◼◽◼◽◼◽
▶ Jimat yang berasal dari bukan ayat Al Qur’an, doa’ ma’tsur, tapi dari susunan kalimat dan huruf yang tidak jelas telah disepakati keharamannya. Menggantungkan nasib kepadanya jelas merupakan kesyirikan.
Berkata Imam Al Maziri Rahimahullah:
وَمَنْهِيّ عَنْهَا إِذَا كَانَتْ بِاللُّغَةِ الْعَجَمِيَّة ، أَوْ بِمَا لَا يُدْرَى مَعْنَاهُ ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُون فِيهِ كُفْر
“Dan yang dilarang adalah jika menggunakan bahasa selain Arab, atau yang tidak diketahui maknanya, yang boleh jadi mengandung kekufuran.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/325)
▶ Lalu, Bagaimana Yg Berasal Dari Al Qur’an?
Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat.
1. Boleh, dengan syarat bahwa keyakinan penentunya hanya dari Allah Ta’ala
Dalil mereka adalah hadits berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ مِنْ الْفَزَعِ كَلِمَاتٍ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يُعَلِّمُهُنَّ مَنْ عَقَلَ مِنْ بَنِيهِ وَمَنْ لَمْ يَعْقِلْ كَتَبَهُ فَأَعْلَقَهُ عَلَيْهِ
Dari ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajari mereka beberapa kalimat karena adanya rasa takut, yaitu: A’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAMMATI MIN GHADLABIHI WA SYARRI ‘IBAADIHI WA MIN HAMAZAATISY SYAYAATHIINI WA AN YAHDLURUUNA (Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan-Nya serta kejahatan para hamba-Nya, dan dari bisikan setan serta kedatangan mereka kepadaku) ‘. Abdullah bin Umar mengajarkan kalimat-kalimat tersebut kepada orang yang telah berakal di antara anak-anaknya serta orang yang belum berakal. Ia MENULISKANNYA DAN MENGGANTUNGKANNYA KEPADANYA.”
(HR. Abu Daud no. 3893, HASAN)
Hadits ini menunjukkan kebolehan menuliskan doa-doa ma’tsur di kertas atau sesuatu, lalu digantungkan kepada yang sakit.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
يجوز تعليق الحروز التى فيها قرأن على النساء و الصبيان و الرجال
Dibolehkan menggantungkan jimat yang berisikan Al Qur’an kepada kaum wanita, anak-anak, dan kaum laki-laki ..
Kemudian, Imam An Nawawi mengutip dari Imam Ibnu Jarir, tentang perkataan Imam Malik:
لا بأس بما يعلق على النساء الحيض و الصبيان من القران اذا جعل فى كن كقصبة جديد أو جلد يحرز عليه
Tidak apa bagi wanita haid dan anak-anak menggantungkan sesuatu dr ayat Al Qur’an, jika dituliskan di sebatang besi atau kulit yang dituliskan ayat padanya.
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/83)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa ini merupakan pendapat segolongan ulama salaf:
ورأى جماعة من السلف أن تكتب له الآيات من القرآن ، ثم يشربها . قال مجاهد : لا بأس أن يكتب القرآن ويغسله ويسقيه المريض ، ومثله عن أبي قلابة ، ويُذكر عن ابن عباس رضي الله عنهما : أنه أمر أن يكتب لامرأة تعسر عليها ولادها أثرٌ من القرآن ، ثم يغسل وتسقى . وقال أيوب : رأيت أبا قلابة كتب كتابا من القرآن ثم غسله بماء وسقاه رجلا كان به وجع
Segolongan ulama salaf berpendapat hendaknya dia menulis ayat-ayat Al Qur’an lalu meminumnya. Mujahid berkata; “Tidak apa-apa dia menuliskan ayat Al Qur’an lalu dia mencuci/mandi dengannya dan meminumkannya ke orang sakit.” Yang demikian juga berasal dari Abu Qilabah.
Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma: bahwa dia memerintahkan bagi wanita yg sulit melahirkan dituliskan Al Qur’an, lalu airnya diminumkan ke wanita tersebut dan diguyurkan.
Ayyub berkata: “Aku melihat Abu Qilabah menuliskan Al Qur’an, lalu mencucinya dengan air, dan meminumkannya kepada seorg laki-laki yang sakit.”
(Zaadul Ma’ad, 4/170)
Syaikh Muhammad Ibrahim Rahimahullah – guru dari Syaikh Bin Baaz- berkata:
لا حرج فيما ذكرت من كتابة آيات من القرآن في صحن أو ورق بمادة طاهرة غير مضرة كالزعفران أو ماء الورد ، ثم شرب هذا الماء أو وضعه على موضع الألم ، لورود ذلك عن جماعة من السلف
Tidak masalah apa yang anda sebutkan, menulis Al Qur’an di piring, atau kertas, dengan sesuatu yg suci dan tidak berbahaya seperti za’faran, air mawar, lalu meminum air tersebut atau meletakkannya (mengusapnya) pada bagian yg sakit, karena telah sampai riwayat yang demikian dari jamaah kaum salaf.
(Fatawa Syaikh Muhammad Ibrahim, 1/94)
Yg seperti ini juga pendapatnya Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al Qurthubi, Imam Ibnu Taimiyah, dll.
2. Tidak Boleh, yaitu makruh.
Sementara itu, Ulama lain Memakruhkan ini, seperti Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, .. juga ulama kontemporer yaitu Syaikh Al Qaradhawi.
Ini berdasarkan riwayat berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكره عقد التمائم
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan menggantungkan penangkal-penangkal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/427)
Ibrahim An Nakha’i Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
كانوا يكرهون التمائم كلها ، من القرآن وغير القرآن
“Mereka (para sahabat) memakruhkan jimat semuanya, baik yang dari Al Quran dan selain Al Quran.”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/428)
Syaikh Muhammad At Tamimi Rahimahullah, yang disebut sebagai perintis gerakan Wahabiyah, berkata:
وأما التعاليق التي فيها قرآن أو أحاديث نبوية أو أدعية طيبة محترمة فالأولى تركها لعدم ورودها عن الشارع ولكونها يتوسل بها إلى غيرها من المحرم ، ولأن الغالب على متعلقها أنه لا يحترمها ويدخل بها المواضع القذرة
“Ada pun menggantungkan jimat yang terdapat Al Quran atau Hadits Nabi, atau doa-doa yang baik lagi terhormat, maka yang lebih utama adalah ditinggalkan, karena tidak adanya dalil dari pembuat syariat, bahkan hal itu merupakan sarana menuju jimat yang bukan dari Al Quran yang tentunya haram, dan juga lantaran biasanya hal itu digantungkan dengan cara tidak terhormat, dan masuk ke dalam tempat-tampat yang kotor.”
(Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Hal. 48. Mawqi’ Al Islam).
Pendapat kedua, nampak lebih aman dan selamat, untuk menutup semua pintu kemungkinan yg terburuk terhadap Aqidah muslim.
Demikian. Wallahu a’lam
📙📘📗📕📒📔📓
🖋 Farid Nu’man Hasan