Menyakiti Hewan Tanpa Udzur Syar’iy

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, mau nanya… bagaimana perihal pembibitan ternak anak ayam petelur yang di potong sedikit ujung paruh nya utk tujuan agar tidak banyak makan?
Bagaimana hukumnya (+62 821-4172-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Ini tujuannya baik, tapi caranya zalim.

Kaidahnya:

الغاية لا تبرر الوسيلة الا بالدليل

Tujuan yg baik tidak boleh menghalalkan segala cara kecuali ada dalilnya.

Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَمَرُّوا بِفِتْيَةٍ أَوْ بِنَفَرٍ نَصَبُوا دَجَاجَةً يَرْمُونَهَا فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا عَنْهَا وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ مَنْ فَعَلَ هَذَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنْ فَعَلَ هَذَا

Saya sedang bersama Ibnu Umar, lalu lewatlah para pemuda atau sekelompok orang yang menyakiti seekor ayam betina, mereka melemparinya. Ketika hal itu dilihat Ibnu Umar mereka berhamburan. Dan Ibnu Umar berkata: “Siapa yang melakukan ini? Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang melakukan ini.”

(HR. Bukhari No. 5515, Muslim No. 1958, dan ini menurut lafaz Bukhari)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

Janganlah kalian menjadikan sesuatu yang memiliki ruh sebagai sasaran. (HR. Muslim No. 1957)

Larangan Mencincang Hewan Hidup-Hidup. Dalam riwayat yang sama, dari Ibnu Umar pula:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَثَّلَ بِالْحَيَوَانِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang mencincang/membuat cacat hewan. (HR. Bukhari No. 5515)

Yaitu mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup. Lalu, apa makna laknat dalam hadits ini? Yaitu diharamkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar mengatakan:

واللعن من دلائل التحريم

Dan kata ‘laknat’ merupakan petunjuk keharamannya. (Fathul Bari, 9/644)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Memakan Buaya

Bismillahirrahmanirrahim ..

Ada dua pendapat para ulama tentang ini:

1. BOLEH

Alasannya, buaya masuk cakupan umum halalnya hewan laut dan hewan air.

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. ( Qs. Al-Ma’idah, Ayat 96)

Ayat lain, Allah Ta’ala menyebutkan apa saja yang diharamkan:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.

(QS. Al-An’am, Ayat 145)

Ayat ini tegas memyebut apa saja yang diharamkan, dan Buaya tidak termasuk.

Juga hadits:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud no. 83, shahih)

Inilah pendapat sebagian ulama Hambaliyah, termasuk Hambaliyah kontemporer.

Dalam Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi, yang para ulamanya adalah Hambaliyah, disebutkan oleh mereka:

اما التمساح فقيل يؤكل كالسمك لعموم ما تقدم من الاية و الحديث و قيل لا يؤكل لكونه من ذوات الانياب من السباع و الراجح الاول

Ada pun buaya, dikatakan bahwa itu boleh dimakan sebagaimana ikan, berdasarkan keumuman ayat dan hadits sebelumnya. Dikatakan pula tidak boleh dimakan karena termasuk hewan buas yang bertaring, pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 22/229- 230)

Ini juga menjadi pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin, dll.

2. HARAM

Keharaman buaya, berdasarkan hadits berikut:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang semua hewan yang memiliki taring dari kalangan hewan buas.

(HR. Bukhadi no. 5101)

Maka, ini begitu jelas pelarangannya. Sehingga ini menjadi pengecualian apa yang dibolehkan dari hewan laut dan air.

Dalam kitab Ad Durar As Saniyah, yang disusun sekumpulan ulama Najd, disebutkan:

وقال احمد: يؤكل كل ما في البحر الا الضفدع و التمساح، قال لان التمساح يفترس و يأكل الناس

Imam Ahmad berkata: semua yang ada di laut (air) boleh dimakan kecuali kodok dan buaya. Beliau berkata: karena buaya adalah hewan buas dan memakan manusia.

(Ad Durar As Saniyah fil Ajwibah An Najdiyah, 7/471)

Syaikh Abdurrahman Al Jaziriy Rahimahullah mengatakan:

ويحل أكل حيوان البحر الذي يعيش فيه ولولم يكن على صورة السمك كأن كان على صورة خنزير أوآدمي كما يحل أكل الجريث “وهو السمك الذي على صورة الثعبان” وسائر أنواع السمك ما عدا التمساح فإنه حرام.

Dihalalkan memakan hewan laut yang hidup di dalamnya walau bentuknya tidak seperti ikan, seperti yg bentuknya menyerupai babi dan manusia, sebagaimana dihalalkan belut, yaitu ikan berbentuk ular, dan semua jenis ikan KECUALI BUAYA karena itu haram.

(Al Fiqhu ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 2/9)

Dalam madzhab Syafi’iy dikatakan:

ما يعيش في الماء وفي البر كطير الماء مثل البط والأوز ونحوهما حلال، إلا ميتتها لا تحل قطعا، والضفدع والسرطان محرمان على المشهور، وذوات السموم حرام قطعا، ويحرم التمساح على الصحيح، والسلحفاة على الأصح

Apa pun yg hidup di air dan darat seperti burung laut, bebek, adalah halal, kecuali bangkainya maka tidak halal secara pasti. Sedangkan kodok dan kepiting adalah haram menurut pendapat yg masyhur, dan apa pun yg memiliki racun (bisa) haram secara pasti, dan diharamkan pula buaya menurut pendapat yg shahih, dan juga kura-kura menurut pendapat yang lebih shahih.

(Al Muhadzdzab, 1/257, Raudhatuth Thalibin, 3/275, Hasyiyata Al Qalyubiy wal ‘Amirah, 4/257)

Pendapat yg lebih aman adalah terlarang. Apalagi makanan yg halal masih banyak, yg pasti-pasti halalnya saja. Sedangkan kepiting diperselisihkan, dan pernah dibahas di channel ini.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Muslimah Memakai High Heels

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

High heels adalah sepatu yang identik dengan penampilan feminin, seksi dan glamor. Sebagian muslimah memakai high heels karena dapat meningkatkan kepercayaan diri. Lalu bagaimana sebenarnya dalam pandangan Islam? Benarkah wanita muslimah haram memakainya? (+62 896-7784-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Sepatu dengan “hak tinggi” akan memunculkan dua hal:

1. Hentakkan suara sepatu tersebut, yang membuatnya berjalan seperti orang yang sedang kagum dengan diri sendiri. Tipis perbedaan apakah ini percaya diri atau ‘ujub/takjub terhadap diri sendiri, dan mencari perhatian manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

Dan janganlah mereka (wanita) menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

(QS. An-Nur, Ayat 31)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

كانت المرأة في الجاهلية إذا كانت تمشي في الطريق وفي رجلها خلخال صامت لا يعلم صوته، ضربت برجلها الأرض، فيعلم الرجال طنينه، فنهى الله المؤمنات عن مثل ذلك

Pada masa jahiliah, kaum wanita berjalan dengan memakai gelang kaki yang tidak memiliki suara, lalu mereka menghentakkan kakinya ke tanah agar diperhatikan kaum laki-laki. Maka, Allah Ta’ala melarang wanita beriman melakukan hal itu.

(Tafsir Ibnu Katsir, 6/46)

Maka, sepatu dengan high heels, lebih pantas lagi untuk dilarang sebab suaranya yang berulang-ulang setiap melangkah. Bukan hanya sekali hentakkan.

2. Membahayakan pemakainya. Hal ini sudah sering kejadian, baik di rumah, kantor, jalan, dan lainnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhullah mengatakan:

لبس الكعب العالي لا يجوز لأنه يُعرض المرأة للسقوط ، والإنسان مأمور شرعاً بتجنب المخاطر بمثل عموم قوله تعالى : ( ولا تقتلوا أنفسكم ) وقوله تعالى : ( ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة )

Memakai sepatu high heels tidak boleh, sebab wanita bisa terjatuh karenanya. Manusia dilarang melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sesuai keumuman firman Allah Ta’ala: “Jangan kalian membunuh diri sendiri.” (QS. An Nisa: 29) dan ayat lain: “Janganlah kamu menjerumuskan diri sendiri dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195)

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 26215)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Cara Berwudhu Dengan Luka Diperban

▪▫▪▫▪▫▪▫

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

انْكَسَرَتْ إِحْدَى زَنْدَيَّ فَسَأَلْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ

“Salah satu lengan tanganku retak, maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan kepadaku agar mengusap bagian atas kain pembalut luka.” (HR. Ibnu Majah no. 657, dhaif)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

أحمد: إذا توضأ، وخاف على جرحه الماء، مسح على الخرقة

َImam Ahmad berkata: “Jika berwudhu, dan khawatir atas lukanya terkena air, maka dibasuh dibagian permukaan perbannya.”

(Al Mughniy, 1/205)

Beliau juga berkata:

وكذلك إن وضع على جرحه دواء، وخاف من نزعه، مسح عليه. نص عليه أحمد

Demikian pula jika ada olesan obat di lukanya, dan dia khawatir obatnya itu hilang, maka basuhlah atasnya. Demikian ucapan Imam Ahmad.

(Ibid)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

إذا وجد جرح في أعضاء الطهارة فله مراتب :

المرتبة الأولى : أن يكون مكشوفا ولا يضره الغسل ، ففي هذه المرتبة يجب عليه غسله إذا كان في محل يغسل

المرتبة الثانية : أن يكون مكشوفا ويضره الغسل دون المسح ، ففي هذه المرتبة يجب عليه المسح دون الغسل

المرتبة الثالثة : أن يكون مكشوفا ويضره الغسل والمسح ، فهنا يتيمم له

المرتبة الرابعة : أن يكون مستورا بلزقة أو شبهها محتاج إليها ، وفي هذه المرتبة يمسح على هذا الساتر ، ويغنيه عن غسل العضو ولا يتيمم

“Jika terdapat luka pada salah satu anggota bersuci, maka ada beberapa tingkatan:

1. Lukanya terbuka dan tidak berbahaya jika di-ghusl (dibasahkan/mandikan/dibasuh). Dalam hal ini maka dia wajib dibasuh jika dia merupakan anggota yang wajib dibasuh.

2. Lukanya terbuka tapi berbahaya jika di-ghusl dan tidak berbahaya jika diusap. Dalam tingkatan ini, yang diwajibkan adalah diusap, tidak dighusl .

3. Lukanya terbuka dan berbahaya jika dibasuh dan diusap. Maka jika begitu keadaannya, dia bertayammum untuk mengganti basuhan anggota wudhu tersebut.

4. Lukanya tertutup oleh perban dan semacamnya dan hal itu dibutuhkan. Dalam tingkatan seperti ini, cukup baginya mengusap di atasnya. Hal itu sudah menggantikan basuhan dan usapan di atasnya.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Utsaimin, 11/121)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top