Ditraktir, Dihadiahi, Atau Transaksi Dengan teman atau tetangga yang pekerjaannya haram, bolehkah menerimanya?

▫▫▫▫▪▪▪▪

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dalam pertemanan atau hidup bertetangga adalah hal yang wajar dan biasa jika kita ditraktir atau diberikan hadiah. Kadang hadiah itu berupa barang atau makanan. Lalu bagaimana sikap kita jika pekerjaan dia diketahui berasal dari jenis pekerjaan yang haram, seperti aktifitas yang bergelimangan riba, pabrik minuman keras, atau lainnya?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

“Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk membangun masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut.” [1]

Sebagian salaf pun membolehkan menerima “traktiran” dari orang yang penghasilannya haram. Menurut mereka, keharaman itu berlaku bagi pemiliknya saja.

Imam Al Baihaqi Rahimahullah meriwayatkan:

عَنْ رَبِيعِ بْنِ عَبْدِ اللهِ , سَمِعَ رَجُلًا , سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا , أَوْ قَالَ: خَبِيثُ الْكَسْبِ , وَرُبَّمَا دَعَانِي لِطَعَامِهِ أَفَأُجِيبُهُ؟ , قَالَ: ” نَعَمْ “

Dari Rabi’ bin Abdillah mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar: “Saya memiliki tetangga yang memakan riba –atau dia berkata: penghasilannya kotor, bagaimana jika dia mengundang saya makan, apakah saya penuhi?” Ibnu Umar menjawab: “Ya.” [2]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah meriwayatan:

عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: جَاءَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا، وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي، فَقَالَ: «مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Dzar bin Abdillah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.” [3]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah juga meriwayatkan:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: «إِذَا كَانَ لَكَ صَدِيقٌ عَامِلٌ، أَوْ جَارٌ عَامِلٌ، أَوْ ذُو قَرَابَةٍ عَامِلٌ، فَأَهْدَى لَكَ هَدِيَّةَ أَوْ دَعَاكَ إِلَى طَعَامٍ، فَاقْبَلْهُ، فَإِنَّ مَهْنَأَهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Salman Al Farisi, dia berkata: “Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” [4]

Namun, sikap di atas bukan satu-satunya sikap. Ada pula yang berhati-hati tetap menghindarnya. Sebagaimana sikap Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, saat memuntahkan lagi makanan yang sudah dimakannya, ketika dia tahu bahwa itu berasal dari cara yang haram. Kisah ini terkenal, diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya.

Sikap berhati-hati juga merupakan sikap yang dituntun Sunnah Rasulullah ﷺ :

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ

“Barangsiapa yang menghindar dari yang samar (syubhat) maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.” [5]

Ditambah lagi jika muncul keraguan dalam diri kita, maka sebaiknya tinggalkan yang ragu itu. Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ

“Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan, dan beralihlah kepada apa-apa yang tidak kamu ragukan.” [6]

Kesimpulan:

– Ada dua sikap para ulama tentang masalah ini, yaitu boleh menerima dan menikmatinya, dan dosanya dikembalikan kepada orang yang menghasilkan harta haram tersebut.

– Sikap lainnya adalah menolaknya sebagai bentuk kehati-hatian.

Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410

[2] Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 10823

[3] Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf no. 14675

[4] Ibid, no. 14677

[5] HR. Muttafaq ‘Alaih, dari An Nu’man bin Bisyr Radhiallahu ‘Anhu

[6] HR. Ahmad no. 1723. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib A Arnauth, dan lainnya.

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top