Di banyak negeri muslim, bukan hanya Indonesia, banyak kaum muslimin yang melakukan walimatussafar
Yaitu mengundang saudara, kerabat, kawan handai taulan, untuk makan-makan, dan mendoakan yang akan pergi.
Ini adalah perkara adat, kebiasaan duniawi, bukan bagian dari ibadah haji atau umrah itu sendiri.
Seseorang mengumpulkan manusia disaat dirinya bergembira lalu mengundang makan-makan, adalah perkara yg berlangsung berabad-abad lamanya sejak zaman salaf. Hal itu dilakukan para sahabat dan generasi setelahnya.
Hal ini dibolehkan dan bagus-bagus saja, tahaduts bin ni’mah, asalkan tidak sampai berlebihan dan ajang pamer kesombongan, sum’ah, atau tercampur hal-hal yg munkar.
Kaidahnya, seperti yang disampaikan Imam Ibnu Taimiyah:
والأصل في العادات لا يحظر منها إلا ما حظره الله
Hukum asal dari adat adalah tidak terlarang kecuali apa-apa yang Allah larang. (Majmu’ Al Fatawa, 17/29)
Oleh karenanya, umumnya para ulama tidak mempermasalahkan adat walimatussafar yg biasa dilakukan calon jamaah haji dan umrah.
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
فعمل الحاج وليمة لعائلته وأحبابه قبل ذهابه للحج وبعد رجوعه منه شيء حسن وعادة طيبة لأن في ذلك إطعام الطعام وهو مرغب فيه، وفيه دعوة للألفة والمحبة، قال الإمام النووي رحمه الله في المجموع: يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له
ولكن ننبه إلى أنه ينبغي ألا يكون في ذلك إسراف أو مشقة وحرج على الحاج
Yang dilakukan jamaah haji, pesta untuk keluarganya dan handai taulannya sebelum bepergian haji atau sepulangnya dari haji adalah sesuatu yang baik, dan kebiasaan yang bagus. Sebab dalam acara ini ada jamuan makan yang memang dianjurkan, suasana ikatan dan cinta. Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’: “Disunahkan melakukan Naqi’ah, yaitu jamuan makan untuk menyambut kedatangan musafir, dan secara mutlak juga dianjurkan bagi yang musafir datang itu untuk menghargai perbuatan orang lain itu untuknya.
Tetapi kami memberikan peringatakan hendaknya tidak melakukan secara berlebihan atau hal yang susah bagi orang yang akan haji.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 47017)
Wallahu a’lam
✍ Farid Nu’man Hasan