Hukum Jual Beli Secara Lelang

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum ustadz, saya ingin menanyakan bagaimana hukum tentang lelang? Syukron (Dari Amir Udin)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

📌 Definisi

Lelang (Al Muzayadah), arti secara bahasa (lughah-etimologi) adalah:

التَّنَافُسُ فِي زِيَادَةِ ثَمَنِ السِّلْعَةِ الْمَعْرُوضَةِ لِلْبَيْعِ

Berlomba-lomba dalam menambah harga barang dagangan yang dipamerkan untuk dijual.

Makna secara istilah (terminologi):

أَنْ يُنَادَى عَلَى السِّلْعَةِ وَيَزِيدُ النَّاسُ فِيهَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ حَتَّى تَقِفَ عَلَى آخِرِ زَائِدٍ فِيهَا فَيَأْخُذَهَا

Menyerukan barang dagangan dan manusia satu sama lain saling menambahkan harga terhadap barang itu sampai berhenti penambahan itu pada penawar tertentu lalu dialah yang mengambilnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/86)

Atau juga:

بِأَنْ يَعْرِضَ الْبَائِعُ سِلْعَتَهُ فِي السُّوقِ وَيَتَزَايَدَ الْمُشْتَرُونَ فِيهَا ، فَتُبَاعُ لِمَنْ يَدْفَعُ الثَّمَنَ الأْكْثَرَ

Seorang penjual yang menawarkan barang dagangannya ke pasar, lalu para pembeli saling menaikan harganya, lalu dia menjualnya kepada yang membayar harganya yang paling banyak. (Ibid, 9/9)

Jual beli lelang (Al Muzayadah), kadang dinamakan Ad Dalaalah, atau Al Munaadah, atau bai’u man yaziid, atau menurut istilah ahli fiqih, Bai’ul Fuqaraa. (Ibid, 37/85-86)

Tentang jual beli dengan cara lelang, ada beberapa hadits yang membicarakannya, sebagaian menyebutkan larangannya, sebagian lain menunjukkan kebolehannya.

Berikut ini rinciannya:

📌 Hadits-hadits yang melarang lelang (Al Muzayadah)

Pertama. Riwayat Imam Ahmad dan Imam Ath Thabarani

حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ قَالَ
سَمِعْتُ رَجُلًا سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ بَيْعِ الْمُزَايَدَةِ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ إِلَّا الْغَنَائِمَ وَالْمَوَارِيثَ

Berkata kepada kami Hasan, berkata kepada kami Ibnu Luhai’ah, berkata kepada kami Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Zaid bin Aslam, dia berkata:

Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang membeli dengan cara lelang. Dia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kalian membeli barang belian saudaranya kecuali pada harta rampasan perang dan warisan.” (HR. Ahmad No. 5398, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8391)

Tinjauan para perawi:

Tentang Ubaidullah bin Abi Ja’far mayoritas ulama memujinya. Imam Adz Dzahabi mengatakan: shaduuq mautsuuq (jujur dan dapat dipercaya). Abu Hatim, An Nasa’i, dan lainnya mengatakan: tsiqah. Ibnu Yunus mengatakan: dia seorang alim, zuhud, dan ahli ibadah. Sedangkan Ahmad mengatakan: laisa biqawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 3/4, No. 5351 ). Imam Bukhari meriwayatkan darinya tentang Al Ghusl dan At Ta’bir. (At Ta’dil wat Tajrih, 2/944, No. 994). Al ‘Ijli mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Ma’rifah Ats Tsiqat, 2/109, No. 1152)

Tentang Zaid bin Aslam, dia adalah pelayan Umar bin Al Khathab. Imam Ahmad dan Abu Zur’ah mengatakan: tsiqah. (Al Jarh Wat Ta’dil, 3/555, No. 2511). Ibnu ‘Adi mengatakan: tsiqah hujjah – terpercaya dan hujjah. (Mizanul I’tidal, 2/98, No. 2989). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tsiqah dan orang berilmu. (Taqribut Tahdzib, 1/350, No. 2117)

Tentang kedhaifan Ibnu Luhai’ah – nama aslinya Abdullah bin Luhai’ah bin ‘Uqbah Al Hadhrami- sudah sangat terkenal.

Abu Ishaq Ibrahim Al Jauzajaani mengatakan: jangan mengambil haditsnya, jangan menjadikan haditsnya sebagai hujjah, dan jangan terpedaya oleh riwayatnya. (Al Jauzajaani, Ahwal Ar Rijaal, Hal. 155, No. 274). Dahulu Ibnu Luhai’ah adalah seorang yang shaduq (jujur), namun hapalannya kacau setelah buku-bukunya terbakar. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqrib At Tahdzib, Hal. 538, No. 3653) Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.” Bahkan Ibnu Ma’in mengatakan, bahwa Ibnu Luhai’ah adalah lemah baik sebelum dan sesudah terbakar buku-bukunya. Yahya bin Said memandang haditsnya bukan apa-apa. Ibnu Mahdi mengatakan: “Saya tidak membawa apa pun dari Ibnu Luhai’ah.” Yahya bin Bakir mengatakan: “Buku-buku dan rumahnya terbakar pada tahun 170H.” Yahya bin Said berkata: “Berkata kepadaku Bisyr bin As Sirri, seandainya kau melihat Ibnu Luhai’ah, janganlah kau bawa haditsnya sehuruf pun.” An Nasa’i mengatakan: dhaif. (Mizanul I’tidal, 2/475-477)

Sedangkan Al Fallas mengatakan: “Barang siapa yang menulis darinya sebelum buku-bukunya terbakar seperti Ibnul Mubarak dan Al Muqri’, maka mendengarkannya adalah lebih shahih.”
Abu Zur’ah mengatakan: “Meriwayatkan darinya baik yang awal dan akhir adalah sama saja, kecuali yang dari Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab karena keduanya mengikuti dasar-dasarnya, dan dia adalah orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibid)

Jadi, ada pengecualian, yakni jika hadits Ibnu Luhai’ah diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak, Ibnu Wahab, dan Al Muqri, itu masih bisa diterima, karena mereka menerima darinya saat buku-bukunya belum terbakar.

Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan tentang hadits ini: semua perawinya tsiqat dan merupakan perawi Bukhari – Muslim, kecuali Ibnu Luhai’ah, dia adalah perawi dhaif, sehingga isnad hadits ini dhaif. (Lihat Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Tahqiq Musnad Ahmad No. 5398)

Sedangkan Imam Al Haitsami mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thabarani, di dalamnya terdapat Ibnu Luhai’ah, haditsnya hasan, dan perawi lainnya adalah shahih.” (Majma’ Az Zawaid, 4/84)

Kedua. Riwayat Imam Al Baihaqi

أخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق وأبو بكر بن الحسن قالا ثنا أبو العباس الأصم أنا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنا بن وهب أخبرني عمرو بن مالك عن عبيد الله بن أبي جعفر عن زيد بن اسلم قال : سمعت رجلا يقال له شهر كان تاجرا وهو يسأل عبد الله بن عمر عن بيع المزايدة فقال

Mengabarkan kepada kami Abu Zakaria bin Abi Ishaq dan Abu Bakr bin Al Hasan, mereka berdua berkata: berkata kepada kami Abu Al ‘Abbas Al Asham, bercerita kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, bercerita kepada kami Ibnu Wahab, telah mengabarkanku Amru bin Malik, dari Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Zaid bin Aslam, dia berkata: aku mendegar seorang laki-laki yang dipanggil namanya “Syahr” , seorang pedagang, dia bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang membeli dengan cara lelang. Lalu Ibnu Umar berkata: ……………… (disebut ucapan Ibnu Umar seperti hadits pertama). (Imam Al Baihaqi, Sunan Al Kubra No. 10669)

Tinjauan Para Perawi

Tentang Abul Abbas Al Asham, berkata Az Zirkili: Muhaddits (ahli hadits), orang Naisaburi. (Al I’lam, 7/145. Thabaqat As Shufiyah, Hal. 5. Mawqi’ Al Warraq)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: dengan ini sanadnya hasan, dan Amr bin Malik, haditsnya dijadikan penguat (mutaba’ah) oleh Imam Muslim. Abu Zur’ah mengatakan: shalihul hadits (haditsnya baik). Abu Hatim mengatakan: dia tidak apa-apa. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dan para perawi lainnya adalah perawi terpercaya. (Tahqiq Musnad Ahmad, 9/296)

Keempat. Riwayat Imam Ad Daruquthni dan Ibnu Jarud

ثنا أبو محمد بن صاعد إملاء نا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم حدثني بن وهب أخبرني عمر بن مالك عن عبيد الله بن أبي جعفر عن زيد بن أسلم قال سمعت رجلا يقال له شهر كان تاجرا وهو يسأل عبد الله بن عمر عن بيع المزايدة فقال

Bercerita kepada kami Abu Muhammad bin Shaa’id Imla’, bercerita kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakkam, bercerita kepadaku Ibnu Wahab, mengabarkan kepadaku Umar bin Malik dari Ubaidillah bin Abi Ja’far, dari Zaid bin Aslam, katanya: aku mendengar seorang laki-laki dipanggil Syahr – seorang pedagang- dia bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang membeli dengan cara lelang, maka Ibnu Umar berkata: ………………….. (disebut seperti riwayat pertama). (Riwayat Ad Daruquthni No. 32, Ibnu Jarud dalam Al Muntaqa No. 570)

Tinjauan para perawi

Tentang Abu Muhammad bin Shaa’id Imla’, berkata Al khalili: “Terpercaya, seorang imam yang melebihi para huffazh di zamannya.” (Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 14/502)

Tentang Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakkam, berkata Az Zirkili: “Orang Mesir, Abu Abdillah, seorang faqih, di Mesir kepemimpinan ilmu berakhir padanya. Dia bermadzhab Malik, pernah mengikuti Imam Asy Syafi’i, lalu dia rujuk kepada Malik.” (Az Zirkili, Al I’lam, 6/223) An Nasa’i mengatakan: tsiqah. Di tempat lain dia mengatakan: shaduq (jujur). (Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani Al Baghdadi, At Taqyid, Hal. 74). Ibnu Abi Hatim mengatakan: tsiqah shaduq. (Al Jarh wat Ta’dil, 7/300-301, No. 1630). Al hafizh Ibnu Hajar mengatakan: faqih tsiqah. (Taqribut Tahdzib, Hal. 862, No. 6028)

Sedangkan para perawi lainnya; Ibnu Wahab, Umar bin Malik, Ubaidillah bin Abi Ja’far, dan Zaid bin Aslam, adalah tsiqah. Maka semua perawi hadits ini adalah tsiqah.

Kelima. Riwayat Imam Al Bazzar

من طريق ابن لهيعة : حدثنا يزيد بن أبي حبيب ، عن المغيرة بن زياد ، عن سفيان بن وهب قال : سمعت النبي – صلى الله عليه وسلم – ينهى عن المزايدة

Dari jalan Ibnu Luhai’ah, bercerita kepada kami Yazid bin Abi Habib, dari Al Mughirah bin Ziyad, dari Sufyan bin Wahb, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang lelang.” (HR. Al Bazzar No. 1276, Kasyf)
Imam Al Haitsami mengatakan: isnaduhu hasan-isnadnya hasan. (Majma’ Az Zawaid, 4/84)

Para ulama mengisyaratkan kelemahannya. Sebab, jelas kelemahan Ibnu Luhai’ah karena jelek hapalannya setelah buku-bukunya terbakar.

Lalu Al Mughirah bin Ziyad, telah terjadi perselisihan ulama tentangnya. Imam Ahmad mengatakan: “dhaif, semua hadits yang dimarfu’kan olehnya adalah munkar.” An Nasa’i mengatakan: laisa biqawwi (tidak kuat). (Siyar A’lamn An Nubala, 7/197)

Sementara Al ‘Uqaili menyebutkan dari Ahmad: mudhtharibul hadits – haditsnya guncang. (Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa, 4/176)

Al Hafizh Ibnu hajar mengatakan: “Shaduq lahu awham – jujur tapi memiliki kebimbangan.” (Taqrib At Tahdzib, Hal. 964, No. 6834)

Yahya bin ma’in mengatakan: laisa bihi ba’san (dia tidak apa-apa) . (Dzikru Min Ikhtalafal Ulama, Hal. 95)

Sementara Abu Daud mengatakan: “haditsnya baik, dan ditsiqahkan oleh jamaah ahli hadits.” (As Siyar, 7/197)

Al ‘Ijli, Ibnu ‘Ammar, Ya’qub bin Sufyan mengatakan: tsiqah. Ibnu Abi Hatim berkata: “Aku bertanya ayahku dan Abu Zur’ah, mereka berdua menjawab: “Seorang syaikh,” apakah boleh berhujjah dengannya? Mereka menajwab: “Tidak boleh berhujjah dengannya.” Ayahku (Imam Abu hatim) mengatakan: “Dia orang shalih dan jujur, tapi tidak kuat.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/232)

Imam Umar bin Ahmad Al Baghdadi mengatakan dari Abu Hafsh bahwa pendapat Imam Ahmad lebih diikuti dibanding Yahya bin Ma’in dalam hal ini. (Dzikru Min Ikhtalafal Ulama, Hal. 95)

Oleh karenanya, ada dua orang bermasalah pada hadits ini, maka dari itu Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini dan menyanggah penghasanan Imam Al Haitsami. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 3981)

Dan Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengisyaratkan kelemahannya, katanya: “Dalam isnadnya ada Ibnu Luhai’ah, dan dia dhaif (lemah).” (Fathul Bari, 4/ 354). Begitu pula Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kelemahan hadits ini dengan mengatakan: “Tetapi dalam isnadnya terdapat Ibnu Luhai’ah, dia dhaif.” (Nailul Authar, 5/169)

Keenam. Riwayat Ishaq bin Rahawaih

أخبرنا الوليد بن مسلم حدثني من سمع عطاء الخراساني يحدث عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه نهى عن المزايدة إلا في ثلاث الميراث والشركة وبيع الغنائم

Telah mengabarkan kami Al Walid bin Muslim, berkata kepada saya orang yang mendengar dari ‘Atha Al Khurasani, dia berkata dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau melarang lelang kecuali pada tiga hal: warisan, syirkah, dan harta rampasan perang. (HR. Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya No. 438)

Riwayat ini lemah, karena ada perawi yang majhul (tidak diketahui) identitasnya.

Selain itu Al Walid bin Muslim adalah seorang imam dan ulamanya penduduk Syam, Imam Ahmad dan Ali Al Madini memujinya, tetapi Abu Mashar menyebutnya sebagai mudallis (orang yang suka menggelapkan sanad atau matan hadits). (Mizanul I’tidal, 4/347)

Imam As Suyuthi memasukkannya adalam kitab Asma’ul Mudallisin – nama-nama para mudallis. (Lihat No. 63)

Sederhananya, Mudallis adalah perawi yang suka menggelapkan sanad.

Sedangkan ‘Atha Al khurasani, telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad, hanya saja An Nasa’i mengatakan pada dasarnya dia tsiqah, tetapi suka men-tadlis. Abu Hatim mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. Ya’qub bin Syaibah mengatakan: “Terpercaya, terkenal dengan fatwa dan jihad.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/140-141)

📌 Para Salaf Yang Memakruhkannya

Demikian hadits-hadits dengan berbagai jalurnya yang menunjukkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang jual beli dengan cara lelang.

Sebagian hadits ada yang lemah, ada yang diperselisihkan kelemahannya, ada pula yang hasan. Larangan itu pun tidak berlaku untuk harta rampasan perang, warisan, dan syirkah (kongsi). Oleh karenanya, riwayat tentang larangan jual beli dengan cara lelang (Al Muzayadah) adalah sah. Namun apakah larangan itu bermakna haram menurut ulama? Ataukah bermakna lain?

Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan bahwa Mak-hul memakruhkan membeli dengan cara lelang kecuali bagi orang-orang yang ikut perkongsian. (Al Mushannaf No. 33640)

Imam Ishaq bin Rahawaih pernah ditanya tentang lelang, dia menjawab:

أكرهه إلا في الميراث، والغنيمة، والشركة

Aku membencinya (makruh), kecuali dalam warisan, ghanimah, dan perkongsian.” (Lihat Masail Al Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahawaih, 6/2573. Cet. 1, 2002M-1425H. ‘Imadatul Bahts Al ‘Ilmi)

Imam Ibrahim An Nakha’i juga memakruhkannya. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 5/188), bahkan beliau memakruhkan semua bentuk lelang tanpa pengecualian. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/87)

Selain itu, juga Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Ibnu Sirin, Imam Al Auza’i, Imam Ishaq, memakruhkan lelang kecuali pada harta warisan dan ghanimah. (Al Mausu’ah, 37/87)

Demikianlah larangan ini, sebagian ulama salaf memaknai sebagai makruh, bukan haram.

📌 Hadits Yang Membolehkan lelang

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ

Ada seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bertanya kepadanya: “Apakah kamu punya sesuatu di rumahmu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, sebuah kain sarung yang sebagian kami pakai buat selimut tidur sebagiannya buat alasnya, dan sebuah cangkir yang saya pakai buat minum.” Beliau bersabda: “Bawakan kepadaku keduanya.” Lalu saya membawakan kedua barang itu kepadanya, dan dia mengambil dengan tangannya, dan bersabda: “ Siapa yang mau beli dua benda ini?” Berkata seorang laki-laki: “Saya akan membeli keduanya dengan satu dirham.” Beliau bersabda: “Siapa yang menambahkan satu dirham ini?” Beliau mengulangnya dua atau tiga kali. Berkata seorang laki-laki: “Saya akan membelinya dengan dua dirham.” Maka Nabi memberikan kedua benda itu kepadanya dan mengambil dua dirham itu dan memberikannya kepada laki-laki Anshar tersebut. (HR. Ibnu Majah No. 2198, At Tirmidzi No. 1218, Abu Daud No. 1641, Ahmad No. 12134, Ibnul Jaarud dalam Al Muntaqa’ No. 569, dan lain-lain, dan ini adalah lafaznya Ibnu Majah)

Mari kita lihat sanadnya satu persatu ………….

Sanad dari Imam Ibnu Majah:

Berkata kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Isa bin Yunus, berkata kepada kami Al Akhdhar bin Al ‘Ajlan, berkata kepada kami Abu Bakar Al Hanafi, dari Anas bin Malik: ………… (disebutlah hadits di atas)

Tentang Abu Bakar Al Hanafi, nama aslinya adalah Abdullah. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “tidak dikenal.” (Al Mughni Fi Adh Dhua’afa, No. 3440)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah mengatakan:

وقال البخاري لا يصح حديثه وقال ابن القطان الفاسي عدالته لم تثبت فحاله مجهولة

Berkata Al Bukhari: tidak shahih haditsnya. Ibnul Qaththan berkata: ke-’adalahan-nya tidak kokoh, dan keadaannya tidak diketahui. (Tahdzibut Tahdzib, 6/80)

Sanad dari Imam At Tirmidzi:

Berkata kepada kami Humaid bin Mas’adah, mengabarkan kami ‘Ubaidillah bin Syumaith bin ‘Ajlan, mengabarkan kami Al Akhdhar bin Al ‘Ajlan, mengabarkan kami Abdullah Al Hanafi, dari Anas bin Malik, katanya: ……………. (disebut haditsnya)

Sanad ini pun terdapat Abdullah, yakni Abu Bakar Al Hanafi yang majhul sebagaimana keterangan sebelumnya.
Tentang Humaid bin Mas’adah, berkata Al Hafizh Ibnu Abi Hatim: “Dia shaduuq (jujur). (Al Jarh wat Ta’dil, 3/229. Juga Al Hafizh Adz Dzahabi, Al Kaasyif, 1/355. Juga Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, Hal. 279, No. 1559)

Imam Abu Bakar Al Baghdadi mengatakan bahwa Al Bukhari, At Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Al Baghawi, telah meriwayatkan hadits darinya. (Takmilah Al Ikmal, 3/281)
Tentang Ubaidillah bin Syumaith bin ‘Ajlan, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Tsiqah – terpercaya.” (Al Jarh wat Ta’dil, 5/319), begitu pula yang dikatakan Imam Abu Daud. (Al Kaasyif, 1/681), juga Al Hafizh Ibnu Hajar. (Taqribut Tahdzib, Hal. 639, No. 4301)

Tentang Al Akhdhar bin ‘Ajlan, Imam Ibnu Ma’in mengatakan: “tsiqah.” (Tarikh Ibnu Ma’in- Riwayah Ad Dauri, 4/306), Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Shaduuq – jujur.” (Taqribut Tahdzib, Hal. 121, Hal. 291) ‘Abbas mengatakan: “Dia tidak apa-apa.” Al Azdi mendhaifkannya. (Imam Abu Muhammad Badruddin Al ‘Aini, Mughani Al Akhyar, 1/32)

Demikian para perawi At Tirmidzi, semuanya tsiqah kecuali Abu Bakar Al Hanafi yang majhul, dan Al Akhdhar bin ‘Ajlan yang didhaifkan Al Azdi, dan ditsiqahkan yang lainnya.

Sanad dari Imam Abu Daud:

Berkata kepada kami Abdullah bin Maslamah, mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus, dari Al Akhdhar bin ‘Ajlan, dari Abu Bakar Al Hanafi, dari Anas bin Malik, katanya: …………(disebut hadits di atas)

Sanad ini juga terdapat Abu Bakar Al Hanafi yang majhul. Sedangkan perawi lain seperti Al Akhdhar bin ‘Ajlan sudah dibahas sebelumnya.

Tentang Abdullah bin Maslamah, Imam Abu Hatim mengatakan: tsiqah hujjah – bisa dipercaya dan sebagai hujjah. (Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji, At Ta’dil wat Tajrih, 2/926. Al Hafizh Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/181), Imam Al’Ijli juga mentsiqahkan. (Ats Tsiqat, 2/61). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: tsiqah. (Taqribut Tahdzib, Hal. 547, No. 3620)

Tentang Isa bin Yunus, Imam Abu Zur’ah mengatakan: “Haafizh –seorang hafizh.” Imam Abu Hatim mengatakan: “tsiqah.” (At Ta’dil wat Tajrih, 3/1146). Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqaat. (7/238, No. 9857). Al Hafizh Al ‘Ijli juga menyebutnya: tsiqah. (Ma’rifah Atsiqaat, 2/200)

Sanad dari Imam Ahmad:

Bercerita kepada kami Yahya bin Sa’id, dari Al Akhdhar bin ‘Ajlan, dari Abu Bakar Al Hanafi, dari Anas bin Malik, katanya: ……………….. (lalu disebut hadits seperti di atas)

Semua perawi sudah dijelaskan sebelumnya di atas, kecuali Yahya bin Sa’id, beliau adalah Yahya bin Said Al Qaththan seorang imam hadits terkenal.

Sanad Imam Ibnul Jaarud:

Bercerita kepada kami Muhammad bin Ismail Ash Shaaigh, bahwa Ruh bin ‘Ubaadah menceritakannya, berkata kepada kami Al Akhdhar bin ‘Ajlan At Taimi, dari seorang Syaikh Bani hanafiyah bernama Abu Bakar Al Hanafi, dari Anas bin Malik, katanya : ………………. (seperti sebelumnya)

Muhammad bin Ismail Ash Shaaigh adalah ahli hadits kota Mekkah. (Al Mu’ayyan No. 1121)

Sedangkan Ruh bin ‘Ubaadah, ditsiqahkan oleh Imam Ibnu Hibban. Para imam mengambil hadits darinya seperti Imam Ahmad, Imam Ali Al Madini, Imam Ibnu Ma’in, Imam Ishaq bin Ibrahim. (Ats Tsiqaat, 8/243), Al Ijli mengatakan tsiqah. (Ma’rifah Ats Tsiqat, 1/365)

Dan, sanad ini juga terdapat Abu Bakar Al Hanafi yang majhul.

Demikian. Lalu bagaimanakah status hadits ini?

Berkata Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah:

وأعله بن القطان بجهل حال أبي بكر الحنفي ونقل عن البخاري أنه قال لا يصح حديثه كذا في التلخيص

Imam Ibnul Qaththan menilai cacat hadits ini, karena adanya ke-majhul-an pada Abu Bakar Al Hanafi. Dikutip dari Imam Al Bukhari bahwa dia berkata: “Tidak shahih haditsnya.” Demikian disebutkan dalam At Talkhish. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/409)

Artinya, semua sanad hadits dhaif (lemah) lantaran majhul-nya Abu Bakar Al Hanafi, apalagi menurut standar Imam Al Bukhari dia tidak shahih haditsnya. Tidak shahih menurut ucapan Imam Bukhari, tidak bisa diartikan hasan, sebab istilah hadits hasan belum ada pada masa Imam Bukhari. Jadi, hadits ini adalah dhaif.

Begitu pula menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth, beliau mendhaifkan sanadnya Imam Ahmad. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 12134), dan Syaikh Al Albani mendhaifkan semuanya. (Takhrij Musykilah Al Faqr No. 41, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1851, Shahih wadh Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2198, Shahih wadh Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1218, Shahih wadh Dhaif Sunan Abi Daud No. 1641, dan lainnya).

Sedangkan sanad Abu Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah tidak tegas mendhaifkannya, Beliau mengatakan:

والحديث في إسناده أبو بكر الحنفي وهو مجهول لا يعرف، فهو إذاً غير صحيح

Pada hadits ini, isnadnya terdapat Abu Bakar Al Hanafi, dia seorang yang majhul (tidak diketahui) dan tidak dikenal, jadi hadits ini tidak shahih. (Syarh Sunan Abi Daud, 9/61)

Namun para ulama lain tidak mendhaifkan hadits ini. Imam Az Zaila’i mengatakan shahih. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayah Li Ahadits Al Hidayah, 4/22. Cet. 1, 1997M-1418H. Muasasah Ar Rayyan)

Imam At Tirmidzi menghasankannya, dan mengatakan: “Saya tidak mengetahuinya kecuali melalui hadits Al Akhdhar bin Al ‘Ajlan dan Abdullah Al Hanafi yang meriwayatkan dari Anas, dan dia adalah Abu Bakar Al Hanafi.

” (Sunan At Tirmidzi No. 1218)

Imam Al Haitsami mengikuti penghasanan Imam At Tirmidzi. Beliau mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ahmad dan At Tirmidzi menghasankan sanadnya. (Majma’ Az Zawaid, 4/84)
Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar mengikuti penghasanan Imam At Tirmidzi. (Fathul Bari, 4/354)

Umumnya mereka mengikuti pada penghasanan Imam At Tirmidzi. Wallahu A’lam

Selain hadits ini, ada riwayat lain yang menunjukkan kebolehan jual beli dengan cara lelang, yakni dalam Shahih Bukhari pada Kitab Al Buyuu’ Bab Bai’ Al Muzayadah (Kitab Jual Beli Bab Jual Beli Lelang). Penjudulan yang dibuat oleh Imam Bukhari sudah menunjukkan eksistensinya jual beli dengan cara lelang.

📌 Para Salaf Yang Membolehkan Lelang

Imam Ibnu Abi Syaibah menyebutkan beberapa salaf yang membolehkan lelang, seperti Ibnu Sirin (Al Mushannaf No. 33639), Hammad (No. 33641), ‘Atha,  dan Mujahid(No. 33642).

Imam Al Baihaqi Rahimahullah mengatakan:

وروينا عن عطاء بن أبي رباح أنه قال أدركت الناس لا يرون بأسا ببيع المغانم فيمن يزيد

Kami meriwayatkan dari ‘Atha bin Abi Rabbah, bahwa dia berkata: “Saya menjumpai manusia, mereka memandang tidak masalah  terhadap jual beli ghanimah pada orang yang menambahkan harganya.” (Al Baihaqi, Sunan Al Kubra No.10669. Lihat pula dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Buyu’ Bab Bai’ Al Muzayadah)

📌 Kebolehan Lelang adalah Pendapat Mayoritas Ulama

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى إِبَاحَةِ بَيْعِ الْمُزَايَدَةِ ، وَاسْتَدَلُّوا لِذَلِكَ بِفِعْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ….

Pendapat mayoritas fuqaha adalah membolehkan jual beli dengan cara lelang, mereka berdalil dengan perbuatan NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam … (lalu disebut hadits Anas bin Malik di atas). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/87)

Sementara itu, Imam Ibnu QudamahRahimahullah  -bermadzhab Hambali- mengklaim telah terjadi ijma’ atas kebolehannya. Katanya:

وهذا أيضا اجماع فان المسلمين يبيعون في أسواقهم بالمزايدة

Ini juga ijma, sesungguhnya kaum muslimin menjual di pasar-pasar mereka dengan cara lelang. (Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, 4/42. Darul Kitab Al ‘Arabi, juga dalam kitabnya yang lain, Al Mughni, 8/395. Mawqi’ Al Islam. Juga Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim, Manarus Sabil, 1/311. Cet. 7, 1989M-1409H. Maktab Al Islami)

Imam Al Bahuti Rahimahullah – juga dari kalangan Hambali –  pun mengatakan ijma’, katanya:

( فَأَمَّا الْمُزَايَدَةُ فِي الْمُنَادَاةِ فَجَائِزَةٌ ) إجْمَاعًا فَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَزَالُوا يَتَبَايَعُونَ فِي أَسْوَاقِهِمْ بِالْمُزَايَدَةِ

 (Adapun lelang dalam jual beli Al Munaadah(jual beli dengan cara memanggil) adalah    boleh) secara ijma’, karena kaum muslimin senantiasa jual beli di pasar-pasar mereka dengan cara lelang. (Al Kasysyaf Al Qinaa’,  9/13)

Namun, klaim adanya ijma’ oleh kalangan Hambaliyah dalam hal ini tidak sesuai kenyataan, sebab  telah terjadi perselisihan para ulama sejak masa ulama salaf, sebagaimana yang kami sebutkan di awal. Kalau pun mau dikatakan ijma’, itu adalahijma’ setelah masa-masa salaf.

Imam Al Kasani Rahimahullah –bermadzhab Hanafi- mengatakan:

هُوَ بَيْعُ مَنْ يَزِيدُ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِمَكْرُوهٍ ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { بَاعَ قَدَحًا وَحِلْسًا لَهُ بِبَيْعِ مَنْ يَزِيدُ } وَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَبِيعَ بَيْعًا مَكْرُوهًا

Itu adalah jual beli lelang, itu bukan makruh, sebab telah diriwayatkan bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjual cangkir dan kain dengan penjualan lelang (bai’u man yaziid), dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan jual beli seperti itu. (Imam Abu Bakar Al Kasani, Bada’i Ash Shana’i, 11/490. Mawqi’ Al Islam)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya tentang hadits Anas bin Malik:

والعمل على هذا عند بعض أهل العلم ولم يروا بأسا ببيع من يزيد في الغنائم والمواريث

Sebagian ulama mengamalkan hadits ini, mereka memandang tidak masalah menjual secara lelang dalam harta ghanimah dan warisan. (Sunan At Tirmidzi No. 1218)

Imam Ibnul ‘Arabi Rahimahullah –bermadzhab Maliki- mengomentari ucapan Imam At Tirmidzi ini,  beliau menyanggah kalau yang dibolehkan hanya pada harta ghanimah dan harta warisan. Beliau membolehkan secara mutlak pada harta apa saja, katanya:

لا معنى لاختصاص الجواز بالغنيمة والميراث، فإن الباب واحد والمعنى مشترك

Pembolehan tersebut tidaklah bermakna khusus bagi ghanimah dan warisan, karena sesungguhnya penyebutannya memang  satu namun maknanya banyak (musytarak). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/169. Lihat juga Syaikh Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 5/187)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah –bermadzhab Syafi’i – mengatakan:

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَسُومَ الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ ” . وَصُورَةُ سَوْمِ الرَّجُلِ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ أَنْ يَبْذُلَ الرَّجُلُ فِي السِّلْعَةِ ثَمَنًا ، فَيَأْتِي آخَرُ فَيَزِيدُ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ الثَّمَنِ قَبْلَ أَنْ يَتَوَاجَبَا الْبَيْعَ ، فَإِنْ كَانَ هَذَا فِي بَيْعِ الْمُزَايَدَةِ جَازَ : لِأَنَّ بَيْعَ الْمُزَايَدَةِ مَوْضُوعٌ لِطَلَبِ الزِّيَادَةِ ، وَأَنَّ السَّوْمَ لَا يَمْنَعُ النَّاسَ مِنَ الطَّلَب

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau melarang seorang laki-laki menawar atas tawaran saudaranya. Gambaran tawaran seseorang atas tawaran saudaranya adalah seorang yang memberikan harga pada barang dagangan, lalu datang orang lain yang menambahkan harga tersebut sebelum keduanya  transaksi, jika ini terjadi pada jual beli lelang, maka boleh, karena memang  jual beli lelang  menuntut adanya tambahan, dan sesungguhnya sebuah tawaran tidaklah mencegah manusia dari tuntutan itu. (Al Hawi fi Fiqhi Asy Syafi’i, 5/344) 

Imam Asy Syaukani Rahimahullah –awalnya bermadzhab Zaidi namun para ulama mengakuinya  telah mencapai posisi sebagai mujtahid mutlak- beliau mengatakan:

فيه دليل على على جواز بيع المزايدة وهو البيع على الصفة التي فعلها النبي صلى الله عليه وآله وسلم كما سلف وحكى البخاري عن عطاء أنه قال أدركت الناس لا يرون بأسا في بيع المغانم فيمن يزيد ووصله ابن أبي شيبة ن عطاء ومجاهد وروى هو وسعيد بن منصور عن مجاهد قال لا بأس بيع من يزيد

Dalam hadits ini terdapat dalil atas kebolehan jual beli dengan cara lelang, yaitu jual beli yang bentuknya telah dilakukan oleh NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana telah lalu. Imam Al Bukhari telah menceritakan dari ‘Atha bahwa Beliau menjumpai manusia memandang tidak mengapa menjual ghanimah kepada orang yang menambah nilai harganya (lelang). Ibnu Abi Syaibah menyambungkan kepada ‘Atha dan Mujahid, dan diriwayatkan oleh Said bin Manshur dari Mujahid, dia berkata: “Tidak apa-apa menjual dengan cara lelang.” (Nailul Authar, 5/169)  

Yang terlarang adalah jika penjual sudah ridha dan sepakat dengan satu harga dan sudah menahan dengan harga itu, lalu datang orang lain yang membeli dengan harga lebih tinggi,  maka ini haram, sebab dia telah membatalkan secara sepihak dengan pihak pertama dan telah membohonginya. Berbeda dengan lelang, tidak ada kesepakatan apa pun sebelumnya dengan para penawar, kesepakatan baru terjadi dengan pihak penawar dengan harga tertinggi, sehingga tak ada kesepakatan apa pun yang dilanggar dan tidak ada yang dicurangi. Wallahu A’lam

📌 Pendapat Ulama Kontemporer

1⃣ Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullahmengatakan:

وهو أن ينادي على السلعة، ويزيد الناس فيها بعضهم على بعض حتى تقف على آخر زائد فيها فيأخذها، فهو بيع صحيح جائز لا ضرر فيه

Lelang adalah menawarkan dengan seruan  terhadap sebuah barang, dan manusia satu sama lain  menambahkan harganya sampai berhenti, maka yang akhir yang berhak mengambilnya. Ini adalah jual beli yang sah dan boleh, dan tidak ada masalah di dalamnya. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/592)

2⃣ Syaikh Abdul Muhsin  Al ‘Abbad Al BadrHafizhahullah

Beliau mengatakan:

وهذا الحديث يدل على جواز البيع بالمزايدة، وأنه لا يدخل في النهي عن البيع على البيع، لأن النهي عن البيع على البيع يكون إذا وجد الاستقرار وتمام البيع، ويكون في مدة خيار، وأما أن يقول: من يشتري هذا؟ فيقول رجل: أنا بكذا، ثم يزيد آخر فهذا لا بأس به

Hadits ini menunjukkan kebolehan membeli dengan cara lelang, dan itu tidak termasuk dalam lingkup larangan membeli sesuatu terhadap barang yang sudah pesan  orang lain, karena larangan membeli terhadap barang yang sudah dibeli baru terjadi jika sudah ada ketetapan sempurna terhadap barang belian tersebut, yang dengan itu membuatnya mengambil pilihan. Ada pun orang mengatakan: “Siapa yang mau membeli ini?” ada orang menjawab: “Saya membeli sekian,” lalu yang lainnya menambahkan harga, maka itu tidak apa-apa. (Syarh Sunan Abi Daud, 9/61)

3⃣ Syaikh Muhammad Shalih Al MunajidHafizhahullah

Beliau mengatakan:

الحمد لله : عقد المزايدة عقد صحيح إذا تمّ بالشّروط الشّرعية وهذا مذهب جمهور أهل العلم ومما استدلوا به حديث أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

Alhamdulillah .. akad lelang adalah akad yang sah, jika terpenuhi syarat-syarat syar’iyah-nya. Ini adalah madzhab mayoritas ulama. Di antara alasan mereka adalah hadits Anas bin malik … (lalu disebut hadits yang telah kami bahas di atas) … dst. (Fatawa Islam Su’al wa Jawab, Pertanyaan No. 2150. Penanggung jawab: Syaikh Muhammad Shalih Al Munajid)

4⃣ Syaikh Dr. Abdullah Al FaqihHafizhahullah

Beliau mengatakan:

وهذا بيع جائز بإجماع المسلمين، كما صرح به الحنابلة فصححوه ولم يكرهوه، وقيده الشافعية بأمرين: أن لا يكون فيه قصد الإضرار بأحد، وبإرادة الشراء وإلا حرمت الزيادة لإنها من النجش

Ini adalah jual beli yang dibolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, sebagaimana yang dijelaskan kalangan Hanabilah (Hambali) mereka men-sah-kannya dan tidak memakruhkannya. Kalangan Syafi’iyah memberikan dua syarat: Tidak boleh ada maksud melakukan dharar (kerusakan) kepada seseorang, dan hendaknya dia berkehendak membelinya, jika tidak maka itu tambahan (harga) yang diharamkan, karena itu termasuk  An Najasy (semata-mata untuk menyingkirkan orang lain). (Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, No fatwa. 17455)

5⃣ Syaikh Husamuddin bin Musa ‘Afanah

Beliau mengatakan:

وبيع المزايدة مشروع وجائز ويدخل في عموم قوله تعالى 🙁 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) ومما يدل على مشروعيته ما يلي…

Jual beli dengan lelang adalah masyruu’(dibenarkan syariat) dan boleh, itu termasuk dalam keumuman firmanNya Ta’ala: (Allah menghalalkan jual beli). Dan, yang menunjukkan pensyariatannya adalah sebagai berikut …. (lalu Beliau menyebutkan beberapa dalil). (Fatawa Yas’alunaka, 4/113. Syamilah)

Dan lain-lainnya. Sekian.

Wallahu A’lam

🌸🍃🌾🌻🌴🌺☘🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Wanita Memakai Pakaian Putih

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:


Assalamualaikum ust farid hafizakallah, ada seorang guru yg mengatakan wanita dilarang memakai pakaian berwarna putih, dikatakannya haditsnya ada dlm kitab riyadhus sholihin. Benarkah demikian… syukron ( +62 897-5847-xxx )

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Memakai warna putih, justru dianjurkan, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pakailah warna putih untuk pakaian kalian, sebab ia sebaik-baik pakaian untuk kalian. Dan kafanilah orang-orang yang meninggal dari kalian dengannya.

(HR. Abu Daud no. 4061, Shahih)

Imam Al Munawiy Rahimahullah mengatakan:

هذا خطاب لعموم الخلق ، لقوله : ( ثيابكم ) ، ولم يقل : ( ثيابنا ) ؛ فهو خير الثياب ..

Arah pembicaraan hadits ini adalah berlaku UMUM untuk semua makhluk (manusia), berdasarkan sabdanya (pakaian kalian), Nabi tidak katakan (pakaian kami), dan itu sebaik-baiknya (warna) pakaian ..

(Faidhul Qadir, 3/485)

Apalagi jika warna putih sudah biasa dipakai kaum wanita di sebuah negeri, maka tidak masalah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

إذا كان الثوب ساتراً ، مباحاً : فإنه لا حرج ؛ لأنه لا عبرة باللون ، فالمرأة يجوز أن تلبس أبيض وأصفر وأحمر وأخضر

Jika pakaiannya menutup aurat maka itu boleh, tidak masalah. Karena masalah warna tidak ada ketentuan khusus, sehingga wanita boleh memakai warna putih, kuning, merah, hijau.

ولكن لا تتشبه بالرجال في هذه الألبسة ، أي لا تلبس ثوباً يكون خياطته كخياطة ثياب الرجال ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لعن المتشبهات من النساء بالرجال ولعن المتشبهين من الرجال بالنساء

Tetapi tidak boleh menyerupai laki-laki, yaitu jangan dia memakai pakaian yang model jahitannya seperti pakaian kaum laki-laki, karena Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya.

(Fatawa Nuur ‘alad Darb, 2/18)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Berbicara Ketika Wudhu

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Tidak ada dalil larangan berbicara saat wudhu, hanya saja hal itu memang dapat meninggalkan keadaan yang lebih utama untuk dijaga, yaitu kekhusu’an saat wudhu. Sebab wudhu sendiri sebuah ibadah. Pemakruhan yang disampaikan sebagian ulama karena berbicara saat wudhu telah menyia-nyiakan yang lebih utama yaitu tenang saat berwudhu.

Syaikh Abdullah Al Faqih Haizhahullah berkata:

فيجوز الكلام أثناء الوضوء، ولم يرد ما يدل على النهي عن ذلك

Dibolehkan berbicara saat berwudhu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal itu. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, 11/934)

Tersebut dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ التَّكَلُّمَ بِكَلاَمِ النَّاسِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ أَثْنَاءَ الْوُضُوءِ خِلاَفُ الأَْوْلَى ، وَإِنْ دَعَتْ إِلَى الْكَلاَمِ حَاجَةٌ يَخَافُ فَوْتَهَا بِتَرْكِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَرْكُ الأَْدَبِ

Mayoritas ali fiqih berpendapat bahwa berbicara dengan manusia saat wudhu dengan pembicaraan yang tidak diperlukan, adalah perbuatan yang menyelisihi hal yang utama. Jika memang ada keperluan yang membuatnya mesti berbicara, dan khawatir akan kehilangan hajatnya itu karena meninggalkannya, maka hal itu tidak termasuk meninggalkan adab. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/114)

Imam An Nawawi Rahimahullah menyebutkan sunah-sunah wudhu, di antaranya:

وأن لا يتكلم فيه لغير حاجة

Tidak berbicara tanpa adanya kebutuhan. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/465)

Maka, berbicara saat wudhu, sama juga meninggalkan salah satu sunah wudhu, walau itu bukan hal terlarang.

Imam An Nawawi juga berkata:

وقد نقل القاضي عياض في شرح صحيح مسلم أن العلماء كرهوا الكلام في الوضوء والغسل وهذا الذي نقله من الكراهة محمول علي ترك الاولى والا فلم يثبت فيه نهى فلا يسمي مكروها الا بمعنى ترك الاولى

Al Qadhi ‘Iyadh telah menukil pada Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama memakruhkan berbicara saat wudhu dan mandi. Pemakruhan ini dimaknai sebagai aktifitas yang meninggalkan perkata yang lebih utama, jika tidak maka belum ada larangan yang shahih dalam masalah ini, maka tidaklah dinamakan makruh kecuali dengan makna meninggalkan hal yang lebih utama. (Ibid, 1/466)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

الكلام في أثناء الوضوء ليس بمكروه ، لكن في الحقيقة أنه يشغل المتوضئ ؛ لأن المتوضئ ينبغي له عند غسل وجهه أن يستحضر أنه يمتثل أمر الله ، وعند غسل يديه ومسح رأسه وغسل رجليه ، يستحضر هذه النية ، فإذا كلمه أحد وتكلم معه ، انقطع هذا الاستحضار وربما يشوش عليه أيضاً ، وربما يحدث له الوسواس بسببه ، فالأولى ألا يتكلم حتى ينتهي من الوضوء ، لكن لو تكلم ، فلا شيء عليه

Berbicara saat wudhu tidaklah makruh, hal itu pada kenyataannya dapat menyibukkan orang yang berwudhu. Sebab seorang yang sedang berwudhu hendaknya saat dia membasuh wajahnya dia menghadirkan hatinya untuk menjalankan perintah Allah, begitu pula saat dia mencuci tangan, membasuh kepala, dan mencuci kaki, hendaknya dia hadirkan niat tersebut. Jika ada yang berbicara dengannya, maka terputuslah hal itu dan bisa jadi dia juga hatinya terganggu, dan gara-gara itu dia jadi was was. Maka, lebih utama adalah tidak berbicara sampai dia selesai wudhunya. Tapi, jika dia berbicara, itu tidak apa-apa. (Fatawa Nuur ‘Alad Darb, Bab Ath Thaharah No. 326)

Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌻🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Hadits Tentang Anjuran Mengkonsumsi garam

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz Farid, apa benar ada hadist dan sunah Rasulullah mengkonsumsi garam ? Terimakasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Ya, hadits tentang anjuran mengkonsumsi garam memang ada, yaitu sebagai berikut:

يَا عَلِيُّ ، إِذَا أَكَلْتَ فَابْدَأْ بِالْمِلْحِ وَاخْتِمْ بِالْمِلْحِ فَإِنَّ الْمِلْحَ شُفَاءُ سَبْعِينَ دَاءٍ أَوْلُهَا : الْجُنُونُ ، وَالْجُذَامُ ، وَالْبَرَصُ ، وَوَجَعُ الأَضْرَاسِ ، وَوَجَعُ الْحَلْقِ ، وَوَجَعُ الْبَطْنِ

Wahai Ali, jika kamu makan mulailah dengan mencicipi garam dan akhirilah dengan garam pula. Karena garam itu obat 70 penyakit, seperti: gila, lepra, sakit gigi, sakit kerongkongan, sakit perut, … (Musnad Al Harits No. 462, Al Mathalib Al ‘Aliyah No. 2390).

Tapi, hadits ini tidak autentik dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Al Bushiri mengatakan: “Isnad hadits ini rantaiannya adalah oarang-orang dha’if, seperti As Surri, Hammad, dan Abdurrahman.” (Al Ittihaf, 3/413)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini berkata:

وهذا إسنادٌ ساقطٌ، مسلسلٌ بالمجروحين، فشيخ الحارث بن أبي أسامة، قال الخطيب في «تاريخه» (11/85): «في حديثه مناكير، لأنها عن ضعفاء ومجاهيل»،

“Isnad hadits ini gugur, rantaiannya berisi orang-orang yang dijarh (dinilai cacat). Seperti guru dari Harits bin Abi Usamah, dalam Tarikh-nya Al Khathib (11/85) berkata: “Pada haditsnya banyak kemungkaran, karena dia mengambil dari orang-orang dha’if dan majhul (tdk dikenal).”

Lalu Beliau melanjutkan:

وحماد بن عمرو النصيبي كذبه الجوزجاني، وقال ابن حبان: «كان يضع الحديث وضعًا». ووهاه أبو زرعة. وتركه النسائي. وقال البخاريُّ: «منكرُ الحديث». والسُّري بنُ خالد قال الأزدي: «لا يحتج به». وقال الذهبي في «الميزان» (2/117): «لا يعرفُ»، وترجمه ابنُ أبي حاتم (2/1/284) ولم يذكر فيه جرحًا ولا تعديلاً

Hamad bin Amru An Nashibiy sebut sebagai pendusta oleh Al Jauzajaaniy. Ibnu Hibban mengatakan: dia pemalsu hadits. Abu Zur’ah menyenut lemah. An Nasa’i meninggalkan haditsnya. Al Bukhari berkata: haditsnya munkar. Al Azdiy berkata tentang As Surri, “tidak bisa dijadikan hujjah.”

Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizaan (2/117): “Tidak dikenal.”
Ibnu Abi Hatim tidak mengkritik dan tidak memujinya.

Lalu Beliau juga mengatakan:

وقد أورد ابن الجوزي في «الموضوعات» (2/289) من وجهٍ آخر بعض هذا الحديث ثم قال: «هذا حديث لا يصح عن رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم، والمتهمُ به عبد الله بن أحمد بن عامر أو أبوه، فإنهما يرويان نسخةً عن أهل البيت كلُّها موضوعة»

Ibnul Jauzi menyebutkan hadits ini dari jalan lain dan berkata (Al Maudhu’at, 2/289): “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Ahmad bin Amir dan ayahnya dituduh sebagai pemalsu, mereka berdua meriwayatkan manuskrip dari Ahli Bait yang semuanya adalah palsu.” (Al Fatawa Al Haditsiyah, 1/496)

Namun, walau hadits ini dha’if, tentang manfaat garam memang diakui dunia kesehatan, selama tidak berlebihan, seperyi garam beryodium misalnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🌸 Keshahihan Hadits: Mulailah Makan Dengan Garam dan Akhirilah Dengan Garam 🌸🍃

💢💢💢💢💢💢💢💢

Hadits ini sering di share di medsos, bagaimanakah validitasnya?

عن علي بن أبي طالب -رضي الله عنه- عن النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أكلت، فابدأ بالملح، واختم بالملح؛ فإن الملح شفاء من سبعين داء، أولها الجذام، والبرص، ووجع الحلق، والأضراس، والبطن. اهـ؟ وجزاكم الله خيرًا

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bersabda:

“Jika kamu makan maka mulailah dengan garam dan akhirilah dengan garam. Karena garam adalah obat 70 penyakit, yang pertama adalah kusta, lepra, sakit tenggorokan, sakit gigi, dan sakit perut.”

Hadits ini sangat panjang berupa nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, di atas adalah sebagian saja.

Hadits ini dikeluarkan oleh:

– Al Harits bin Abi Usamah dalam Musnad Al Harits, jilid. 1, hal. 526, no. 469

Sanadnya: Abdurrahim bin Waqid, Hammad bin ‘Amru, As Sarri bin Khalid, Ja’ far bin Muhammad, Muhammad bin Baqir, Husein bin Ali, Ali bin Abi Thalib.

Dalam sanadnya terdapat empat cacat atau penyakit.

1. Abdurrahim bin Waqid

Imam Khathib Al Baghdadi berkata tentang Abdurrahim bin Waqid, “Haditsnya banyak yang munkar, karena dia mengambilnya dari para perawi yang lemah dan tidak dikenal.”
(Tarikh Baghdad, 11/85)

Imam Adz Dzahabi berkata: “Abdurrahim bin Waqid dinyatakan dha’if oleh Al Khathib.” (Diwan ad Dhu’afa, hal. 249)

Imam Al Bushiri berkata: “Abdurrahim bin Waqid adalah dhaif.” (Ittihaf Al Khairah, jilid. 5, hal. 518)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats Tsiqat (orang-orang terpercaya).” (Lisanul Mizan, jilid. 4, hal. 10)

2. Hammad bin ‘Amru

Dia adalah Abu Ismail.

Yahya berkata: “Suka berbohong dan memalsukan hadits.” Al Bukhari berkata: “haditsnya munkar.” As Sa’di berkata: “Dia pendusta.” Amru bin Ali berkata: “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak dipakai)”. (Adh Dhu’afa wal Matrukin, jilid. 1, hal. 234)

3. As Sarri bin Khalid bin Syaddad

Adz Dzahabi berkata: “Tidak dikenal.” Al Azdi berkata: “Tidak bisa dijadikan hujjah.” (Mizanul I’tidal, jilid. 2, hal. 117)

Hal serupa dikatakan Ibnu Hajar. (Lisanul Mizan, jilid. 3, hal. 12)

4. Sanadnya terputus, yaitu Muhammad bin Ali al Baqir tidak pernah bertemu dengan Husein bin Ali.

Oleh Karena itu,….

Imam Ibnu Hajar berkata tentang status hadits ini: “Dha’if Jiddan.” (Mathalib Al ‘Aliyah, jilid. 2, hal. 252)

Imam As Suyuthi berkata: “Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Ad Dalail, lalu dia berkata: ‘Ini adalah hadits panjang tentang raghaib (harapan-harapan) dan adab,’ dan dia berkata: Hadits PALSU.” (Al La’aliy Al Mashnu’ah, jilid. 2, hal. 312)

Al Bushiri berkata: “Sanad Hadits ini merupakan rangkaian orang-orang dha’if, yaitu As Sarri, Hammad, dan Abdurrahim.” (Ittihaf Al Khairah, jilid. 3, hal. 413)

Imam Ibnul Jauzi juga menyebutkan hadits serupa tapi dengan redaksi yang lebih pendek, juga berupa nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu: “Hendaknya kamu makan garam karena garam adalah obat 70 penyakit: lepra, kusta, dan gila.”

Lalu Ibnul Jauzi berkata:

“Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sebagai hadits yang muttaham (tertuduh palsu), Abdullah bin Ahmad bin Amir atau ayahnya adalah dua orang yang meriwayatkan naskah dari ahli bait, yang semuanya adalah batil.” (Al Maudhu’at, jilid. 2, hal. 289)

Imam Asy Syaukani berkata: “Palsu” (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 161)

– Yang jelas, garam banyak manfaatnya bagi kesehatan jika digunakan secukupnya. Ini sudah sama-sama diketahui. Tapi, jika berlebihan juga tidak baik, yaitu dapat menimbulkan darah tinggi dan stroke.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍃🍀🌿🌸🌳🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top