Cakupan Ibadah

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Aslm ustadz, yang saya tahu dalam islam ada lima hukum suatu perbuatan menjadi wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Dan kita sebsgai muslim harus melaksanakan yg wajib dan sunah dan menjauhi yg haram.

Yang saya tanyakan, apa saja kewajiban seorang muslim. Selama ini yg bisa saya jawab adalah beribadah (sholat, puasa, dll), berbuat baik pada orang tua, menuntut ilmu, dll.

Apakah ada risalah/buku yg memuat lengkap semua kewajiban seorang muslim berdasarkan Al Quran dan hadits. Agar bisa menjadi panduan, apa saja kewajiban yg belum kita lakukan.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Tugas kita secara umum, disebutkan dalam Al Quran secara jelas, yaitu Ibadah kepada Allah semata, tidak yang lainnya.
Sebagimana ayat-ayat berikut:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. (QS. Adz Dzariyat: 56)

Ayat lainnya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul yang menyeru “Sembahlah Allah semata, dan jauhilah thaghut (sembahan-sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)

📖 Apakah Ibadah?

Banyak orang yang mempersepsikan salah tentang ibadah. Padahal cakupan ibadah begitu luas. Berikut ini penjelasan para ulama kita.

1⃣ Pertama, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ

“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Majmu’ Al Fatawa, 10/149)

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ

“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna pujian, mencakup totalitas kehinaan, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.” (Ibid, 10/251)

2⃣ Kedua, menurut Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, beliau mendefinisikan makna ibadah secara syara’ adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف

“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/ 134)

Demikianlah makna ibadah, selanjutnya dari sisi sasaran, ibadah terbagi atas dua, yakni; pertama, bagian hablum minallah (hubungan kepada Allah) yang selanjutnya manusia menyebutnya ibadah mahdhah. Kedua, hablum minannas (hubungan kepada sesame manusia) selanjutnya manusia menyebutnya ibadah ghairu mahdhah.

📌 Ibadah mahdhah, sering pula disebut ibadah ritual, ibadah khusus, atau vertikal, yaitu pengabdian kepada Allah Ta’ala sebagai pencipta, yang memang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya atas hambaNya yang taklif (sudah baligh), dan diberikan contoh oleh RasulNya pula, sehingga ibadah ini memiliki praktek yang sudah digariskan tata caranya. Sehingga dia disebut mahdhah, yang berarti murni, bersih, tiada bercampur, sebab ibadah mahdhah tidak memberi peluang kepada akal-akalan manusia melainkan ittiba’ (mengikuti) dalil-dalil syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah).

Termasuk ibadah mahdhah adalah shalat (tentunya dengan thaharah pula), puasa, zakat, dan haji. Jenis ibadah-ibadah ini adalah ‘langsung’ kepada Allah Ta’ala. Bukan hanya itu tetapi juga aqiqah dan qurban.

Allah Ta’ala berfirman:

“Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka ambil-lah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr (59): 7)

Tentang shalat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat.”(HR. Al Bukhari)
Tentang haji, Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu melihat Rasulullah pada siang hari sedang melempar jumrah sambil di atas hewan tunggangannya, lalu beliau bersabda:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Hendaklah ambil (pelajari) manasik haji kalian, sesungghnya aku tidak tahu apakah aku bisa haji lagi setelah hajiku yang sekarang.” (HR. Muslim)

Tentang wudhu, dari Humran Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Bahwa Utsman bin ‘Affan mengajak untuk berwudhu, maka dia berwudhu. Dia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudia dia berkumur-kumur, lalu dia menghirup air kehidungnya, lalau mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangannya sebelah kanan hingga ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan sebelah kiri juga demikian, lalu membasuh kepalanya, lalu dia mencuci kakinya yang kanan hingga dua mata kaki sebanyak tiga kali, lalu dia mencuci kaki kirinya juga demikian. Lalu Utsman berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku tadi.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangispa yang berwudhu seperti wudhuku lalau dia shalat dua rakaat, tanpa bicara antara keduanya, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Muslim)

Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa urusan ibadah ritual (mahdhah), maka sikap kita adalah mengikuti dalil, atau contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Atau istilahnya tauqifi (menunggu dalil). Maka, ibadah mahdhah tidak boleh dimodif, baik di tambah-tambah, atau dikurangi, berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.

Dan mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam ibadah mahdhah, merupakan syarat diterimanya amal. Allah Ta’ala berfirman:

“Dia lah Yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu ‘amala); dan ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang Yang bertaubat).” (QS. Al Mulk: 2)

Tentang makna Ahsanu ‘amala (amal yang paling baik), ini ditafsirkan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

Al Fudhail bin Iyadh berkata: “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Majmu’Al Fatawa, 28/177)

📌 Ibadah Ghairu mahdhah, sering juga disebut ibadah umum, ibadah mu’amalah, atau horisontal, yang hubungannya antara sesama manusia. Seperti silaturrahim, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit, saling memberi nasihat, belajar mengajar, mencari nafkah, dan lain-lain.

Semua hal di atas, walau termasuk urusan dunia, namun dinilai sebagai ibadah di sisi Allah Ta’ala karena memang memiliki landasan dalam Al Quran dan As Sunnah untuk melaksanakannya. Hanya saja, keduanya tidak merinci dan tidak membakukan bahwa silaturrahim –misal- harus dihari libur, menyantuni anak yatim minimal harus satu juta rupiah per anak, menjenguk orang sakit harus membawa makanan, dan seterusnya. Itu semua tidak ada aturannya. Syariat menyerahkan kepada kita untuk menyesuaikan sesuai adat yang ma’ruf pada zaman masing-masing, asalkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat.

Maka, lakukanlah semua kebaikan baik ritual dan non ritual, dan jauhilah semua larangan, lalu ikhlaskanlah dalam menjalankannya, seimbangkan antara dunia dan akhirat, fisik dan ruhani, pribadi dan masyarakat, maka pada hakikatnya kita sudah menjadi ahli ibadah.

Buku-buku yang bisa dikaji dalam hal ini, Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, atau Komitmen Muslim Kepada Harakah Islamiyah karya Syaikh Fathi Yakan, dan lainnya.

Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top