Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 13)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah). Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an, ketenangan, apalagi pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap) kepadaNya. Baik ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i (bersama-sama).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ..” (QS. Al Bayyinah (98): 5)

Ayat lainnya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)

Ayat lainnya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Al Mulk (67): 2)

Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 6/345)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)

Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu merupakan manhaj Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi hamba-hambaNya. Jika ingin mendekatkan diri kepadaNya, ingin menjadi ‘ibadurrahman sejati, ingin menjadi keluargaNya, ingin menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika dia melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta, takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.

Allah ‘Aza wa Jalla berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah

hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr (89): 27-30)

Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata cara yang keliru, keluar dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca: bid’ah) dengan hal-hal yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walau pun dipandang baik oleh manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka menjadi sia-sia. Inilah implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat luas, tidak menyelisihinya, apalagi menentangnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 21)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran (3): 31)

Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini turun karena pada zaman nabi ada kaum yang mengklaim, “Kami mencintai Allah.” Lalu turunlah ayat ini, bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini turun merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kaum Nasrani Bani Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan mencintai Allah dan mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, 6/322-323. Mu’asasah Ar Risalah)

Ayat lainnya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur (24): 63)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), dengan apa-apa yang tidak ada padanya maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik Bukhari)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pula, dengan lafaz agak berbeda, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya dalam agama kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)

Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:

وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات

“Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah Islam. Ini adalah kalimat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam menolak bid’ah dan hal mengada-ada. “ (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurhubi mengomentari hadits ini:

من اخترع في الشرع ما لا يشهد له أصل من أصوله فهو مفسوخ ، لا يعمل به ، ولا يلتفت إليه

“Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang tidak disaksikan oleh dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak boleh beramal dengannya, dan tidak boleh mengikutinya.” (Al Mufhim Lima 16/85. Al Maktabah Al Misykat)

Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah sunah (jalan) bagi hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh umat terbaik pada masa silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta kejayaannya. Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:

عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف

“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”

Dari Abul ‘Aliyah, dia berkata:

عليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن يفترقوا قال عاصم فحدثت به الحسن فقال قد نصحك والله وصدقك

“Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang dahulu ketika mereka belum terpecah belah.” ‘Ashim berkata: “Aku menceritakan ini kepada Al Hasan, maka dia berkata: ‘Dia telah menasihatimu dan membenarkanmu.’“

Dari Al Auza’i, dia berkata:

اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم

“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”

Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:

قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة

“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”

Dari Ayyub, dia berkata:

إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ

“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”

Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )

bersambung ….

🍃🌷☘🌺🌻🌸🌾🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top