Berqurban dengan Hewan Yang Sudah Dikebiri

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak apa-apa, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melakukannya:

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجِيَّيْنِ خَصِيَّيْنِ

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih dicampur hitam, dan sudah dikebiri.

(HR. Ahmad, shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1147)

Syaikh Ibn al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

يجوز الأضحية بالخصي ؛ لأنه ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبشين موجوءين – يعني: مقطوعي الخصيتين- ووجه ذلك أن الخصي يكون لحمه أطيب ، فالخصاء لن يضره شيئا “

Bolehnya berqurban dgn hewan qurban yang dikebiri, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berqurban dengan hewan yang sudah dikebiri, yaitu dipotong dua bijinya, dan hal itu membuat dagingnya semakin bagus. Kebiri tsb sama sekali tidak membahayakannya.

(Al Liqo Asy Syahri, 3/111)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Bahaya Tidak Bayar Hutang

💢💢💢💢💢💢💢

Ada dua bahaya, yaitu bahaya di dunia dan akhirat.

1. Bahaya di Dunia

Banyak bahaya di dunia bagi orang yang menunda bahkan tidak membayar hutang. Kami sebut beberapa saja, di antaranya:

– Dinilai sebagai pencuri

Dari Shuhaib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa pun yang berhutang dan dia tidak berencana untuk membayarnya kepada pemiliknya, maka ia akan menjumpai Allah dengan status sebagai pencuri. (HR. Ibnu Majah No. 2401, hasan)

– Dinilai sebagai kezaliman

Dari Abu Hurairah Radhiallahyu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezaliman.

(HR. Bukhari no. 2225)

– Boleh dita’dzir (diberikan hukuman)

Dari Amru bin asy Syarid, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

ليُّ الواجِدِ يحل عِرضَه وعقوبَتَه

Menunda-nunda pembayaran hutang maka halal atas kehormatannya dan memberikan hukuman atasnya.

(HR. Abu Daud no. 3628, hasan)

Imam Abdullah bin Mubarak mengatakan:

حلُّ عرضَه: يُغلَّظُ له، وعقوبتُه: يُحبَسُ له

Makna “Halal kehormatannya” : yaitu halal memcelanya, makna “memberikannya sanksi”: yaitu memenjarakannya. (Lihat Sunan Abi Daud no. 3628)

Ini menjadi dalil bagi Bank Syariah, bolehnya memberikan hukuman denda uang (gharamah) kepada nasabah yang menunda pembayaran hutang padahal dia mampu. Itu bukan riba. Hanya saja uang tersebut dikembalikan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk keuntungan bagi Bank.

💢💢💢💢💢💢💢💢

2. Bahaya Akhirat

– Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan mayit yang memiliki hutang

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, shahih)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit, pen) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang niscaya.

(Zaadul Ma’ad, 1/503)

– Jiwa Mayit Yang Berhutang Terkatung-katung

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.”

(HR. At Tirmidzi No. 1079, katanya: hasan. Ahmad No. 10607. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 10607)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarfkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Berkata As Suyuthi, yaitu orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/193)

Ada juga yang memaknai bahwa jiwa orang tersebut masyghul (gelisah) karena hutangnya. Hal itu dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah sebagai berikut:

Hadits ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan senantiasa gundah (masyghul) dengan hutangnya setelah dia wafat. Pada hadits ini juga terdapat anjuran untuk membersihkannya dari hutang sebelum wafat, karena hutang adalah hak yang paling penting. Hal ini jika pada hutang yang diberikan menurut kerelaan pemiliknya, maka apa jadinya pada harta yang mengambilnya secara paksa dan merampas?
(Subulus Salam, 2/92)

– Terhalang masuk surga walau mati syahid

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن

“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim No. 1886)

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.

(HR. Ahmad No. 22546, Al Hakim No. 2212, katanya: shahih)

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan:

Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa hak-hak yang terkait dengan manusia dan tanggungannya, tidaklah bisa dihapuskan dengan amal shalih, sebab amal shalih itu hanya menghapuskan hal-hal yang terkait antara manusia dengan Rabbnya. (Ikmalul Mu’lim, 6/155. Al Syarh Shahih Muslim, 6/362)

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

Maksud hutang di sini adalah semua hak manusia baik berupa darah, harta, dan kehormatan. Hal itu tidaklah bisa diampuni dengan mati syahid, itu untuk syahid perang darat, ada pun syahid perang laut, maka dia diampuni termasuk hutangnya, berdasarkan adanya riwayat tentang itu.

(Faidhul Qadir, 6/599)

📌 Hutang Yang Bagaimanakah Yang Berbahaya bagi pelakunya?

Yaitu hutang yang pelakunya tidak ada niat baik melunasinya, padahal dia mampu dan ada harta untuk melunasinya.

Dari Maimunah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا

“Tidaklah seorang muslim berhutang, dan Allah mengetahui bahwa dia hendak menunaikannya, melainkan Allah Ta’ala akan menunaikannya di dunia.”

(HR. Ibnu Majah No. 2408, shahih)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa mengambil harta manusia dan dia hendak melunasinya, maka niscaya Allah akan melunaskan baginya. Barangsiapa yang mengambil lalu hendak menghancurkannya maka Allah akan menghancurkan dia.”

(HR. Bukhari No. 2387)

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

Bahaya ini berlaku bagi orang yang memiliki sesuatu (mampu) untuk melunasi hutangnya. (Al Ikmal, 6/155)

Berkata Imam As Syaukani Rahimahullah:

Ini terikat pada siapa saja yang memiliki harta yang dapat melunasi hutangnya. Ada pun orang yang tidak memiliki harta dan dia bertekad melunaskannya, maka telah ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan melunasi untuknya. (Nailul Authar, 4/23)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)

Ini juga dikatakan Imam Al Munawi:

Perbincangan tentang ini berlaku pada siapa saja yang ingkar terhadap hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya. (Faidhul Qadir, 6/ 559)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Memberikan Kuniah

💢💢💢💢💢💢💢💢

Kuniah itu ungkapan panggilan seseorang seperti Abu Ahmad (Ayahnya Ahmad) atau Ummu Ahmad (Ibunya Ahmad).

Imam an Nawawi Rahimahullah memberikan penjelasan:

ويستحب تكنية أهل الفضل من الرجال والنساء سواء كان له ولد أم لا وسواء كني بولده أم بغيره وسواء كني الرجل بأبي فلان أو أبي فلانة وسواء كنيت المرأة بأم فلان أو أم فلانة

Hal yang disukai memberikan kuniah kepada orang yang memiliki keutamaan baik laki-laki dan perempuan. Baik dia punya anak atau tidak. Baik memakai nama anak sendiri atau selainnya. Tidak ada bedanya baik bagi laki-laki dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah, atau perempuan dengan Ummu Fulan atau Ummu Fulanah.

ويجوز التكنية بغير أسماء الآدميين كأبي هريرة وأبي المكارم وأبي الفضائل وأبي المحاسن وغير ذلك ويجوز تكنية الصغير
وإذا كني من له أولاد كني بأكبرهم

Dibolehkan memberikan kuniah dengan selain nama manusia. Seperti Abu Hurairah, Abu Makarim, Abu Mahasin, dan lainnya. Dibolehkan pula memberikan kuniah pada anak kecil. Bagi yang punya beberapa anak maka dia dikuniahkan dengan anak yang tertua.

ولا بأس بمخاطبة الكافر والفاسق والمبتدع بكنيته إذا لم يعرف بغيرها أو خيف من ذكره باسمه مفسدة وإلا فينبغي أن لا يزيد على الاسم

Tidak apa-apa saat berbicara dengan orang kafir, fasiq, ahli bid’ah, dengan kuniahnya. Jika memang dia tidak dikenali kecuali dengan kuniahnya, atau khawatir jika disebut nama aslinya memunculkan kerusakan, jika tidak ada seperti itu, maka sebaiknya jangan menambahkan namanya (dengan kuniah).

📚 Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 8/438

Masalah penamaan tentu sangat luwes dan lentur. Sebab, ini terkait adat kebiasaan masyarakat di suatu zaman dan tempat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri memanggil istrinya “Wahai Aisyah!”.. Istri yang lainnya: “Ini shafiiyah!”

Para ulama pun ada yang tidak dikenal kuniahnya, mereka lebih dikenal dengan nama nenek moyangnya seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Taimiyah,.. Atau lebih dikenal dengan nama daerahnya seperti Imam Al Qurthubi (Qordoba), Syaikh Al Albani (Al Bania), dst.

Wallahu A’lam

📙📘📗📕📒📔📓📙

✍ Farid Nu’man Hasan

[Tata Cara Shalat] – Bangun dari Ruku’ dan I’tidal

⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫⏫

Yaitu bangun kembali berdiri tegak dan mengembalikan anggota badan ke posisinya secara stabil.

Hal ini berdasarkan hadits:

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا

Kemudian bangunlah sampai lurus tegak berdiri.

(HR. Muslim no. 397)

Pada posisi ini juga diwajibkan thuma’ninah sebagaimana ruku’.

Apa yang dibaca saat bangun dari ruku’?

Yaitu sami’allahu liman hamidah.

Sebagaimana hadits berikut:

كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk dengan mengucapkan:

‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) ‘. Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud.”

(HR. Bukhari no. 735)

Demikianlah yang dibaca oleh IMAM dan orang yang SHALAT SENDIRI.

Lalu, apa yang dibaca oleh makmum saat bangkit dari ruku’? Apakah sama atau rabbana walakal hamd?

Dalam hal ini, ada dua pendapat ulama.

Pertama. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum hanya membaca “Rabbana wa Lakal Hamdu”, bukan membaca “Sami’allahu liman Hamidah.”

Alasan kelompok ini adalah hadits berikut:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:

……وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ….

…. Ketika (Imam) membaca “Sami’allahu liman Hamidah” maka bacalah oleh kalian: “Rabbana wa Lakal Hamdu…..” (HR. Al Bukhari No. 689, 732, 805, Muslim No. 411)

Inilah pendapat sebagian sahabat nabi dan Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, seperti keterangan Imam At Tirmidzi berikut ini:

والعمل عليه عند بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم ومن بعدهم أن يقول الإمام سمع الله لمن حمده [ ربنا ولك الحمد ] ويقول من خلف الإمام ربنا ولك الحمد وبه يقول أحمد

Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan setelah mereka, bahwasanya Imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana walakal Hamdu.” Lalu makmum membaca “Rabbana walakal Hamdu.” Ini juga pendapat Imam Ahmad.

(Sunan At Tirmidzi, No. 267)

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

يستدل به من يقول إن التسميع مختص بالإمام فإن قوله: “ربنا ولك الحمد” مختص بالمأموم وهو اختيار مالك رحمه الله

Hadits ini menjadi dasar bagi pihak yang mengatakan bahwa “tasmi’” (Ucapan Sami’allahu Liman Hamidah) adalah khusus bagi imam, sedangkan ucapannya “Rabbana walakal Hamdu” adalah khusus bagi makmum. Inilah yang dipilih Imam Malik Rahimahullah. (Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 141)

Imam Ibnu Abdil bar mengatakan:

وقال مالك وأبو حنيفة وأصحابهما والثوري وأحمد بن حنبل لا يقول المأموم سمع الله لمن حمده وإنما يقول ربنا ولك الحمد فقط وحجتهم حديث أنس هذا وحديث أبي موسى المذكور في هذا الباب

Malik, Abu Hanifah, dan para sahabat mereka berdua, lalu Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, mereka mengatakan makmum tidak membaca “Sami’allahu liman hamidah”, tapi hanya membaca “Rabbana wa lakalhamdu”, dalilnya adalah hadits Anas ini, dan hadits Abu Musa yang disebutkan dalam bab ini. (At Tamhid, 6/150)

Kedua. Kelompok yang mengatakan bahwa makmum juga membaca “Sami’allahu liman hamidah,” lalu dilanjutkan dengan “Rabbana walakal hamdu.”

Inilah pendapat para imam seperti Imam Ibnu Sirin, Imam Asy Syafi’i, Imam Ishaq bin Rahuya (Rahawaih), dan lainnya. Bagi kelompok ini, maksud hadits di atas adalah bentuk pengajaran Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya, tentang apa yang mesti di baca ketika i’tidal, yaitu “Rabbana walakal hamdu,” yang dibacanya setelah mereka membaca “Sami’allah liman hamidah.”

Imam At Tirmdzi berkata:

وقال ابن سيرين وغيره يقول من خلف الإمام سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد مثل ما يقول الإمام وبه يقول الشافعي و إسحق

Ibnu Sirin dan lainnya mengatakan bahwa siapa yang menjadi makmum dan imam membaca “Sami’allahu Liman Hamidah Rabbana wa Lakal Hamdu” hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh imam juga. Inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ishaq. (Ibid)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وقال الشافعي ويقول المأموم أيضا سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد كما يقول الإمام المنفرد لأن الإمام إنما جعل ليؤتم به

Asy Syafi’i berkata: makmum juga mengatakan “Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu” sebagaimana yang dibaca oleh imam seorang diri, sebab imam dijadikan untuk diikuti. (At Tamhid, 6/149-150)

Imam An Nawawi dan Imam Ash Shan’ani menguatkan pendapat ini.

Jadi, para imam kaum muslimin telah berselisih masalah ini. Tapi, perselisihan ini bukan dalam masalah batal atau tidaknya shalat. Semua pilihan bacaan tersebut sah dan baik, tidak membatalkan shalat sama sekali.

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Beberapa bacaan saat i’tidal

Ada beberapa versi, di antaranya:

Pertama.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

ALLAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU MILAS SAMAAWAATI WA MILAL ARDHI WA MILA MAA BAINAHUMAA WA MILA MAAS YITA MIN SYAIIN BA’DU (Ya Allah, Tuhan kami, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh ruang antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu).

(HR. Muslim no. 771)

Kedua.

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلًا

Dari Rifa’ah bin Rafi’ dia berkata; “Suatu hari aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saat mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah”. Tiba-tiba seseorang di belakangnya mengucapkan, ‘Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih (Wahai Rabb kami, untuk-Mu segala pujian-pujian yang banyak serta baik, dan diberkahi) ‘. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau bertanya, ‘Siapa yang berbicara saat shalat? ‘Lalu ada seorang laki-laki berkata; ‘Aku wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam! ‘ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh, aku melihat tiga puluh lebih malaikat yang berebut untuk menulisnya pertama kali.”

(HR. An Nasa’ i no. 1062, shahih)

💢💢💢💢💢💢💢💢

Saat i’tidal, apakah tangan sedekap (al Qabdh) ataukah diluruskan saja di samping badan (al Irsaal)?

Dalam hal ini para ulama terbagi atas tiga pendapat:

1. Sedekap saat i’tidal

– Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah.

Misal, Imam al Kasani yg mengutip sebuah hadits:

إنا – معشرَ الأنبياء – أمرنا أن نضعَ أيماننا على شمائلنا في الصلاة

“Kami – para nabi- diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami di saat shalat.”

Menurut al Kasani, hadits ini berlaku umum tidak ada pembedaan antara diri yang satu atas lainnya, dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sehingga baik saat berdiri membaca alfatihah dan surat, atau diri i’tidal, sama saja yaitu bersedekap. Alasan lainnya:

ولأنَّ القيام من أركان الصلاة، والصلاة خدمة الرب تعالى، وتعظيمٌ له، والوضع في التعظيم أبلغُ من الإرسال، كما في الشاهد، فكان أَولى

Karena berdiri adalah rukun shalat, dan shalat adalah bentuk  khidmah kepada Allah Ta’ala dan mengagungkanNya, dan meletakkan tangan (sedekap) lebih mantap pengagungannya dibanding irsal, maka itu lebih utama. (Bada’i Shana’i, 1/201)

Imam Badruddin al ‘Aini Rahimahullah mengatakan:

وقت وضْع اليدين، والأصل فيه: أنَّ كلَّ قيام فيه ذكر مسنون يعتمد فيه، أعني: اعتماد يده اليمنى على اليسرى

Waktu meletakkan kedua tangan pada dasarnya adalah di setiap posisi berdiri yang di dalamnya terdapat dzikir yang disunnahkan, dia melakukan i’timad. I’timad artinya meletakkan tangan kanan dibatas tangan kiri.  (‘Umdatul Qari, 9/22)

– Ini juga pendapat sebagian Syafi’ iyyah.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال النَّوويُّ: (فإذا اعتدَل قائمًا حطَّ يديه)

Jika sdg berdiri i’tidal maka letakkanlah kedua tangan.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/417. Raudhatuth Thalibin, 1/252)

Imam Ibnu Hajar al Haitami Rahimahullah ditanya:

هل يضعُ المصلِّي يديه حين يأتي بذِكر الاعتدال كما يضعهما بعد التحرُّم أو يرسلهما؟

Apakah org shalat meletakkan  kedua tangannya saat dzikir i’tidal, seperti saat setelah takbiratul ihram ataukah irsal saja?

Beliau menjawab:

الذي دلَّ عليه كلامُ النَّووي – في شرح المهذب – أنه يضع يديه في الاعتدال كما يضعهما بعد التحرُّم، وعليه جريتُ في شرحي على الإرشاد وغيره، والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب)

Menurut perkataan An Nawawi dalam Syarh al Muhadzdzab, bahwasanya kedua tangan saat i’tidal itu sedekap seperti saat setelah takbiratul ihram. Ini juga menjadi penjelasanku dalam memberikan pengajaran dan lainnya. Wallahu A’lam

(al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, 1/139)

– Ini juga pendapat madzhab Zhahiri, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

ويستحبُّ أن يضعَ المصلي يده اليمنى على كوع يده اليسرى في الصلاة في وقوفه كله فيه

Disunnahkan meletakkan tangan kanan di atas siku tangan kiri saat shalat dan disemua posisinya.

(Al Muhalla, 3/29)

– Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

إذا رفَع واعتدل واطمأنَّ قائمًا وضع يديه على صدره، هذا هو الأفضل، وقال بعض أهل العلم: يرسلهما، ولكن الصواب أن يضعَهما على صدره، فيضع كفَّ اليمنى على كف اليسرى على صدره، كما فعل قبل الركوع وهو قائم، هذه هي السنَّة

Jika bangun i’tidal dan berdiri secara thuma’ninah, letakkan kedua tangan di dada. Inilah yang lebih utama. Sebagian ulama mengatakan diluruskan (irsal). Tapi, yang benar adalah meletakkannya di dada, yaitu tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada. Sebagaimana yang dilakukan sebelum ruku’ saat berdiri. Inilah yang sunnah.

(Majmu’ Fatawa, 11/30)

– Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin

Dia berkata:

الصوابُ: أنَّ وَضْعَ اليد اليمنى على اليسرى بعد الرفع من الركوع هو السنَّة، ودليلُ ذلك ما ثبت في صحيح البخاري عن سهل بن سعد – رضي الله عنه – قال: “كان الناسُ يؤمَرون أن يضع الرجلُ يده اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة”

Yang benar adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika bangun dr ruku’ adalah sunnah. Dalilnya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘Anhu berkata:
“Dahulu manusia diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya saat shalat.”

(Majmu Fatawa war Rasail, 13/160)

Menurut Syaikh Utsaimin, Hadits di atas dinilai berlaku umum saat berdiri, baik sebelum ruku atau sesudahnya.

2. Tidak sedekap

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahwa tidak dianjurkan bersedekap saat i’tidal.

– Hanafiyah. (al Fatawa al Hindia, 1/73. Majma’ al Anhar, 1/141, Bada’i Shana’i, 1/201)

– Malikiyah, bagi mereka tidka ada sedekap sama sekali baik sebelum ruku’ atau i’tidal. (asy Syarh al Kabir, 1/250, Syarh Mukhtashar Khalil, 1/286)

– Syafi’iyyah (Mughni Muhtaj, 1/166, Tuhfatul Muhtaj, 2/67)

– Sebagian Hambaliyah. (al Inshaf, 2/47)

– Syaikh al Albani, menurutnya tidak ada dasarnya sama sekali meletakkan tangan di dada saat i’tidal, baik haditsnya atau perilaku salaf. (Shifat Shalah an Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 2/701)

3. Bebas memilih baik sedekap atau tidak

Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad dan sebagian pengikutnya. Hal ini disebabkan tidak ada hadits yang benar2 jelas dalam masalah ini.

Imam Al Mardawi berkata:

قال المرداويُّ: (قال الإمام أحمد: إذا رفَع رأسه من الركوع، إن شاء أرسَل يديه، وإن شاء وضَع يمينه على شِماله)

Berkata Imam Ahmad: “Jika dia bangun dari ruku’, dia bisa irsalkan kedua tangannya jika mau, dan jika dia mau silahkan letakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.” (al Inshaf, 2/47)

Imam al Bahuti berkata:

(ثم إن شاء أرسل يديه) من غيرِ وضعِ إحداهما على الأخرى (وإن شاء وضَع يمينه على شِماله نصًّا)، أي: نصَّ أحمدُ على تخييره بينهما

(Kemudian jika mau dia irsalkan kedua tangannya) dengan tidak meletakkan yang satu atas lainnya. (Jika dia mau, letakkan tangan kanan di tangan kirinya sebagaimana perkataan) yaitu perkataan Imam Ahmad yang memberikan opsional atas kedua hal itu.

(Kasyaaf al Qinaa’, 1/348)

Demikian. Wallahu A’lam

Bersambung..

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌵🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top