Hukum Menggunakan Emoticon

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Emoticon adalah gambar untuk menyimbolkan perasaan atau ekspresi seeeorg saat dia menyampaikan sesuatu. Bentuknya hanyalah bundaran lalu diberikan beberapa garis atau bulatan agar nampak tersenyum, tertawa, marah, dst. Tapi, tidak ada badan, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya, selayaknya manusia normal. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada makhluk hidup yang seperti itu.

Namun demikian, sebagian kalangan tetap mengharamkan ini, dan memasukkannya ke dalam keumuman larangan menggambar makhluk bernyawa.

Misalnya hadits ini:

أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهون بخلق الله

Manusia paling keras adzabnya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai makhluk Allah.

(HR. Bukhari no. 5954)

Dan hadits2 lain yang cukup banyak tentang larangan menggambar makhluk bernyawa.

📌 Gambar Yang Dibolehkan

Larangan menggambar itu tidak mutlak. Dibolehkan menggambar pemandangan atau benda-benda tidak bernyawa.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ

Jika kau ingin melakukannya, maka buatlah pohon, atau apa-apa yang tidak bernyawa.

(HR. Muslim no. 2110)

Juga dibolehkan gambar makhluk bernyawa yang sudah tidak utuh, tidak sempurna seperti tanpa kepala, atau tanpa badan, atau dibuat tidak jelas (blur). Sebab, itu tidak lagi dikatakan makhluk bernyawa dan kenyataannya tidak ada makhluk bernyawa seperti itu. EMOTICON termasuk dibolehkan karena tidak sempurna.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

((أتاني جبريل عليه السلام فقال لي أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل وكان في البيت كلب فمر برأس التمثال الذي في البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتين منبوذتين توطآن ومر بالكلب فليخرج)) ففعل رسول الله صلى الله عليه و سلم

Jibril ‘alaihissalam telah datang kepadaku seraya berkata: Aku datang kepadamu semalam, dan tidaklah menghalangiku untuk masuk kecuali karena ada patung di depan pintu, ada tirai yang bergambar (mahluk hidup), dan ada anjing di rumah. Maka hendaklah dipotong kepala patung yang ada di rumah sehingga bentuknya seperti pohon, dan hendaklah tirai tersebut dipotong kemudian dijadikan dua bantal yang dijadikan sandaran, dan hendaknya anjing tersebut dikeluarkan, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. (HR. At. Tirmidzi no. 2806, katanya: hasan)

Hadits di atas menunjukkan jika sudah dipotong kepalanya maka tidak apa-apa. Sebagian kalangan ada yang memahami secara apa adanya, bahwa yang dipotong hanya kepalanya. Itulah yg boleh. Jika yang dipotong adalah badannya, kepala masih ada, maka itu tetap haram (Emoticon termasuk). Sementara umumnya ulama tidak memahami demikian. Esensi dari hadits di atas adalah ketidaksempurnaannya, sehingga bagian apa pun yang dipotong itu tidak masalah dan telah mencapai maksud hadits tersebut.

Kita lihat penjelasan dalam Al Mausu’ah, disebutkan:

الصُّوَرُ الْمَقْطُوعَةُ وَالصُّوَرُ النِّصْفِيَّةُ وَنَحْوُهَا: تَقَدَّمَ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ لاَ يَرَوْنَ تَحْرِيمَ تَصْوِيرِ الإِِْنْسَانِ أَوِ الْحَيَوَانِ ـ سَوَاءٌ أَكَانَتِ الصُّورَةُ تِمْثَالاً مُجَسَّمًا أَوْ صُورَةً مُسَطَّحَةً ـ إِنْ كَانَتْ نَاقِصَةَ عُضْوٍ مِنَ الأَْعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ مِمَّا لاَ يَعِيشُ الْحَيَوَانُ بِدُونِهِ، كَمَا لَوْ كَانَ مَقْطُوعَ الرَّأْسِ أَوْ كَانَ مَخْرُوقَ الْبَطْنِ أَوِ الصَّدْرِ وَكَذَلِكَ يَقُول الْحَنَابِلَةُ، كَمَا جَاءَ فِي الْمُغْنِي: إِِذَا كَانَ فِي ابْتِدَاءِ التَّصْوِيرَةِ صُورَةُ بَدَنٍ بِلاَ رَأْسٍ أَوْ رَأْسٌ بِلاَ بَدَنٍ، أَوْ جُعِل لَهُ رَأْسٌ وَسَائِرُ بَدَنِهِ صُورَةُ غَيْرِ حَيَوَانٍ، لَمْ يَدْخُل فِي النَّهْيِ

Lukisan yang terpotong, atau setengah badan:

– Malikiyah mengatakan tidak apa-apa, tidak haram, baik dipotong kepalanya, atau ANGGOTA BADAN LAINNYA, yg dgn itu tidaklah mampu hewan hidup tanpanya ..

– Sebagaimana juga kepalanya yg terputus, atau rusak bagian perut, dada, ini juga pendapat Hambaliyah ..

– Disebutkan dalam Al Mughni: jika membuat lukisan tanpa kepala, atau KEPALA TANPA BADAN, atau ada kepala dan badan tapi tidak mirip hewan, maka ini Tidak termasuk larangan ..

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/110)

Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin berkata:

إذا لم تكن الصورة واضحة، أي ليس فيها عين، أو أنف، ولا فم، ولا أصابع، فهذه ليست صورة كاملة، ولا مضاهية لخلق الله عز وجل. اهـ

Jika gambar tersebut tidak jelas, yaitu tidak ada mata, atau hidung, mulut, jari jemari, _ maka ini bukan gambar yg sempurna, _ dan tidak ada penyerupaan kepada makhluk Allah Ta’ala. (Selesai)

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فالصورة إذا لم تكن معالمها واضحة، فلا حرج فيها، سواء كانت صورة إنسان أم حيوان، وسواء كانت الصورة صغيرة أم كبيرة

Maka, gambar yang menunjukkan bentuk yg tidak jelas, itu tidak apa-apa. Baik itu gambar manusia, hewan, baik yang ukuran kecil atau besar.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 386206)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 45016:

فالتهنئة بالسنة الهجرية أو بالأعوام والشهور عموماً مختلف فيها، بين المنع والندب، والذي رجحه الحافظ ابن حجر أنها مندوبة، جاء في حاشتي قليوبي وعميرة في الفقه الشافعي:

Ucapan selamat Tahun Hijriyah, atau tahun dan bulan secara umumnya, DIPERSELISIHKAN ULAMA. Sebagian ada yang MELARANG dan sebagian ada yang MENGANJURKAN. Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkan pendapat bahwa itu dianjurkan. Dalam Hasyiyah al Qalyubi wa ‘Amirah, sebuah kitab fiqih madzhab Syafi’i disebutkan:

فائدة: التهنئة بالأعياد والشهور والأعوام، قال ابن حجر مندوبة ويستأنس لها بطلب سجود الشكر عند النعمة وبقصة كعب وصاحبيه وتهنئة أبي طلحة له. وقال البيجوري وهو المعتمد،

Faidah: ucapan selamat hari raya (Islam), bulan-bulan, dan tahun-tahun.

Ibnu Hajar berkata: Hal itu dianjurkan dan menampakkan kebahagiaan pada hari itu, dgn sujud syukur atas nikmat. Berdasarkan kisah Ka’ab dan dua sahabatnya, dan tahniahnya Abu Thalhah kepadanya. Itulah pendapat yang mu’tamad (resmi dalam madzhab Syafi’i)

ونقل القمولي عن الحافظ المنذري عن الحافظ المقدسي أنه سئل عن ذلك فأجاب بأن الناس لم يزالوا مختلفين فيه، والذي أراه أنه مباح لا سنة فيه ولا بدعة. انتهى من أسنى المطالب شرح روض الطالب

Al Qamuli menukil dari Al Hafizh Al Mundziri dari Al Hafizh Al Maqdisi, bahwa dia ditanya hal itu, Beliau menjawab bahwa manusia terus2an berbeda pendapat dalam masalah itu, namun menurutku itu BOLEH, bukan sunnah dan bukan bid’ah. Demikian dari Asnal Mathalib Syarh Raudh ath Thalib.

(selesai)

Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸👇🌵🍃🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Makna “Datang Tuhanmu” dalam Surat Al Fajr ayat 22

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ust, di surat Al Fajr (ayat 22) ada ayat Jaa’a rabbuka (datanglah Tuhanmu), itu maksudnya gimana ya? Apa Allah mengalami perpindahan tempat?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Ayat tersebut, oleh para imam salaf tidaklah dipahami secara tekstual. Maha Suci Allah dari pemahaman dan pemikiran bahwa Allah Ta’ala pindah-pindah tempat sebagaimana makhluk yang pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tarikh-nya (10/648):

وروى الحافظ البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل عن أحمد بن حنبل تأول قول الله {وَجَاء رَبُّكَ} [سورة الفجر] أنه جاء ثوابه، ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه

Al Hafizh al Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqib Ahmad, dari Al Hakim, dari Abu ‘Amr bin as Simaak, dari Hambal, dari Ahmad bin Hambal, bahwa Beliau mentakwil firman Allah Ta’ala: wa jaa’a rabbuka – dan datanglah Tuhanmu, maknanya adalah DATANG PAHALANYA.

Al Baihaqi berkata: “Sanad riwayat ini tidak ada debu padanya” (maksudnya shahih). (selesai)

Imam al Baihaqi Rahimahullah berkata:

وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته..

Ini menjadi dalil bahwa Beliau (Imam Ahmad) tidak berkeyakinan kata “kedatangan” yang terdapat dalam Al Quran dan kata “turun” seperti yang ada dalam As Sunnah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain sebagaimana perpindahan dan turunnya berbagai zat yang memiliki jism (raga/bentuk). Itu hanyalah ungkapan yang bermakna nampaknya tanda-tanda kekuasaanNya.. (Ibid)

Imam al Baidhawi Rahimahullah mengatakan:

وَجاءَ رَبُّكَ أي ظهرت آيات قدرته وآثار قهره

“Dan datanglah Tuhanmu” yaitu telah nampak tanda-tanda kekuasaanNya dan jejak-jejak kekuatanNya. (Tafsir Al Baidhawi, 5/311)

Imam al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:

قوله تعالى : { وَجَآءَ رَبُّكَ } أي أمره وقضاؤه؛ قاله الحسن

FirmanNya (dan datanglah Tuhanmu) yaitu urusanNya dan ketetapanNya. Ini dikatakan oleh Al Hasan.

(Tafsir Al Qurthubi, 13/103)

Al Kalbi berkata tentang ayat tsb:
ينزل حكمه
Dia turunkan hikmah-hikmahNya. (Tafsir Al Baghawi, 5/252)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Susunan Surat dan Ayat Al Quran,Itu Berdasarkan Wahyu atau “Ijtihad”?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah susunan surat dan ayat Al Quran, ada tiga pendapat ulama.

Secara global:

1. Susunan surat dan ayat adalah sifatnya ijtihadi, yaitu ijtihad para sahabat nabi yang mengumpulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh susunan surat dalam Mushaf beberapa sahabat nabi berbeda-beda.

2. Sebagiannya berdasarkan wahyu, dan sebagian berdasarkan ijtihad.

3. Semua surat dan ayat, tersusun berdasarkan wahyu. Bukan ijtihad para sahabat nabi, tapi sifatnya tauqifi (berdasarkan wahyu Allah Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Inilah pendapat jumhur ulama bahkan ada yang mengatakan ijma’, kecuali Rafidhah yang menuduh Al Quran saat ini tidak lengkap, 2/3-nya disembunyikan para sahabat nabi, menurut tuduhan mereka.

Syaikh Muhammad Ali ash Shabuni menjelaskan:

وكان هذا التأليف عبارة عن (ترتيب الآيات) حسب إرشاد النبي ﷺ و بأمر من الله ﷻ، ولهذا اتفق العلماء علي أن جمع القران “توقيفي” يعني : ان ترتيبه بهذه الطريقة التى نراه عليها اليوم في المصاحف انما هو بأمر و وحي من الله، فقد ورد أن جبريل عليه السلام كان ينزل بالآية أو الآيات علي النبي فيقول له: يا محمد إن الله يأمرك ان تضعها على رأس كذا، من سورة كذا، و كذلك كان الرسول يقول للصحابة : ضعوها في موضع كذا

Maksud dari ungkapan tersebut adalah susunan ayat, berdasarkan bimbingan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan melalui perintah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa pengumpulan Al Qur’an itu sifatnya TAUQIFI (given/berdasarkan wahyu), yaitu penyusunan dengan cara ini (wahyu) yang hasilnya kita lihat saat ini di berbagai mushaf, semua itu adalah wahyu dari Allah.

Telah diriwayatkan bahwa Jibril ‘Alaihissalam menurunkan satu atau bbrp ayat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata kepadanya:

“Wahai Muhammad, Allah memerintahkanmu meletakkan ayat ini di depan, di surat yg anu,” .. demikian juga Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada sahabatnya: “Letakkan ayat ini di bagian ini ..”

(Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuniy, At Tibyan fi ‘Ulumil Quran, hal. 53. Dar al Mawahib al Islamiyah, 2016)

Syaikh Manna’ Khalil al Qaththan mengatakan:

وترتيب الآيات في القرآن الكريم توقيفي عن رسول الله ﷺ و حكى بعضهم الإجماع علي ذلك، منهم: الزركشي في (البرهان) و أبو جعفر ابن الزبير في (مناسبته) إذ يقول: ترتيب الآيات في سورها واقع بتوقيفه ﷺ و أمره من غير خلاف بين المسلمين. وجزم السيوطي بذلك فقال: الإجماع و النصوص المترادفة على أن ترتيب الآيات توقيفي لا شبهة في ذلك.
فقد كان جبريل يتنزل بالآيات على رسول الله ﷺ ويرشده إلى موضعها من السورة أو الآيات التي نزل قبل، فيأمر رسول الله ﷺ كتبة الوحي بكتابتها في موضعها و يقول لهم: ضعوا هذه الآيات في السورة التى يذكر فيها كذا أو كذا، إو ضعوا آية كذا فى موضع كذا، كما بلغها أصحابه كذلك، عن عثمان بن أبي العاص قال: كنت جالسا عند رسول الله ﷺ إذ شخص ببصره ثم صوبه، ثم قال: أتاني جبريل فأكرني أن أضع هذه الآية هذا الموضع من هذه السورة : إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ…. الى آخرها

Penyusunan ayat-ayat Al Quran adalah hal yang tauqifi, ketentuannya dari Rasulullah ﷺ. Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat ini ijma’, di antaranya adalah Az Zarkasyi dalam Al Burhan dan Abu Ja’far bin az Zubeir dalam Munasabahnya, di mana dia mengatakan: “Urutan ayat di dalam surat itu tauqifi dari Rasulullah ﷺ dan atas perintahnya, ini tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum muslimin.” As Suyuthi telah memastikan hal itu, ia berkata: “Ijma’ dan nash-nash serupa menegaskan bahwa urutan ayat-ayat ini adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.”

Jibril menurunkan bbrp ayat kepada Rasulullah ﷺ dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang didalamnya disebutkan ini dan itu,” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Penyusunan dan penempatan itu sebagaimana yang disampaikan sahabatnya, yaitu Utsman bin Abil ‘Ashi, dia berkata: “Aku duduk di samping Rasulullah ﷺ, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya: “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: ” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat…” (QS. An-Nahl: 90).

(Mabahits Fi ‘Ulumil Quran, Hal. 133)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top