Muslim Mengucapkan Salam Non Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Ada dua tema:

Pertama. Mengucapkan Salam (yaitu Assalamu’alaikum.. Dst) kepada non Muslim

Kedua. Mengucapkan Berbagai Salam keagamaan non Islam bagi seorang Muslim

I. Mengucapkan Salam kepada non Muslim

Salam yg dimaksud di sini adalah Salam Islam, yaitu Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bukan selamat siang, selamat pagi, hai, dan sapaan lainnya, ini bukan persoalan.

Dalam hal ini dibagi menjadi dua keadaan:

A. Jika non Muslim seorang diri atau lebih, dan tidak ada orang Islam sama sekali

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)

Menurut uraian Imam An Nawawi ada empat pendapat dalam hal ini:

1. Boleh mengucapkan Salam ke non Muslim. Ini pendapat Ibnu Abbas, Abu Umamah, Abu Muhairiz, dan salah satu pendapat ulama Syafi’iyah. Menurut Al Mawardi salamnya adalah Assalamu’alaika, bukan ‘alaikum.

2. Makruh, ini pendapat sebagian Syafi’iyah.

3. Boleh, jika darurat, ada sebab, atau ada hajat. Ini pendapat Alqamah, An Nakha’i, dan Al Auza’i. Al Auza’i berkata: “Orang shalih terdahulu ada yang melakukan, dan mereka juga ada yang tidak melakukan.”

4. Haram, ini pendapat mayoritas ulama sejak masa salaf dan khalaf.

Menurut Imam An Nawawi, pendapat yang membolehkan adalah BATIL, pendapat yang memakruhkan adalah LEMAH. Dua pendapat ini hanya melihat pada dalil umum tentang anjuran berkata-kata baik dan sebarkan Salam. Padahal dalil-dalil tersebut sudah diikat oleh dalil lain yang lebih khusus, yaitu khusus buat non Muslim tidaklah boleh mengucapkan salam. Koreksi serupa juga dari Imam Ash Shan’ani.

Menurut Imam Ath Thibi larangan tersebut menunjukkan haram, bukan makruh, itulah yg benar menurutnya. Hal serupa juga dikatakan Imam Zainuddin Al ‘Iraqi

B. Jika Non Muslim berkumpul bersama Muslim satu majelis

Hal ini dibolehkan, berdasarkan dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا، عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ، وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ الخَزْرَجِ، وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الأَوْثَانِ وَاليَهُودِ، وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَفِي المَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَلَمَّا غَشِيَتِ المَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ، خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: لاَ تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا، فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ، فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ، وَقَرَأَ عَلَيْهِمُ القُرْآنَ

“Bahwa Nabi ﷺ mengendarai keledai yang pelananya bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar.

Beliau kemudian berjalan melewati majelis yang di dalamnya bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan kepulkan kami dengan debu.” Kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi ﷺ mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al Qur’an kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 6254)

Menurut Imam An Nawawi dan Imam Ash Shan’ani hadits ini menunjukkan:

– Bolehnya mengucapkan Salam kepada perkumpulan yang di dalamnya ada Muslim (walau seorang diri) dan Non Muslim, dengan maksud Salam itu untuk Muslim.

Lihat semua:

– Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, jilid. 14, hal. 145

– Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, jilid. 2, hal. 499

– Imam Ath Thibi, Al Kasyif ‘an Haqaaiq, jilid. 10, hal. 3039

– Imam Zainuddin Al ‘Iraqi, Tharhu At Tatsrib, jilid. 8, hal. 111

II. Seorang Muslim mengucapkan Salam Khas Non Muslim

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ

Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu. (QS. Al Mujadilah: 8)

Salam bukan hanya sapaan dan syi’ar, tapi juga ibadah, karena di dalamnya mengandung unsur doa dan harapan kepada Allah Ta’ala. Sementara doa dan ibadah adalah hal yang ekslusif dan khas dalam agama.

Dalam hadits disebutkan:

الدُّعاءُ هو العِبادةُ

Doa itu ibadah. (HR. Abu Daud no. 1479, shahih)

الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ

Doa itu otaknya ibadah. (HR. At Tirmdzi no. 3371, dhaif)

Sedangkan penyerupaan pada sebuah kaum dalam hal-hal yang mencirikan dan khas agama tertentu adalah terlarang dalam Islam, berdasarkan hadits:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

“Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya orang Yahudi memberikan salam berupa isyarat dengan jari tangan, sedangkan salamnya orang orang Nashrani adalah memberikan isyarat dengan telapak tangan.” (HR. At Tirmidzi no. 2695. Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin No. 4757)

Dalam hadits lain:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud no. 4031. Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240)

Menurut Imam Ath Thibi cakupan larangan tasyabbuh dalam hadits ini berlaku umum baik pada akhlak, penampilan, dan syi’ar-syi’ar mereka. (Al Kasyif ‘an Haqaaiq, jilid. 9, hal. 2901)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan, cakupan larangan tasyabbuh di sini pada perilaku mereka dan hai’ah (penampilan) mereka. (At Tamhid, jilid. 6, hal. 80)

Dan, masih banyak hadits yang memerintahkan umat Islam untuk menyelisihi mereka dalam hal peribadatan dan hal khas agama lain.

Mengenal Macam-Macam Salam Agama Lain

Diambil dari berbagai sumber, bahwa maknanya sebagai berikut:

– Salam Sejahtera bagi kita semua
Salam Sejahtera bagi Kita Semua’ merupakan salam yang ada dalam agama Kristen. Ada di Bible, khususnya di Yohanes dan Lukas. Ucapan ini juga pernah diucapkan oleh Yesus Kristus. Artinya, salam kesejahteraan dalam naungan Allah.

– Om Swastyastu (salam umat Hindu)
‘Om Swastyastu’ adalah salam yang ada dalam agama Hindu, artinya ‘semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi’. Hyang Widhi adalah Tuhan yang diyakini oleh umat Hindu.

– Namo Buddhaya (salam umat Buddha)
‘Namo Buddhaya’ ialah salam dalam agama Buddha, artinya hormat kepada Siwa dan Buddha. Namun, dalam perjalanannya, ‘Namo Buddhaya’ diucapkan terpisah.

– Salam Kebajikan (salam umat Konghucu)
Sedangkan ‘Salam Kebajikan’ merupakan salam yang ada dalam agama Konghucu, berarti ‘hanya kebajikan Tuhan berkenan’.

Maka, tentang seorang muslim mengucapkan salam dengan cara non muslim, perlu dirinci sebagai berikut:

1. Jika ucapan tersebut oleh pengucapnya dibarengi keyakinan dan pengakuan atas kebenaran atau keagungan Tuhan-Tuhan yang dimaksud dalam kalimat salam itu, padahal Tuhan pada salam-salam itu bukanlah memaksudkan kepada Allah Ta’ala, maka ini salah satu bentuk kesyirikan atau kekufuran yang mesti dijauhi, karena sangat bertentangan dengan konsep tauhid Tidak Ada Ilah Kecuali Allah.

Imam Al Alusi Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan:

أنه لا خلاف بين الأئمة أن الجد، واللعب في إظهار كلمة الكفر سواء

Tidak ada beda pendapat para imam bahwa siapa yang serius atau bermain-main saja dalam mengucap kalimat kekufuran, itu sama saja (kekufurannya). (Ruhul Ma’ani, 10/131)

2. Jika ucapan tersebut tidak dibarengi keyakinan apa pun, hanya berbasa basi (mujamalah), namun diucapkan dengan sepenuh hati dan kesadarannya, tidak ada pihak mana pun yang memaksa, atau karena kekalahan mental takut dibilang intoleran, maka ini masuk dalam tasyabbuh (penyerupaan) yang terlarang, namun bukan kekufuran.

3. Jika ucapan tersebut terpaksa atau dipaksa oleh pihak tertentu, dan posisi dirinya lemah, sampai ada ancaman terhadap unsur penting kehidupannya, maka dia dimaafkan. Allah Swt berfirman:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl: 106)

Hendaknya seorang Muslim tetap terhormat dengan Salamnya sendiri, jangan minder, dan tidak ikut-ikutan dengan Salam yang bukan Allah Ta’ala ajakan.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍️ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top