🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang membunuh dirinya dengan menggunakan Masyaaqis, lalu Beliau tidak menshalatkannya. (HR. Muslim No. 978, At Tirmidzi No. 1068, Abu Daud No. 3185, Ahmad No. 20816, 20848)
Hadits ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan orang yang bunuh diri. Apakah sikap Beliau menunjukkan larangan menshalatkannya? Ataukah bermakna sekedar tidak suka? Ataukah itu bermakna hilangnya syafaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk orang tersebut? Ataukah itu merupakan sikap peringatakan bagi yang lainnya agar tidak melakukan hal serupa?
Sebagian ulama mengatakan bahwa secara mutlak orang bunuh diri tidak boleh dishalatkan. Sebagian lain mengatakan orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebab perbuatan nabi hanyalah peringatan dan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukannya. Ada pula yang mengatakan, imam kaum muslimin tidak usah menshalatkan adapun selainnya boleh menshalatkan.
Imam At Tirmidzi menerangkan:
واختلف أهل العلم في هذا فقال بعضهم يصلي على كل من صلى إلى القبلة وعلى قاتل النفس وهو قول الثوري و إسحق وقال أحمد لا يصلي الإمام على قاتل النفس ويصلي عليه غير الإمام
Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetap dishalatkan untuk orang yang masih melaksanakan shalat menghadap kiblat dan bagi orang yang membunuh dirinya. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan Ishaq. Sedangkan Ahmad berpendapat bahwa Imam tidak usah menyolatkan orang yang bunuh diri, dan selain Imam boleh menshalatkannya. (Sunan At Tirmidzi No. 1068)
Tertulis dalam Al Bahr Az Zakhar – Musnad Al Bazzar:
وإنما ترك النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة عليه عندنا والله أعلم عقوبة لئلا يعود غيره فيصنع مثل ذلك بنفسه
Menurut kami, Sesungguhnya Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkannya -wallahu a’lam- sebagai hukuman agar tidak ada orang lain yang mengulangi perbuatan itu, melakukan itu terhadap dirinya sendiri.” (Al Bahr Az Zakhar, No. 4278, pada Bab Musnad Jabir bin Samurah)
Hal serupa juga dikatakan Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِمَنْ يَقُول : لَا يُصَلَّى عَلَى قَاتِل نَفْسه لِعِصْيَانِهِ ، وَهَذَا مَذْهَب عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز وَالْأَوْزَاعِيِّ ، وَقَالَ الْحَسَن وَالنَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ وَمَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء : يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَأَجَابُوا عَنْ هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ زَجْرًا لِلنَّاسِ عَنْ مِثْل فِعْله ، وَصَلَّتْ عَلَيْهِ الصَّحَابَة
Pada hadits ini terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan: “Orang yang bunuh diri tidaklah dishalatkan karena kedurhakaannya.” Inilah madzhab Umar bin Abdul Aziz dan Al Auza’i. Sedangkan Al Hasan, An Nakha’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan mayoritas ulama mengatakan: “Dia dishalatkan.” Mereka memberikan jawaban terhadap hadits ini bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyolatkannya sebagai peringatakan bagi manusia dari perbuatan semisal itu, dan para sahabat menshalatkannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/405. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Begitu pula dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:
حملوه على أنه صلى عليه غيره والله أعلم وذهبوا إلى أن كل من كان من أهل القبلة لا تترك الصلاة عليه وعلى هذا جماعة العلماء إلا أبا حنيفة وأصحابه فإنهم خالفوا في البغاة وحدهم فقالوا لا نصلي عليهم
Mereka menafsirkannya bahwa selainnya (Nabi, pen) menshalatkannya. Wallahu A’lam. Mereka berpendapat bahwa semua ahli kiblat tidaklah ditinggalkan shalat atasnya, dan atas inilah pendapat jamaah para ulama, kecuali Abu Hanifah dan para sahabatnya. Mereka berbeda pendapat tentang pemberontak, kata mereka: Kami tidak menshalatkan mereka (para pemberontak). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 24/131. Muasasah Al Qurthubah)
📌 Manakah pendapat yang kuat?
Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebab, disebutkan dalam riwayat lain bahwa ada beberapa keadaan manusia yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau shalatkan, ternyata walau Beliau tidak menshalatkan, Beliau tetap memerintahkan sahabatnya untuk menshalatkan.
Dari Zaid bin Khalid Al Juhni Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada perang Khaibar, mereka melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Beliau bersabda: “Shalatlah kalian terhadap sahabat kalian.” Maka berubahlah wajah manusia karena itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sahabat kalian ini berkhianat dalam jihad fisabilillah, maka kami menggeledah perhiasannya, lalu kami menemukan kharazan (susunan permata) dari orang Yahudi, yang tidak setara dengan dua dirham.” (HR. Abu Daud No. 2710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ahkamul Janaiz, Hal. 79, No. 58)
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)
Tentu, jika menshalatkan mereka adalah perbuatan terlarang sama sekali pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga akan melarang para sahabatnya untuk menshalatkan. Faktanya, justru Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk shalat jenazah kepada mayit tersebut. Ini menunjukkan bolehnya menshalatkan orang yang berbuat curang dalam jihad, berhutang, dan –dengan jalan qiyas- juga orang yang bunuh diri. Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak mau menshalatkan, hal itu bermakna sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan hal serupa dan ketidaksukaannya terhadap perbuatan itu.
Wallahu A’lam
🌷🌺🌴☘🌻🍃🌸🌾
✍ Farid Nu’man Hasan