Waktu Shalat Subuh Adalah Fajar Shadiq Tetapi Menyegerakannya adalah Termasuk Sunah

Banyak pertanyaan masuk kepada kami, baik sms, email, dan dalam majelis ta’lim. Mereka menanyakan tentang waktu subuh di Indonesia, yang menurut sebagian kecil kalangan terlalu pagi (masih gelap), sehingga mereka khawatir subuh mereka tidak sah, karena tidak tepat pada waktunya. Ini terjadi lantaran datangnya seorang syaikh dari timur tengah yang mempermasalahkan subuh di Indonesia yang terlalu pagi, lalu murid-muridnya latah ikut-ikutan menyalahkan. Padahal sudah puluhan bahkan ratusan syaikh timur tengah, dan mereka juga ulama, datang ke Indonesia sudah sejak puluhan tahun lalu, tetapi tidak mempermasalahkannya. Kenapa baru tahun-tahun belakangan dipermasalahkan?

Kita mengetahui bahwa Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. Waktu-waktu itu, sudah diterangkan secara rinci dalam As Sunah, dan diisyaratkan pula dalam Al Quran.

Tak terkecuali shalat subuh. Shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq (langit sudah mulai agak terang di ufuk secara merata) hingga terbitnya matahari. Hal ini berdasarkan hadits Jibril ‘Alaihissalam berikut (haditsnya cukup panjang, saya kutip bagian waktu shalat subuh saja):

ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ

“Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk shalat subuh ketika langit terang, lalu dia berkata: “Bangunlah dan shalatlah!” maka Beliau (Rasulullah) melaksanakan shalat subuh.” (HR.  An Nasa’i No. 526 , Ahmad No. 14011, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 526)

Dalam hadits ini disebutkan: “Hiina asfara Jiddan” (ketika langit benar-benar menguning), maksudnya ketika langit benar-benar terang. Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

بتدئ الصبح من طلوع الفجر الصادق ويستمر إلى طلوع الشمس، كما تقدم في الحديث.

استحباب المبادرة لها  

“Shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq dan terus berlangsung hingga terbit matahari, sebagaimana yang telah lalu dijelaskan dalam hadits. Dan disukai untuk menyegerakannya.” . (Fiqhus Sunnah, 1/104. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Disunahkan untuk disegerakan, yakni ketika masih gelap berdasarkan riwayat shahih berikut:

Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ

“Dan Beliau (Rasulullah) shalat subuh di saat gelap pada akhir malam, kemudian beliau shalat pada kesempatan lain  ketika mulai terang. Kemudian setelah itu shalat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukannya sampai   wafat, dan Beliau tidak lagi melakukannya di waktu hari telah terang.(HR. Abu Daud No. 394, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 394, s hadits ini juga diriwayatkan   oleh sahabat lainnya yakni Jabir  dengan sanad shahih, Abu hurairah  dengan sanad hasan, dan Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash  dengan sanad hasan)

Ada pihak yang menyalah-nyalahkan shalat subuh ketika masih gelap, padahal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga wafatnya, dan itulah yang mayoritas dilakukan di negeri-negeri muslim, dan itulah pendapat sebagian sahabat, seperti Umar, Utsman, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Zubeir, Abu Musa, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud, penduduk Hijaz, dan dikalangan imam kaum muslimin seperti Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’I, Daud, dan Abu Ja’far Ath Thabari.

Sayangnya dengan ringan kenyataan ini dikatakan oleh mereka sebagai pendapat yang keliru!  Namun, demikian kami tidak menyalahkan mereka, karena pendapat yang mengatakan bahwa ketika terang adalah lebih utama adalah pendapat sebagian salaf dan fuqaha, seperti Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah dan sahabatnya,  Sufyan Ats Tsauri, dan mayoritas penduduk Iraq . Tetapi, sikap mereka yang menyalah-nyalahkan yang lain –padahal begitu kuat dalilnya- adalah sikap melampaui batas dan tidak mengetahui etika khilaf fiqih di antara ulama.  Dan, ini sungguh mengherankan!

Hadits di atas jelas-jelas menyebutkan Rasulullah Shalat subuh saat ghalas. Apakah ghalas? ghalas adalah akhir kegelapan malam. Imam Ibnul Atsir mengatakan ghalas adalah kegelapan malam bagian akhir ketika akan bercampur dengan terangnya pagi. (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Perhatikan  ucapan Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah ketika mensyarah hadits di atas:

وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّغْلِيس وَأَنَّهُ أَفْضَل مِنْ الْإِسْفَار وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَا لَازَمَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مَاتَ ، وَبِذَلِكَ اِحْتَجَّ مَنْ قَالَ بِاسْتِحْبَابِ التَّغْلِيس . وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ فَذَهَبَ مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَالْأَوْزَاعِيُّ وَدَاوُدُ وَأَبُو جَعْفَر الطَّبَرِيُّ وَهُوَ الْمَرْوِيّ عَنْ عُمَر وَعُثْمَان وَابْن الزُّبَيْر وَأَنَس وَأَبِي مُوسَى وَأَبِي هُرَيْرَة إِلَى أَنَّ التَّغْلِيس أَفْضَل وَأَنَّ الْإِسْفَار غَيْر مَنْدُوب ، وَحَكَى هَذَا الْقَوْل الْحَازِمِيُّ عَنْ بَقِيَّة الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة وَابْن مَسْعُود وَأَبِي مَسْعُود الْأَنْصَارِيّ وَأَهْل الْحِجَاز ، وَاحْتَجُّوا بِالْأَحَادِيثِ الْمَذْكُورَة فِي هَذَا الْبَاب وَغَيْرهَا ، وَلِتَصْرِيحِ أَبِي مَسْعُود فِي هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّهَا كَانَتْ صَلَاة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّغْلِيس حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْفَار . وَقَدْ حَقَّقَ شَيْخنَا الْعَلَّامَة السَّيِّد مُحَمَّد نَذِير حُسَيْن الْمُحَدِّث هَذِهِ الْمَسْأَلَة فِي كِتَابه مِعْيَار الْحَقّ : وَرَجَّحَ التَّغْلِيس عَلَى الْإِسْفَار وَهُوَ كَمَا قَالَ . وَذَهَبَ الْكُوفِيُّونَ أَبُو حَنِيفَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ وَأَصْحَابه وَالثَّوْرِيُّ وَالْحَسَن بْن حَيّ ، وَأَكْثَر الْعِرَاقِيِّينَ وَهُوَ مَرْوِيّ عَنْ عَلِيّ وَابْن مَسْعُود إِلَى أَنَّ الْإِسْفَار أَفْضَل .

“Hadits ini menunjukkan bahwa disunahkannya (shalat subuh) pada saat gelap, dan ini lebih afdhal dibanding ketika terang. Seandainya tidak demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya hingga beliau wafat, dan dengan inilah hujjah orang-orang yang mengatakan disukainya waktu gelap (akhir malam). Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat Imam Malik, Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’i, Daud, Abu Ja’far Ath Thabari, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu Zubeir, Anas, Abu Musa Al Asy’ari, dan Abu Hurairah, bahwa ketika gelap adalah lebih utama, sedangkan ketika terang tidaklah dianjurkan (ghairu mandub).   Secara kuat disebutkan bahwa ini juga pendapat khulafa’ur rasyidin lainnya, juga Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud Al Anshari, dan penduduk Hijaz. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang telah disebutkan dalam masalah ini dan hadits lainnya, dan juga penjelasan Abu Mas’ud dalam hadits ini bahwa shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dalam keadaan gelap (At Taghlis) dilakukannya sampai beliau wafat, dan dia tidaklagi melakukan dalam keadaan terang. Syaikh kami Al ‘Allamah As Sayyid Muhammad Nadzir Husain telah meneliti masalah ini dalam kitabnya, Mi’yar Al Haq: Bahwa beliau menguatkan shalat ketika gelap dibanding terang, dan  pendapat itu sebagaimana yang dikatakan. Ada pun kalangan Kuffiyyin (penduduk kufah), seperti Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ats Tsauri, Al Hasan bin Hay, kebanyakan penduduk Iraq, dan itu juga diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, bahwa shalat ketika terang adalah lebih utama.” (‘Aunul Ma’bud, 2/45. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

وإنما فعله في بعض الأحيان لبيان الجواز ولبيان أن ذلك سائغ، ولكن الذي داوم عليه والمعروف من فعله صلى الله عليه وسلم أنه كان يصليها بغلس.

“Sesungguhnya perbuatan Nabi pada sebagian waktu (melakukan saat terang) sebagai penjelas kebolehannya dan menjelaskan bahwa hal itu mudah, tetapi yang menjadi rutinitasnya dan diketahui sebagai perbuatannya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bahwa Beliau shalat subuh pada saat masih gelap.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud No. 60. Maktabah Misykah) 

Demikian. Wallahu A’lam

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top