🌸🏹🌸🏹🌸🏹
Daftar Isi
📨 PERTANYAAN:
Saya pria berumur 33 tahun dan sudah beristri. Yang ingin saya tanyakan adalah:
Apa hukumnya wanita yang menikah yang telah hamil dulu tetapi pria yang menikahinya bukan yang menghamilinya? Dan apabila pria yang menghamilinya bertanggung jawab atas wanita tersebut apakah bisa membatalkan pernikahan tersebut dan menikahi wanita tersebut? Bagaimana status anak yang akan dilahirkan tersebut.
Saya dulu pernah berpisah dengan istri selama 2,5 tahun karena ketidakcocokan, tapi 2 tahun ini rujuk kembali demi anak-anak, selama kami berpisah masing-masing kami pernah menjalin hubungan dengan pasangan masing-masing dan sudah melakukan hubungan yang jauh, sampai saat ini saya masih merasa tidak ada kecocokan dan perasaan saya seperti hambar dengan istri, saya ingin berpisah saja mengingat perasaan yang seperti hambar, dan saya juga terbebani dengan kesalahan-kesalahan masa lalu, yang saya yakini istri saya tidak akan bisa menerimanya, pernah saya sampaikan kalau saya ingin poligami saja, tetapi istri saya lebih memilih pisah, langkah apa yang harus saya ambil, saya ingin memperbaiki diri saya ke depannya dan bertobat, serta ingin mendapatkan calon istri yang bisa menerima saya, dan melupakan masa lalu saya, syukran.
(Pertanyaan Bapak xxxxxx)
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃
Bismillah wal Hamdulillah wa Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa ba’d:
Pertama. Menikahi Wanita Hamil
Kita akan rinci menjadi beberapa pembahasan:
A. Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina
Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur atau lelaki hidung belang).
Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian:
Pertama, jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu.
Larangan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Al-Quran
Al-Maidahayat ayat 5:
“Pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang lezat-lezat serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.”
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة
“Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.” Setelah itu Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. Tentang ayat di atas Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata:
أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان
“Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang beri Al Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mukminat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagi gundik (simpanan).” [1]
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,”
أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات
“Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.” [2]
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata tentang ayat tersebut:
أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن
“Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..” [3]
Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya, bukan pezina.
An-Nuur ayat 3:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini:
ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك
“Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”[4]
2. As-Sunnah
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ :وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ. فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا
Bahwa Martsad bin Abi martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.”
Lalu Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!” [5]
Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur). Dalam Aunul Ma’bud disebutkan:
فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا
“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak halal bagi pria menikahi wanita yang terang-terangan darinya perzinaan (pelacur).” [6]
Hadits lainnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Pezina laki-laki yang didera, tidaklah menikah kecuali dengan yang semisalnya.” [7]
Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan:
قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا
وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزنا
وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا
Berkata Asy Syaukani: Ini adalah sifat yang telah nampak dari kebiasaan, yaitu orang yang memang terbiasa berbuat zina. Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa tidak halal bagi laki-laki menikahi wanita yang biasa melakukan zina, demikian pula tidak dihalalkan bagi wanita menikahi laki-laki yang terbiasa berzina. [8]
Berkata penulis Aunul Ma’bud:
قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا . وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا
“Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Ismail Al Amir dalam Subulus Salam: “Di dalam hadits terdapat dalil bahwa haram bagi wanita menikah dengan laki-laki yang telah nampak perzinaannya, dan penyifatannya dengan mendapatkan dera, dikarenakan zina telah menjadi hal yang dominan (kebiasaan) baginya secara nyata. Demikian pula bagi laki-laki diharamkan baginya menikahi wanita yang telah nampak perzinaannya.” [9]
Dari uraian ini, maka jelaslah haramnya orang baik-baik, mu’min, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur).
B. Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina
Masalah pernikahan dua orang yang berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau bukan laki-laki hidung belang ini adalah yang paling banyak terjadi. Mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran). Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan?
Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:
وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك
“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.” [10]
Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.
Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya, pen) bukan alasan haramnya kawin. [11]
C. Wanita yang berzina, lalu menikah dan si Laki-Laki bukanlah pelakunya.
Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi, laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua?
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin Hambal dan lainnya.
Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).
Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan.
Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy-Syafi’i.
Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”
D. Nikahnya Wanita Hamil
Harus dirinci sebagai berikut:
1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?
Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.
2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?
Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, maka menurut Imam Asy-Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan.
Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan Imam Ibnu Tamiyah. Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka menurut Imam Ibnu Taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain mengatakan boleh, selama ia bertobat plus iddahnya selesai (yakni sampai melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad. Dan, pernikahan ini tidak bisa dibatalkan walau pun laki-laki yang menghamilinya pada akhirnya bertanggung jawab. Demikian. Wallahu A’lam
Ada pun status anaknya adalah para ulama membagi dua kategori:
Jika lahirnya bayi tersebut setelah enam bulan pernikahan, maka laki-laki yang menikahinya boleh menjadi ayahnya secara nasab, sehingga boleh menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan berhak mendapatkan waris.
Jika lahirnya bayi tersebut sebelum enam bulan pernikahan, maka bayi itu tidak bisa dinasabkan ke ayahnya, hanya ke ibunya. Konsekuensinya ayahnya tidak bisa menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan tidak pula saling mewarisi.
Dua kategori di atas disampaikan oleh umumnya para ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan sama saja, kapan pun bayi itu lahir, maka dia bisa dinasabkan kepada ayahnya itu. Wallahu A’lam
Kedua. Menyikapi Masa Lalu
Kami turut prihatin atas apa yang di alami saudara. Semoga Allah Ta’ala memberikan kekuatan menghadapinya, sekaligus jalan keluar yang terbaik bagi keluarga. Memang ini tidak mudah, tapi tidak ada masalah yang tanpa jalan keluar, sepahit apa pun jalan itu, sebab Allah Ta’ala tidak akan membebani hamba-Nya dengan apa yang tidak mampu dipikulnya.
Bisa jadi, dibalik peristiwa yang sudah saudara lalui bersama istri, ada tarbiyah langsung dari Allah Ta’ala kepada saudara berdua. Maka, –baik saudara dan istri- hendaknya belajar melupakan kesalahan masa lalu, baik ketika masa-masa dua tahun berpisah, atau masa-masa lainnya di waktu lalu- berat memang, tapi bersungguh-sungguhlah untuk tidak mengulanginya, menyesalinya, mohon ampunan-Nya, dan mintalah pertolongan Allah Ta’ala untuk itu. Bisa jadi perasaan bersalah itulah yang menjadi penghalang keharmonisan di rumah tangga, selalu terbayang perasaan bersalah dan berdosa, sehingga lahirnya kehambaran.
Sesekali memang kita perlu melihat yang di belakang untuk keselamatan ke depannya. Tetapi lihatlah, kenapa kaca spion jauh lebih kecil dibanding kaca depan, itu menunjukkan kita mesti lebih sering melihat ke depan dibanding ke belakang.
Bisa juga saudara melibatkan orang lain yang tepercaya akhlak dan agamanya untuk memberikan pandangannya, atau bisa juga pengalaman orang lain yang pernah mengalaminya. Ini jika memang diperlukan. Allah Ta’ala berfirman: fab’atsuu hakaman min ahlihi wa hakaman min ahliha (maka utuslah pengadil dari keluarga suami dan pengadil dari keluarga istri). Jika menganggap ini aib, tidak apa-apa disampaikan kepada orang yang justru bisa mengobati aib itu. Sebagaimana penyakit fisik yang mesti ditampakkan kepada dokter ketika ingin menyembuhkannya.
Terakhir, tentunya senjata orang beriman adalah menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong. Kita mesti meyakini keampuhannya. Lalu iringi doa yang khusyu dan sungguh-sungguh. Mintalah kepada Allah Ta’ala untuk diberikan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Memohon diberikan kesabaran, kekuatan, sekaligus jalan keluar yang menyelamatkan dunia dan akhirat sekaligus bagi keluarga.
Demikian. Wallahu A’lam.
🍃🌾🌸🌻🌴☘🌷🌺
✏ Farid Nu’man Hasan
Catatan Kaki:
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 92-93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz.3, Hal. 42. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
[3] Imam Abu Jafar ath Thabari, Jami’ul Bayan, Juz. 9, hal. 581. Muasasah Ar Risalah
[4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 93. Dar Al kitab Al ‘Arabi
[5] HR. Abu Daud, Juz. 5, hal. 433, No.1755. An Nasa’i, Juz.10, hal. 328, No. 3176. Syaikh al Albany berkata: Hasan Shahih, lihat Shahih wa Dhaif SunanAbi Daud, Juz. 5, hal. 51. Al Maktabah Asy Syamilah
[6] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 4, hal. 437, hadits no. 1755. Al Maktabah Asy Syamilah
[7] HR. Abu Daud, Juz.5, Hal. 434, No.1756. Ahmad, Juz.16, Hal.491, No.7949. Syaikh al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz.5, Hal. 52. Al Maktabah Asy Syamilah
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 94. Darl Kitab Al ‘Arabi
[9] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud, Juz.4, Hal. 438, No hadits. 1756. Al Maktabah Asy Syamilah
[10] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 184-185. Al Maktabah Asy Syamilah
[11] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 97-98. Darul Kitab Al ‘Arabi