Sudah Shalat, Tapi Diminta Lagi Jadi Imam?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum ustadz, izin bertanya ustadz, apakah boleh kita menjadi imam 2x atau 3x dalam shalat yg sama, misal disebuah masjid krn banyak jama’ah yg shalat, maka l shalat berjama’ahnya di bagi jd beberapa kali, di kloter pertama si A jadi imam, kemudian di kloter ke 2 tetap si A lg yg jd imam, apakah di bolehkan ustadz?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim…

Hal itu diperselisihkan ulama. Sebagian membolehkan hal itu, yaitu shalat yang kedua dihitung sebagai shalat sunnah bagi imam tsb, hal ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya:

Pertama. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ، فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ

Bahwa Mu’adz bin Jabal pernah shalat Isya terlambat bersama Rasulullah ﷺ, kemudian dia kembali menuju kaumnya dan ikut shalat bersama kaumnya. (HR. Muslim no. 465)

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan:

فيه من الفقه جواز صلاة المفترض خلف المتنفل لأن صلاة معاذ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم هي الفريضة وإذا كان قد صلى فرضه كانت صلاته بقومه نافلة له

Dalam hadits ini terdapat fiqih, bolehnya orang yg shalat wajib jadi makmum orang yang shalat sunnah. Sebab, shalatnya Muadz bin Jabal bersama Rasulullah ﷺ itu shalat wajib, jadi jika shalatnya bersama nabi adalah shalat wajib maka shalatnya bersama kaumnya adalah shalat sunnah baginya. (Ma’alim as Sunan, jilid. 1, hal. 170)

Kedua, dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu:

جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Datang seseorang dan Rasulullah ﷺ telah selesai shalat, Beliau besabda:

“Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya?” maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya.

(HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/174 )

Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الدُّخُولِ مَعَ مَنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ مُنْفَرِدًا ، وَإِنْ كَانَ الدَّاخِلُ مَعَهُ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَة قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : وَقَدْ اتَّفَقَ الْكُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ رَأَى شَخْصًا يُصَلِّي مُنْفَرِدًا لَمْ يَلْحَقْ الْجَمَاعَةَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ وَقَدْ اسْتَدَلَّ التِّرْمِذِيُّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُصَلِّيَ الْقَوْمُ جَمَاعَةً فِي مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya masuk berjamaah bersama orang yang shalat sendiri, walau orang yang masuk itu sudah shalat jamaah sebelumnya. Berkata Ibnur Rif’ah: “ Para ulama sepakat bahwa apabila seseorang melihat orang lain sedang melakukan shalat sendirian karena terlambat ikut jamaah, ia dianjurkan ikut berjamaah bersama orang tersebut, walau dia sudah shalat jamaah. “ At Tirmidzi juga berdalil dengan hadits ini bahwa bolehnya sekelompok orang shalat berjamaah di mesjid yang di dalamnya sudah di adakan shalat berjamaah sebelumnya.” (Nailul Authar, Jilid. 3, hal. 185)

Syaikh Abu Abdirrahman bin Hamd al Bassam mengatakan bahwa inilah pendapat ‘Atha, al Awza’i, Asy Syafi’i, Abu Tsaur, dan salah satu riwayat yang kuat dari Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah. (Taysir al ‘Alam Syarh’ Umdah al Ahkam, hal. 201)

Sementara Az Zuhri, Malik, Hanafiyah, dan Masyhur dari Ahmad dan mayoritas pengikutnya, adalah tidak sah. Dalilnya adalah “Imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya”, maka perbedaan niat antara makmum dan imam tidak diperkenankan. (Ibid)

Sementara Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad dalam Syarh Sunan Abi Dawud (no. 081), juga nampak mendukung pendapat yang membolehkan berdasarkan hadits Muadz bin Jabal yang begitu jelas.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Mengebiri/Mensteril Kucing

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

assalamualaikum wr wb ustadz, terkait steril kucing gimana ya ustadz?

Jazakallahu khayran (+62 818-874-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengebiri atau mensteril kucing, pada dasarnya tidak boleh. Sebab itu termasuk menyiksanya. Hal itu berlaku bagi hewan yang tidak bisa dimakan seperti kucing, dan semisalnya. Ada pun bagi hewan yang bisa dimakan larangan berlaku saat hewan itu sudah besar.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

لا يجوز خصاء حيوان لا يؤكل لا في صغره ولا في كبره، ويجوز خصاء المأكول في صغره؛ لأن فيه غرضاً وهو طيب لحمه، ولا يجوز في كبره” انتهى

Tidak boleh mengkebiri hewan yang tidak bisa dimakan, baik saat masih kecil atau sudah besar. Ada pun hewan yang bisa dimakan, maka boleh dikebiri saat kecilnya hal itu bertujuan membaguskan kualitas dagingnya, dan tidak boleh dikebiri saat sudah besar.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 6/177)

Ada pun jika kebiri atau steril dilakukan dalam rangka menekan bahaya, atau karena ada manfaat bagi kehidupan hewan tersebut secara menyeluruh, atau menjaga kehidupan manusia, maka tidak apa-apa.

Imam Ibnu Mazah al Bukhari al Hanafi Rahimahullah mengatakan:

في إخصاء السنور: إنه لا بأس به إذا كان فيه منفعة، أو دفع ضرره”

Tentang mengebiri kucing, hal itu dibolehkan jika memang bermanfaat dan dapat mencegah bahaya/kerusakan.

(Al Muhith Al Burhani, 5/376)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Kami Tidak Punya Raja, yang Kami Punya Adalah Pemimpin!

💢💢💢💢💢💢💢💢

Syaikh Abu Bakar bin Jabir al Jazairi Rahimahullah menceritakan:

Diriwayatkan bahwa Kaisar Romawi mengutus kepada Umar bin Khathab seorang utusan untuk melihat bagaimana keadaan dan perbuatannya. Ketika dia memasuki kota Madinah, dia bertanya tentang Umar: “Di mana raja kalian?”

Mereka jawab: “Kami tidak punya raja, yang kami punya adalah pemimpin, dia sedang keluar Madinah.” Lalu utusan itu mencarinya dan dia dapatkan Umar sedang tidur di pasir, dan bersandar di tongkat kecilnya yang bisa dia pakai untuk meluruskan kemungkaran.

Ketika utusan itu melihat Umar dalam keadaan seperti itu, hati utusan ini begitu tenang, lalu berkata: “Inilah laki-laki yang semua raja tidak bisa menghukumnya karena kehebatannya, beginilah dia keadaannya, tetapi engkau wahai Umar telah berbuat adil dan saat ini engkau tertidur pulas, sedangkan raja kami telah berbuat zalim dan kezalimannya itu bagaikan ahli sihir yang menakutkan!”

Hikmah dan Pelajaran:

– Kesederhanaan justru membawa kewibawaan dan penghormatan secara alami dari manusia apalagi bagi seorang pemimpin yang sebenarnya begitu mudah mendapat fasilitas negara.

– Tetap sederhana disaat terbuka lebarnya fasilitas adalah luar biasa, dan sederhana ketika memang tidak ada fasilitas itu sudah biasa, tentu dua kesederhaan yang berbeda nilainya. Yang pertama lebih sulit dibanding yang kedua. Umar Radhiallahu ‘Anhu termasuk yang tetap sederhana dikala fasilitas begitu mudah diraihnya.

– Kesederhanaan Umar Radhiallahu ‘Anhu itu nyata, dan teladanan dalam bentuk contoh nyata lebih tajam pengaruhnya dibanding kata-kata.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati Umar.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

🌸🌿🌳🌻🍃🍀🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Imam Asy Syafi’i, Maksiat, dan Hapalan

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Imam asy Syafi’i Rahimahullah bercerita tentang dirinya dalam kumpulan sya’irnya, Diwan asy Syafi’i:

شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي …فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي … وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ …ونورُ الله لا يهدى لعاصي

“Aku keluhkan kepada Waki’ tentang buruknya hapalanku, … lalu dia membimbingku agar aku meninggalkan maksiat, …. dan dia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya dari Allah ﷻ tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

(Diwan al Imam asy Syafi’i, hal. 13)

Sya’ir Imam asy Syafi’i Rahimahullah ini dikutip oleh banyak ulama dalam kitab-kitab mereka, di antaranya Imam Ibnu al Qayyim Rahimahullah saat membahas dampak buruk maksiat salah satunya adalah Hirmanul ‘Ilmi (terhalangnya ilmu). (Ad Da’u wa ad Dawa, hal. 132)

Ada beberapa pelajaran dari sya’ir Imam asy Syafi’i ini, di antaranya:

– Kerendah hatian Imam asy Syafi’i Rahimahullah, dia menyebut buruk hapalannya, padahal dia hapal Al Quran di usia belum tujuh tahun, dan hapal kitab Al Muwaththa-nya Imam Malik Rahimahullah di usia belasan tahun.

– Maksiat bagi seseorang termasuk salah satu sebab terhalangnya ilmu pada dirinya, sebab maksiat itu mengotori jiwa dan hati, sedangkan ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan bagus dipantulkan oleh cermin yang kotor.

– Ilmu itu bukan hanya sesuatu yang diusahakan oleh manusianya, tapi juga karunia Allah ﷻ kepada hambaNya. Maka, tidak cukup bagi penuntut ilmu mengandalkan usahanya semata, tapi melupakan doa kepada Allah ﷻ agar diberikan karunia ilmu.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top