🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Daftar Isi
📨 PERTANYAAN:
Assalaamu’alaikum wr wb. Ust Farid, ini ada pertanyaan dari teman kantor di perusahaan lain.
Nah, di kantor, saya menemukan kasus nyata yang perlu pendapat ustadz. Kami mendirikan organisasi serikat pekerja sebagai partner perusahaan sesuai UU no 13 thn 2003. Namun teman teman kajian salaf di kantor menolak dan menyebut itu sebagai tindak pemberontakan/bughats dan menganjurkan karyawan utk tdk jadi anggota. Menurutnya ini sesuai dg fatwa ulama Saudi. Saya jadi heran juga karena kantor saya ini jelas kantor swasta dengan pemimpin orang Australia beragama katolik. Usaha swasta asing 100% juga bisnis dg akunting non syariah. CEO nya juga dipilih atasannya di level Asia Pacific. Apakah bisa bule non muslim yg jadi CEO ini dianggap jadi ulil amri dan bikin serikat pekerja di kantor saya ini dianggap melawan “ulil amri” tsb? Tadi nya sy kira ini bergurau, ternyata kemaren baru tahu bahwa itu serius.
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullah ..
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:
Ada kekeliruan yang fatal dari cara berfikir orang-orang ini. Sayangnya kesalahan itu dianggap begitulah manhaj salaf. Entah salaf mana yang diikutinya, padahal lebih tepat ini adalah penistaan terhadap manhaj salaf yang mulia.
📌 Pemimpin non muslim adalah “Ulil Amri”?
Ini pemahaman menyimpang yang amat jauh, melawan Al Quran dan As Sunnah, serta pemahaman para salaf.
“Ulil Amri” dalam penjelasan ulama salaf adalah ulama, ahli fiqh, dan ahli agama. Seperti penjelasan dari Imam Ibnu Katsir berikut ini:
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: العلماء
Berkata Ali bin Thalhah, dari Ibnu Abbas; (Dan ulil amri di antara kalian), yakni Ahli Fiqih dan agama. Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Al Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah: (Dan ulil amri di antara kalian), yakni para ulama. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/345)
“Ulil Amri” juga bisa bermakna pemimpin urusan dunia. Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)
Tentunya mereka adalah muslim, sebab Allah Ta’ala menyebut: “WAHAI ORANG-ORANG BERIMAN, ta’atlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri DI ANTARA KAMU.”
Apa maksud ‘minkum” (di antara kamu)? Yakni kembali kepada “Wahai-wahai orang-orang beriman”, bukan untuk pemimpin orang kafir.
Ketaatan kepada mereka, selama mereka masih mentaati Kitabullah dan As Sunnah, itulah pemimpin yang adil, berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
وأحسن ما فسر به العادل أنه الذي يتبع أمر الله بوضع كل شيء في موضعه من غير إفراط ولا تفريط
Tafsir terbaik tentang pemimpin yang adil adalah orang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan menguranginya. (Fathul Bari, 2/145, 1379H. Darul Ma’rifah Beirut)
Maka, tidak pada tempatnya alias zalim, menyebut pemimpin kafir sebagai “Ulil Amri”.
📌 Serikat Pekerja = Pemberontakan (Bughat)?
Ini merupakan gagal paham yang sangat serius. Berdirinya Serikat Pekerja adalah SAH menurut UU negara, sesuai Undang – Undang No. 21 Tahun 2000, yang disahkan oleh presiden Republik Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid.
Bagaimana mungkin ini dianggap pemberontakan (Bughat), padahal negara mengakuinya? Apakah mungkin negara membolehkan dan menge-sah-kan pemberontakan atas dirinya sendiri?
Negara membolehkan hal ini karena memang fungsi serikat pekerja bukan untuk memberontak, tapi check and balance, sebagai tawashau bil haq wa tawashau bish shabr, sarana untuk menyampaikan nasihat agar tidak liar maka dibuatlah wadahnya.
Dalam sejarah, Al Husein Radhiallahu ‘Anhuma, telah melakukan perlawanan kepada Yazid bin Mu’awiyah (padahal ini khalifah Muslim), Al Husein terbunuh di Karbala dan para ulama menyebutnya syahid, bukan pendosa, apalagi khawarij dan bukan bughat (pemberontakan).
Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah menjelaskan:
وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام، والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا أن الخروج على يزيد وإن كان فاسقاً لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه، ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين
Ada pun manusia selain Al Husein, dari kalangan sahabat nabi yang tinggal di Hijaz, dan di Syam bersama Yazid, di Iraq, dan para tabi’in, mereka berpendapat bahwa berontak melawan Yazid walau dia fasiq adalah tidak boleh, karena hal itu bisa menimbulkan huru hara dan pertumpahan darah, maka mereka menahan dari dari itu dan tidak mengikuti Al Husein, namun mereka juga tidak mengingkari Al Husein, dan tidak menganggapnya berdosa, karena dia seorang mujtahid, dan dia seorang teladan para mujtahid. (Tarikh Ibnu Khaldun, 1/217, Cet. 4, Darul Ihya At Turats, Beirut)
Maka, jika perlawanan bersenjata kepada penguasa muslim yang zalim saja tidak disebut bughat oleh sebagian ulama, maka apalagi sekedar membuat wadah Sarikat Pekerja pada perusahaan yang dipimpin non muslim.
Untuk “pemberontakan” tentu ada pembahasan lain, bukan di jawaban ini pembahasannya.
📌Lihatlah Situasi Di Negerimu, Bukan Situasi Negara Lain
Sayangnya orang-orang ini mendasarkan pendapatnya berdasarkan fatwa negara lain, yang memang UU di sana melarang itu berdasarkan fatwa para ulama di sana.
Sedangkan di Indonesia, baik ulama dan umara-nya tidak mempermasalahkan itu, karena situasi kita tidak sama, dan sistem negaranya pun berbeda. Pelarangan mereka ini – meminjam istilah Imam Al Qarrafi- adalah kejahilan terhadap agama dan bentuk kesesatan, lantaran hanya melihat teks fatwa tanpa melihat kondisi dan situasi sedang di mana kita berada.
Perhatikan nasihat Imam Al Qarafi Rahimahullah ketika berkata:
فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين
“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.
Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.
Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu KESESATAN dalam agama dan KEBODOHAN tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” (Imam Al Qarrafi, Al Furuq, 1/1776-177)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, membuat pasal dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, berbunyi:
في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”
Lalu Beliau berkata:
هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….
Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … ” (I’lamul Muwaqi’in, 3/3)
Demikian jawaban saya. Wallahu A’lam
🌷🌺☘🌴🌻🍃🌸🌾
✍ Farid Nu’man Hasan