Jangan Kriminalisasi Kalimat Tauhid Kami!

▫▪▫▪▫▪▫▪▫

📌 Ini realita yang mengherankan dan menyedihkan

📌 Sebagian orang menjadikan tulisan Laa Ilaaha Illallah seolah seperti musuhnya, padahal dia muslim

📌 Tulisan tersebut menjadi monster bagi kehidupannya, bahkan menurutnya menjadi ancaman bagi negaranya

📌 Padahal Laa Ilaaha Illallah, dia baca dalam shalat

📌 Laa Ilaaha Illallah, adalah bukti iman yang tertinggi

📌 Laa Ilaaha Illallah, adalah dzikir yang paling utama

📌 Laa Ilaaha Illallah, adalah ucapan yg jika dibaca diakhir hidup maka surga baginya

📌 Tapi, jika ada tulisan Laa Ilaaha Illallah di stiker mobil, hiasan dinding, apalagi bendera para demonstran .. mereka langsung curiga dan menuduh, Ini HTI!! Ini ISIS!!

📌 Begitu polos dan simplistismya mereka, mereka lupa kalimat itu milik semua umat Islam, bahkan milik diri mereka sendiri

📌 Jauh sebelum ada HTI di negeri ini, tulisan Laa Ilaaha Illallah sudah biasa kita lihat dan miliki

📌 Namun Tulisan tauhid menjadi monster dalam hidup mereka, krn terbawa oleh bius fitnah media jago framing

📌 Zaman serba fitnah seperti ini memang berat .. Hadapilah dengan membawa Laa Ilaaha Illallah, agar dapat kemenangan dan keselamatan ..

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thariq

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Macam-Macam Bacaan Doa Iftitah

▪▫▪▫▪▫▪▫▪

Versi pertama:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: «وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Dari Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Biasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat, beliau membaca (do’a iftitah) sebagai berikut: “WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDLA HANIIFAN WAMAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN, INNA SHALAATII WA NUSUKII WA MAHYAAYA WA MAMAATII LILLAHI RABBIL ‘AALAMIIN LAA SYARIIKA LAHU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN ALLAHUMMA ANTAL MALIKU LAA ILAAHA ILLAA ANTA, ANTA RABBII WA ANAA ‘ABDUKA ZHALAMTU NAFSII WA’TARAFTU BI DZANBII FAGHFIL LII DZUNUUBII JAMII’AN INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUB ILLAA ANTA WAH DINII LIAHSANAIL AKHLAAQ LAA YAHDII LIAHSANIHAA ILLAA ANTA WASHRIF ‘ANNII SAYYIAHAA LAA YASHRIFU ‘ANNII SAYYIAHAA ILLAA ANTA LABBAIKA WA SA’DAIKA WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIK WASY SYARRU LAISA ILAIKA ANAA BIKA WA ILAIKA TABAARAKTA WA TA’AALAITA ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA (Aku hadapkan wajahku kepada Allah, Maha pencipta langit dan bumi dengan keadaan ikhlas dan tidak mempersekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, segala ibadahku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan berserah diri kepadaNya. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang berwenang untuk mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Dan tunjukilah kepadaku akhlak yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Labbaik wa sa’daik (Aku patuhi segala perintahMu, dan aku tolong agamaMu). Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan kejahatan tidak datang daripadaMu. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampun dariMu dan aku bertobat kepadaMu).”

(HR. Muslim no. 771)

Versi kedua:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ، سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَرَأَيْتَ سُكُوتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ، مَا تَقُولُ؟ قَالَ ” أَقُولُ: اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ “

Dari Abu Hurairah dia berkata; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika shalat, maka beliau diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah, lalu aku bertanya; “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau baca saat engkau diam antara takbir dan membaca Al Fatihah?” beliau menjawab: “ALLAAHUMMA BAA’ID BAINII WABAINA KHATHAYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIB, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHOTHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANASI, ALLAAHUMMAGH SIL NII MIN KHATHAAYAAYA BITSTSALJI WALMAA’I WALBARAD (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat, Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran, Ya Allah, cucilah aku dari kesalahanku dengan es, air dan embun).”

(HR. Muslim no. 598)

Versi ketiga:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuka shalatnya dengan membaca: “SUBHAANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA TABAARAKASMUKA WA TA’ALAA JADDUKA WA LAA ILAAHA GHAIRUKA (Maha suci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu, nama-Mu berbarakah dan kemuliaan-Mu sangat agung, dan tidak ada Tuhan selain Engkau).”

(HR. Ibnu Majah no. 804, 806, Ahmad no. 11473, An Nasa’i no. 899, Abu Daud no. 775, dll, dari jalur Aisyah dan Abu Sa’id Al Khudriy. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Sunan Abi Daud)

Dalam atsar sahabat:

عَنْ عَبْدَةَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، كَانَ يَجْهَرُ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ يَقُولُ: «سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ»

Dari ‘Abdah bahwa Umar bin al-Khaththab dahulu mengeraskan (bacaan) kalimat-kalimat tersebut. Dia membaca, “SUBHAANAKALLOOHUMMA, WABIHAMDIKA TABAAROKA ISMUKA WATA’AALAA JADDUKA WALAA ILAAHA GHOIRUKA.” Ya Allah, Mahasuci Engkau dan dengan memujimu, Mahaberkah NamaMu, Mahaluhur kemuliaanMu, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau.”

(HR. Muslim no. 399)

Semua bacaan ini shahih, silahkan pakai yg mana saja. Jika mau pakai semuanya secara bergantian, sesekali pakai versi 1, lalu coba pakai versi 2, atau versi 3, tidak masalah.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengatakan – seperti yang dikutip Imam Ibnul Qayyim:

أمّا أنا فأذهب إلى ما روي عن عمر، ولو أن رجلاً استفتح ببعض ما رُوي عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من الاستفتاح كان حسناً.

Ada pun aku berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar, dan seandainya ada seseorang yang iftitahnya dengan riwayat yang lain dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam maka itu baik. (Zaadul Ma’ad, 1/205)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan bahwa siapa yang menggunakan lafaz riwayat Umar maka itu ahsan (lebih baik).

Yang menggunakan wajjahtu wajhiya juga ahsan (lebih baik). Siapa yang menggabungkan keduanya juga ahsan.

Riwayat Umar dan Allahumma baa’id bainiy dipilih oleh Abu Hanifah dan8 Ahmad.

Asy Syafi’iy mengikuti riwayat Umar.

Riwayat wajjahtu wajhiya dipilih oleh pengikut Abu Hanifah dan pengikut Ahmad.

Lalu kata Imam Ibnu Taimiyah: “Semua ini bagus, setara dengan keragaman bacaan tasyahud, keragaman qiraah sab’ah yang dibaca manusia.”

(Al Fatawa Al Kubra, 2/165)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Doa Iftitah / Istiftah

▫▪▫▪▫▪▫▪▫▪

Doa iftitah yaitu doa di awal shalat setelah takbiratul ihram sebelum membaca Al Fatihah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

وَهُوَ الذِّكْرُ الَّذِي تُبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ. وَقَدْ يُقَال لَهُ: دُعَاءُ الاِسْتِفْتَاحِ. وَإِنَّمَا سُمِّيَ بِذَلِكَ لأِنَّهُ أَوَّل مَا يَقُولُهُ الْمُصَلِّي بَعْدَ التَّكْبِيرِ، فَهُوَ يَفْتَتِحُ بِهِ صَلاَتَهُ، أَيْ يَبْدَؤُهَا بِهِ.

Itu adalah dzikir yang dengannya dimulai shalat, (dibaca) setelah takbir. Ada pula yang mengatakan: dia dinamakan istiftah karena itu adalah ucapan pertama yang dilakukan orang yang shalat setelah takbir, dengan itu dia membuka shalatnya, yaitu memulainya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/474)

Kadang diistilahkan dengan IFTITAH, dan inilah yang tenar di negeri kita. Tapi yang biasa digunakan fuqaha adalah Istiftah. Berikut ini keterangannya:

يُعَبِّرُ عَنْهُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ أَيْضًا بِدُعَاءِ الاِسْتِفْتَاحِ، وَبِالاِفْتِتَاحِ، وَبِدُعَاءِ الاِفْتِتَاحِ. إِلاَّ أَنَّ الأَْكْثَرَ يَقُولُونَ: الاِسْتِفْتَاحُ

Sebagian ahli fiqih menyebut doa istiftah dengan IFTITAH dan DOA IFTITAH, hanya saja mayoritas ahli fiqih menyebut: ISTIFTAH. (Ibid)

Jadi, Istiftah dan iftitah adalah doa istilah yang berbeda untuk aktifitas yang sama. Maka sama saja Anda mau menyebutnya apa.

Bagaimana kedudukannya dalam shalat? Tidak sedikit orang bertanya, bolehkah meninggalkannya baik dalam shalat berjamaah, sendiri, wajib, atau sunnah?

Kita lihat dulu kedudukannya menurut penjelasan para ulama kita.

1. Hukumnya SUNNAH.

Dengan kata lain, tidak apa-apa jika ditinggalkan di semua shalat, tidak berdosa dan shalat tetap sah. Namun, dia meninggalkan sunnah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

الِاسْتِفْتَاحُ عَقِبَ التَّكْبِيرِ مَسْنُونٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْأَئِمَّةِ، كَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ. كَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ

Membaca istiftah setelah takbir adalah sunah menurut mayoritas imam, seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’iy, dan Ahmad. Sebagaimana hal itu telah kuat berdasarkan hadits-hadits shahih. (Al Fatawa Al Kubra, 2/165)

Imam Abul Muzhaffar Yahya bin Hubairah Rahimahullah berkata:

وَأَجْمعُوا على أَن دُعَاء الاستفتاح فِي الصَّلَاة مسنون. إِلَّا مَالك فَإِنَّهُ قَالَ: لَيْسَ بِسنة.

Mereka telah ijma’ (sepakat) bahwa doa istiftah itu sunnah dalam shalat, KECUALI menurut Imam Malik, dia berkata: “Bukan sunnah.” (Ikhtilaf Al Aimmah Al Ulama, 1/107)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

قَال جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ: الاِسْتِفْتَاحُ سُنَّةٌ …

Mayoritas ulama mengatakan doa istiftah adalah sunnah. (Al Mausuah, 4/48)

2. Tidak sunnah alias Tidak Ada Doa Iftiftah

Syaikh Abdurrahman Al Jaziriy Rahimahullah mengatakan:

دعاء الافتتاح سنة عند ثلاثة من الأئمة، وخالف المالكية. فقالوا: المشهور أنه مكروه. وبعضهم يقول: بل هو مندوب

Doa iftitah itu sunnah menurut tiga imam, namun Malikiyah menyelisihinya. Mereka mengatakan: yang terkenal (dikalangan Malikiyah) itu adalah MAKRUH. Sebagian mereka (Malikiyah) mengatakan: bahkan itu mandub (sunnah). (Al Fiqhu ‘alal Madzahib Al Arba’ah, 1/231)

Alasan mereka adalah karena para sahabat Nabi ﷺ tidak membacanya. Disebutkan oleh Syaikh Al Jaziriy:

يكره الإتيان بدعاء الافتتاح على المشهور، لعمل الصحابة على تركه

Dimakruhkan membaca iftitah menurut pendapat yang terkenal (dari Malikiyah), berdasarkan perbuatan sahabat yang meninggalkan hal itu. (Ibid)

Dalam kitab Al Mudawanah, kitab yang mengumpulkan fatwa-fatwa Imam Malik, Ibnul Qasim berkata:

وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرَى هَذَا الَّذِي يَقُولُ النَّاسُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إلَهَ غَيْرُكَ وَكَانَ لَا يَعْرِفُهُ، ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ قَتَادَةَ بْنِ دِعَامَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
قَالَ: وَقَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ كَانَ وَرَاءَ الْإِمَامِ وَمَنْ هُوَ وَحْدَهُ وَمَنْ كَانَ إمَامًا فَلَا يَقُلْ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إلَهَ غَيْرُكَ وَلَكِنْ يُكَبِّرُوا ثُمَّ يُبْتَدَءُوا الْقِرَاءَةَ

Imam Malik tidaklah berpendapat adanya bacaan yang diucapkan manusia: “Subhanakallahumma wa bihamdika tabarakasmuka wa ta’ala jadduka wa laa ilaaha ghairuk”, Dia tidak mengenal doa ini.
Ibnu Wahb, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ayyub, dari Qatadah bin Di’aamah, dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, bahwa mereka membuka shalatya dengan membaca Alhamdulilahi rabbil ‘alamin (Baca Al Fatihah).
Ibnu Qasim berkata: Berkata Malik: “Siapa yang dibelakang imam, shalat sendiri, dan orang yang jadi imam, JANGANLAH membaca “Subhanakallahumma wa bihamdika tabarakasmuka wa ta’ala jadduka wa laa ilaaha ghairuk”, tetapi hendaknya mereka bertakbir kemudian mereka memulai dengan membaca Al Quran.

(Lihat Al Mudawanah 1/161)

Sementara itu, kita dapati riwayat bahwa Imam Malik juga menganjurkan bacaan iftitah tapi sebelum takbiratul ihram. Berikut ini keterangannya:

وَعَنْ مَالِكٍ نَدْبُ قَوْلِهِ قَبْلَهَا – أَيْ قَبْل تَكْبِيرَةِ الإِْحْرَامِ -: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ. . . إِلَخْ، وَجَّهْتُ وَجْهِي. . . إِلَخْ، اللَّهُمَّ بَاعِدْ. . . إِلَخْ. قَال ابْنُ حَبِيبٍ: يَقُولُهُ بَعْدَ الإِْقَامَةِ وَقَبْل الإِْحْرَامِ. قَال فِي الْبَيَانِ: وَذَلِكَ حَسَنٌ

Dari Imam Malik bahwasanya anjuran bacaan itu adalah sebelumnya –yaitu sebelum takbiratul ihram: “Subhanakallahumma wa bihamdika .. dst, wajjahtu wajhiya …dst, Allahumma Baa’id ..dst. Ibnu Habib berkata: “Membacanya adalah setelah iqamah sebelum takbiratul ihram.” Dia berkata dalam Al Bayan: “Itu bagus.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaityah, 4/48)

3. WAJIB

Ini pendapat minoritas, yaitu salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan sebagian pengikutnya (Hanabilah/Hambaliyah).

Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang Imam Ahmad:

وَفِي مَذْهَبِهِ قَوْلٌ آخَرُ يَذْكُرُهُ بَعْضُهُمْ رِوَايَةً عَنْهُ أَنَّ الِاسْتِفْتَاحَ وَاجِبٌ

Dalam madzhabnya (Imam Ahmad) ada perkataan lain yang disebutkan sebagian mereka (pengikut Imam Ahmad) bahwa ada riwayat darinya (Imam Ahmad) bahwa istiftah adalah WAJIB. (Al Fatawa Al Kubra, 2/165)

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الإِْمَامِ أَحْمَدَ إِلَى وُجُوبِ الذِّكْرِ الَّذِي هُوَ ثَنَاءٌ، كَالاِسْتِفْتَاحِ بِنَحْوِ ” سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ. . . ” وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ بَطَّةَ وَغَيْرِهِ، وَذُكِرَ هَذَا رِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ

Segolongan pengikut Imam Ahmad berpendapat WAJIB-nya dzikir berupa pujian seperti ISTIFTAH, “Subhanakallahumma wa bihamdika ..” Ini dipilih oleh Ibnu Baththah dan lainnya, dan disebutkannya hal ini sebagai satu riwayat dari Imam Ahmad. (Al Mausu’ah, 4/48)

Dari semua pendapat ini. Pendapat yang mengatakan sunnah, yaitu mayoritas ulama, adalah pendapat yang kami pilih berdasarkan hadits-hadits yang begitu banyak.

Lalu, Bagaimanakah bacaannya? Insya Allah akan disampaikan dalam edisi selanjutnya.

Demikain. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Meminjam Uang Tapi Berbunga

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

❓PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum wr wb ustadz.
Apakah hukumnya mengambil pinjaman uang dr koperasi simpan pinjam karyawan d sebuah instansi. misalnya meminjam uang 4 juta. Lalu bayarnya dicicil sbesar 440rb selama 10 bulan.

Mhn penjelasannya ustadz. Terima kasih banyak

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah wal Hamdulillah ..

Pinjam meminjam atau berhutang dalam Islam pada prinsipnya dasar adalah boleh, sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

من كان فى حاجة اخيه و كان الله فى حاجته

Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan penuhi kebutuhan dia. (HR. Muslim)

Namun, kebolehannya tentu terikat oleh syarat yaitu nilai meminjam dan memulangkan pinjaman harus sama, sebagaimana ayat:

لا تظلمون ولا تظلمون

Jangan kalian menzalimi dan jangan dizalimi. (QS. Al Baqarah: 279)

Artinya jika kita memulangkannya melebihi nilai hutang, karena ada bunga, maka kita dizalimi. Jika kita memulangkannya kurang dari nilai hutang maka kita yang menzalimi. Sebab asas “meminjam” dalam Islam adalah menolong dan membantu, maka jika ingin menolong dan membantu tentu tidak pantas mencari keuntungan. Keuntungan boleh dicari dari jual beli, sewa menyewa, dan investasi, bukan pada pinjaman.

Maka, semua tambahan dari akad qardh/pinjaman adalah riba. Sebagaimana yang dijelaskan para ulama, seperti Syaikh Ali Ash Shabuni Hafizhahullah berikut, bahwa riba adalah:

زيادة على أصل المال يأخذها الدائن من المدين

Tambahan atas harta pokok yang diambil oleh pemberi hutang kepada yang berhutang. (Shafwatut Tafasir, 1/143)

Oleh karena itu, sebaiknya dibatalkan pinjaman tersebut jika memang harus mengembalikan plus tambahannya, sebab itu riba. Sepertinya sistem ini hampir ada dan berlaku disemua koperasi.

Semoga Allah mudahkan untuk mendapatkan solusi yang sesuai syariah. Amiin.

Wallahu a’lam

☘🌸🌺🌴🌻🍃🌾🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top