🖋 Farid Nu’man Hasan
◽◼◽◼◽◼
Daftar Isi
📨 PERTANYAAN:
Assalamualaikum.
Mau konfirmasi dalil ustadz tentang orang tua rasulullah meninggal masuk neraka. Yang lagi viral di medsos.ustadz khalid basalamah mengutip hadits bukhari kalau tdk salah. ada beda pendapat ustadz abdul somad ada juga mengutip dalil yg lain ust.sebenarnya yang mana ustadz yg benar?? (+62 852-6359-xxxx)
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..
I. Mukadimah
Tema ini telah menyedot perhatian banyak ulama dari zaman ke zaman. Satu sama lain saling mengingkari dan mengoreksi. Sebenarnya ini bukan hal baru, sebab dibanyak hal perbedaan pendapat juga tejadi. Oleh karena itu para ulama yang berselisih tentang ini juga tetap menjaga adab perbedaan pendapat di antara mereka.
Namun, musibah mulai terjadi ketika masalah ini dipegang oleh orang awam dan berwatak keras. Mereka memasukkan masalah ini dalam lingkup Al Wala wal Bara’ (loyalitas dan anti loyalitas). Seakan, perbedaan pendapat dalam hal ini dapat memutuskan hubungan pihak mana pun yang berbeda dengan dirinya dan pendapatnya; menyerang ulama, menuduh bodoh, bid’ah, dan sebagainya. Ini adalah sikap yang sembrono dan berbahaya.
Ketahuilah, seandainya Anda tidak tahu di manakah Ayah dan Bunda Rasulullah ﷺ di akhirat, maka Anda tidak berdosa dan itu bukan aib bagi Anda. Seandai pun Anda tahu, itu pun tidak lantas meninggikan derajat Anda di atas orang lain.
II. Hadits Rujukan
Berikut ini adalah hadits yang dianggap melahirkan kontroversi:
عن أنس أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفي دعاه فقال إن أبي وأباك في النار
Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, di mana ayahku?” Beliau bersabda: “Di neraka.” Ketika laki-laki itu berlalu, Nabi memanggilnya dan bersabda: “Ayahku dan Ayahmu di neraka.” (HR. Muslim No. 203, Abu Daud No. 4720, Ibnu Hibban No. 578, Abu Ya’la No. 3516, Ahmad No. 13834, Al Bazzar No. 1089, 6806)
Sederetan ulama menshahihkan hadits ini, seperti Muslim, Ibnu Hibban, Al Jauzajaaniy, Al Baihaqi, Ibnu Katsir, Al Albaniy, dan Al Huwainiy. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 103364)
Dalam riwayat lain:
…. فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
…ketika Beliau (Nabi) melihat perubahan pada wajah orang itu, maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Ahmad No. 12192)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
“Para perawi dalam hadits ini adalah perawi syaikhain (Bukhari dan Muslim), kecuali Hammad –bin Salamah- seorang perawi Imam Muslim.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 19/228)
Dengan kata lain, secara sanad hadits ini tidak ada cacat menurut umumnya ulama.
III. Pandangan Para Ulama
Para ulama terbagi-bagi dalam menjelaskan hadits ini.
1. Menetapkan bahwa ayah orang itu dan ayah Nabi ﷺ memang di neraka.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة
Dalam hadits ini menunjukkan bahwa orang yang wafat pada kekafiran maka dia di neraka, hubungan dekatnya dengan para muqarrabin (orang-orang yang dekat Allah) tidaklah bermanfaat. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang wafat di masa fatrah (kekosongan kenabian) namun melakukan kebiasaan orang Arab berupa penyembahan kepada berhala maka dia termasuk ahli neraka. Ini bukanlah termasuk orang yang dinilai belum tersampaikannya da’wah, sebab da’wah Nabi Ibrahim dan para Nabi lainnya ‘Alaihimussalam telah sampai kepada mereka. Sedangkan sabdanya: “Ayahku dan Ayahmu di neraka” merupakan bagusnya cara bergaul Rasulullah ﷺ, untuk menghibur orang itu dengan ikut berempati dalam musibah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/80)
Penjelasan Imam An Nawawi ini nampak begitu umum (muthlaq), nampak berlaku untuk siapa pun. Dia tidak membedakan ayah nabi dan ayah si laki-laki tersebut, pokoknya keduanya sama-sama wafat dalam keadaan kafir, dan neraka tempatnya. Hanya saja agak menjadi “cair” ketika Imam An Nawawi mengatakan ucapan tersebut adalah untuk menghibur saja, berempati, ikut merasa sedih atas musibah tersebut. Seolah nerakanya Ayah Nabi ﷺ tidak sungguhan, tapi sekedar untuk menghibur laki-laki itu. Apalagi dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan:
…. فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
…ketika Beliau (Nabi) melihat perubahan pada wajah orang itu, maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Ahmad No. 12192)
Artinya, laki-laki itu sedih dan muram, lalu Nabi ﷺ menghiburnya dengan kalimat tersebut.
Pendapat kafirnya ayah dan ibu Nabi ﷺ juga di dukung oleh umumnya para ulama Arab Saudi. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah berkata:
إذاً: كون الرسول صلى الله عليه وسلم استأذن أن يستغفر لأمه فلم يؤذن له يدل على أنها ماتت كافرة، وكذلك أبوه مات كافراً، وجده مات كافراً الذي هو عبد المطلب ، وكذلك أبو طالب لما عرض عليه النبي صلى الله عليه وسلم وهو في مرض موته الإسلام
Jadi, saat Rasulullah ﷺ minta izin (kepada Allah) untuk mendoakan ampun untuk ibunya, tapi itu tidak diizinkan, menunjukkan bahwa dia wafat dalam keadaan kafir dan demikian juga ayahnya wafat dalam keadaan kafir, dan kakeknya wafat dalam keadaan kafir yaitu Abdul Muthalib, demikian pula Abu Thalib ktika Nabi ﷺ menawarkan Islam kepadanya disaat sakit kematiannya. (Syarh Sunan Abi Daud, 10/371)
Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi, juga mengeluarkan fatwa kafirnya Bapak dan Ibu Rasulullah ﷺ dan mereka menilai bahwa keduanya bukan ahlul fatrah, bukan orang yang hidup di zaman kekosongan kenabian dan Risalah, tapi mereka berdua hidup di masa sisa risalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.
Berikut ini fatwanya:
وأما أبوا الرسول صلى الله عليه وسلم فليسا من أهل الفترة ؛ لأن العرب كانوا على ملة إبراهيم صلى الله عليه وسلم ، خصوصا في أرض الحجاز ، وإنما دخل عليهم الشرك أخيرا في عهد عمرو بن لحي الخزاعي ، ولكن عندهم بقايا من دين إبراهيم ، مثل الحج وغيره ، فليسوا أهل فترة ….
Ada pun kedua orang tua Rasulullah ﷺ bukanlah termasuk ahlul fatrah, karena bangsa Arab dahulu di atas millah Ibrahim ‘Alaihissalam, khususnya di daerah Hijaz, akhirnya mereka kemasukan syirik di zaman Amru bin Luhay Al Khuza’iy, tetapi mereka masih memiliki sisa ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam seperti haji dan lainnya, jadi mereka bukanlah Ahlul Fatrah .. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah No. 16426)
2. Maksud dari “AYAHKU di neraka” adalah pamanku, bukan Ayah kandung Nabi ﷺ
Sebagian ulama memaknai maksud hadits tersebut adalah pamannya. Ada pun ayahnya, Abdullah, dihitung sebagai ahlul fatrah, dan masuk surga.
Menurut mereka, kata “ayah” dalam bahasa Arab dan juga kebiasaan saat itu, tidak selalu bermakna ayah kandung, tapi juga bisa bermakna paman, kakek, dan nenek moyang.
Hal ini sebagaimana ayat:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al baqarah: 133)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah berkata:
يقصد بهذا أن حديث: [ (إن أبي وأباك في النار) ] يحمل فيه الأب على عمه أبي طالب، يريدون ألا يكون المقصود أباه الحقيقي الذي هو عبد الله، وإنما المقصود عمه، وعمه مات على الشرك وقد أدركه الإسلام، ولكن لم يؤمن به، وكان يعرف أن ما عليه الرسول حق، ولكن ابتلي بعزة الآباء والأجداد ومات على ذلك
Maksud hadits ini (Ayahku dan Ayahmu di neraka) adalah pamannya, Abu Thalib. Menurut mereka maksud ayah di sini bukanlah ayah sebenarnya yaitu Abdullah, maksud kalimat ini adalah pamannya. Pamannya wafat dalam keadaan syirik dan telah bertemu dengan Islam tetapi dia tidak mengimaninya. Dia mengetahui bahwa apa yang ada pada Rasulullah ﷺ adalah kebenaran, tetapi dia diuji oleh rasa takutku dan tidak kepada nenek moyangnya dan dia wafat dalam keadaan itu. (Syarh Sunan Abi Daud, 27/127)
Syaikh Abdul Hadi As Sindi Rahimahullah menjelaskan:
أَنَّهُ لَوْ صَحَّ يُحْمَل فِيهِ الْأَب عَلَى الْعَمّ وَلِهَذَا قَالَ السُّيُوطِي فِي حَاشِيَة الْكِتَاب هَذَا أَيْ سُنَن اِبْن مَاجَهْ مِنْ مَحَاسِن الْأَجْوِبَة أَنَّهُ لَمَا وَجَدَ الْأَعْرَابِيّ فِي نَفْسه لَاطَفَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَدَلَ إِلَى جَوَاب عَامّ فِي كُلّ مُشْرِك وَلَمْ يَتَعَرَّض إِلَى الْجَوَاب عَنْ وَالِده صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَفْيٍ وَلَا إِثْبَات وَقَالَ وَلَمْ يُعْرَف لِوَالِدِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَالَة شِرْك مَعَ صِغَر سِنّه جِدًّا فَإِنَّهُ تُوُفِّيَ وَهُوَ اِبْن سِتّ عَشْرَة سَنَة وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ اللَّه تَعَالَى أَحْيَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِدِيهِ حَتَّى آمَنَا بِهِ وَاَلَّذِي يَقْطَع بِهِ أَنَّهُمَا فِي الْجَنَّة
Seandainya hadits ini shahih, maka maksud ayah di sini adalah paman. Oleh karena itu Imam As Suyuthi berkata dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab ini –Sunan Ibnu Majah- berupa jawaban yang bagus bahwa ketika orang A’rabiy itu mengalami sesuatu dalam jiwanya maka Nabi ﷺ berempati kepadanya dan meluruskannya dengan jawaban umum bagi semua orang musyrik, dan tidak memaksudkan jawaban itu tentang ayahnya baik dengan penegasian dan tidak memastikan. Dia mengatakan, bahwa keadaan orangtuanya tidak diketahui kesyirikannya di mana saat itu Beliau masih sangat kecil, saat ayahnya wafat Nabi ﷺ berusia 16 tahun (?). Diriwayatkan bahwa Allah ﷻ menghidupkan kedua orangtuanya kembali lalu mereka beriman kepadanya, yang dengannya maka dinilai bahwa keduanya di surga. (Hasyiyah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/348)
Dalam penjelasan di atas memang ada hal yang perlu dipertanyakan, yaitu usia Nabi ﷺ saat wafat ayahnya, dan keshahihan riwayat bahwa kedua orang tua Nabiﷺ dihidupkan.
3. Ayah Nabi ﷺ adalah ahlul fatrah, manusia yang dihidup di masa kekosongan Risalah kenabian
Syaikh Abdul Hadi As Sindi Rahimahullah berkata:
وَمِنْ أَقْوَى الْحُجَج عَلَى ذَلِكَ أَنَّهُمَا مِنْ أَهْل الْفَتْرَة وَقَدْ أَطْبَقَ أَئِمَّتنَا الشَّافِعِيَّة وَالْأَشْعَرِيَّة عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ تَبْلُغهُ الدَّعْوَة لَا يُعَذَّب وَيَدْخُل الْجَنَّة لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ } الْآيَة
Dan di antara alasan yang paling kuat adalah bahwa keduanya termasuk ahlul fatrah. Para imam kami baik, Syafi’iyah dan Asy’ariyah, mengatakan bahwa siapa pun yang belum sampai kepadanya da’wah Islam maka dia tidak diazab dan masuk surga, berdasarkan firman Allah ﷻ : (Dan Kami tidak akan menyiksa sampai kami utus seorang Rasul). (Hasyiyah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/348)
Ini juga pendapat seorang ulama tafsir terkenal, Syaikh Amin Asy Syinqithiy Rahimahullah, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan banyak ayat Al Quran yang qath’iy. Hal ini dikatakan Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah berikut:
قد رجح الشيخ محمد الأمين الشنقيطي- رحمه الله هذه الأدلة القرآنية لأنها قطعية، فتقدم على ما عارضها من أحاديث الأحاد
Syaikh Amin Asy Syinqithiy Rahimahullah menguatkan dalil-dalil Al Quran ini, bahwa ini lebih diutamakan dibanding hadits-hadits ahad yang bertentangan dengannya. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 103364)
Ayat-ayat tersebut adalah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan mengazab sampai Kami mengutus seorang Rasul. (QS. Al Isra: 15)
Dan kepada bangsa Arab, tidak ada seorang Rasul pun yang diutus sebelum Nabi Muhammad ﷺ , sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah ayat:
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (QS. Yasin: 6)
Ayat lain:
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk. (QS. As Sajadah: 3)
Dan ayat lainnya.
Imam Al Abbiy Rahimahullah, mengoreksi Imam An Nawawi dengan mengatakan:
أنظر هذا الاطلاق ! و قد قال السهيلى : ليس لنا أن نقول ذلك فقد قال صلى الله عليه و سلم) لَا تُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ بِسَبِّ الْأَمْوَاتِ(
وقال تعالى: إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Lihatlah kemutlakan (ucapan Imam An Nawawi) ini! As Suhailiy telah berkata: “Kami tidaklah berpendapat seperti itu (seperti Imam An Nawawi), karena Nabi ﷺ bersabda: “Jangan sakiti yang hidup dengan mencela yang sudah wafat.” Dan Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. Al Ahzab: 57). (Syarh Al Abbiy wa Sanusiy ‘Ala Muslim, 1/363)
Bagi mereka, menyebut Ayah dan Ibu Nabi ﷺ berada di neraka merupakan bentuk celaan kepada Nabi ﷺ dan menyakiti Beliau ﷺ. Tentunya tak seorang pun mu’min yang rela melakukannya.
4. Mendhaifkan
Ini pendapat Syaikh Muhammad Al Ghazaliy Rahimahullah, salah satu ulama Al Azhar, dikarena akan menurutnya hadits tersebut bertentangan dengan Al Quran. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy Hafizhahullah sebagai berikut:
اما شيخنا الشيح محمد الغزالى فقد رفض الحديث صارحة لانه ينافى قوله تعالى …..
Ada pun guru kami, Syaikh Muhammad Al Ghazaliy telah menolak hadits ini karena bertentangan dengan firman Allah Ta’ala .. (lalu disebutkan ayat-ayat di atas). (Al Madkhal Lidirasah As Sunnah An Nabawiyah, Hal. 132)
5. Tawaqquf (No Comment)
Ini adalah sikap Syaikh Yusuf Al Qaradhawiy Hafizhahullah. Setelah Beliau menjelaskan beragam pendapat tentang hadits “Ayahku dan Ayahmu di neraka,” Beliau berkata:
لهذا توقفت فى الحديث حتى يظهر لى شيئا يشفى صدر
Oleh karena itu saya bertawaqquf tentang hadits ini sampai benar-benar nampak kebenaran bagiku yang dapat memuaskan dada. (Al Madkhal Lidirasah As Sunnah An Nabawiyah, Hal. 132)
Beliau juga berkata:
لكنى اوثر فى الأحاديث الصحاح التوقف فيها دون ردها بإطلاق خشية أن يكون لها معنى لم يفتح على به بعد
Tetapi saya memilih sikap tawaqquf, tidak menolak secara mutlak terhadap hadits shahih, karena saya khawatir jangan-jangan nanti akan terungkap apa maknanya.
(Ibid, Hal. 133).
Inilah sikap Beliau yang hati-hati, setelah mengemukakan semua dalil yang ada.
IV. Penutup
Demikianlah masalah ini. Hendaknya bagi para guru, syaikh, muballigh, da’i, tidak hobi membahas masalah-masalah sensitif dan tidak produktif, yang tidak berbasiskan amal shalih, persaudaraan, dan kekuatan umat. Apalagi jika hanya untuk hura-hura intelektual atau memunculkan fitnah, lebih baik ditinggalkan. Sebab, sehebat apa pun kita menjelaskan dan ingin menunjukkan apa yang kita yakini, maka sehebat itu pula perlawanan dari pihak yang kontra.
Wallahu A’lam wal Musta’an …
📔📘📕📙📗📓📒