Ulama Mendatangi Penguasa; Antara Fitnah dan Da’wah

▫▪▫▪▫▪▫▪

I. Banyak sekali hadits, atsar, dan perkataan salafush shalih yang memberikan peringatan keras atas ulama yang mendatangi dan mendekati penguasa. Di antaranya:

▪ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam bersabda:

وَمَنْ أَتَى السُّلْطَانَ افْتُتِنَ

Siapa yang mendatangi penguasa maka dia akan terkena fitnah.

(HR. Abu Daud no. 2859, At Tirmidzi no. 2256, An Nasa’i no. 4309, Ahmad no. 3362. SHAHIH. sebagaimana dikatakan Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, dll)

▪ Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam bersabda:

العلماء أمناء الرسول على عباد الله ما لم يخالطوا السلطان -يعني في الظُّلْمِ- فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوهُمْ وَاعْتَزِلُوهُمْ

Para ulama adalah orang-orang kepercayaan Rasul atas hamba-hambaNya selama mereka tidak bergaul dengan penguasa -yakni dalam kezaliman- jika mereka melakukan itu maka hati-hatilah dan jauhilah mereka.

(HR. Ibnu Abdil Bar, Jaami’ Bayan Al ‘Ilmu wa Fadhlih, no. 1113, Ibnu Sa’ad, Thabaqat, 3/292)

Dalam sanadnya terdapat Hafsh Al Abarriy. Abu Ja’far berkata: orang Kufah dan haditsnya tidak terjaga. (Jaami’ Bayan Al’Ilmu wa Fadhlih, Hal. 190)

▫ Qatadah Rahimahullah berkata:

الْعُلَمَاءُ كَالْمِلْحِ إِذَا فَسَدَ الشَّيْءُ صَلُحَ بِالْمِلْحِ وَإِذَا فَسَدَ الْمِلْحُ لَمْ يَصْلُحْ بِشَيْءٍ

Ulama itu bagaikan garam, jika ada sesuatu yang rusak maka garam memperbaikinya tapi jika garamnya yang rusak maka tidak ada yang bisa diperbaikinya.

(Jaami’ Bayan Al’Ilmu wa Fadlih, Hal. 190. Hilyatul Auliya, 3/67)

▫ Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

«إِيَّاكُمْ وَمَوَاقِفَ الْفِتَنِ» قِيلَ: وَمَا مَوَاقِفُ الْفِتَنِ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَبْوَابُ الْأُمَرَاءِ يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ عَلَى الْأَمِيرِ فَيُصَدِّقُهُ بِالْكَذِبِ وَيَقُولُ لَهُ مَا لَيْسَ فِيهِ»

Hati-hatilah kalian terhadap pos-posnya fitnah. Ditanyakan: “Apakah pos-posnya fitnah itu, wahai Abdillah?” Beliau menjawab: “Yaitu pintu-pintu penguasa, kalian masuk ke pintu seorang penguasa lalu kalian membenarkan dia dengan kedustaan, dan mengatakan kepada dia apa-apa yang dia tidak pernah lakukan (menjilat).

(Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, 11/316)

Dan masih banyak lagi peringatan tentang bahaya yang menimpa ulama jika mereka dekat-dekat dengan para ulama zalim dan fasiq.

Fitnah yg mereka alami adalah fitnah dunia, harta dan tahta. Fatwa mereka bisa dibeli, prilaku kezaliman penguasa bisa distempel SAH para ulama tersebut.

Di sisi lain, para pejuang Islam malah menjadi musuhnya, karena para pejuang merupakan oposisi kezaliman penguasa zalim yang menjadi teman akrabnya. Inilah fitnah tersebut.

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

مَعْنَى هَذَا الْبَابِ كُلِّهِ فِي السُّلْطَانِ الْجَائِرِ الْفَاسِقِ فَأَمَّا الْعَدْلُ مِنْهُمُ الْفَاضِلُ فَمُدَاخَلَتُهُ وَرُؤْيَتُهُ وَعَوْنُهُ عَلَى الصَّلَاحِ مِنْ أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرِّ أَلَا تَرَى أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِنَّمَا كَانَ يَصْحَبُهُ جِلَّةُ الْعُلَمَاءِ مِثْلُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَطَبَقَتِهِ وَابْنِ شِهَابٍ وَطَبَقَتِهِ وَقَدْ كَانَ ابْنُ شِهَابٍ يَدْخُلُ إِلَى السُّلْطَانِ عَبْدِ الْمَلِكِ وَبَنِيهِ بَعْدَهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَدْخُلُ إِلَى السُّلْطَانِ الشَّعْبِيُّ وَقَبِيصَةُ بْنُ ذُؤَيْبٍ، وَالْحَسَنُ، وَأَبُو الزِّنَادِ، وَمَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَجَمَاعَةٌ يَطُولُ ذِكْرُهُمْ وَإِذَا حَضَرَ الْعَالِمُ عِنْدَ السُّلْطَانِ غِبًّا فِيمَا فِيهِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا وَنَطَقَ بِعِلْمٍ كَانَ حَسَنًا وَكَانَ فِي ذَلِكَ رِضْوَانُ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ

Makna semua ini adalah kepada penguasa yang zalim lagi fasiq. Ada pun kepada penguasa yang adil, yang memiliki keutamaan, maka masuk kepada mereka, melihat dan menolong mereka dalam kebaikan termasuk amal yang paling utama.

Bukankah Anda melihat Umar bin Abdul bersahabat dengan para pembesar ulama, seperti Urwah bin Az Zubeir, dan yang sezaman dengannya, Ibnusy Syihab dan yang seangkatan dengannya. Dahulu, Ibnusy Syihab ke istana Abdul Malik dan masa pemerintahan anaknya di masa setelahnya.

Selain itu, yang pernah ke isyana para penguasa seperti Asy Sya’biy, Qabishah bin Dzu’aib, Al Hasan, Abuz Zinad, Malik, Asy Syafi’iy, dan masih banyak lagi kisah tentang mereka.

Jika seorang ulama datang kepada penguasa, ia datang secara berkala sesuai keperluannya kepadanya. Dia berkata yang baik-baik, berbicara dengan ilmu, dan saat itu begitu bagus dan semoga Allah Ta’ala meridhai sampai hari berjumpa denganNya.

(Jaami’ Bayan Al’Ilmu wa Fadhlih, Hal. 191)

II. Kebalikannya, ada yang mendatangi penguasa untuk menasihatinya, amar ma’ruf nahi munkar dengan berani, tegas, tanpa melupakan kelembutan. Seperti Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam kepada Fir’aun, Said bin Jubeir kepada Al Hajaj, Imam An Nawawi kepada Raja Zahir, dan lainnya. Maka, semua ini justru mulia.

▪ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.”

(HR. Muslim no. 55)

Tentunya mencela dan menasihati berbeda. Menasihati pemimpin bisa tertutup bisa terbuka, tergantung jenis kesalahan dan efektifitas. Maka, para ulama sejak masa sahabat nabi melakukan kedua cara ini. Begitu pula ulama-ulama selanjutnya.

▪ Bahkan ini termasuk JIHAD paling utama:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.”

(HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18830)

▪ Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang menghadapi penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Syaikh Al Albany mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374)

Maka, hendaknya para ulama yang berada di lingkungan penguasa, hendaknya menata niatnya, apa yang dicarinya?

Jika da’wah, amar Ma’ruf nahi munkar, secara merdeka dan independen, maka itu sangat mulia.

Tapi jika mencari kekayaan dunia, atau menjadi alat penguasa untuk membenarkan kezaliman dan kefasikannya, maka hendaknya para ulama bersikap tegas menjauhinya.

Demikian. Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top