[Tata Cara Shalat] Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Turun Untuk Sujud, Tangan Dulu Atau Lutut Dulu?

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ahli fiqih mengatakan lutut dulu, seperti Umar, Ibrahim an Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim. Sedangkan sebagian lain mengatakan tangan dulu, dan ini dianut oleh Malik, al Auza’i, Ibnu Hazm, dan para ahli hadits.

(Lihat Fiqhus Sunnah, 1/164. Zaadul Ma’ad, 1/223)

Tapi, mereka sepakat masalah ini tidak ada kaitan dengan sah atau tidaknya shalat. Keduanya sama-sama sah. Oleh karena itu sikap yang paling bagus dan bijaksana adalah seperti yang disampailan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Berikut ini perkataannya:

أَمَّا الصَّلَاةُ بِكِلَيْهِمَا فَجَائِزَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ، بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ. وَلَكِنْ تَنَازَعُوا فِي الْأَفْضَلِ. فَقِيلَ: الْأَوَّلُ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ.
وَقِيلَ: الثَّانِي، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَأَحْمَدَ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى وَقَدْ رُوِيَ بِكُلٍّ مِنْهُمَا حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Adapun shalat dengan kedua cara tersebut diperbolehkan menurut kesepakatan ulama, kalau dia mau silahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau dia mau silahkan meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutut, dan shalatnya sah pada kedua cara tersebut menurut kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang mana yang afdhal.

Ada yang mengatakan cara pertama (meletakkan lutut dulu) yang lebih utama seperti madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad di antara dua riwayat darinya. Ada yang mengatakan cara kedua (meletakkan tangan dulu) yang lebih utama seperti madzhab Malik, Ahmad dalam riwayat lainnya. Kedua cara ini sama-sama ada dasarnya dalam Sunah Nabi ﷺ.

(Al Fatawa Al Kubra, 2/187)

Tata Cara Sujud

Sujud secara bahasa artinya خضع – khadha’a (menyerah, tunduk). (Zainuddin ar Razi, Mukhtar ash Shihah, 1/142)

Secara syariat, artinya:

والسجود في الصلاة هو وضع الجبهة والأنف والكفّين والركبتين وأصابع القدم على الأرض تعبّداً لله تعالى، وسَجَدَ سجوداً: أي خاضعاً لله مطمئنّ الجبهة على الأرض

Sujud dalam shalat adalah meletakkan kening, hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan jari jemari kaki di atas bumi/tanah, dalam rangka peribadatan kepada Allah Ta’ala. Sajada-sujudan, artinya tunduk kepada Allah dengan menempelkan kening ke bumi secara thuma’ninah.

(Mu’jam al Ma’aniy al Jaami’)

Menempelkan tujuh anggota badan

Berdasarkan hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening, dan Beliau memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian.”

(HR. Bukhari no. 812)

Menempelkan kening (dahi/jidat) dan hidung

Sebagian ulama menilai kening dan hidung adalah satu kesatuan, tidak boleh hanya menempel kening tanpa hidung, atau sebaliknya, tapi mayoritas ulama mengatakan boleh menempelkan kening saja, sebaliknya tidak boleh menempelkan hidung saja.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَنَقَلَ اِبْن الْمُنْذِرِ إِجْمَاع الصَّحَابَة عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئ السُّجُود عَلَى الْأَنْف وَحْده ، وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ عَلَى الْجَبْهَة وَحْدهَا ، وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَابْن حَبِيب مِنْ الْمَالِكِيَّة وَغَيْرهمْ يَجِب أَنْ يَجْمَعهُمَا وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ أَيْضًا

“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) para sahabat nabi bahwasanya menempelkan hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan  Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (Fathul Bari, 3/204)

Meletakkan tangan sejajar pundak atau kepala, dengan jari rapat dan lurus ke kiblat

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

Rasulullah meletakkan kedua telapak tangannya sejajar pundaknya

(HR. At Tirmidzi no. 270, hasan shahih)

وَضَعَ رَأْسَهُ بِذَلِكَ الْمَنْزِلِ مِنْ يَدَيْهِ

Beliau meletakkan kepalanya sejajar dengan kedua tangannya.

(HR. An Nasa’i no. 1265, shahih)

وإذا سجد ضم أصابعه

Jika Beliau sujud sambil merapatkan jari jemarinya.

(HR. Al Baihaqi,  as Sunan al Kubra no. 2695)

وإذ سجد وجه أصابعه قبل القبلة

Jika  Beliau sujud, mengarahkan jari jemarinya ke kiblat. (HR. Ibnu Hibban, shahih. Juga Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2697)

Posisi lengan dan siku menjauh dari lambung, dan tidak menempel dilantai

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَلْفِهِ فَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبِطَيْهِ وَهُوَ مُجَخٍّ قَدْ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ

Dari Ibnu Abbas dia berkata; “Saya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari belakang beliau, lalu saya melihat putih ketiaknya ketika beliau sujud, beliau merenggangkan antara kedua tangannya.” (HR. Abu Daud no. 899, shahih)

Hadits lainnya:

وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ

Kedua tangannya menjauh dari lambungnya  (HR. At Tirmidzi no. 270, hasan shahih)

Hadits lainnya:

فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا

Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya. **(HR. Bukhari no. 828)**

Ada pun menempelkan siku sampai lantai/sajadah saat sujud adalah makruh, sebab itu menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menyerupai Anjing:

إذا سجدت فضع كفيك وارفع مرفقيك

Jika kamu sujud maka letakkan kedua tanganmu dan angkatlah sikumu. (HR. Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2699)

Hadits lain:

وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Dan janganlah salah seorang di antara kalian menghamparkan kedua sikunya sebagaimana anjing menghampar.

(HR. Muslim no. 493)

Posisi ini jika shalat sendiri, tapi jika sedang shalat berjamaah maka posisi tangan disesuaikan dgn posisi jamaah sebelahnya.

Posisi kedua paha tidak dekat dengan perut, dan tidak terlalu jauh, tapi lurus dan seimbang (i’tidal)

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ

Lurus dan seimbanglah saat sujud (HR. Muslim no. 493)

وإذا سجد فرج بين فخذيه غير حامل بطنه علي شيء من فخذيه

“Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya.” (HR. Abu Daud no. 735, Al Baihaqi, as Sunan al Kubra no. 2712)

Ujung telapak kaki menempel lantai, dan jari-jari menghadap kiblat

وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ

Dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. (HR. Bukhari no. 828)

Perselisihan Ulama Antara Kaki Renggang atau Rapat

Masalah rapatnya tumit saat sujud, diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama menetapkan bahwa sujud itu hendaknya tumit dirapatkan, dengan jari-jemari kaki mengarah ke kiblat.

Dasarnya adalah, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ

Aku kehilangan Rasulullah ﷺ, saat itu dia bersamaku di pembaringan, aku dapati Beliau sedang sujud, merapatkan tumitnya, dan mengarahkan jari jemari kaki ke kiblat.

(HR. Ibnu Khuzaimah No. 654, Al Hakim, Al Mustadrak No. 832, Ibnu Hibban No. 1933, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 111)

Hadits ini SHAHIH menurut Imam Al Hakim., dan sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. (Al Mustadrak No. 932), Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish. Imam Ibnul Mulaqin juga menyatakan shahih. (Badrul Munir, 1/621)

Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami dalam tahqiq beliau terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah. Sementara Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban memasukan hadits ini dalam kitab SHAHIH mereka masing-masing, artinya dalam pandangan mereka ini hadits SHAHIH.

Syaikh Al Albani juga menshahihkan haidts ini. (Ta’liqat Al Hisan No. 1930)

Bagi yang menshahihkan tentu menjadikan hadits ini sebagai hujjah bahwa saat sujud hendaknya tumit bertemu atau rapat.

Sementara ulama lain mendhaifkan hadits ini, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yahya bin Ayyub Al Ghafiqi. Beliau pribadi yang kontroversi, ada yang mendhaifkan ada pula yang menyatakan tsiqah (terpercaya).

Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia haditsnya munkar.” (Ath Thabaqat Al Kubra No. 7090)

Al ‘Ijli mengatakan: “terpercaya.” (Ats Tsiqat No. 1791)

Yahya bin Ma’in mengatakan: “Orang mesir, shalih, dan terpercaya.” Sementara Abu Hatim berkata: “Haditsnya ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 9/128)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibnul Jauzi, Adh Dhuafa wal Matrukin, No. 3694)

Imam Ahmad mengatakan: “Buruk hapalannya.” Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Sebagian haditsnya goncang.” (Adz Dzahabi, Al Mughni fidh Dhuafa No. 6931)

Tapi, Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memasukan Yahya bin Ayyub sebagai salah satu perawinya, dalam hadits-hadits yang sifatnya penguat saja.

Oleh karena itu, sebagaian ulama menganggap ini hadits dhaif, dan secara lafal juga syadz (janggal), karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih darinya. Apalagi Imam Al Hakim berkata:

وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ، لَا أَعْلَمُ أَحَدًا ذَكَرَ ضَمَّ الْعَقِبَيْنِ فِي السُّجُودِ غَيْرَ مَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ

Imam Al Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dengan lafaz seperti ini. Aku tidak ketahui seorang pun yang menyebut adanya merapatkan dua mata kaki saat sujud selain yang ada pada hadits ini saja. (Al Mustadrak No. 832)

Dengan kata lain, inilah satu-satunya hadits yang menyebutkan merapatkan tumit atau mata kaki saat sujud.

Ada pun hadits yang lebih shahih tidak menyebutkan merapatkan kaki, yaitu:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

Aku kehilangan Rasulullah ﷺ suatu malam dari pembaringannya, maka aku menyentuhnya, tanganku memegang bagian dalam kedua kakinya dan dia sedang dimasjid dan beliau berdiri. (HR. Muslim, 486/222)

Dalam riwayat lain:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا فَقَدَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَضْجَعِهِ، فَلَمَسَتْهُ بِيَدِهَا، فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ

Dari ‘Aisyah bahwa dia kehilangan Nabi ﷺ dari pembaringannya, dia menyentuhnya dengan tangannya dan nabi sedang sujud. (HR. Ahmad No. 25757. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: para perawinya terpercaya, semua perawinya Bukhari dan Muslim, kecuali Shalih bin Sa’id. Ibnu Hibban mengatakan terpercaya)

Nah, riwayat-riwayat ini tidak ada yang menyebutkan rapatnya kedua tumit saat sujud. Secara sanad pun ini yang lebih kuat dibanding sebelumnya. Inilah yang dipilih oleh banyak ulama, juga Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Muqbil, dan lainnya, bahwa saat sujud kedua telapak kaki direnggangkan.

Bacaan Saat sujud?

Ada beberapa versi dzikir dan doa sujud yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam contohkan, kita boleh memilihnya atau memakai semuanya.

Pertama

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Subhana Rabbiyal A’la (3x)

(HR. An Nasa’i no. 1133, shahih)

Kedua.

سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاثًا

Subhana Rabbiyal a’la wabihamdih (baca saat sujud 3x)

(HR. Abu Daud no. 870. Shahih. Lihat Shifah Ash Shalah, Hal. 133)

Ketiga

سبوح قدوس رب الملائكة والروح

Subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh (baca saat ruku dan sujud)

(HR. Muslim no. 487)

Keempat

سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفر لي

Subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika Allahummaghfir liy (baca saat ruku’ dan sujud)

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kelima

اللهم اغفر لي ذنبي كله. دقه وجله. وأوله وآخره. وعلانيته وسره

Allahummaghfirli Dzanbi Kullahu Diqqahu Wajullahu Wa Awwalahu Wa Akhirahu Wa ‘Alaniyatahu Wa Sirrahu

“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku semua, baik yang halus atau yang jelas, yang awal dan yang akhir, dan yang nampak dan tersembunyi. (HR. Muslim no. 483)

Tentang doa-doa di atas, Imam An Nawawiy menjelaskan:

ولكن الأفضل أن يجمعَ بين هذه الأذكار كلها إن تمكن من ذلك بحيث لا يشقّ على غيره ، ويقدّم التسبيح منها ، فإن أراد الاقتصارَ فيستحبُّ التسبيح . وأدنى الكمال منه ثلاث تسبيحات ، ولو اقتصر على مرّة كان فاعلاً لأصل التسبيح . ويُستحبّ إذا اقتصر على البعض أن يفعل في بعض الأوقات بعضها ، وفي وقت آخر بعضاً آخر ، وهكذا يفعل في الأوقات حتى يكون فاعلاً لجميعها ” انتهى

Tetapi yang lebih utama adalah menggabungkan semua itu kalau memungkinkan, dan tidak membuat berat orang lain (makmum). Bacaan tasbih hendaknya didahulukan. Kalau hendak baca yg pendek maka disunnahkan yang tasbih. Kesempurnaan yg minimal adalah dia baca 3 kali tasbih itu.

Juga disukai jika dia membaca yang pendek adalah satu jenis, maka di waktu lain jenis yg lain. Begitulah yg dia lalukan diberbagai kesempatan, sehingga semuanya pernah dibaca.

(Al Adzkar, Hal. 86)

Untuk berdoa di dalam sujud dengan selain bahasa Arab, penjelasannya ada di sini: Berdoa Di Dalam Shalat; Bolehkah Dengan Bahasa Selain Arab?

Makna “Rasulullah ﷺ memperpanjang sujud”

Maksud dari Rasulullah memperpanjang sujudnya adalah Rasulullah ﷺ memperlama sujudnya dengan dzikir dan doa. Bukan memperpanjang pose sujudnya seolah sedang hampir tiarap. Ini salah pemahaman.

Hal ini sebagaimana hadits berikut:

ثُمَّ سَجَدَ، فَأَطَالَ السُّجُودَ

Lalu Beliau sujud dan memanjangkan sujudnya. (HR. Bukhari no. 745, 1044)

Bahkan saking lamanya Rasulullah ﷺ sujud diceritakan dalam riwayat lain dari Ibnu Khuzaimah tentang sujudnya shalat Kusuf:

ثمَّ سجد فَأطَال حَتَّى قيل: لَا يرفع

Lalu Beliau sujud dan memanjangkan sujudnya, sampai-sampai dikatakan Beliau tidak bangun. (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1393. Hadits ini shahih. Lihat Tuhfah al Ahwadzi, 3/143)

Jadi, demikianlah makna memanjangkan sujud yaitu memperlama sujud dengan dzikir dan doa.

Hal ini sesuai dengan hadits lainnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.”

(HR. Muslim no. 482)

Sujud yang manakah itu?

Sebagian orang ada yang memanjangkan sujud terakhir. Sebenarnya tidak ada petunjuk khusus tentang itu. Bebas saja, di sujud awal, tengah, atau akhir. Semua silahkan saja, asalkan lihat-lihat kondisi makmum jika dia sebagai imam sebab bisa jadi ada makmum yang sakit, lemah, atau tua.

Sebenarnya, lamanya sujud Rasulullah ﷺ seimbang dengan posisi lainnya. Hal ini diterangkan oleh berita dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ

Adalah Nabi ﷺ pada saat ruku, sujud, dan jika bangun dari ruku’nya (i’tidal), serta duduk di antara dua sujud, lama (tuma’ninah)-nya kurang lebih sama.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Sebagian ulama ada yang menilai mengkhususkan sujud akhir sebagai momen memperlama sujud adalah hal yang tidak berdasar oleh karena itu tidak dipantas dilakukan. Misal, pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah yang mengatakan:

الإطالة في السجدة الأخيرة ليست من السنة لأن السنة أن تكون أفعال الصلاة متقاربة الركوع والرفع منه والسجود والجلوس بين السجدتين كما قال ذلك البراء بن عازب رضي الله عنه قال (رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء) هذا هو الأفضل ولكن هناك محلٌ للدعاء غير السجود وهو التشهد فإن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما علم عبد الله بن مسعود التشهد قال (ثم ليتخير من الدعاء ما شاء) فليجعل الدعاء قل أو كثر بعد التشهد الأخير قبل أن يسلم

Memperpanjang sujud terakhir bukanlah bagian dari sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan dalam shalat itu hampir sama seperti ruku’, bangun dari ruku, sujud, dan duduk di antara dua sujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu : (Aku shalat bersama Nabi ﷺ dan aku dapatkan bahwa lamanya Beliau berdiri, ruku, sujud, dan duduknya antara salam dan selesainya, adalah mendekati sama). Inilah yang lebih utama, tetapi ada tempat lain untuk berdoa selain ketika sujud, yaitu pada saat tasyahud, sebab Nabi ﷺ ketika mengetahui Abdullah bin Mas’ud sedang tasyahud, Beliau berkata:

(Kemudian hendaknya kamu pilih doa apa pun yang kamu kehendaki), maka hendaknya dia berdoa sedikit atau banyak setelah tasyahud akhir sebelum salam.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, 134/7)

Namun, jika dia memanjangkan sujud akhirnya, hal itu tidak merusak shalatnya, shalatnya tetap sah.

Demikian. Wallahu A’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top