Cinta Tanah Air Itu Syar’i

💢💢💢💢💢💢💢💢

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bercerita:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ زَادَ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ عَنْ حُمَيْدٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ جُدُرَاتِ تَابَعَهُ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ

“Rasulullah ﷺ bila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, Beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain Beliau memacunya”.

Abu ‘Abdullah Al Bukhariy berkata: Al Harits bin ‘Umair dari Humaid: “Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah).”

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Humaid dari Anas berkata, “…. Beliau melihat dinding-dinding kota Madinah ….”. Hadits ini diikuti pula oleh Al Harits bin ‘Umair.

(HR. Bukhari no.. 1802)

Salah satu pelajaran dari hadits di atas, seperti yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berikut:

وَفِي الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى فَضْل الْمَدِينَة ، وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبّ الْوَطَن وَالْحَنِين إِلَيْهِ

Dalam hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya CINTA TANAH AIR dan KERINDUAN kepadanya.

(Fathul Bari, 6/6)

Ada pun hadits Hubbul Wathan Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman), bukanlah hujjah (dalil) dalam hal ini, sebab para imam hadits menyatakan itu sebagai hadits maudhu’ (palsu) dan tidak ada dasarnya, seperti As Suyuthi, As Sakhawi, Al ‘Ajluni, Ash Shaghani, dll.

Sementara hadits Shahih Bukhari di atas cukup menjadi hujjah, bahwa mencintai tanah air adalah masyru’ dan juga hal yg manusiawi.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌻🌺🌴🌵🍃🌸🌿

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum “Ganti Presiden” dalam Islam

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

(Apakah dibenarkan di dalam Islam ? Pertanyaan dr bbrp orang)

Bismillahirrahmanirrahim ..

Jika peraturan di sebuah negeri memang membuka kran dan peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin sesuai yang mereka kehendaki dalam lima tahunan secara konstitusional, lantaran mereka kecewa dengan pemimpin yang ada lalu menginginkan yang baru, tentu hal itu dibolehkan, dan bukan termasuk makar atau bughat. Bagaimana mungkin itu disebut makar padahal negara melegalkannya? Untuk konteks Indonesia ini sudah berlangsung sejak diberlakukannya pemilihan presiden secara langsung.

Dalam Islam, rakyat sebagai makmum, punya hak “membenci” atau “menyukai” pemimpinnya jika memang layak untuk dibenci atau dicintai.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang tiga golongan yang shalatnya tidak diterima:

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

Tiga orang yang shalatnya tidak akan melampaui telinga mereka;

1. Seorang budak yang kabur hingga ia kembali,

2. Seorang istri yang bermalam sementara suaminya dalam keadaan marah dan

3. Seorang imam bagi suatu kaum sedangkan mereka tidak suka dengan imam itu

(HR. At Tirmidzi no. 360, hasan)

Disebutkan bahwa dua manusia yang paling berat adzabnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُصْطَلِقِ قَالَ
كَانَ يُقَالُ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اثْنَانِ امْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

Dari ‘Amru bin Al Harits bin Al Mushthaliq ia berkata;

“Disebutkan bahwa manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah dua orang:

1. Wanita yang durhaka kepada suaminya dan

2. Imam suatu kaum sedang mereka membencinya.

(HR. Abu Daud no. 359, Shahih)

Kemudian, ketidaksukaan ini -yg menjadi sebab munculnya keinginan ganti presiden- adalah mesti didasari oleh alasan yang benar. Bukan karena ranah pribadi, bukan friksi pribadi, bukan pula kesalahan yg masih bisa ditoleransi, atau sejenisnya, tapi memang difaktori oleh hilangnya kemampuan dia mengelola negara, atau karena kezalimannya dan kefasikannya, sehingga wajar dia boleh dihentikan sesuai mekanisme yg ada.

Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopot dan digantinya seorang pemimpin:

وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..

Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.

Pertama, ketaatan kepadanya.

Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.

Ada pun dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:

1⃣ Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2⃣ Cacat tubuhnya

Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).

Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.

Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)

Kasus yg dibahas oleh Imam Abul Hasan Al Mawardi adalah tentang pemimpin muslim yang fasiq dan zalim. Lalu bagaimana dengan yg sudah jatuh kafir? Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata tentang pemimpin yang melakukan kekafiran yang jelas:

أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض

” Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan menurut ijma’ ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu”. (Fathul Bari, 13/123)

Cara mencopotnya tentu dengan cara yang paling minim madharatnya, walau dalam sejarah umat ini bisa dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau pernah dengan people power.

Kemudian tentang makar, tentu yang jelas-jelas makar adalah seperti OPM di Papua dan RMS di Maluku Selatan, yang terang-terangan ingin memisahkan diri dari NKRI, bahkan mereka sudah terang-terangan memiliki bendera sendiri, dan lagu kebangsaan sendiri, serta membunuhi aparat TNI-POLRI. Inilah makar sebenarnya, ada pun ganti presiden bukan gerakan makar sebab masih berjalan sesuai peraturan negara, yaitu melalui pertarungan kotak suara.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Apakah Abu Hanifah Berkata “Kafir Orang yang Tidak Tahu Allah di Mana”?

💢💢💢💢💢💢💢

❓PERTANYAAN:

Assalamualaikum.., mau tanya, saya pernah baca bahwa Abu Hanifah mengatakan kafir orang yang berkata “aku tidak tahu Allah di mana, di langit atau di bumi” dan kafir pula orang yang mengatakan “aku tidak tahu Arsy Allah itu di langit atau di bumi.” Mohon penjelasannya. 🙏

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Tentang kalimat tersebut telah dibahas panjang lebar oleh salah satu imam hadits dan fiqih bermadzhab Hanafi, yaitu Imam Mulla Ali al Qari Rahimahullah. Menurutnya itu adalah riwayat DUSTA atas nama Imam Abu Hanifah.

Dalam kitab Syarh al Fiqh al Akbar dia menuliskan:

وما روي عن أبي مطيع البلخي أنه سأل أبا حنيفة رحمه الله عمن قال لا أعرف ربي في السماء هو أم في الأرض، فقال: قد كفر لأن الله تعالى يقول: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [سورة طه]، وعرشه فوق سبع سمواته، قلت: فإن قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض!، قال: هو كافر لأنه أنكر كونه في السماء فمن أنكر كونه في السماء فقد كفر لأن الله تعالى في أعلى عليين وهو يدعى من أعلى لا من أسفل

Apa yang diriwayatkan dari Abu Muthi’ al Balkhi, bahwa dia bertanya kepada Abu Hanifah Rahimahullah tentang orang yang berkata “Aku tidak tahu Tuhanku ada di mana, di langit atau di bumi” Beliau menjawab: “Dia telah kafir, karena Allah Ta’ala berfirman: “Ar Rahman di atas Arsy Dia bersemayam”, dan ArsyNya di atas langit yang tujuh.”

Aku bertanya lagi: “Jika dia berkata Allah di atas Arsy tapi aku tidak tahu Arsy itu di langit atau di bumi?” Beliau menjawab: “Dia kafir, karena dia telah mengingkari keberadaannya di atas langit. Siapa yang mengingkariNya di atas langit maka org itu kafir karena Allah di ‘Illiyyin yang tertinggi dan dia menyeru dari tempat yang tertinggi bukan dari yang rendah.”

الجواب: أن هذا الكلام كذب باطل مصنوع على أبي حنيفة كما انه ليس في متن الفقه الأكبر بل من المسائل التي الحقها الشارح بشرح الكتاب

Jawaban:

Perkataan ini dusta, batil, dan rekayasa atas nama Abu Hanifah, dan tidak ada pula di dalam matan kitab al Fiqh al Akbar. Ini adalah perkataan yg dilampirkan oleh pensyarah kitab tersebut.

(Syarh al Fiqh al Akbar, Hal. 197)

Ada pun perawinya yaitu Abu Muthi’ al Balkhi, yang mengaku dialog dengan Imam Abu Hanifah, dia adalah org penuh dengan kritikan keras dari para imam.

Imam Mulla Ali al Qari Rahimahullah menyebutnya dengan Kadzaab, pembohong.

Imam Adz Dzahabi menyebutkan bahwa Yahya bin Ma’in, Al Bukhari, dan An Nasa’i mengatakan dia adalah dhaif.

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak sepantasnya mengambil hadits darinya.”

Abu Daud mengatakan bahwa para ulama meninggalkan haditsnya dan dia seorg Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan).

Ibnu ‘Adi mengatakan: “Umumnya hadits yang diriwayatkannya tidak bisa diikuti.”

Ibnu Hibban mengatakan: “Dia termasuk pentolan Murjiah, membenci sunnah, dan plagiat.”

(Mizanul I’tidal, 1/574)

Syaikh Mushthafa Abu Yusuf al Hamami menjelaslan:

Dari perkataan ini, kita dapat mengetahui beberapa hal, yaitu: Pertama. Perkataan tersebut tidak ada ada dalam al Fiqh al Kabir, kutipan yang disandarkan kepada Abu Hanifah adalah dusta.

Kedua, pengutipnya (Abu Muthi’ al Balkhi), adalah org yang dicela sebagai pemalsu hadits dan tidak halal dijadikan pegangan dalam urusan cabang apalagi pokok.

(Ghautsul ‘Ibad bi Bayan ar Rasyad, Hal. 341-342)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌴🌵🌷🌿🌸🍃🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Tambahan Uang Belanja Bagi Istri di Hari Asyura

▫▪▫▪▫▪▫▪

❓PERTANYAAN:

Ustaz, sy habis menonton video ceramah, di situ dijelaskan tentang keistimewaan asyura. Pada point k-5 beliau menyebutkan ada riwayat yg isinya barangsiapa melebihkan uang belanja untuk keluarganya pada hari asyura, maka rejekinya akan semakin lancar selama setahun.
Apakah benar ini ada riwayatnya?(+62 878-1515-xxxx)

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Haditsnya berbunyi:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِي سَائِرِ سَنَتِهِ

Siapa yg melapangkan belanja keluarganya pada hari Asyura maka Allah akan lapangkan rezekinya di sepanjang tahun.

(HR. Al Baihaqi dalan Syu’abul Iman, no. 3513)

Imam Al Baihaqiy menyebutkan Hadits ini beragam jalur ada yg dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudriy, dan Jabir. Semua sanadnya DHAIF, tapi satu sama lain jika dikumpulkan saling MEMGUATKAN. (Imam Al ‘Ajluniy, Kasyful Khafa, 2/341)

Imam As Sakhawiy Rahimahullah juga mengatakan:

إن أسانيده كلها ضعيفة، ولكن إذا ضم بعضها إلى بعض أفاد قوة

Semua sanadnya DHA’IF (lemah) tetapi jika dikumpulkan satu sama lain menjadi kuat.

(Al Maqashid Al Hasanah, 1/674)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah meriwayatkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى اهلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِي سَائِرِ سَنَتِهِ

Siapa yang melapangkan belanja keluarganya di hari Asyura Allah akan lapangkan rezeki dia sepanjang tahun.

Lalu, Yahya bin Sa’id berkata:

جربنا ذلك فوجدناه حقا

Kami praktekkan hal itu dan kami dapati itu benar-benar terbukti!

(Al Istidzkar, 3/331)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top