Daftar Isi
PERTANYAAN:
Pertama semoga Allah mengampuni dosa2 saya beserta suami, Aamiin Allahuma Aamiin. Saya seorang istri berusia 35th, suami saya minta untuk dilayani padahal saya masih dalam masa nifas pasca kuret karena alasan medis. Saat ini masuk minggu kedua pasca kuret.
Walaupun darah sudah berkurang dan tidak berwarna merah lagi melainkan kecoklatan. Tapi saya tau hukumnya tetap haram dan tidak boleh namun suami saya tetap meminta dan jika saya menolakpun saya perkirakan dia akan marah dan dampak bagi rumah tangga saya juga buruk jadi saya ini dalam dilema dan takut juga merasa berdosa Sebelumnya saya sudah bilang bahwa saya masih mengeluarkan darah tapi beliau tetap meminta. Pertanyaan saya :
1. Bagaimana sebenarnya hukum dan hadits tentang membayar kafarat, sahih atau dhoif? Karena saya baca beberapa artikel sebagian menyebutkan shahih yang lain nya dhoif.
2. Jika wajib kafarat, siapakah yang wajib, hanya suami atau kami berdua masing2 membayar 1 Dinar? (Tentunya setelah itu kami wajib sholat taubat dan sebenar benarnya taubat pada Allah ).
3. Apakah membayar kafarat boleh di cicil?
4. Adakah doa khusus untuk memohon ampun Allah terkait masalah ini? Mohon bimbingan nya. (N, Bekasi)
JAWABAN
Bismillahirrahmanirrahim..
Hukum-hukum yang terkait nifas adalah sama dengan haid. Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:
وحكمه حكم الحيض في كل شئ لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم لعائشة: (أنفست؟ قالت: نعم (فسمى الحيض نفاسا، وكذلك الغسل منه واجب باجماع
Hukumnya sama dengan hukum haid dalam segala hal, karena Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Aisyah: “Apakah engkau sedang nifas?” ‘Aisyah menjawab: “Ya.” Pada hadits ini Rasulullah menamakan haid dengan nifas, maka mandi bagi wanita nifas (setelah berhenti, pen) adalah wajib menurut ijma’ (kesepakatan ulama). (Al Muhalla, 2/184)
Maka, larangan jima’ pada wanita nifas tentu juga sama sebagaimana larangan jima’ pada wanita haid.
Keharaman hubungan suami istri saat nifas adalah hal yang telah ijma atau disepakati para Fuqaha. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 44/19, lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/85)
Imam An Nawawi menjelaskan:
– siapa yang melakukannya karena meyakini itu adalah HALAL, maka dia murtad.
– siapa yang melakukan karena lupa, tidak tahu, dan masih meyakini haram, maka dia tidak berdosa dan tidak kafarat.
– Siapa yang melakukan secara sengaja dan dia sdh tahu ilmunya, maka dia melakukan keharaman, maksiat besar, dan wajib tobat.
(Lihat Syarah Shahih Muslim, 3/204)
Maka, wajib bagi pelakunya untuk bertobat dengan menyesal, dan bertekad tidak mengulangi lagi selamanya, banyak beramal shalih dan sedekah.
Lalu, apakah wajib membayar kafarat?
Maka dalam hal ini kata Imam An Nawawi ada dua pendapat:
Pendapat Pertama. Tidak wajib kafarat.
Ini pendapat mayoritas ulama. Ini pendapat yg lebih shahih dari Imam Asy Syafi’i dalam pendapat baru (Qaul Jadid), Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan mayoritas salaf, bahwasanya tidak ada kafarat bagi yang melakukannya. Di antara salaf: Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul, Az Zuhri, Abu az Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abu Sulaiman, Ayyub as Sikhtiyani, Sufyan Ats Tsauri, dan Laits bin Sa’ad.
Pendapat Kedua. Wajib Kafarat.
Ini pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lama (Qaul Qadim) namun lemah, juga diriwayatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas, Hasan Al Bashri, Said bin Jubeir, Qatadah, Al Awza’i, Ishaq, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat lainnya.
Kelompok ini juga berbeda pendapat tentang apa yang dikeluarkan untuk kafarat, Hasan Al Bashri dan Qatadah mengatakan membebaskan budak. Ada pun yang lain mengatakan satu dinar atau setengah dinar.
Mereka juga beda pendapat kondisi yang membedakan satu dinar dan setengah dinar; apakah satu dinar itu jika jima’nya di awal darah nifas dan setengahnya di akhir nifas, ataukah satu dinar itu di masa keluarnya, darah sedangkan setengah dinar itu setelah terhentinya darah.
Alasan kelompok ini adalah hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
“Siapa yang mendatangi istrinya yang sedang haid maka hendaknya sedekah sebanyak satu dinar atau setengahnya.”
Ini adalah hadits DHAIF menurut kesepakatan para huffazh. Yang benar adalah TIDAK KAFFARAT. Wallahu A’lam.
(Demikian penjelasan Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 3/204-205)
Sementara Imam Ibnu ‘Abidin menyebutkan adanya pendapat “ketiga” bukan wajib, tapi MANDUD (ANJURAN) utk kaffarat, dan ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah. Beliau mengatakan:
ويندب تصدقه بدينار أو نصفه
Dianjurkan untuk bersedekah satu dinar atau setengahnya. (Ar Radd Al Mukhtar, 1/298)
Status hadits:
Pada ulama memang berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut dengan perdebatan yang panjang.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al Hakim, Ibnul Qathan, dan Ibnu Daqiq Al ‘Id menilai shahih hadits ini, dan menurut Al Hafizh Ibnu Hajar inilah yang benar. Menurut Ibnu Hajar ini merupakan bantahan atas klaim Imam An Nawawi yang mengatakan: Semua Imam telah menyelisihi penshahihannya Imam al Hakim dan yang benar adalah dhaif menurut kesepakatan mereka.
(Lihat At Talkhish Al Habir, 1/429-430)
Jika ingin mengambil sikap yang hati-hati, yaitu tetap membayar kaffarat dengan satu atau setengah dinar, maka itu lebih baik.
Ada ulasan bagus dari Syaikh Utsaimin yang boleh juga dijadikan pertimbangan:
وجوبُ الكفَّارة من مفردات المذهب [ يعني : مذهب الحنابلة ] ، والأئمة الثَّلاثة يرون أنَّه آثم بلا كفارة .
والحديثُ صحيحٌ، لأنَّ رجالَه كلَّهم ثقاتٌ، وإذا صحَّ فلا يضرُّ انفرادُ أحمد بالقول به.
فالصحيح: أنها واجبةٌ ، وعلى الأقل نقولُ بالوجوب احتياطاً .”
Wajibnya kaffarat termasuk pendapat yang ‘menyendiri’ dalam mazhab Hanabilah, ada pun tiga imam mengatakan pelakunya berdosa tapi tidak wajib kaffarat. Haditsnya shahih semua perawinya terpercaya, jika haditsnya shahih maka tidak masalah menyendirinya Imam Ahmad dengan pendapatnya. Pendapat yang benar adalah wajib, kami katakan MINIMAL untuk kehati-hatian adalah wajib.
(Asy Syarhul Mumti’, 1/255)
Membayar kaffarat boleh saja ditunda sampai memiliki dana yang cukup untuk membayarkannya.
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan