Adab-Adab Di Masjid

1️⃣ Memakai Pakaian Yang Terbaik

Pakaian terbaik maksudnya yang pantas, menutup aurat, bersih, dan enak dipandang.

Allah Ta’ala menegaskan:

{ ۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ }

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kamu yang bagus setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

[Surat Al-A’raf: 31]

2️⃣ Memakai Minyak Wangi dan Hindari Bau Yang Tidak Sedap

Anjuran minyak wangi hanya bagi kaum laki-laki, agar jamaah lain merasakan khidmat, senang, dan betah di masjid.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan:

أمر رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ببناء المساجد في الدور وأن تنظف وتطيب

“Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membangun masjid-masjid di daerah tempat tinggal, dan membersihkannya, serta memberinya wewangian.” (Hr. Abu Daud no. 455, shahih)

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

مَا مَسِسْتُ شَيْئًا قَطُّ خَزًّا وَلَا حَرِيرًا أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا شَمَمْتُ رَائِحَةً أَطْيَبَ مِنْ رِيحِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah ﷺ, dan aku juga tidak pernah mencium bau yang lebih harum dari bau badan Rasulullah ﷺ.” (HR. Ahmad no. 11606, shahih)

Ada pun bagi wanita, Zainab Ats Tsaqafiyah (istri Ibnu Mas’ud) Radhiallahu ‘Anhuma, berkata bahwa Rasulullah berkata kepadanya:

إِذَا خَرَجَتْ إِحْدَاكُنَّ إِلَى الْعِشَاءِ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

Jika salah seorang di antara kalian (wanita) menuju shalat Isya (di masjid) maka janganlah memakai minyak wangi. (HR. Ahmad no. 25802, shahih)

Wanita dibolehkan memakai apa pun yang wanginya tidak menyengat, wanginya samar dan lembut, seperti bedak tabur, atau sekedar untuk meredam bau badan seperti Air Tawas.

Para ulama menjelaskan:

وَيُسَنُّ لِلْمَرْأَةِ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا بِمَا يَظْهَرُ لَوْنُهُ وَيَخْفَى رِيحُهُ، لِخَبَرٍ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طِيبُ الرِّجَال مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ، وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا خَفِيَ رِيحُهُ وَظَهَرَ لَوْنُهُ وَلأَِنَّهَا مَمْنُوعَةٌ فِي غَيْرِ بَيْتِهَا

Disunnahkan bagi wanita di saat tidak dirumahnya memakai parfum yang nampak warnanya dan khafiy (tersembunyi/samar) aromanya, berdasarkan hadits riwayat At Tirmidzi, An Nasa’iy, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:

“Parfumnya laki-laki adalah yang tercium aromanya dan tersembunyi warnanya, sedangkan parfum wanita adalah yang nampak warnanya dan khafiy aromanya, sebab wanita terlarang memakainya di luar rumahnya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/174)

3️⃣ Berdoa dalam perjalanan ke masjid dan Berjalan Dengan Tenang

Hal ini dicontohkan oleh Nabi ﷺ, saat Beliau hendak shalat subuh ke masjid, sbb:

…. فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَخَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي لِسَانِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا وَمِنْ أَمَامِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا وَمِنْ تَحْتِي نُورًا اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا

“… Lalu sang muadzin mengumandangkan azan. Maka beliau pun keluar untuk menunaikan salat Subuh seraya berdoa, “ALLAAHUMMAJ’AL FII QALBII NUURAN WA FII LISAANII NUURAN WAJ’AL FII SAM’II NUURAN WAJ’AL FII BASHARII NUURAN WAJ’AL MIN KHALFII NUURAN, WA MIN AMAAMII NUURAN, WAJ’AL MIN FAUQII NUURAN, WA MIN TAHTII NUURAAN, ALLAAHUMMA A’THINII NUURAA (Ya Allah berilah cahaya dalam hatiku, cahaya di lisanku, berilah cahaya dalam pendengaranku, berilah cahaya dalam penglihatanku, berilah aku cahaya dari belakangku, dari arah depanku, dan berikanlah cahaya dari atasku, dan arah bawahku. Ya Allah berilah aku cahaya).”

(HR. Muslim no. 763)

Dari Abu Qatadah:

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ جَلَبَةً فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا اسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا سَبَقَكُمْ فَأَتِمُّوا

Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, beliau mendengar kegaduhan, lalu bersabda: “Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru untuk mengerjakan shalat.” Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan itu, jika kalian mendatangi shalat maka wajib bagi kalian untuk tenang, apa saja yang kalian dapati dari shalat maka ikutilah, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari No. 635)

4️⃣ Berdoa Masuk Masjid

Sebelum masuk, dianjurkan shalawat dan berdoa masuk masjid. Tidak sedikit manusia yg melupakannya, ada pula yang berdoa saja, namun tidak bershalawat.

Fathimah Radhiallahu ‘Anha bercerita:

إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Apabila Rasulullah ﷺ masuk masjid, beliau bersalawat dan salam ke atas Muhammad dan berdoa, “ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUBY WAFTAH LI ABWABA RAHMATIKA (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakan lah pintu-pintu rahmat-Mu).”

(HR. Ahmad no. 25212. Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: shahih lighairih)

5️⃣ Shalat Tahiyatul Masjid

Ini sunnah menurut kesepakatan empat mazhab, berdasarkan beberapa hadits shahih.

Misalnya, dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا دخَلَ أحدُكم المسجدَ، فلا يجلسْ حتى يركعَ ركعتينِ

Jika kamu masuk ke masjid janganlah duduk sampai melakukan shalat dua rakaat. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini:

فيه استحبابُ تحيَّة المسجد بركعتين، وهي سُنَّة بإجماع المسلمين، وحكى القاضي عِياض عن داود وأصحابه وجوبهما

Dalam hadits ini menunjukkan disukainya Tahiyatul Masjid sebanyak dua rakaat, dan ini sunnah menurut ijma’. Al Qadhi ‘Iyadh menceritakan ‘wajib’ menurut Daud (Azh Zhahiri) dan pengikutnya. (Syarh Shahih Muslim, 5/226)

Namun, jika ke Masjidul Haram yang disunnahkan adalah Thawaf. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

ذهب جمهور الفقهاء إلى أن تحية المسجد الحرام الطواف للقادم لمكة , سواء كان تاجرا أو حاجا أو غيرهما , لقول عائشة رضي الله عنها عنها : ( إن النبي صلى الله عليه وسلم حين قدم مكة توضأ , ثم طاف بالبيت )

Mayoritas ahli fiqih mengatakan “tahiyah”-nya Masjidil Haram adalah dengan thawaf, ini berlaku bagi orang yang datang ke Mekkah baik keperluan berniaga, haji, atau lainnya. Berdasarkan riwayat Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Sesungguhnya Nabi jika datang ke Mekkah maka dia berwudhu kemudian melakukan thawaf di Baitullah”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/306)

Namun sebagian ulama lain mengatakan anjuran shalat Tahiyatul Masjid berlaku di semua masjid, termasuk di Masjidul Haram. Sebab, hadits “janganlah duduk sampai melakukan shalat dua rakaat”, itu lafaznya umum dan berlaku di semua masjid. Ditambah lagi hadits-hadits yang mengatakan thawaf adalah tahiyah-nya Masjidul Haram tidak satu pun yang shahih. Ini pendapat Malikiyah, dan sebagian ahli hadits.

6️⃣ Dilarang Tasybik

Tasybik adalah menjalin jari jemari, yaitu jari jemari tangan kanan dengan tangan kiri. Hal ini dimakruhkan, khususnya SEBELUM SHALAT yaitu saat menunggu shalat di masjid.

Dalilnya:

عن أَبي ثُمَامَةَ الْحَنَّاط أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ قَالَ : فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ ، فَإِنَّهُ فِي صَلاةٍ )

Dari Tsumamah al-Hannath, bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah pernah mendapatkannya hendak pergi ke masjid. Salah satunya bertemu dengan temannya.

Kata Abu Tsumamah: Ka’ab mendapatiku dimana aku sedang menjalin kedua tanganku, lalu ia melarangku berbuat demikian dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya, kemudian pergi dengan sengaja menuju masjid, maka janganlah ia menjalin kedua tangannya, karena saat itu ia sudah masuk pada ibadah shalat.”

(HR. Abu Daud no. 563. Shahih)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

وَجَمَعَ الإِسْمَاعِيلِيّ بِأَنَّ النَّهْيَ مُقَيَّد بِمَا إِذَا كَانَ فِي الصَّلاةِ أَوْ قَاصِدًا لَهَا ، إِذْ مُنْتَظِر الصَّلاةِ فِي حُكْمِ الْمُصَلِّي

Al Ismaili mengumpulkan (hadits tentang larangan tasybik) bahwasanya larangan tersebut terikat suatu sebab yaitu jika di dalam shalat atau bermaksud untuk shalat, karena org yg sedang menunggu shalat sudah dihitung sedang shalat .. (Fathul Bari, 1/565)

Untuk di luar waktu itu, boleh saja tasybik di masjid, kapan pun. Sebab, Rasulullah ﷺ pernah melakukannya berdasarkan hadits yang disepakati keshahihannya (Bukhari dan Muslim) sebagai berikut:

فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ , وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى , وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

Maka Rasulullah mendatangi kayu yang tergeletak di masjid. Beliau lalu bersandar pada kayu tersebut seolah sedang marah dengan bertasybik, meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya serta menganyam jari jemarinya ..

7️⃣ Tidak gaduh, hiruk pikuk, atau meninggikan suara kecuali ada alasan syar’i

Hal itu terlarang karena dapat mengganggu jamaah lain.

Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam i’tikaf di masjid, beliau mendengar manusia mengeraskan suara ketika membaca Al Quran, maka dia membuka tirai dan bersabda: “ Ketahuilah sesungguhnya setiap kalian ini bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan kalian saling mengganggu satu sama lain, dan jangan saling tinggikan suara kalian dalam membaca Al Quran atau di dalam shalat.” (HR. Abu Daud No. 1334, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, dll)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم

“Diharamkan mengeraskan suara (dimasjid) hingga menyebabkan terganggunya orang shalat walau pun yang dibaca itu adalah Al Quran, dikecualikan bagi yang sedang proses belajar mengajar Al Quran.” (Fiqhus Sunnah, 1/251)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:

كما يكره بالاتفاق الجهر بالقراءة في المسجد لما فيه من التشويش على الآخرين، ولمظنة الرياء

Sebagaimana dimakruhkan berdasarkan kesepakatan ulama mengeraskan suara saat membaca Al Quran di masjid sebab hal itu memunculkan kebisingan terhadap orang lain dan memunculkan riya’.

(Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1103)

Jika membaca Al Qur’an dengan meninggikan suara yang dapat mengganggu jamaah lain adalah terlarang, maka apalagi berteriak-teriak tidak karuan, menari-nari, bernyanyi, dan semisalnya.

Imam As Suyuthi memaparkan hal-hal terlarang di masjid sbb:

ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.

“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik.

Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus, bawang putih, bawang merah, menyenandungkan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.”

(Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Khusus menabuh Rebana di masjid, para ulama berbeda pendapat. Sebagian melarang, sebagian membolehkannya berdasarkan hadits:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bersabda Rasulullah ﷺ :

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “ (HR. At Tirmidzi No. 1089, katanya: hasan gharib. Ad Dailami No. 335. Hadits ini diperselisihkan validitasnya, ada yg mengatakan dhaif, hasan, bahkan shahih seperti Al Ajluni dan As Sakhawi)

Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah berkata:

عقد النكاح بالمسجد مظهر من مظاهر إعلانه وكذلك ضرب الدف عليه ، وذلك أمر مشروع ، وأقل درجاته أنه مباح ، وقيل سنة

Akad nikah di masjid adalah salah satu manifestasi dari mensyiarkan pernikahan, begitu pula memukul rebana padanya, ini adalah perkara yang disyariatkan, minimal ini mubah, bahkan dikatakan ini Sunnah. (Fatawa Al Azhar, 9/444)

Ada pun kondisi dibolehkan jahr (mengeraskan) suara pada beberapa hajat syar’i seperti; adzan, iqamah, imam shalat, dzikir setelah shalat wajib (bahkan ini sunnah menurut sebagian fuqaha), khutbah, dan mengajar (ceramah umum, kajian, mengajar Al Quran).

8⃣ Bershalawat dan berdoa saat keluar dari masjid

Dari Fathimah Radhiallahu ‘Anha:

وَإِذَا خَرَجَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ

Jika beliau keluar, beliau bersalawat dan salam ke atas Muhammad, beliau lalu berdoa, “ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUUBY WAFTAHLI ABWAABA FADLLIKA (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu karunia-Mu)”

(HR. Ahmad no. 25212, shahih lighairih)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top