Lupa Hapalan Al Quran, Dosa Besar?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Menghapal Al Quran memiliki keutamaan besar. Hal ini sudah sama-sama diketahui dan tidak lagi kita bahas.

Bahkan, ada sejumlah hadits yang menunjukkan dosa besar bagi orang yang lupa terhadap hapalan Al Quran. Namun hadits-hadits tersebut tidak selamat dari kritikan secara sanadnya, dan juga terjadi beragam pendapat tentang maknanya.

Di antara hadits tersebut adalah:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Pahala-pahala ummatku ditampakkan kepadaku, hingga pahala seseorang yang membuang debu dari masjid, dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian dia melupakannya.”

(HR. At Tirmidzi no. 2916)

Imam At Tirmidzi sendiri tidak memastikan keshahihannya dengan mengatakan:

“Hadits ini gharib, dan aku tidak ketahui kecuali dari jalur ini. Aku menyebutkan hadits ini ke Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari), dia tidak mengetahuinya dan menilai asing hadits ini”. (Sunan At Tirmidzi no. 2916)

Ada dua perawi dalam sanadnya yang dibincangkan ulama, yaitu Ibnu Juraij, seorang mudallis (rancu dalam meriwayatkan hadits) dan sering irsaal (meriwayatkan hadits secara mursal), begitu juga al Muthalib bin Abdullah bin Hanthab, seorang yang jujur tapi mudallis dan irsaal. (Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud, no. 056)

Sehingga Imam Ibnu Khuzaimah pun hanya menghasankannya. (Fathul Ghafar, 1/296), sedangkan Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Hadits ini dhaif, Ibnu Juraij seorang yang mudallis dan seorang yang meriwayatkan dengan kata ‘an (mu’an’in). (al Mathalib al ‘Aliyah, 4/14)

Perlu diketahui, hadits ‘an’anah menunjukkan keterputusan sanad, kecuali mereka hidup sezaman (menurut kriteria Imam Muslim) atau bahkan pernah berjumpa (menurut kriteria Imam Bukhari) dan bukan mudallis, barulah hadits itu dihukumi maushuul (bersambung sanadnya).

Sementara Syaikh al Albani terang-terangan mendhaifkannya. (Dhaiful Jaami’ no. 3700)

Oleh karena itu, para ulama berbeda dalam menjadikannya sebagai hujjah. Ada yang menyebut ini adalah dosa besar, ada yang menyebut dosa besar di antara dosa kecil, bahkan ada yang menyebut tidak berdosa tapi dia merugi sangat besar.

Imam as Suyuthi Rahimahullah mengutip dari Imam al ‘Iraqi Rahimahullah:

استدلَّ بهذا الحديث على أنَّ نِسيان القرآن من الكبائر، وقد صرَّح بذلك صاحب “العُدَّة” من أصحابنا وتوقف فيه الرافعي، وهذا الكلام المحكي عن صاحب “العدَّة” ظاهره أنه في نسيان جميع القرآن، ويحتمل أنه أراد به أي جزء من القرآن، وهذا الحديث يدل عليه كقوله: “من نسي سورة من القرآن أو آية” وهذا يحتمل أنه شك من الراوي في اللَّفظ الذي قاله النَّبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، ويحتمل أن يكون تنويعًا من النَّبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وأنَّ الوعيد يترتب على كل منهما

Hadits ini menjadi dalil bahwa melupakan Al Quran adalah dosa besar. Hal ini dijelaskan oleh pengarang “Al ‘Uddah” dari para sahabat kami (Syafi’iyyah), tapi Ar Rafi’i tawaquf (no coment). Perkataan ini disampaikan oleh pengarang Al ‘Uddah, secara zhahir maksudnya adalah melupakan semua Al Quran, bisa juga diartikan sebagian dari Al Quran. Hadits ini menunjukkan hal itu: “Siapa yang melupakan satu surat atau ayat dari Al Quran”, ini mungkin ada keraguan perawi dalam lafaz yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau bisa juga memang beragam lafaz dari RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ancaman itu berlaku atas keduanya (baik melupakan semua atau sebagaian).

(Qutul Mughtadzi, 2/735)

Imam Ali al Qari berkata:

قُلْتُ: الْمُرَادُ تَرَكُهَا عَمْدًا إِلَى أَنْ يُفْضِيَ إِلَى النِّسْيَانِ، وَقِيلَ: الْمَعْنَى أَعْظَمُ مِنَ الذُّنُوبِ الصِّغَائِرِ، إِنْ لَمْ تَكُنْ عَنِ اسْتِخْفَافٍ وَقِلَّةِ تَعْظِيمٍ، كَذَا نَقَلَهُ مِيرَكُ عَنِ الْأَزْهَارِ

Aku (Ali al Qari) berkata: Maksud dari meninggalkannya adalah sengaja dan membiarkannya sampai lupa. Ada yang mengatakan itu dosa terbesar dari dosa-dosa kecil, jika dia melakukannya bukan karena meremehkan dan sedikit penghormaannya, demikian yang dikutip oleh Mirak dari al Azhar. (Mirqah al Mafatih, 2/605)

Imam Ibnu Malak berkata:

يعني: يكون ذنبه أعظم من سائر الذنوب الصغائر؛ لأن نسيان القرآن من الحفظ ليس بذنب كبير إن لم يكن عن استخفاف وقلة تعظيم

Yakni menjadi dosa paling besar diantara dosa kecil, karena melupakan hapalan Al Quran bukan dosa besar, jika bukan karena meremahkan dan sedikit penghormatannya. (Syarh al Mashabih, 1/434)

Syaikh Abdul Muhsin al Abbad al Badr mengatakan:

أما إذا حصل منه ذلك نسياناً، كأن يحصل منه كسل أو تغافل أو طول ترك من غير قصد فإنه لا حرج على الإنسان في ذلك، ولكنه يخسر خسارة كبيرة، حيث يفوته مغنم كبير

Ada pun jika hal itu terjadi karena dia lupa, seperti terjadi karena malas, lalai, atau lama meninggalkannya tanpa sengaja, maka itu tidak apa-apa, tapi dia mengalami kerugian besar seperti orang yang kehilangan harta yang begitu banyak. (Syarh Sunan Abi Daud, no. 056)

Kesimpulan, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan bukan dosa besar sebab menghapal Al Quran itu hanya sunnah, di tambah lagi hadits di atas tidak kuat. Ada yang mengatakan itu dosa besar di antara yang kecil. Ada pula yang mengatakan dosa besar tapi jika karena sengaja melupakannya, malas, dan meremehkan. Ada pun mereka yang lupa karena masalah daya ingat tentu sama sekali bukan masalah.

Sedangkan jika MELUPAKAN dan MENINGGALKAN ajaran Al Quran, bukan sekadar hapalan, maka itu jelas dosa besar dengan ancaman yang besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126)

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”
Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.”

(QS. Thaha: 124-126)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengubah Niat di Tengah Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢

Hukum mengubah niat. Seseorang telah melakukan sholat subuh. Ketika ingat belum melaksanakan qobliyah, dia sholat subuh lagi dengan meniatkan, sholat subuh sebelumnya dianggap qobliyah subuh. Bagaimana hukumnya?

(NS, Lampung, 54, +62 813-7914-xxxx)

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengubah niat shalat di saat shalat sudah mulai baik dari niat sunnah ke wajib, atau dari niat wajib ke sunnah, atau dari sunnah ke sunnah, adalah tidak boleh alias tidak sah.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال الماوَرْدِيُّ: نقلُ الصلاةِ إلى صلاةٍ أقسامٌ: أحدُها: نقلُ فرضٍ إلى فرض: فلا يحصلُ واحدٌ منهما، الثاني: نقلُ نفلٍ راتبٍ إلى نفلٍ راتبٍ؛ كَوِتْرٍ إلى سنةِ الفجر فلا يحصلُ واحدٌ منهما، الثالث: نقلُ نفلٍ إلى فرضٍ فلا يحصل واحدٌ منهما

Berkata al Mawardi: perpindahan shalat ke shalat lain ada benerapa macam:

– Dari wajib ke wajib, tidak sah

– Dari sunnah ke sunnah, seperti dari witir ke sunnah fajar, tidak sah

– Dari sunnah ke fardhu, ini tidak sah.

(al Majmu’ Syarh al. Muhadzdzab, 4/211)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

لا يجوز تغيير النية من معيَّن إلى معيَّن ، أو من مطلق إلى معيَّن ، وإنما يجوز تغيير النية من معيَّن إلى مطلق

Tidak boleh mengubah niat dari shalat mu’ayyan (spesifik) ke shalat mu’ayyan, atau dari shalat muthlak ke shalat mu’ayyan, yang boleh adalah perubahan dari mu’ayyan ke muthlak.

(Majmu Fatawa, 12/348)

Kasus yang ditanyakan, perubahan dari shalat subuh ke qabliyah subuh adalah TIDAK SAH. Itu termasuk perubahan wajib ke sunnah, atau istilah lainnya mu’ayyan ke mu’ayyan (shalat yang khusus ke shalat khusus).

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Fatwa Ikatan Ulama Internasional Tentang Shalat Jumat Online: Tidak boleh secara syar’i

💢💢💢💢💢💢💢💢

Ini adalah fatwa yang dikeluarkan 24 Maret 2020, oleh al Ittihad al ‘Aalami Li’ Ulama al Muslimin, ketika menjawab tentang gagasan Shalat Jumat dengan media tv, radio, dan online.

Berikut ini fatwanya:

إن أداء صلاة الجمعة والاستماع لخطبتها بالتلفاز والمذياع ونحوهما لا تجوز شرعًا؛ لمخالفتها للشروط والأركان الشرعية، ولما تفضي إليه من مآلات فاسدة، ومخالفةٍ صريحة لمقاصد الجمعة والجماعات، ويسعُ الناسَ إذا تعذرت عليهم صلاة الجمعة في المساجد، أن يعملوا بالرخصة الشرعية البديلة وهي صلاة الظهر، دون تكلف ولا تعسف

Pelaksanaan shalat Jumat dan mendengarkan khutbahnya melalui TV, radio, dan semisalnya, adalah TIDAK BOLEH secara syar’i, karena hal itu menyelisihi berbagai syarat dan rukun syar’i, dan memunculkan dampak kerusakan, serta menyelisihi dengan jelas maksud syariat shalat Jumat dan jamaah.

Manusia telah dilapangkan oleh syariat, jika mereka mengalami ‘udzur tidak bisa shalat Jumat ke masjid, hendaknya mereka menjalankan rukhshah yang syar’i sebagai gantinya yaitu shalat zuhur, tanpa melakukan aktifitas yang takalluf (memaksakan diri) dan ta’assuf (menyimpang).

Selengkapnya ini:

http://iumsonline.org/ar/ContentDetails.aspx?ID=11154

📙📘📗📕📒📔📓

🖋 Farid Nu’man Hasan

Rukhshah (keringanan) Itu Bagian dari Agama; Menyorot Ide Shalat Jumat secara Online

💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (dispensasi) yang diberikannya dilakukan, sebagaimana Ia juga suka jika ‘azimah (kewajiban awal sebelum dirukhshah)nya dikerjakan.”

(HR. Ahmad dan al Baihaqi. Imam Thabarani meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Shahih. Lihat Shahih alJami’ Ash Shaghir, no. 1881. Imam Al Haitsami mengatakan dua jalur tersebut rijalnya tsiqah)

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshahnya dilaksanakan, sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.”

(HR.Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya no. 5866, 5873. Ibnu Hibban dalam shahihnya, 2742. Al Haitsami mengatakan rijalnya shahih)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha:

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.”

(HR. Bukhari dan Muslim, Al Lu’lu wal Marjan, no. 1502)

Pelajaran dari hadits-hadits ini:

📌 Menjalankan rukhshah (keringanan) dalam agama, jika memang ada sebab dan alasan syar’i untuk mengambilnya, adalah bagian dari ajaran agama.

📌 Mengambil rukhshah bukan kelemahan dalam beragama, tetapi hal itu bagian dari pelaksanaan agama pada situasi yang dianggap tepat.

📌 Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat juga menjalankan rukhshah.

📌 Mengambil rukhshah adalah lebih utama, dibanding mengambil ‘azimah (kewajiban asal) jika pada situasi yang tidak tepat dengan cara yang dipaksakan.

📌 Sebagai misal, memaksakan diri shalat Jumat secara online, dengan posisi makmum dan imam berbeda lokasi, bahkan RT, RW, bahkan berbeda kecamatan, dengan alasan darurat.

📌 Padahal terpampang luas rukhshah dihadapan mereka, yaitu ganti dengan shalat zuhur, sebagaimana dikatakan Imam al Mardawi, Syaikh Sayyid Sabiq,.. Selesai urusan dan simple. Kewajiban agama tetap bisa dijalankan, tanpa usah membuat gagasan yang neko-neko.

📌 Beragama tidak cukup dengan landasan kerinduan, emosi, dan perasaan; ingin kembali ke masjid dan shalat Jumat.

📌 Semua muslim pasti merindukan shalat Jumat jangan dikira yang masih berdiri di atas rukhshah tidak rindu dengan masjid, berjamaah, ta’lim.

📌 Tapi kita beragama diperintahkan untuk patuh kepada tuntunan, bukan intuisi dan emosi jiwa.

📌 Allah Ta’ala dan RasulNya menuntun agar ikuti para ulama, di mana mereka sudah menjelaskan secara gamblang alasan, dalil, dan argumentasi.

📌 Negara pun telah menghimbau berdasarkan fatwa tersebut, sehingga fatwa ulama semakin kuat kedudukannya.

📌 Spirit hukumnya mirip pada perubahan hukum semisal jihad yang fardhu kifayah, bisa naik menjadi fardhu ‘ain disaat adanya perintah dari penguasa.

📌 Maka, tidak heran jika Syaikh Ali Jum’ah -mantan Mufti Mesir- mengatakan, bahwa himbauan ulama tentang tidak berjamaah sementara waktu ke masjid, bisa menjadi wajib syar’ i jika negara sudah menekankan pula.

📌 Etika hidup berjamaah dan bermasyarakat adalah jika pemimpin sudah memutuskan sesuatu masalah yang sedang diperselisihkan maka perselisihan itu lenyap. Begitu adabnya. Jangan lagi ngoyo apalagi bikin gerakan bawah tanah.

📌 Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ

Ketahuilah, bahwa keputusan hakim (pemimpin) dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim.

(Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

📌 Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف

Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan.

(Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Demikian. Wallahul Musta’an.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top