💥💦💥💦💥💦
Daftar Isi
📨 PERTANYAAN:
Assalamualaikum, ustadz, apa hukumnya seorang perempuan/ ibu yg berobat terapi Totok punggung pada terapis laki laki dengan pegang punggungnya tetapi dgn sarung tangan.
📬 JAWABAN
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wz ba’d:
Berobat adalah upaya masyru’ dan di dorong oleh syariat yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” [1]
Berobat, sebisa mungkin dengan obat yang halal dan suci, serta dilakukan dengan cara yang benar, dan dilakukan oleh orang yang tepat, agar selamat secara medis dan syariat. Jika pasiennya laki-laki sebagusnya dokternya laki-laki, dan jika pasiennya wanita sebagusnya dokternya wanita. Kebutuhan ini menunjukkan kemestian membuka peluang bagi kaum wanita muslimah untuk menuntut ilmu kedokteran sebagaimana kaum laki-laki.
📌 Jika Keadaan Tidak Ideal
Dalam keadaan masyarakat yang normal dan wajar, saya rasa tidak sulit mencari dokter laki-laki dan wanita dengan spesialisasinya masing-masing. Sehingga kita relatif tidak sulit berobat dengan mekanisme yang dibenarkan syariat. Tapi, keadaan seperti itu tidak selalau sama di masing-masing daerah. Ada daerah minus dokter kandungan muslimah, bidan muslimah, atau semisalnya, yang ada adalah dokter laki-laki. Padahal pasien itu bisa laki-laki bisa juga perempuan, dan kesehatan serta kehidupan mereka mesti sama-sama dijaga.
Dalam keadaan seperti itu tidak mengapa seorang wanita berobat ke dokter laki-laki (atau sebaliknya jika memang dokter laki-laki yang minim), selama adab-adabnya terjaga. Di sisi lain, dalam dunia pengobatan, di dalamnya sangat memungkinkan terjadi persentuhan langsung antara dokter dan pasiennya, karena itulah cara untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit.
Pembolehan ini mengingat beberapa fakta sejarah dan kaidah berikut:
1. Dalam kitab Shahih Al Bukhari terdapat sebuah bab: Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan), juga bab: Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah(Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)
2. Beberapa kaidah fiqih:
الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ
Kesulitan membawa pada kemudahan.[2]
Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:
المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع
Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan.[3]
Kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ayat lainnya:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28)
Ada pun dalam hadits:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا
Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. [4]
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه
“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” [5]
Maka, keadaan jika sulit, sempit, payah, termasuk dalam berobat mencari yang “seharusnya” maka tidak mengapa, dan membuatnya lapang untuk berobat dengan dokte
r yang ada, walau dia lawan jenis. Sebab, jika tidak demikian maka itu membuatnya jatuh dalam dharar (kerusakan yang lebih besar), dan itu justru terlarang.
Sebagaimana kaidah lain:
الضَّرَرُ يُزَالُ
Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan.[6]
Dalil kaidah ini adalah:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)
Dan hadits Nabi ﷺ :
لا ضرر ولا ضرار
Jangan membuat kerusakan dan jangan menjadi rusak. [7]
Hanya saja ada beberapa adab yang mesti dijaga:
1. Hendaknya memakai pakaian yang sesuai syariat.
2. Jika hendak membuka bagian tubuh yang sakit, dan itu ternyata aurat, maka bukalah sesuai kebutuhan pemeriksaan, sesuai kaidah:
الضرورة تقدر بقدرها
Kondisi darurat ditakar sesuai kadar kebutuhannya. [8]
3. Jika mungkin, dokternya menggunakan sarung tangan.
4. Hendaknya ditemani oleh orang lain, baik mahram, atau ajnabi yang terpercaya.
Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka
✏ Farid Nu’man Hasan
🌿🌿🌿🌿:
[1] HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)
[2] Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah
[3] Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[4] HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732
[5] HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327
[6] Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kedua, 1/51. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kelima, Hal. 85. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190
[7] HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 268, 1033, 3777, 5193, juga dalam Al Kabir No. 1387, 11576, 11806, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11166, 11167, 11657, 11658, 20230, 20231. Malik dalam Al Muwaththa’ biriwayah Yahya Al Laitsi No. 1429, Ibnu Majah No. 2340, 2341, Ad Daruquthni No. 83, 288, Ahmad No. 2867, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1096, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300, dll
Imam Al Hakim mengatakan: “Shahih, sesuai syarat Imam Muslim.” (Al Mustadrak No. 2354) dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya.
[8] Syaikh Shalih bin Muhammad bin Hasan Al Asmary, Majmu’ah Al Qawaid Al Bahiyyah, Hal. 60. Cet.1, 1420H-2000M. Darush Shami’iy