 2176gram (2,176kg), ada yang mengatakan 2751 (2,751kg)

وقدرته اللجنة الدائمة للإفتاء بالسعودية بما يساوي ثلاثة كيلو جرام تقريباً، وهو الذي نميل إليه ونختاره. والله أعلم.

Sementara Al Lajnah Ad Daimah Saudi Arabia menyetarakan dengan 3Kg, itulah yang kami ikuti dan pilih. Wallahu a’lam

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 26376)

Ada perkataan bagus dari Imam an Nawawi Rahimahullah kenapa sulit menyamakan persepsi tentang ukuran satu sha’, berikut ini:

قَدْ يَسْتَشْكِلُ ضَبْطُ الصَّاعِ بِالْأَرْطَالِ، فَإِنَّ الصَّاعَ الْمُخْرَجَ بِهِ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، مِكْيَالٌ مَعْرُوفٌ، وَيَخْتَلِفُ قَدْرُهُ وَزْنًا بِاخْتِلَافِ جِنْسِ مَا يَخْرُجُ، كَالذُّرَةِ وَالْحِمَّصِ وَغَيْرِهِمَا

Telah kesulitan membuat patokan takaran satu sha’ dengn timbangan, sebab satu sha’ yang dikeluarkan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah takaran yang diketahui, dan berbeda-beda ukuran timbangannya, yang disebabkan perbedaan benda yang dikeluarkan seperti biji-bijian, kacang-kacangan, dan lainnya. (Raudhatuth Thalibin, 2/302)

Maka, kalau kita memilih 2,5 kg, atau 2,75, atau lainnya, dr salah satu dari takaran yang para ulama sampai kan krn mereka telah melakukan pengujian, maka itu bukan kesalahan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Bayar Zakat ke Daerah Lain

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bolehkah sya zakat ke luar daerah karena di sana banyak famili saya yang kesusahan?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini istilahnya naqluz zakah, yaitu mendistribusikan zakat ke daerah atau negeri lain. Sebagian ulama menganggap naqluz zakah itu batasan jaraknya adl sama seperti jarak dibolehkannya qashar yaitu dua marhalah, sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyata al Qalyubi wa ‘Amirah. Jadi, jika didistribusikan belum sampai jarak itu, maka itu belum dikatakan naqluz zakah dan masih dianggap daerah sendiri, sehingga boleh-boleh saja.

Ada pun jika jaraknya sudah pantas dikatakan naqluz zakah, maka para ulama berselisih pendapat.

Imam Abu Hanifah mengatakan makruh, kecuali didistribusikan kepada kerabat yg membutuhkan atau kaum yg kebutuhannya mendesak dibanding negerinya sendiri.

Imam Malik mengatakan tidak boleh secara mutlak, kecuali penduduk di sebuah negeri memang membutuhkan dan itu berdasarkan analisa dan ijtihad pemimpin.

Imam asy Syafi’i mengatakan makruh, tentang sah tidaknya ada dua pendapat.

Imam Ahmad mengatakan tidak boleh mendistribusikan ke negeri lain sejauh jarak qashar baik ke kerabatnya atau orang lain, selama di tempatnya sendiri masih ada orang yang berhak dizakati.

Tapi para ulama ijma’, bahwa jika penduduk di daerah sendiri sdh terpenuhi maka boleh didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan.

Semua juga sepakat berzakat di daerah sendiri lebih utama, sebab pada prinsipnya zakat itu diambil dari orang-orang kaya di sebuah daerah untuk orang-orang fakir di daerah itu juga.

Gol syafi’iyah seperti Imam Ibnul Mundzir mengatakan sah tapi makruh. Sementara al Qalyubi mengatakan boleh dan sah secara mutlak sesuai keumuman ayat.

Maka, naqluz zakah ke daerah lain itu boleh jika di daerah sendiri sudah tercukupi, ada hajat yang kuat, maslahat, dan sudah banyak muzakki yang berzakat di daerah sendiri. Wallahu a’lam


Referensi:

– Imam Ibnul Mundzir, Al Iqna’, 1/189

– Hasyiyata al Qalyubi wa ‘Amirah, 3/204

– Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi, Ikhtilaf al Aimmah al ‘Ulama, 1/220

– al Mausu’ah al Fiqhi al Islami, 3/64

🌷🍀🌻🌿🌸🍃🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Akad Nikah Online/Streaming

💢💢💢💢💢💢

Assalaamu’alaykum
Ustadz apakah nikah online sah hukumnya dlm Islam? Krn ada teman dan calonnya posisi di Melbourne Australia ingin menikah tetapi Ayahnya di Jkt tdk bs terbang ke Melbourne dikarenakan kondisi pandemik. Dan saya baca di salah satu negara tetangga pernikahan online ini sudah diloloskan izinnya oleh pemerintahnya.

Jazakallahu khayran. (+61 405 483xxx)

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Dalam pernikahan, ada rukun-rukun yang mesti diwujudkan, yaitu:

– Ijab qabul
– Calon istri
– Calon suami
– Wali
– Dua Saksi
(al Fiqh al Manhaji, 2/51-70)

Ada pun mahar adalah wajib, bukan rukun. (Ibid, 2/71)

Semua ini terjadi mesti terjadi dalam satu majelis. (Imam al Buhuti, Kasysyaf al Qina’, 5/41)

Lalu, apakah nikah online melanggar ketentuan ini? Ini yang menjadi masalah. Jika tidak melanggar tentu tidak masalah. Jika melanggar maka menjadi masalah.

Sebagian ulama melarang cara ini, sebab mirip dengan ketiadaan saksi dalam akad, juga cukup bahaya dan rentan terjadi penipuan dan penyalahgunaan. Misal fatwa Al Lajnah ad Daimah (18/90) kerajaan Arab Saudi, juga keputusan Majma’ Fiqih al Islami no. 52, yg melarang hal ini demi kehati2an (ihtiyathan).

Namun, ada pula ulama yang membolehkan. Jika pernikahan online tersebut telah memenuhi semua syarat atau rukun pernikahan. Mereka semua ada, terlihat, walau pakai video secara waktu bersamaan, baik dua pengantennya, walinya, serta dua saksi, tidak ada kepalsuan, maka itu sah dan boleh. Apalagi mereka bisa saling melihat dengan media live streaming. Itu sudah semakna dengan maksud “satu majelis.” Karena tujuan adanya satu majelis adalah agar adanya kejelasan, jika kejelasan semua itu bisa terwujud dgn media ini maka itu sudah cukup.

Di sisi lain, para ulama tidak pernah mensyaratkan penganten harus saling melihat. Tidak ada ketentuan pria mesti lihat wanita atau sebaliknya. (Fatawa asy Syabakah Al Islamiyyah no. 96558)

Oleh karenanya, sebagian ulama membolehkan cara ini dengan syarat-syarat ketat, tidak boleh bermain-main, semua rukun dan unsur mesti terpenuhi. Seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. (Majmu Fatawa, no. 2201)

Tentu menghindari kontroversi adalah lebih baik, bersabar saja sambil menunggu wabah selesai, serta bertaqwalah kepada Allah dalam penantian.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🍀🌿🌸🌳🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Bahaya Hadits Palsu Atas Pembuat dan Penyebarnya

Di musim medsos, khususnya di Indonesia, sangat mudah kita dapatkan kisah dan hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ dan Islam. Baik dalam bentuk artikel, khutbah, dan video pendek. Walau isi kisahnya bagus dan penuh hikmah, tapi sayangnya dusta alias palsu. Tentunya ini sangat terlarang sebab sama juga memasukkan ke dalam Islam apa-apa yang bukan berasal dari Islam. Lalu manusia saling mengutip, mem-forward, mengcopy paste, ke berbagai ruang publik seperti khutbah Jumat, kultum terawih, kajian, dan tentunya medsos, baik dilakukan oleh sebagian penceramah atau orang awamnya.

Larangan Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ telah melarang dengan bahasa yang begitu keras, Beliau bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka disediakan kursi baginya di neraka. (HR. Muttafaq’ Alaih)

Imam an Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

تَعْظِيمُ تَحْرِيمِ الْكَذِبِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ فَاحِشَةٌ عَظِيمَةٌ وَمُوبِقَةٌ كَبِيرَةٌ وَلَكِنْ لَا يَكْفُرُ بِهَذَا الْكَذِبِ إِلَّا أَنْ يَسْتَحِلَّهُ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الطَّوَائِفِ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ وَالِدُ إِمَامِ الْحَرَمَيْنِ أَبِي الْمَعَالِي مِنْ أَئِمَّةِ أَصْحَابِنَا يَكَفُرُ بِتَعَمُّدِ الْكَذِبِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Begitu besar dosa berdusta atas nama Rasulullah ﷺ, ini adalah kekejian yang sangat buruk, pembinasa yang besar, tapi kedustaan ini tidak sampai kafir bagi pelakunya kecuali jika dia menghalalkan kedustaan ini. Inilah yang masyhur dari madzhab para ulama dan berbagai kelompok.

Imam Abu Muhammad al Juwaini, ayah Imam al Haramain Abu Ma’ali al Juwaini, salah satu imam madzhab kami (Syafi’iyyah) menyatakan KAFIRNYA sengaja berdusta atas nama Rasulullah ﷺ .

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/69)

Keprihatinan Para Ulama

Berikut ini pertanyaan kepada Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

وسئل -رضي الله عنه- في خطيب يرقى المنبر في كل جمعة، ويروي أحاديث كثيرة، ولم يبين مخرجيها، ولا رواتها فما الذي يجب عليه؟

Beliau – Radhiallahu ‘Anhu- pernah ditanya tentang seorang khatib yang sudah naik mimbar setiap Jumat, dia banyak menyebutkan hadits tapi tidak menjelaskan asal hadits tersebut, tidak pula perawinya, maka apa yang mesti dilakukan terhadap khatib seperti itu?

Beliau menjawab:

ما ذكره من الأحاديث في خطبه من غير أن يبين رواتها، أو من ذكرها، فجائز بشرط أن يكون من أهل المعرفة في الحديث أو بنقلها من مؤلفه كذلك؛ وأما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من أهل الحديث، أو في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك! ومن فعله عزر عليه التعزير الشديد. وهذا حال أكثر الخطباء فإنهم بمجرد رؤيتهم خطبة فيها أحاديث حفظوها، وخطبوا بها من غير أن يعرفوا أن لتلك الأحاديث أصلًا أم لا فيجب على حكام كل بلد أن يزجروا خطباءها عن ذلك، ويجب على حكام بلد هذا الخطيب منعه من ذلك إن ارتكبه”. ثم قال: “فعلى هذا الخطيب أن يبين مستنده في روايته فإن كان مستندًا صحيحًا فلا اعتراض عليه والإساغ الاعتراض عليه بل وجاز لولي الأمر -أيد الله به الدين وقمع بعدله المعاندين- أن يعزله من وظيفة الخطابة زجرًا له عن أن يتجرأ على هذه المرتبة السنية بغير حق” انتهى ملخصا

“Boleh saja dia menyebutkan banyak hadits tanpa menjelaskan bagaimana riwayatnya atau dia menyebutkan riwayatnya, dengan syarat memang dia ahli dibidang hadits atau dia mengutipnya dari kitab yang disusun para ahli hadits.

Ada pun semata-mata menyebutkan hadits dan menyandarkannya kepada sebuah buku yang bukan ahlinya, atau dalam isi khutbah yang tidak jelas siapa yang mengatakan, maka itu tidak dihalalkan. Barang siapa yang melakukannya maka dia mesti ditegur dengan teguran yang keras. INILAH KEADAAN UMUMNYA PARA KHATIB. Hanya karena mereka mendengar beberapa hadits dalam sebuah khutbah, mereka lalu menghapalnya dan gantian menyebarkannya kepada orang lain dalam khutbah. Dia tidak peduli apakah hadits tersebut ada sumbernya atau tidak. Maka, wajib bagi penguasa di tiap negeri mencegah dengan keras para khatib melakukan itu, dan wajib bagi para penguasa melarang dia berkhutbah jika dia tetap melakukannya.”

Lalu Imam Ibn Hajar Al Haitami berkata: “Oleh karenanya, Wajib bagi khatib menjelaskan sanad periwayatannya, jika shahih maka dia tidak perlu ditolak, jika tidak shahih maka dia mesti ditolak, bahkan waliyul amri ditiap daerah bisa memecatnya dari tugasnya sebagai khatib, sebagai hukuman bagi dirinya sebab dia berbuat tidak benar terhadap kedudukan hadits.”

(Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy Al Makki, Al Fatawa Al Haditsiyah, Hal. 43-44. Darul Ma’rifah, Libanon)

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah berkata:

وليت خطباء زمننا يطبق عليهم هذا اذن لعزل الكثيرهم لجهلهم بالحديث و خلطهم المقبول بالمردود

Seandainya hal ini diterapkan kepada para khatib dizaman kita ini, niscaya mayoritas mereka akan dipecat, karena kebodohan mereka terhadap hadits dan tindakan mereka mencampur hadits maqbul (diterima) dan yang mardud (ditolak).

(Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy, Kaifa Nata’amal Ma’as As Sunnah An Nabawiyah, Hal. 88. Cet. 2. 2000M/1421H. Darusy Syuruq)

Beberapa contoh:

Berikut ini beberapa contoh hadits-hadits palsu yang sering beredar di masyarkat dan medsos:

– Kisah Ukasyah memeluk Rasulullah ﷺ saat Beliau membuka baju, yang awalnya ingin mengqishashnya. Yang shahih adalah Usaid bin Hudhair Radhiallahu ‘Anhu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ath Thabarani, Al Baghawi, dll.
– Kisah Rasulullah ﷺ yang rajin memberikan makanan kepada pengemis buta.
– Huru Hara jika 15 Ramadhan terjadi di hari Jumat
– Ajakan untuk mengingatkan manusia tentang datangnya bulan Rajab, Sya’ban, Nuzulul Quran .. “Barang Siapa Yang Memberitahukan Berita tentang (…. ) kepada Yang Lain, maka Haram Api Neraka Baginya”. Kalimat yg di dalam kurung berganti-ganti kadang Rajab, Sya’ban, Nuzulul Qur’an.. tergantung waktunya. Ini jelas buatan orang yang tidak bertanggungjawab.
– Dan masih banyak contoh lainnya.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top