Pertanyaan
Kotoran anjing apakah najis besar/ mugholadhah. Bolehkah kami mngikuti Mazhab Maliki yg mnyebutkan , Anjing tidak Najis. Di Indinesia katanya bermadzhab Syafii. (Heru Budiyanto-Yogyakarta)
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim..
Perlu diketahui dalam mazhab Maliki, kotoran dan kencingnya Anjing juga najis alias tidak suci, yang tidak najis bagi mereka adalah seluruh tubuhnya baik kulit, bulu, kuku, dan liur. Tapi untuk kencing dan kotoran tetap najis.
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
أما فضلات الكلب كبوله، ورجيعه مثلا، فإنها نجسة عند المالكية؛ لأن الكلب غير الوحشي من الحيوانات التي لا يشرع أكلها، ففضلاتها نجسة
Adapun kotoran anjing, seperti air kencing dan tinjanya, maka menurut Mazhab Maliki, keduanya dianggap najis. Hal ini karena anjing yang bukan jenis liar termasuk hewan yang tidak dibolehkan untuk dimakan, sehingga kotorannya dihukumi najis. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 443311)
Ada pun dalam mazhab Syafi’i adalah kebalikan mazhab Maliki, bahwa bagi mazhab Syafi’i anjing semua bagiannya adalah najis. Itulah yg diyakini umumnya umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafi’i.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah rincian masalah ini:
أَمَّا الْكَلْبُ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ : أَحَدُهَا : أَنَّهُ نَجِسٌ كُلُّهُ حَتَّى شَعْرُهُكَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ طَاهِرٌ حَتَّى رِيقُهُكَقَوْلِ مَالِكٍ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ . وَالثَّالِثُ : أَنَّ رِيقَهُ نَجِسٌ وَأَنَّ شَعْرَهُ طَاهِرٌ وَهَذَامَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ وَهَذِهِ هِيَ الرِّوَايَةُ الْمَنْصُورَةُ عِنْدَ أَكْثَرِأَصْحَابِهِ وَهُوَ الرِّوَايَةُ الْأُخْرَى عَنْ أَحْمَد وَهَذَا أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ
“Adapun anjing, para ulama kita terbagi atas tiga pendapat:
Pertama. Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya, inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.
Kedua. Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Malik.
Ketiga. Bahwa liurnya adalah najis, dan bulunya adalah suci, inilah madzhab yang masyhur dari Abu Hanifah, dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari Ahmad. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/616)
Lalu, bagaimana sikap yang terbaik bagi orang yang meyakini mazhab Maliki saat berkunjung atau bermukim ke negeri yang bermazhab Syafi’i? Maka, tidak mengapa baginya mengikuti pandangan yg umumnya diyakini ditempat yang dia kunjungi, perhatikan kondisi fiqih yg dianut masyarakat dan ulama di situ, untuk menghindari fitnah dan gesekan sosial dengan penduduk setempat. Demikianlah perilaku dan adab yang dicontohkan kaum salaf dan disarankan para ulama.
Di antaranya nasihat Imam Al Qarafi sebagai berikut:
فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “
Bagaimanapun yang baru dari sebuah tradisi perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu. (Al Furuq, 1/176-177)
Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata:
أخبرنا يزيد بن هارون عن حماد بن سلمة عن حميد قال قلت لعمر بن عبد العزيز لو جمعت الناس على شيء فقال ما يسرني انهم لم يختلفوا قال ثم كتب إلى الآفاق أو إلى الأمصار ليقضي كل قوم بما اجتمع عليه فقهاؤهم
Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz:
“Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”
Beliau menjawab:
“Aku tidak senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”
Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:
“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).” (Sunan Ad Darimi No. 652, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)
Diceritakan dalam Al Mausu’ah ketika Imam asy Syafi’i ke wilayah bermazhab Hanafi (tidak qunut subuh), Beliau rela meninggalkan qunut subuh untuk menghormati pendapat penduduk setempat. Berikut ini kisahnya:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ
“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)
Demikian. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan