Air Mani Keluar Sendiri, Batalkah Puasanya?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

assalamu’alaikum pak ustadz.suami saya mau tanya.Begini ustad,suami saya umurnya 60 thn.beliau sering tanpa disadari mengeluarkan cairan putih spt air biasa tapi licin(maaf) dari kemaluannya(mani encer kali y)padahal suami saya dikatakan hilang rasa birahi juga gak sama sekali sih hanya agak hilang aja.saat puasa skrg ini sering keluar jg siang hari tanpa sebab gt.apakah ini membatalkan puasanya pak ustadz?sebab beliau sdh bertanya dg ulama tempat kami (2 org)dan di wa group ustadz Somad katanya batal puasanya.bgmn yg sbnrnya ustadz?mohon penjelasannya.wassalam🙏

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Yg perlu diperjelas adalah apakah itu benar air mani?

Dalam Dustur Al ‘Ulama:

الْمَنِيُّ هُوَ الْمَاءُ الأْبْيَضُ الَّذِي يَنْكَسِرُ الذَّكَرُ بَعْدَ خُرُوجِهِ وَيَتَوَلَّدُ مِنْهُ الْوَلَدُ

Air mani adalah air berwarna putih yang membuat   kemaluan lemas setelah keluarnya, dan terbentuknya bayi adalah berasal darinya. (Dustur Al ‘Ulama, 3/361)

Apakah si bapak itu lemas setelah keluar cairan tersebut?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan tentang MADZI:

وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya, terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama.

(Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Apa perbedaan MANI dengan MADZI?

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْمَنِيِّ أَنَّ الْمَنِيَّ يَخْرُجُ بِشَهْوَةٍ مَعَ الْفُتُورِ عَقِيبَهُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ فَيَخْرُجُ عَنْ شَهْوَةٍ لاَ بِشَهْوَةٍ وَلاَ يَعْقُبُهُ فُتُورٌ

Perbedaan antara madzi dan mani adalah, bahwa mani keluar dibarengi dengan syahwat dan keadaan lemas setelah keluarnya, ada pun madzi bisa keluar dengan syahwat dan tanpa syahwat, dan tidak membuat lemas setelah keluarnya.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/141, Fathul Qadir, 1/42)

Jadi, jika dia setelah itu lemas, dibarengi rasa enak saat keluarnya, maka itu mani. Ada pun keenceran itu terkait dgn produksi spermanya. Tp, reaksi dasarnya “lemas” dan “rasa enak” saat keluar itulah mani.

Jika ini tidak ada, MAKA ITU BUKAN MANI.

ANGGAPLAH ITU MANI

Kemudian, anggaplah itu mani .., karena keluarnya tidak melalui kesengajaan bukan karena dengan tangan, memeluk, menggesekkan ke istri ..dll, alias keluar sendiri apakah ini membatalkan? TIDAK menurut mayoritas ulama. Bahkan walau dibarengi dgn MEMIKIRKAN dan MENGHAYALKAN, tetap tidak batal.

Dalam Al Mausu’ah:

إِنْزَال الْمَنِيِّ بِالنَّظَرِ أَوِ الْفِكْرِ ، فِيهِ التَّفْصِيل الآْتِي : – مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ أَنَّ الإِْنْزَال بِالْفِكْرِ – وَإِنْ طَال – وَبِالنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ ، وَلَوْ إِلَى فَرْجِ الْمَرْأَةِ مِرَارًا ،لاَ يُفْسِدُ الصَّوْمَ ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُنْزِل بِهِ ، لأَِنَّهُ إِنْزَالٌ مِنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ ، فَأَشْبَهَ الاِحْتِلاَمَ . قَال الْقَلْيُوبِيُّ : النَّظَرُ وَالْفِكْرُ الْمُحَرِّكُ لِلشَّهْوَةِ ، كَالْقُبْلَةِ ، فَيَحْرُمُ وَإِنْ لَمْ يُفْطِرْ بِهِ.
وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ إِنْ أَمْنَى بِمُجَرَّدِ الْفِكْرِ أَوِ النَّظَرِ ، مِنْ غَيْرِ اسْتِدَامَةٍ لَهُمَا ، يَفْسُدُ صَوْمُهُ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ

Keluarnya air mani karena melihat atau memikirkan, ada perincian: Madzhab Hanafiy dan Syafi’iy -kecuali sebagian kecil saja dari mreeka- bahwa keluarnya mani karena memikirkan walau pun lama, atau karena melihat dengan syahwat walau ke kemaluan wanita berkali-kali TIDAKLAH MEMBATALKAN PUASA, sebab keluarnya mani bukan karena mubasyarah, maka ini serupa dengan mimpi basah. Al Qalyubi berkata: “Penglihatan, khayalan, yang membangkitkan syahwat seperti mencium adalah HARAM walau TIDAK MEMBATALKAN PUASA.

Ada pun madzhab Malikiyah, bahwa semata-mata keluar mani gara-gara memikirkan a

tau melihat, walau tanpa terus-terusan maka itu membatalkan puasanya dan wajib qadha, tanpa kafarah.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/33-34)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

فإن كان سببه مجرد النظر، أو الفكر، فإنه مثل الاحتلام نهارا في الصيام لا يبطل الصوم، ولا يجب فيه شئ.
وكذلك المذي، لا يؤثر في الصوم، قل، أو كثر.

Jika sebab keluarnya mani semata-mata karena melihat, atau memikirkan, maka itu serupa dgn mimpi basah di siang hari saat puasa, itu tidak membatalkan puasa, dan tidak ada kewajiban apa pun.

Demikian pula madzi sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi puasanya, baik sedikit atau banyak.

(Fiqhus Sunnah, 1/466)

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:

عن عمرو بن هرم قال : سئل جابر بن زيد عن رجل نظر إلى امرأته في رمضان فأمنى من شهوتها هل يفطر ؟ قال : لا ، و يتم صومه

Dari Amru bin Haram, bahwa Jabir bin Zaid ditanya tentang laki-laki yang melihat istrinya pada bulan Ramadhan lalu keluar mani-nya karena syahwat, apakah batal puasanya? Beliau menjawab: “TIDAK, hendaknya dia lanjutkan puasanya.”

(Al Mushannaf, 2/170/1)

Maka, kasus yg ditanyakan ini masih lebih ringan .. tidak memikirkan, tidak menghayal, tidak melihat yang porno, tidak syahwat, tapi keluar sendiri .. maka lebih menunjukkan bahwa itu tidak batal sebagaimana penjelasan di atas.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Lewat di Depan Orang Sholat

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum Pa ustadz, selama di Madinah bbrp hari ni saya lihat kok orang sembarang lewat di depan makmum, kan itu terlarang? Mohon penjelasannya.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumus Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillah wal Hamdulillah ….

Masalah ini sering menjadi pertanyaan banyak orang. Apakah dibolehkan jalan melewati makmum? Bukankah nabi melarang kita lewat di depan orang shalat?

Dari Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Jika kalian shalat maka jangan biarkan seorang pun lewat di hadapan kalian, cegahlah semampu kalian, jika dia menolak untuk dicegah maka bunuhlah, karena dia adalah seetan.” (HR. Muslim, 258/505)[1]

Para ulama’ memahami larangan ini berlaku untuk shalat sendiri dan shalatnya imam. Boleh saja melewati makmum, sebab larangan melewati depan orang shalat hanya berlaku bagi shalat sendiri atau shalatnya imam.

Larangan hadits di atas masih ‘aam (global) yang larangan tersebut di- takhshish (dibatasi) oleh hadits lainnya.

Berikut ini dalilnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَأَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)

Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum. Bahkan dia lewat sambil menunggangi untanya, dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri. Menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan) tidaklah mengapa. Kebolehan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.

Al Hafizh Ibnu Hajar Asy Syafi’iy Rahimahullah menulis dalam Fathul Baari:

وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : حَدِيثُ اِبْن عَبَّاس هَذَا يَخُصُّ حَدِيثٌ أَبِي سَعِيد ” إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ” فَإِنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِد ، فَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس هَذَا ، قَالَ : وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ

Berkata Ibnu Abdil Bar, “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi hadits Abu Said yang berbunyi, ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebab hadits ini dikhususkan untuk imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum, maka tidak ada sesuatu pun yang memudharatkan siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.” (Fathul Bari, 1/572)

Hanya saja bolehnya hal ini masyarakat kita masih banyak yang belum memahaminya, mungkin dianggap tidak sopan. Tp, yang jelas mereka mesti diedukasi hal ini agar tidak melarang apa-apa yang dibolehkan agama syariat.

Demikian. Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

Wallahu A’lam.

🌾🌻🍃🌴🌺☘🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Apa maksud “bunuh” dalam hadits ini? Apakah dia dibunuh karena menolak dihalau? Imam Al Baghawi menjelaskan:

والمراد من المقاتلة الدفع بالعنف لا القتل

Yang dimaksud dengan “bunuh” adalah menahan dengan keras, bukan membunuhnya. (Syarhus Sunnah, 2/456)

Imam An Nawawi menjelaskan tentang hukum menghalau orang yang lewat di hadapan orang shalat:

وهو ندب مت

أكد ولا أعلم أحدا من العلماء أوجبه بل صرح أصحابنا وغيرهم بأنه مندوب غير واجب قال القاضي عياض واجمعوا على أنه لا يلزمه مقاتلته بالسلاح ولا ما يؤدي إلى هلاكه

Itu sunah yang ditekankan, dan aku tidak ketahui adanya seorang ulama pun yang mengatakan wajib. Bahkan para sahabat kami dan lainnya menjelaskan itu anjuran saja bukan kewajiban. Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Mereka telah ijma’ bahwa itu bukan membunuhnya dengan senjata atau apa-apa yang membawa celaka baginya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/223)

 

Menyebut Almarhum Untuk Non Muslim

💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Boleh atau Tidak menyebutkan Kata Al-marhum/Almarhumah Kepada mayit yg non muslim?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Al Marhum/ah artinya yang dirahmati, sebagian ulama seperti Syaikh Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin, dll, mengatakan ini boleh hanya untuk muslim, dan juga bermakna semoga Allah merahmati, sama dengan Rahimahullah.

Dan ini Kekhususan bagi mayit muslim, bukan non muslim. Sebab siapa pun yang wafat dalam keadaan kafir maka dia di neraka abadi sebagaimana keterangan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.

Wallahu a’lam

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Menjamak Shalat Jumat dan Ashar

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum ustadz, adakah tuntunan dari Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam tentang boleh tidaknya menjama’ sholat jumat dg sholat ashar saat sedang safar? (08127521xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .

Hal ini diperselisihkan ulama kebolehannya. Para ulama Hambaliyah mengatakan tidak sah, tidak boleh.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata:

لا يجوز جمع العصر إلى الجمعة في الحال التي يجوز فيها الجمع بين الظهر والعصر
فلو مر المسافر ببلد وصلى معهم الجمعة لم يجز أن يجمع العصر إليها

Tidak menjamak ashar dengan shalat Jumat di waktu shalat Jumat, yang dibolehkan adalah menjamak antara zhuhut dan ashar.

Maka, seandainya seorang musafir melewati daerah yang sedang shalat Jumat dan dia shalat bersama mereka, maka dia tidak boleh menjamaknya dengan ashar. (Majmu’ Al Fatawa, 15/371)

Ada pun pihak yang membolehkan adalah seperti golongan Syafi’iyah dan Malikiyah, dengan alasan qiyas. Di mana shalat Jumat memiliki waktu yang sama dengan zhuhur, maka sah menjamaknya dengan ashar sebagaima menjamak zhuhur dan ashar di hari lain.

Imam Malik berkata:

ويجوز الجمع بين كل صلاتين مشتركتا الوقت في السفر في وقت أيتهما شاء إذا جد به السير

Dibolehkan menjamak antara semua dua shalat yang waktunya bersamaan dalam safar terserah di waktu shalat apa saja pada dua shalat itu. (Al Mudawanah Al Kubra, 1/117)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menguatkan pendapat yang membolehkan jamak antara shalat Jum’at dan Ashar, beliau berkata;

لأن الجمعة ما دامت بدلاً من الظهر فلها حكمه وإن اختصت بالحضر

Karena shalat Jumat selalu menjadi pengganti shalat zhuhur maka hukum shalat Jumat sama dengan zhuhur, walau dia dikhususkan bagi yang sedang mukim (tidak safar).

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, no. 2708)

Perbedaan ini karena perbedaan dalam menyikapi qiyas dalam ibadah, pihak yang menyatakan tidak sah, karena mereka menolak qiyas dalam ibadah, bagi mereka qiyas hanya boleh dalam urusan muamalah dunia. Sementara pihak yang membolehkan tidak mempermasalahkan qiyas dalam ibadah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌵🌴🌷🌱🌸🍃🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top