Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa muntah (Al Qaiu) disepakati kenajisannya, tetapi jika sedikit dimaafkan. (Fiqhus Sunnah, 1/25)
Imam empat madzhab juga mengatakan najis, tetapi mereka merinci sebagai berikut:
☑ Hanafiyah mengatakan muntah sebagai najis berat (mughallazhah), karena semua yang keluar dari badan manusia adalah wajib disucikan dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka berdalil dari hadits: Wahai Amr! Cucilah pakaian dari lima hal: tinja, air kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Ad Daruquthni dalam Sunannya, 1/127. Ada dua rawi yang dhaif yakni Ibrahim bin Zakaria, dan Tsabit bin Hammad, seorang yang dhaif jiddan).
☑ Syafi’iyah mengatakan muntah adalah najis walaupun makanannya belum berubah, karena makanan sudah masuk ke rongga perut. Walaupun muntah itu hanya air, seperti gumoh. Jika sudah masuk rongga perut yang akan mengalami kerusakan, tetap najis sebagaimana tinja.
☑ Hanabilah, menurut mereka muntah itu najis sebab makanan yang telah mengalami perubahan di rongga perut adalah sama dengan tinja.
☑ Malikiyah, menurut mereka najisnya muntah jika sudah mengalami perubuhan wujud dari makanan, jika tidak berubah maka suci. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/86-87)
Tetapi kenyataannya ada ulama yang menolak dikatakan bahwa muntah adalah najis. Di antaranya adalah Imam Asy Syaukani. Dalil mereka adalah hukum asal segala sesuatu adalah suci, selama tidak ada dalil yang menyebutnya najis. Sedangkan hadits Amr yang diriwayatkan Imam Ad Daruquthni adalah lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. (Lihat As Sail Al Jarar, 1/43).
Pendapat ini diikuti oleh Syaikh Al Qaradhawi Hafizhahullah, dan Inilah pendapat yang kuat menurutnya, sebab sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kaidahnya. Demikian.
Oleh: Farid Nukman