Cara Mengusap Kepala Saat Wudhu

Salahkah wudhu mengusap ubun-ubun saja?

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. (QS. Al Maidah: 6)

Dalam mengusap kepala ini, para ulama sepakat itu adalah RUKUN atau KEWAJIBAN dalam wudhu bersama membasuh wajah, tangan sampai siku, dan membasuh kaki sampai mata kaki, tanpanya wudhu tersebut batal. (Al Mausu’ah, 43/332-351, Fiqhus Sunnah, 1/42)

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam kadarnya. Apakah sebagian saja sudah cukup, ataukah wajib seluruh bagian kepala. Ayat di atas memang tidak merinci, hanya memerintahkan: … wamsahuu bi ru’uusikum – dan sapulah kepalamu. Kata “bi” dalam ayat ini ada yang mengartikan keseluruhan bagian kepala, ada juga yang mengartikan sebagian.

1. Membasuh seluruhnya

Pendapat ini didukung oleh Ahli Bait, Imam Malik, Al Muzani, Al Juba’i, Ibnu ‘Ulayah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Nailul Authar, 1/196-197), bagi mereka jika tidak seluruhnya maka tidak sah wudhunya. Seperti ayat: walyathawaffuu bil baitil ‘atiiq – dan hendaknya mereka melakukan thawaf terhadap rumah tua tersebut (ka’bah). Ayat ini menggunakan “bi” dan menunjukkan bahwa thawaf itu adalah pada keseluruhan ka’bah, bukan sebagiannya saja.

Berikut ini adalah penjelasan Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

فَقَالَ مَالِكٌ الْفَرْضُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ فَإِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ كَانَ كَمَنْ تَرَكَ غَسْلَ شَيْءٍ مِنْ وَجْهِهِ هَذَا هُوَ الْمَعْرُوفُ مِنْ مذهب مالك. وهو مذهب بن علية قال بن عُلَيَّةَ قَدْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ كَمَا أَمَرَ بِمَسْحِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ وَأَمَرَ بِغَسْلِهِ فِي الْوُضُوءِ. وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ غَسْلُ بَعْضِ الْوَجْهِ فِي الْوُضُوءِ وَلَا مَسْحُ بَعْضِهِ فِي التَّيَمُّمِ. وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الرَّأْسَ يُمْسَحُ كُلُّهُ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إِنَّ مَسْحَ بَعْضِهِ سُنَّةٌ وَبَعْضِهِ فَرِيضَةٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَسْحَهُ كُلَّهُ فَرِيضَةٌ. وَاحْتَجَّ إِسْمَاعِيلُ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى وُجُوبِ الْعُمُومِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ) الْحَجِّ 29 وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الطَّوَافُ بِبَعْضِهِ فَكَذَلِكَ مَسْحُ الرَّأْسِ. وَالْمَعْنَى في قوله (وامسحوا برؤوسكم) أَيْ امْسَحُوا رُؤُوسَكُمْ وَمَنْ مَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ فَلَمْ يَمْسَحْ رَأْسَه

Berkata Imam Malik, “Mengusap semua bagian kepala adalah fardhu (wajib), barang siapa yang meninggalkan sebagiannya maka dia seperti orang yang tidak membasuh sebagian wajahnya.” Inilah yang dikenal dalam madzhab Malik. Ini juga madzhabnya Ibnu ‘Ulayah. Berkata Ibnu ‘Ulayah: “Allah Ta’ala telah memerintahkan mengusap kepala dalam wudhu, sebagaimana perintah mengusap wajah dalam tayamum, dan memerintahkan membasahinya dalam wudhu. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh membasuh sebagian wajah dalam wudhu, dan tidak boleh pula membasuh sebagian wajah dalam tayamum. Mereka telah sepakat bahwa mengusap kepala itu seluruhnya, tidak ada seorang pun mengatakan bahwa mengusap sebagian adalah sunah, mengusap sebagian lain adalah wajib. Maka, ini menunjukkan bahwa membasuh semuanya bagiannya adalah wajib.” Ismail dan lainnya –dari kalangan sahabat kami (Malikiyah)- mengatakan wajibnya mengusap semua bagian kepala, sebagaimana firmanNya: وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ – dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh melakukan thawaf hanya sebagian saja. Demikian dalam mengusap kepala. Dan, makna dari firmanNya: “wamsahuu bi ru’uusikum” adalah usaplah kepala kalian, barang siapa yang mengusap sebagian saja, maka dia tidak mengusap kepalanya.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 1/130)

Kelompok ini juga berhujjah dengan hadits berikut:

Abdullah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika mencontohkan wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan:

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ بِهِمَا

Beliau mengusap kepalanya, lalu kedua tangannya mengusap bagian depan lalu bagian belakangnya. (HR. Bukhari No. 192, Muslim No. 235)

Pernah juga dengan membasuh dari depan, kebelakang, lalu ke depan lagi. Sebagaimana hadits ini:

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى اَلْمَكَانِ اَلَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Beliau memulai usapan dengan kepala bagian depan sampai kedua tangannya ke bagian punggungnya, lalu mengembalikan lagi kedua tangannya ke tempat awal memulai. (HR. Bukhari No. 185, Muslim No. 235)

Riwayat ini menunjukkan bahwa yang diusap bukan bagian ubun-ubun saja, tetapi dari depan sampai ke belakangnya, atau dia bisa mengembalikan lagi ke depan. Inilah yang sering Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan dalam sebagian kondisi.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah menjelaskan:

“Cara inilah yang sering dilakukan Beliau. Ini menunjukkan bahwa inilah sunnah Rasulullah, yakni mengusap bagian muka dan belakang dan bagian lain pada sebagian kondisi.” (Fikih Thaharah, Hal. 185)

Pernah pula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh dengan cara kepala bagian depan, lalu ke belakang, ke depan lagi, lalu langsung ke telinga, semua dalam satu Gerakan tanpa mengambil air lagi ke tangan. Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bercerita tentang cara wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

ثُمَّ مَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ اَلسَّبَّاحَتَيْنِ فِي أُذُنَيْهِ, وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya pada kedua telinganya, dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya. (HR. Abu Daud no. 135, dishahihkan Syaikh Syu’aib al Arna’uth)

2. Sebagian sudah cukup misal di ubun-ubun

Imam Asy Syaukani menceritakan (Nailul Authar, 1/197), bahwa Imam Asy Syafi’i mengatakan sudah sah walau sebagian saja, dan tidak ada batasan secara khusus, bebas saja yang penting kepalanya diusap.
Ibnu Sayyidin Naas mengatakan: ini juga pendapat Imam Ath Thabari. Imam Abu Hanifah mengatakan wajib seperempat bagiannya. Sementara Al Auza’i, Ats Tsauri, dan Al Laits, mengatakan: sudah sah sebagian saja ditambah dengan bagian depannya. Ini juga pendapat Ahmad, Naashir, Al Baaqir, dan Ash Shaadiq. At Tsauri dan Asy Syafi’i mengatakan sudah sah mengusap kepala walau dengan satu jari. Sementara kalangan Zhahiriyah terjadi perbedaan pendapat: ada yang mewajibkan seluruh bagiannya, ada pula yang mengatakan sudah sah sebagiannya. Selesai dari Imam Asy Syaukani.

“Wamsahuu bi ru’uusikum” dan usaplah kepala kalian, maknanya sebagian sudah cukup. Sebagaimana seseorang mengusap dinding, tidak harus mengusap semua bagian dinding untuk disebut “mengusap dinding”, atau saat Anda mengusap meja bagian tertentu saja, tetaplah Anda dikatakan ”sedang mengusap meja.”

Pendapat ini diperkuat oleh hadits shahih, Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu menceritakan tantang wudhunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya:

وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ

Beliau mengusap ubun-ubunnya dan sorban yang dipakainya. (HR. Muslim No. 274)

Ini menunjukkan bahwa yang diusap oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bagian ubun-ubunnya (jambul), bukan semuanya. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مما احتج به أصحابنا على أن مسح بعض الرأس يكفي ولا يشترط الجميع لأنه لو وجب الجميع لما اكتفى بالعمامة عن الباقي

Inilah di antara hujjah para sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa mengusap sebagian kepala sudah mencukupi, tidak disyaratkan mesti semua bagiannya. Sebab, jika wajib semuanya, maka tidaklah cukup mengusap sorban untuk mewakili sisanya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/172)

Ada pun dalam madzhab Hanafi mewajibkan seperempat bagian kepala dengan cara mengira-ngira apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini.

Menurut Imam an Nawawi, hadits yang menunjukkan membalikkan kembali ke bagian depan bukanlah menunjukkan sebuah kewajiban tapi sunnah menurut kesepakatan ulama. Hadits-hadits yang menceritakan tentang tata cara mengusap kepala berbeda-beda ukurannya, ada yang ubun-ubun saja, ada yang sampai belakang, dan ada yang ke depan lagi. Tidak mungkin dikatakan mengembalikan ke depan itu wajib, sebab itu sama juga menyalahkan hadits lain yang tidak seperti itu. Keragaman ini menunjukkan semua cara itu sah dan benar, berdasarkan hadits-hadits yang shahih.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا مستحب باتفاق العلماء فإنه طريق إلى استيعاب الرأس ووصول الماء إلى جميع شعره قال أصحابنا وهذا الرد إنما يستحب لمن كان له شعر غير مضفور أما من لا شعر على رأسه وكان شعره مضفورا فلا يستحب له الرد إذ لا فائدة فيه

Ini (membalikkan ke depan) adalah sunah menurut kesepakatan ulama, karena hal itu merupakan cara untuk menguasai semua bagian kepala dan sampainya air ke seluruh rambut. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan, “mengembalikan ke belakang” hanya disunahkan bagi yang rambutnya tidak dikepang. Sedangkan orang yang tidak memiliki rambut di kepalanya, dan yang dikepang, tidaklah disunahkan mengembalikan tangan ke depan, karena itu tidak ada manfaatnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/123)

Maka, jika membasuh kepala hanya bagian tertentu dari kepala, maka itu sudah sah menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah, berdasarkan hadits Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh bagian ubun-ubunnya saja, tidak semua sisi kepala.

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Memanfaatkan Barang Gadai

💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam akad gadai (Ar Rahn), ada istilah-istilah yang mesti dipahami dulu.

Rahin yaitu orang yang menggadaikan barang, dan dia memperoleh “sesuatu” setelah dia menggadaikan barang tsb.

Murtahin yaitu pihak yg memberikan “sesuatu”, lalu dia yang memegang barang yang digadaikan.

Marhun yaitu barang yang digadaikan.

Permasalahan tentang apakah boleh murtahin memanfaatkan marhun (brg gadaian), sangat sering ditanyakan. Dalam hal ini para ulama merincinya menjadi dua bagian.

📌Pertama. Jika akadnya qardh (pinjaman). Misal, seorang minjam uang 1jt rupiah, dengan menggadaikan sebuah Hand Phone ke kawannya. Lalu, kawannya memakai HP tsb. Tau dia gadaikan laptop, lalu laptopnya dipakai si murtahin.

Ini haram menurut mayoritas ulama (bahkan Imam Ibnu Qudamah mengatakan tidak ada beda pendapat keharamannya), baik dia diizinkan atau tidak oleh pemiliknya, sebab saat dia memakainya maka dia mendapatkan riba. Sebab, dia dapat dua hal: piutang, yg akan dilunaskan untuknya, dan pemakaian tersebut yg merupakan ribanya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا

Akad gadai adalah akad yg dengannya bermaksud untuk menjaga dan menjamin hutang, bukan untuk mengambil keuntungan dan hasil, selama akadnya seperti itu maka dilarang si pemberi pinjaman memanfaatkan harta gadaian, walaun diizinkan oleh penggadai, karena itu menjadi pinjaman yang membuahkan untung, maka setiap untung didapatkan dari pinjaman maka itu riba.

(Fiqhus Sunnah, 3/156)

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid Rahimahullah mengatakan:

فإذا أذن الراهن للمرتهن بالانتفاع : فإن كان الدين دين قرض لم يجز للمرتهن الانتفاع بالرهن ، وإن أذن الراهن ؛ لأنه قرض جر نفعا فهو ربا

Jika pihak rahin mengizinkan murtahin memanfaatkannya, dan akadnya adalah hutang pinjaman maka tidak boleh bagi pihak murtahin memanfaatkannya walau itu diizinkan rahin. Sebab, pinjaman yang mendatangkan manfaatkan maka itu riba. (Al Islam Su’aalw a Jawaab no. 39734)

Imam al Baihaqi Rahimahullah -ulama hadits bermadzhab Syafi’i- mengatakan:

روينا عن فضالة بن عبيد ، أنه قال : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا . وروينا عن ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبد الله بن سلام ، وغيرهم في معناه ، وروي عن عمر ، وأبي بن كعب ، رضي الله عنهما

Kami meriwayatkan dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa dia berkata: “Setiap pinjaman yang memunculkan manfaat maka itu salah satu jenis dari berbagai jenis riba.” Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Salam, dan selain mereka dengan makna yang sama. Diriwayatkan juga dari Umar dan Ubay bin Ka’ad Radhiallahu ‘Anhuma. (as Sunan ash Shaghir, no. 1971)

Sedangkan jika tidak diizinkan pemiliknya, maka lebih besar lagi dosanya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An Nisa: 29)

Dalam hadits:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim atas mulim lainnya adalah HARAM baik terhadap darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR. Muslim no. 2564)

📌 Kedua. Jika akadnya jual beli. Misal, seorang beli motor, tapi uangnya kurang. Kekurangan itu akan di bayar misalnya selama 6 bulan secara cicil, selama cicilan tersebut si pembeli menggadaikan laptopnya ke penjual motor, lalu motor itu dipakai oleh penjual motor tsb.

Jenis ini dibolehkan, jika diizinkan oleh pemilik barang gadainya. Ini bukan riba. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ بِثَمَنِ مَبِيعٍ , أَوْ أَجْرِ دَارٍ , أَوْ دَيْنٍ غَيْرِ الْقَرْضِ , فَأَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي الِانْتِفَاعِ , جَازَ ذَلِكَ

Jika gadai itu untuk menjamin harga dari transaksi jual beli, atau onkos sewa rumah, atau hutang yang bukan akad pinjaman, lalu diizinkan oleh rahin (pemilik barang gadai) untuk memanfaatkannya, maka hal itu dibolehkan. (Al Mughni, 4/250)

Tertulis dalam Al Mudawanah:

قُلْتُ: أَرَأَيْتَ الْمُرْتَهِنَ، هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَشْتَرِطَ شَيْئًا مِنْ مَنْفَعَةِ الرَّهْنِ؟ قَالَ: إنْ كَانَ مِنْ بَيْعٍ فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِنْ قَرْضٍ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ سَلَفًا جَرَّ مَنْفَعَةً. قُلْتُ: وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، إلَّا أَنَّ مَالِكًا قَالَ لِي: إذَا بَاعَهُ وَارْتَهَنَ رَهْنًا وَاشْتَرَطَ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ إلَى أَجَلٍ، قَالَ مَالِكٌ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا فِي الدُّورِ وَالْأَرْضِينَ

Aku berkata: “Apa pendapat Anda tentang murtahin yang mensyaratkan akan memanfaatkan barang gadaian, apakah itu dibolehkan?” Beliau menjawab: “Jika itu berasal dari akad jual beli, maka boleh. Jika itu dari hutang pinjaman maka tidak boleh, sebab itu termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan pinjaman, riba). Aku berkata: “Apakah ini pendapat Malik?” Dia menjawab: “Ya, hanya saja Malik berkata kepadaku: “Jika seseorang menjual sesuatu dan ada yang digadaikan dan mensyaratkan memanfaatkan barang gadaian sampai batas waktu pembayaran, Malik berkata: “Menurutku tidak apa-apa baik dalam jual beli rumah dan tanah.” (Al Mudawanah, 4/149)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Geleng-Geleng Kepala Saat Berdzikir

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalmualaikum ustdz.

Afwan mau tanya,,kalou dzikir la ilaha illalloh dengan menggeleng gelengkan kepala,,hukumnya apa?dan mohon penjelasannya ustadz,,🙏🙏 (Umar)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ya, mungkin kita pernah lihat ada orang yang menggeleng2kan kepalanya saat berdzikir. Sebagian ada yang melakukannya secara spontanitas saja, seperti orang yang menggigil dan tidak bisa dihindari. Sebagian orang ada yang melakukan secara sengaja dan sadar untuk mencapai kekhusyu’an.

Secara khusus tidak ada dalil Al Quran dan As Sunnah tentang berdzikir dengan menggeleng2kan kepala. Oleh karenanya hal ini DIPERSELISIHKAN ULAMA.

📌 Pihak yang membolehkan

Mereka mengatakan hal itu boleh, JIKA ITU TIDAK DIANGGAP BAGIAN DARI DZIKIR, itu sebagai cara saja untuk lebih konsentrasi, maka tidak apa-apa bahkan dianjurkan.

Hal ini berdasarkan dalil umum, yaitu ayat berikut:

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 191)

Imam Muhammad al Khalili asy Syafi’i Rahimahullah menjelaskan ayat di atas:

علمت أن الحركة في الذكر والقراءة ليست محرمة ولا مكروهة، بل هي مطلوبة في جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضرة وغنى وفقر

Aku mengetahui bahwa gerakan dalam berdzikir dan membaca Al Quran bukanlah suatu hal yang haram dan makruh, bahkan itu hal yang dituntut secara umum diberbagai kondisi orang yang berdzikir baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, perjalanan, mukim, kaya, dan fakir.

(Fatawa al Khalili ‘alal Madzhab asy Syafi’i, jilid. 1, hal. 36)

Beliau juga berkata:

وأما الاهتزاز في حالة الذكر فمندوب إليه؛ لما روى الحافظ أبو نعيم أحمد بن عبد الله الأصفهاني بسنده عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه وصف الصحابة يوما فقال: كانوا إذا ذكر الله مادوا كما تميد الشجر في اليوم الشديد الريح وجرت دموعهم على ثيابهم قال أهل اللغة: ماد يميد إذا تحرك، ومادت الأغصان تميد تمايلت. قال شيخنا العارف جمال الدين عبد الله بن حسام الدين خليل الاسترابادي البسطامي قدس الله تعالى روحه: وهذا صريح على أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يتحركون في الذكر حركة شديدة يمينا وشمالا؛ لأنه شبه حركتهم بحركة الشجر يوم الريح، ومن المعلوم أن الشجر في يوم الريح يتحرك حركة شديدة، فثبت مطلقا إباة الميلان بهذا الأثر على أن الرجل غير مؤاخذ بما يتحرك ويقعد ويقوم ويلبث على أي نوع كان لا يكون منهيا عنه، ولم يرد عنه صلى الله عليه وسلم نهي عن الحركة في الذكر، ولو كان فيها كراهة لبينها لأمته فيما ورد عنه

Ada pun menggoyangkan badan di saat dzikir adalah hal yang dianjurkan. Berdasarkan riwayat dari Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al Ashfahani dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa suatu hari ia menceritakan keadaan sahabat nabi: “Para sahabat jika berdzikri kepada Allah bergerak-gerak sebagaimana bergerak-geraknya pohon di hari yang begitu kenang anginnya, air mata mereka mengalir sampai pakaian mereka. Ahli bahasa mengatakan “maada yamiidu artinya bergerak/mengayun.” Syaikh kami, al ‘Arif Jamaluddin Abdillah bin Husamuddin al Khalil -semoga Allah sucikan ruhnya- mengatakan: “Hal ini begitu jelas bahwa para sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum melakukan gerakan dalam berdzikir dengan gerakan yang kuat ke kiri dan kanan, karena gerakan mereka diserupakan dengan gerakan pohon di hari berangin kencang, maka gerakan ini telah kuat secara mutlak berdasarkan atsar bahwa seseorang yang bergerak-gerak dalam keadaan duduk dan berdiri dan gerakan apa pun tidaklah terlarang, dan tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarang gerakan saat berdzikir, seandainya hal itu dibenci niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskannya kepada umatnya. (Ibid, jilid. 2, hal. 259)

Imam Fakhruddin ar Razi Rahimahullah mengatakan:

المؤمن إذا سمع ذكر الله اهتز ونشط

Orang beriman itu jika mendengar dzikrullah maka dia akan bergerak – gerak dan semangat. (Tafsir Ar Razi, jilid. 5, hal. 294)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

هذا إن جاء تلقائيًّا فهذا ما فيه بأس؛ لأن بعض الناس يستعين -مثلًا- بالهز على التلاوة. وإن جاء تعبديًّا فإنه لا يجوز، وهو بدعة، ومع ذلك نحن نحث الذين يهتزون تلقائيًّا أن يعودوا أنفسهم على ترك الهز؛ لأنه قد يقتدي بهم غيرهم، ويظن أن هذا أمر مشروع

Jika gerakan ini terjadi spontanitas maka TIDAK APA-APA, sebab sebagian manusia ada yang terbantu – misalnya- dalam membaca Al Quran dengan bergerak-gerak. Namun jika itu dianggap IBADAH maka tidak boleh, itu bid’ah. (Liqa Bab al Maftuh, 150/25)

📌 Pihak yang melarang

Mereka mengatakan menggerakkan badan saat dzikir adalah MENYERUPAI YAHUDI. Ini terlarang.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan YAHUDI karena mereka suka bergerak-gerak (YATAHAWWADUUN) saat membaca Taurat.

وَقَالَ أَبُو عَمْرِو بْنُ الْعَلَاءِ: لِأَنَّهُمْ يَتَهَوَّدُونَ، أَيْ: يَتَحَرَّكُونَ عِنْدَ قِرَاءَةِ التَّوْرَاةِ

Abu Amr bin al ‘Ala mengatakan: “Karena mereka yatahawwaduun, yaitu bergerak-gerak saat membaca Taurat. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 1, hal. 285)

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya terhadap ayat berikut:

۞وَإِذۡ نَتَقۡنَا ٱلۡجَبَلَ فَوۡقَهُمۡ كَأَنَّهُۥ ظُلَّةٞ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُۥ وَاقِعُۢ بِهِمۡ خُذُواْ مَآ ءَاتَيۡنَٰكُم بِقُوَّةٖ وَٱذۡكُرُواْ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka, seakan-akan (gunung) itu naungan awan dan mereka yakin bahwa (gunung) itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami firmankan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.”

(QS. Al-A’raf, Ayat 171)

Beliau mengutip dari Abu Bakar bin Abdillah:

فَلَمَّا نَشَرَ الْأَلْوَاحَ فِيهَا كِتَابُ اللَّهِ كَتَبَهُ بِيَدِهِ، لَمْ يَبْقَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ جَبَلٌ وَلَا شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا اهْتَزَّ، فَلَيْسَ الْيَوْمَ يَهُودِيٌّ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ صَغِيرٌ، وَلَا كَبِيرٌ، تُقْرَأُ عَلَيْهِ التَّوْرَاةُ إِلَّا اهْتَزَّ وَنَفَضَ لَهَا رَأْسَهُ. [أَيْ: حَرَّكَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُءُوسَهُمْ} [الْإِسْرَاءِ:51] أَيْ يُحَرِّكُونَهَا]

Ketika Taurat sudah disebarkan, di dalamnya terdapat ketetapan Allah Dia tulis dengan tanganNya, maka membuat semua gunung, pohon, bebatuan bergetar. Maka, tidaklah Yahudi hari ini di semua permukaan bumi baik anak kecil dan dewasanya melainkan bergerak-gerak saat dibacakan Taurat kepada mereka, dan menggerak-gerakkan kepalanya, sebagaimana firman Allah: “mereka menggeleng-gelengkan kepalanya kepadamu.” (QS. Al Isra: 51).

(Ibid, jilid. 3, hal. 500)

Inilah pendapat dari Al Lajnah ad Daimah, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan lainnya.

Silahkan ambil pendapat yang sekirannya lebih kuat dan jangan ingkari yang lainnya. Semoga kita bisa berlapang dada dalam perbedaan ini dan perbedaan fiqih lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Wafat Belum Berbai’at Kepada Pemimpin Matinya Jahiliyah?

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Sebagian orang ada yang memahami seperti ini, sehingga mereka menganggap kafir orang yang tidak berbai’at dengan pimpinan kelompok mereka.

📌 Mereka beralasan dengan hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim No. 1851)

📌 Maksud “jahiliyah” dalam hadits ini adalah BUKAN JAHILIYAH ORANGNYA seperti sangkaan mereka, tapi jahiliyah dalam arti seolah dia mati di zaman jahiliyah, zaman di mana tidak ada pemimpin. Begitulah penjelasan para ulama.

📌 Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah).

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238)

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.

(Fathul Bari, 13/7)

📌 Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang sahabat nabi yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar Rusul, 4/429)

📌 Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah ‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu: “Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ An Nihal, 4/103)

📌 Penjelasan ulama dan kenyataan sejarah ini menunjukkan kelirunya pihak yang mengkafirkan orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin.

📌 Zaman ini implementasi bai’at sudah terpenuhi dengan orang-orang yang memilihmya saat pemilihan, atau ketika seorang pemimpin sudah dilantik dan tidak ada yang menentangnya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top